Tisa langsung memejamkan mata karena kedua tangannya dikunci di belakang tubuhnya. “Om, sadar! Aku ini adalah gadis udik, jelek, dan cuma buruh pabrik. Jadi, lebih baik Om cari yang lain aja,” racaunya ngawur.
Bara mendengkus. Dia langsung menyentil kening istri kecilnya. “Buka mata kamu, Bocah!” Suara pria di depannya begitu menuntut. Tisa menggeleng. “Gak. Tisa gak mau! Om harus pakai baju dulu!” Asal Bara tahu, kalau dirinya juga sekeras batu. “Om ingat, yah! Aku ini masih kecil. Om gak boleh ngelakuin hal bodoh dan dituduh sebagai pedofil!” Bara terbahak. “Sayangnya kamu sudah legal untuk menikah, Bocah! Jadi, aku bukan pedof1l seperti yang kamu tuduhkan. Mengerti!” Dia tidak tahu jika gadis yang baru saja dinikahinya begitu polos, atau pura-pura polos. Dia tidak peduli. Bara lalu berjalan mundur dan membiarkan Tisa seorang diri. “Apa kamu lupa jika kita sudah sah menjadi suami istri? Huh!” Bukannya menjawab, Tisa justru sibuk menilai tubuh sang suami. Menurut Tisa, Bara terlihat cool dengan segala macam ekspresi. Semakin acak-acakan gaya Bara Langit Sanjaya maka semakin tampan pria itu. Namun, dia sadar jika apa yang diperlihatkan oleh suaminya itu semata ingin menggodanya. Sama seperti sekarang. “Woi!” “Eh. Iya, Om? Om mau ngomong apa?” “Kamu tau, kan, tugas seorang istri?” Bara bertanya dengan kedua tangan masih di dalam saku celana, dan bertelanjang dad4. Tisa tahu maksud dari pembicaraan Bara. Sebelum dirinya masuk ke dalam keluarga Sanjaya, dirinya sudah diberitahu oleh paman dan bibi bagaimana harus bersikap sebagai seorang istri yang baik, yaitu melayani suami kapanpun, dan dimanapun berada. Tisa meringis takut. Ini adalah pengalaman pertama baginya dekat dengan seorang lelaki. “T-tisa belum siap, O-om,” akunya kemudian. Kepalanya tertunduk dengan tangan bertaut gugup. Keringat bahkan keluar dari pori-pori, padahal mereka sedang berada di ruangan berpenyejuk udara. Bara menyeringai. Dia lalu berjalan mendekat, tetapi ketika dia melangkah maju maka gadis itu akan mundur. Harga dirinya sebagai seorang playboy dan penakluk perempuan merasa tercoreng. Namun, dia tidak peduli, dia terus melangkah hingga punggung gadis itu menabrak dinding di belakangnya. Pria itu ikut menundukkan wajah, mensejajarkan wajah mereka. Namun, gadisnya malah menunduk dengan mata terpejam erat, seperti orang ketakutan. Tangannya langsung meraih dagu gadis itu hingga kini dia bisa melihat wajah cantik itu. “Buka mata kamu!” titah Bara dengan suara lembut tepat di depan bib1r Tisa. Mata indah bermanik hitam kelam itu seolah menghipnotis Bara. Dia bahkan merasa merugi jika sampai mengedipkan mata. Seolah-olah, jika dirinya melewatkan satu detik maka dia akan menyesal seumur hidup. “Kenapa kau berkeringat? Apa suhu di kamar ini begitu panas?” Bara mengelus wajah gadis itu dengan pelan. Dia bahkan menurunkan wajahnya lagi untuk mengendus ceruk leher istrinya, mengecup kulit selangka Tisa yang terlihat memanggilnya. Tubuh Tisa menegang kaku hingga sulit untuk digerakkan. Dengan mata terpejam erat dan tangan mengepal, dia hanya menggigit bibirnya ketakutan. “Kenapa diam, hm? Bukankah semua wanita akan merasa senang jika disayang?” Suara Bara terdengar berat, seolah tengah menahan gej0lak nafsu yang meronta-ronta minta dilepaskan. Tangannya bahkan sudah dengan lancang berada di pinggang si istri tanpa berniat menjauh. “Jika kau menyentuhnya maka aku akan bunvh d1ri!” Tiba-tiba, bibir Bara–yang sedari tadi sibuk mengecup kulit bagian atas istrinya– terdiam kaku. Suara seseorang yang selama ini begitu mempengaruhi hidupnya kembali datang. Bara mundur dengan tatapan mata yang kosong. Dia memperhatikan dalam diam sosok Tisa yang berdiri mematung dengan mata yang terpejam erat, serta tangan terkepal di sisi tubuh. Bara langsung beringsut mundur, mengambil kemeja putihnya dan berlalu begitu saja. Namun, sebelum dirinya mencapai pintu, dia berbalik dan mengucapkan satu kalimat yang akan selalu diingat oleh Tisa. “Aku menikahimu karena terpaksa. Jadi, tidak akan ada malam pertama, atau malam-malam selanjutnya!” Pintu tertutup dan saat itu juga tubuh Tisa terjatuh di lantai. Air matanya lolos begitu saja. Entah kenapa dia justru menangis setelah kepergian suaminya. Dia harusnya senang karena Bara tak akan menyentuhnya. Namun, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ada hal yang mengatakan jika itu semua tidak benar. “Benarkah Om Bara tidak akan menyentuhku?” *** Setelah membanting pintu kamar, Bara hendak menuju ruang kerjanya. Namun, langkahnya tertahan di belokan. Pria itu bersembunyi di balik dinding sebelum Sanjaya memergoki dirinya kabur. "Aku harus gimana sekarang? Gak mungkin aku balik ke kamar itu," gumamnya. Dia mengintip kembali sosok Sanjaya yang sedang mengobrol dengan sekretarisnya. "Sial! Kalau kayak gini aku harus balik ke kamar sebelum papa nemuin aku di sini," ujarnya. Namun, dirinya menyeringai ketika menemukan salah satu pintu di dekat kamarnya, yaitu perpustakaan. “Untuk malam ini, sebaiknya aku tidur di sini!” kata Bara sebelum merebahkan tubuhnya di sofa. *** Keesokan paginya, Tisa sudah berada di dapur dengan tubuh yang segar. Gadis itu terbiasa bangun pagi dan memasak untuk paman, bibi, dan Ratna. Juru masak sebenarnya sudah melarang Tisa, tapi gadis itu terlalu keras kepala hingga bersikukuh membantu. Gadis itu sempat kesasar di rumah besar itu saat mencari keberadaan dapur. Beruntung hidungnya yang tajam bisa membaui aroma bumbu yang berasal dari dapur, dan hal itu menjadi petunjuk arah baginya. “Bibi tenang aja, Tisa jago masak, kok. Jadi, Tisa gak mungkin ngebakar dapur ini.” Gadis itu tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. “Tapi, Tuan pasti tidak akan suka melihat Nona di sini.” Bi Tum berujar takut. Sementara kedua pembantu yang lain hanya melihat, tanpa boleh membantu. Mereka saling menyikut, bertanya tanpa suara akan nasib mereka jika sampai ketahuan membiarkan istri Tuannya menyentuh kompor. Bi Tum sendiri sudah berkali-kali melarang, tapi Tisa justru merengut dan hendak menangis. Karena tidak tega, akhirnya dia pun memperbolehkan, walau hatinya ketar-ketir akan nasib mereka nanti. Tisa lalu berbalik sambil memegang spatula. “Kalau begitu, ini akan menjadi rahasia kita berempat. Bagaimana? Ok, kan?” Jari telunjuknya membuat gesture mengunci di depan para bibi. “B-baiklah.” Bi Tum dan kedua pembantu itu hanya bisa mengangguk. Tisa merekahkan senyumnya dan kembali sibuk dengan sutil, dan penggorengan. Sementara pembantu lainnya ikut membantu setelah Bi Tum menyuruh mereka bergegas. Satu jam lagi masakan harus siap disajikan di atas meja makan. Sarapan pun sudah terhidang rapi di meja makan ketika Danandra, Bara, dan Tuan Sanjaya tiba di ruang makan. Gadis cantik itu sudah berganti pakaian karena yang tadi pagi bau keringat dan bau asap. Kini, dia siap menyambut kedatangan si tuan rumah dengan senyum lebar. “Pagi, Sayang!” sapanya kelewat senang pada sang suami. Dia tersenyum cerah seperti matahari bersinar di pagi hari. Tisa menatap suaminya yang sedang mendorong kursi roda ayahnya dengan senyum puas. Namun, dia tersenyum malu ketika ayah mertua melihatnya. “Eh, maaf, Tuan. Saking bahagianya melihat Om Suami, Tisa justru mengabaikan Tuan Sanjaya.” Gadis itu membungkuk 90 derajat di depan mertuanya. “Hei, kenapa membungkuk, Nak! Bangunlah. Kamu ini sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Jadi, kamu gak perlu melakukan itu,” ujar Tuan Sanjaya ramah. Di lalu melirik ke arah Bara yang berwajah datar, padahal istrinya jelas tengah menyapanya. “Lagian, wajar kok, kalau kamu seperti itu. Namanya juga pengantin baru,” sambungnya mengedip jahil pada sang menantu. Tisa semakin merekahkan senyumnya. Dia tidak menyangka jika ayah mertuanya begitu baik padanya. “Makasih, Tuan–” “Panggil Papa saja, Nak!” Tisa mengangguk malu. Setelah itu, dia mensejajari suaminya dan memeluk lengan Bara. “Apa tidurmu nyenyak semalam, Om?” tanyanya dengan suara keras. Bara menatap langsung menatap Tisa dengan mata membunuh, tetapi bukan Tisa namanya jika dia kalah. Gadis itu justru memberengutkan bibirnya ketika mengingat kejadian semalam. Tisa justru memainkan bulu halus di lengan suaminya sambil berkata, “Semalam Tisa kedinginan, lho, gegara Om gak balik ke kamar? Lihat, bahkan ada mata panda di bawah mata Tisa.” Dia mendongak, memperlihatkan wajahnya. “Apa! Jadi, kalian semalam gak tidur bareng?”Bara mengabaikan teriakan dan tawa adiknya, atau tatapan dingin ayahnya. Matanya menyipit penuh peringatan ke arah Tisa yang terus menempel hingga membongkar jika mereka tak tidur seranjang semalam. “Menyingkirlah!” bisiknya di antara gemertak giginya.“Gak mau, Om!” Gadis itu menggeleng imut. Dia bahkan tak malu menarik wajah Bara dan mengecupnya di depan adik ipar, serta ayah mertuanya. “Ini hukuman buat Om karena udah ninggalin Tisa semalam,” sambungnya dengan mata menyipit. Tangan Bara mengepal di dalam saku celananya dan jangan lupakan juga tatapan sedingin kutub Utara ditujukan pada sang istri.Tisa mengabaikan tatapan membunuh dari Bara. Dia dengan semangat menarik tangan suaminya untuk duduk di kursi yang sengaja disiapkan, tepat berada di samping gadis itu. “Em, Om Suami mau makan apa? Biar Tisa ambilkan.” Gadis itu sudah memegang piring dan bersiap menyendok nasi untuk Bara, tetapi pria itu justru menolaknya.“Aku bisa ambil sendiri,” katanya datar.“No, no, no!” Tisa meng
Melihat Bara yang tak bergerak, atau beritikad balik badan, akhirnya dia berjongkok. Memeluk dirinya sendiri. “O-om, kok, gak sopan banget, sih? Om mau modus, kan?” tanyanya dengan wajah memerah menahan malu. Bara gelagapan. Dia langsung berpaling, berdeham, lalu memunggungi Tisa. Detak jantungnya bertalu hingga dia merasa sesak. Namun, bukan Bara namanya jika tak pandai menutupi keadaan. Masih membelakangi Tisa, dia pun berkata, “badan kerempeng begitu gak bakalan bikin aku nafsu! Lagian, aku balik ke sini cuma mau ambil handuk, kok!” kilahnya lalu pergi. “Dasar Om mesum!” teriak Tisa sebelum pintu kamar mandi ditutup oleh Bara. Sementara itu, Bara sudah berada di kamar. Tatapannya melihat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Lekuk tubuh istrinya masih terngiang jelas dalam pikirannya. Bohong jika dia mengatakan tak terangsang. Namun, dia tak mungkin terang-terangan mengatakannya pada Tisa. Dia lalu melirik ke arah bagian bawah, celananya terasa sesak. Bara memejamkan mata d
“Bisa gak, sih, gak usah bikin kegaduhan di kamarku?!” Kehadiran Bara yang tiba-tiba membuat Tisa terlonjak kaget. Gadis Itu langsung duduk dengan benar. Namun, dia membuang muka ketika ditatap oleh sang suami. “Aku kan udah bilang sama kamu, kalau lapar ya, minum! Jangan makan!” Suara Bara kembali terdengar. Tisa yang sudah bosan diolok-olok segera angkat bicara. “Di mana-mana, kalau laper ya, makan, Om Suami. Om, tuh yang aneh!” Tisa balas mencibir. “Om itu kan udah tua, usianya jelas lebih dari Tisa. Tapi, masa gitu doang aja gak ngerti.” Bara memejamkan mata, menghindar dari tatapan seindah malam milik Tisa. Maniknya gelap dan Bara tidak suka. Ada perasaan aneh jika dia terus memperhatikannya. “Waktu aku sesusia kamu, aku terlalu sibuk belajar sampai gak tahu apa namanya jajan.” Tisa mencibir. “Yakin begitu?” Bara menaikkan satu alisnya. “Maksud kamu apa?” Tangannya yang ada di dalam saku celana gatal ingin menoyor kepala istrinya yang songong. “Om Suami kan pasti udah k
“Eits! Kakak-beradik gak boleh berantem!” Tisa melerai. “Lagian, ya, Tuan. Terserah kami berdua dong, mau manggil apa. Bocah, kek. Om, kek. Ya, itu terserah kami. Bagi Tisa,” ujarnya melirik ke arah sang suami, “Om Suami itu adalah lelaki yang sangat keren, ganteng, bahkan dia begitu baik sama Tisa!” Tisa berkata seperti itu karena mengingat bagaimana Bara yang mau menuruti kemauannya. Buktinya, sang suami memberinya satu kantong kresek cemilan. Baik, kan? Pujian itu ternyata membuat Bara besar kepala. Hidungnya bahkan langsung kembang kempis di pelukan sang istri. Satu sudut bibirnya menyeringai menatap Danandra. “See, apa perlu aku mengumumkan lagi kepadamu jika kami ini adalah pasangan suami-istri?” Bara terlihat bangga. Danandra melihat ke arah Tisa, lalu abangnya dengan kecewa. Namun, secepat kilat ekspresi itu berubah ceria ketika melihat lagi wajah gadis cantik di depannya. “Manis. Jika abangku galak dan tidak memperlakukanmu dengan baik, aku selalu ada di belakangmu, ok!”
Tanpa berbalik, Bara menjawab, “apa, sih? Kamu gak usah deket-deket aku, deh! Kamu itu bau!” “Bau?” Tisa kemudian membaui dirinya sendiri dengan hidung dienduskan. Namun, ia pikir tidak ada yang janggal. Ia tak menambahkan apa pun pada tubuhnya, bahkan parfum pun masih sama. Tisa menoleh mendongak, menatap sang suami yang tampak masih sibuk menutup hidung. Sekali lagi ia membaui bagian bahu dan lengannya. “Gak bau, kok, Om,” balasnya dengan wajah polos. “Tapi, kamu bau!” “Em, apa Om gak suka sama bau parfum Tisa?” Suara gadis itu terdengar bertanya-tanya. “Padahal, Tisa udah mandi loh, Om, tadi pagi. Jadi, kayaknya gak mungkin bau, deh!” Bara melirik Tisa dari balik bahunya. “Bukan parfummu, tapi bau micin yang ada di sekitarmu membuat hidungku gatel, Bocah!” balasnya, lalu kembali bersin. “Aish! Makanya ‘kan aku tadi bilang ke kamu, kalau aku tidak suka jika ada serpihan makananmu di kamar ini!” “Ahh, maaf, Om. Tisa gak tau.” Suara Tisa terdengar bersalah. “Tisa pikir, Om suam
“To-long … j-jangan! T-tisa gak mau, Paman. Jangan! S-sakit … u-udah, Ti-sa gak ku-at, Paman!” Tubuh gadis yang ada di atas ranjang terlihat begitu gusar. Adalah Tisa Ratu Ayu, matanya yang tertutup seolah membuktikan jika dirinya sedang mengalami mimpi buruk. “J-jangan, Paman! Sakit… Ti-sa janji gak akan bantah lagi!” rintih gadis itu dengan mata tertutup dan menangis. Tiba-tiba, ia berteriak, “Ampun, Paman!” Tisa terbangun. Mata gadis itu membelalak lebar dengan deru napas yang memburu. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Ia lalu menarik kedua kakinya, memeluknya dengan air mata yang mengalir deras. Tiba-tiba, telinganya seolah-olah mendengar suara bentakan dari sekitar sehingga membuat gadis itu menjerit. “Tidak! T-tisa gak mau, Paman! T-tisa janji akan menuruti ucapan Paman. Tapi, jangan sakiti Tisa lagi! Ini sakit, Paman!” Ia tergugu sambil menangis. Dalam bayangan Tisa, pamannya sedang memegang rotan, memukulnya tanpa ampun dengan mata memerah, mengancam seolah henda
Siang ini, Bara masih berada di kamar. Pria itu terlihat sibuk dengan laptop dan kacamata bacanya, sementara sesekali ekor matanya melirik ke arah ranjang di mana sang istri masih terlelap. Luka di tangan dan kakinya sudah dibersihkan oleh dokter. Jadi, tidak akan ada infeksi atas semacamnya.Tiba-tiba, suara ketukan pintu dari luar yang disusul dengan panggilan dari seseorang membuat Bara mendongak. “Masuk!” ucap Bara mempersilahkan. “Permisi, Tuan. Ini saya Oji!”Bara yang sedari tadi menunggui istrinya segera berjalan menuju sofa. Jika dulu kamar tidurnya akan bebas terlihat dari pintu, kini sudah ada sekat yang terbuat dari bambu sehingga orang tidak akan bisa melihat keadaan atas ranjang.Jangan tanyakan ini usul siapa? Sudah jelas Tisalah pelakunya. Kenapa Bara tidak menolak? Atau, kenapa ia mau-mau saja menuruti kemauan istri kecilnya itu? Alasannya, Tisa dilindungi oh Sanjaya, ayahnya sendiri. Coba bagaimana itu? Bara jelas kalah telak dari Tisa. Mau berdebat pun percuma.U
Tubuh Bara langsung berbalik dan matanya menatap tajam Tisa. “Atas dasar apa aku harus menggendongmu? Hm!” Tangannya masih di dalam saku celana ketika menemukan wajah istrinya yang tampak cemberut.“Tisa gak mungkin ngesot dong, Om, ke ruang makan,” jawabnya cerdik.Bibir Bara menyeringai, kemudian menyahutnya tak kalah sinis. “Bermimpi saja untuk bisa digendong olehku!” “O-om! Yakh, bagaimana bisa kamu meninggalkanku dengan kondisi seperti ini? O-om….”Bara langsung menutup kamarnya dan berjalan menuju ke ruang makan dengan seringainya. Ia sudah kembali ke setelan pabrik yang cuek dan dingin. Kakinya melangkah dengan santai menuju ruang makan. Namun, ketika berbelok, ia berpapasan dengan adiknya. “Bang, apa benar Tisa terluka? Kok, bisa? Emang lo apain, sih? Jadi laki gak usah jahat bisa gak, sih, Bang?” Andra terdengar panik. Adiknya bahkan hendak menyusup ke belakang tubuhnya sebelum ia menghentikan.“Apa lagi, sih, Ndra? Lagian, kalau kamu gak tau apa-apa mending diem aja, deh!”