Kini, semua tatapan tamu undangan terarah pada perempuan bergaun seksi dengan potongan gaun berdada rendah hingga membuat Tisa khawatir, kalau isinya akan tumpah ruah.
Tisa semakin dibuat melongo saat wanita itu datang, kemudian mencium pipi kanan dan kiri Bara, tepat di depannya. Tangannya semakin mengepal ketika wanita seksi itu bergelayut manja di tubuh sang suami. Dia hendak menegurnya, tetapi suara ceriwis wanita itu sudah menginterupsi duluan. “Sayang, kok kamu mau, sih, nikah sama bocah ingusan itu? Apa selama ini kamu gak puas memilikiku?” Tatapan wanita itu tertuju sinis, bahkan mencemooh ke arah Tisa. “Lihat saja tubuhnya yang bagaikan papan penggilasan itu! Dan, hei! Kenapa ukuran dadanya … Auh, jauh banget sama milikku!” “A-apa?” Tisa tertawa aneh ketika dirinya dikatai oleh orang yang tidak dikenal. Tatapannya beralih ke arah miliknya yang tertutupi oleh gaun. Miliknya memang tidak sebesar milik wanita gila itu. Namun, dia tetap tidak terima. Sementara itu, Bara terlihat biasa saja dan tanpa merasa bersalah pada Tisa. Pria itu sama sekali tak risih dengan keberadaan tubuh si wanita yang menempel bak lintah. Bara tetap santai sambil menyesap wine tanpa memedulikan dua orang yang tengah meributkannya. “Apa kau yakin akan puas dengan itu semua?” Sekali lagi, wanita itu mengh1na Tisa secara terang-terangan. Mata Tisa seketika melotot. Dia melihat sekitar, bahkan para tamu undangan masih berada di ballroom. Akan tetapi, wanita tersebut berhasil membuat banyak kasak-kusuk tentang pernikahan antara Bara dan Tisa akan berakhir tidak lama lagi. Tisa yang tidak terima miliknya dikatai langsung memepet, memisahkan tubuh wanita seksi itu untuk menjauh dari suaminya. Dia dengan tatapan berani langsung membusungkan dadanya. “Maaf, Tante yang miliknya lebih besar dari saya–” “What! Tante!” Wanita itu menjerit heboh. “Yakh! Berani sekali kamu memanggil saya Tante? Apa kamu gak tau, kalau saya ini adalah seorang selebgram terkenal? Huh!” Dia adalah Oca, selebgram yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat toktok. Tisa mendengkus. “Mau selebgram, kek! Sologram, kek. Tisa gak peduli. Pokoknya, Anda harus jauh-jauh dari suami saya!” Tisa mendorong Oca dengan dadanya hingga membuat wanita seksi itu jatuh terjerat gaun panjangnya sendiri ke belakang. “Arghh!” teriak Oca yang kini menjadi bahan tertawaan para tamu undangan, termasuk Bara. “Sayang, tolong aku!” Pria itu bukannya menolong Oca, dia justru lebih memilih memeluk pinggang istrinya. Baru kali ini dia menemukan seorang perempuan seperti Tisa. Memiliki pendirian teguh, berani, dan tidak menye-menye. “Gadis yang menarik." Bara mengelus rahangnya yang licin setelah bercukur tadi pagi. *** Malam hari setelah resepsi pernikahan yang cukup menegangkan bagi Tisa. Bukan karena ada perampok, atau pembunuh bayaran yang datang, melainkan kehadiran beberapa mantan Bara yang membuat Tisa sedikit kuwalahan menghadapinya. Tisa masih teringat jelas dengan kejadian setelah si mantan Bara–si paling besar– pergi, datanglah seorang model lain. Tubuhnya yang langsing dan berwajah cantik mendatangi pelaminan. Dia tidak seterus-terang si mantan tadi. Namun, wanita itu bermain cantik. “Hai, Mantan!” sapa Luzi dengan mengedipkan satu matanya. Bara hanya mengangkat gelas wine-nya, tapi tangan satu masih bertengger manis memeluk pinggang Tisa. Tisa hanya cemberut. Dia ingin pergi, tetapi pelukan Bara begitu erat hingga membuatnya seperti terpaku di sana. Dia menatap Bara protes, tetapi pria itu justru mengecup bibirnya, tepat di depan mantan dan tamu undangan. “Yakh!” Tangan mungil Tisa memukul dada bidang itu. “Kenapa, Cutie Pie? Bukankah kita suami istri? Jadi, sah-sah saja, kan, jika aku menciummu?” Bara bertanya polos, atau hanya pura-pura, Tisa tidak tahu. “Cutie Pie….” batin Tisa bertanya bingung. “Siapa lagi yang disebutkan oleh Om Bara?” Sementara itu, wanita di depan mereka justru tersenyum. Dia seolah tak terganggu dan tetap dengan calm berdiri di hadapan Bara dan istri “Tisa, aku harap kamu tak mencintai suamimu!” celetuknya kemudian. Tisa mengerjap kaget. Dia lalu menoleh ke arah Luzi dengan kedua alis saling bertaut. “Maaf, maksudnya apa, yah?” Bisa memang tidak terlalu memikirkan akan cinta di dalam pernikahan mereka. Hal itu terlalu jauh. Kenapa? Karena gadis itu yakin, lelaki yang dinikahi tidak mencintainya, sama seperti dirinya. Bohong jika Tisa tak butuh cinta. Gadis itu justru sangat mengidam-idamkan seorang lelaki yang bisa menuntunnya menjadi istri dan ibu yang baik kelak. Namun, jika suaminya adalah Bara? Dia merasa insecure. Luzi menyeringai melihat keraguan dan rasa penasaran Tisa. Dia kemudian menatap Bara–seolah tak takut jika rahasianya dibongkar– sekejap, lalu pandangannya beralih pada gadis mungil di hadapan. “Bara itu bukan tipe yang bisa menetap satu cinta. Dia akan berpindah-pindah, mencari wanita yang bisa diajak berhubungan tanpa status,” bisiknya. Tubuh Tisa menegang. Gadis itu memang sudah menduga jika pernikahan ini hanya untuk sebuah bisnis dan tidak boleh didasari oleh cinta. Kini, dia semakin yakin untuk tak akan menyerahkan hatinya pada sang suami. Luzi kembali melanjutkan ucapannya, “Apalagi, kalau dia sudah bosan maka dia akan menendangmu semau dia!” Kali ini, dia tak berbisik. “Kau sangat tahu aku, Luz.” Bara berujar seolah tak menampik ucapan Luzi. Tisa menatap Bara cukup lama hingga pria itu tahu dan mencolek hidung bangirnya. “Kamu tak usah memandangku seperti itu, Bocah! Nanti, kalau kamu jatuh cinta padaku, aku gak mau tanggung jawab, lho!” Bara berseloroh dengan begitu enteng seolah itu memang hanyalah main-main. Obrolan mereka sedikit banyak mempengaruhi Tisa, apalagi saat ini dia sedang diantar oleh salah satu pelayan menuju kamar pengantin, tepatnya kamar milik suaminya–Bara Langit Sanjaya. “Silakan, Nyonya!” “Ah, ya. Terima kasih, Bi!” Tisa membungkuk kikuk. Dia merasa bersalah karena sudah mengabaikan pelayan tadi. Namun, wanita paruh baya itu sudah pergi sebelum dia sempat meminta maaf. Kini, ketika dirinya sudah menginjakkan kaki di kamar pengantin, keruwetan yang sempat menjadi momok dalam pikirannya seketika Butar. Tisa dibuat terperangah, serta terpesona dengan desain interior kamar Bara. Dengan gaya futuristik, dinding yang dominan berwarna putih dan abu-abu di beberapa bagian, kini tampak begitu mengintimidasi Tisa. Luas kamar Bara bisa 4 kali lipat dari kamar miliknya. Di tengah ada ranjang king size bersprei putih dengan taburan kelopak bunga mawar merah. Sementara di bagian samping jendela, terdapat sofa panjang yang menghadap ke arah layar plasma besar. Tisa meringis. “Sepertinya aku memang salah berada di sini,” gumamnya. Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka, lalu ditutup membuat Tisa berjengit kaget. Adalah Bara Langit Sanjaya, dia berjalan dengan begitu santai menuju Tisa yang berdiri menegang kaku. “Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Bara santai. Tisa langsung menunduk. Dia memainkan jari tangannya di bawah sana. Bara menaikkan salah satu alisnya. “Kenapa kamu mendadak diam? Bukankah tadi kamu begitu semangat menjadi istri yang posesif? Lalu, kenapa sekarang mengkerut?” Suara Bara terdengar menyebalkan. “Bisakah Om jangan bahas masalah tadi!” Tisa cemberut. Bara menyeringai. Gampang sekali memancing Tisa untuk berbicara. Dia lalu tak menanggapi pertanyaan sang istri, dia justru sibuk melihat pakaian yang dikenakan. “Apa kamu akan terus memakai baju itu?” “A-aku….” Tisa langsung membekap mulutnya, menunduk untuk menutupi rona merah yang menghiasi pipi hingga belakang telinga. Sementara pria tampan yang baru saja menjadi suaminya, justru sibuk melepaskan tuxedo, serta anak kancing kemejanya hingga mulai terlepas satu-persatu. Gadis cantik itu langsung memalingkan wajah ke arah lain ketika tak sengaja kulit bagian atas Bara terlihat. “K-kenapa Om malah lepas baju di sini, sih?” Tisa menjerit tertahan. Mendengar jeritan di depannya, Bara tersenyum. Dia malah dengan sengaja membuang kemeja putih dan menyisakan celana bahan berwarna putih untuk menutupi bagian pinggang hingga kakinya. Tiba-tiba, Bara menyeringai. Dia memiliki ide untuk mengerjai istri kecilnya. Dia berjalan mendekat dan menarik tangan Tisa yang sedari tadi menutupi wajah. “Om!” jerit Tisa makin menjadi.Tisa langsung memejamkan mata karena kedua tangannya dikunci di belakang tubuhnya. “Om, sadar! Aku ini adalah gadis udik, jelek, dan cuma buruh pabrik. Jadi, lebih baik Om cari yang lain aja,” racaunya ngawur. Bara mendengkus. Dia langsung menyentil kening istri kecilnya. “Buka mata kamu, Bocah!” Suara pria di depannya begitu menuntut. Tisa menggeleng. “Gak. Tisa gak mau! Om harus pakai baju dulu!” Asal Bara tahu, kalau dirinya juga sekeras batu. “Om ingat, yah! Aku ini masih kecil. Om gak boleh ngelakuin hal bodoh dan dituduh sebagai pedofil!” Bara terbahak. “Sayangnya kamu sudah legal untuk menikah, Bocah! Jadi, aku bukan pedof1l seperti yang kamu tuduhkan. Mengerti!” Dia tidak tahu jika gadis yang baru saja dinikahinya begitu polos, atau pura-pura polos. Dia tidak peduli. Bara lalu berjalan mundur dan membiarkan Tisa seorang diri. “Apa kamu lupa jika kita sudah sah menjadi suami istri? Huh!” Bukannya menjawab, Tisa justru sibuk menilai tubuh sang suami. Menurut Tisa, Bara ter
Bara mengabaikan teriakan dan tawa adiknya, atau tatapan dingin ayahnya. Matanya menyipit penuh peringatan ke arah Tisa yang terus menempel hingga membongkar jika mereka tak tidur seranjang semalam. “Menyingkirlah!” bisiknya di antara gemertak giginya.“Gak mau, Om!” Gadis itu menggeleng imut. Dia bahkan tak malu menarik wajah Bara dan mengecupnya di depan adik ipar, serta ayah mertuanya. “Ini hukuman buat Om karena udah ninggalin Tisa semalam,” sambungnya dengan mata menyipit. Tangan Bara mengepal di dalam saku celananya dan jangan lupakan juga tatapan sedingin kutub Utara ditujukan pada sang istri.Tisa mengabaikan tatapan membunuh dari Bara. Dia dengan semangat menarik tangan suaminya untuk duduk di kursi yang sengaja disiapkan, tepat berada di samping gadis itu. “Em, Om Suami mau makan apa? Biar Tisa ambilkan.” Gadis itu sudah memegang piring dan bersiap menyendok nasi untuk Bara, tetapi pria itu justru menolaknya.“Aku bisa ambil sendiri,” katanya datar.“No, no, no!” Tisa meng
Melihat Bara yang tak bergerak, atau beritikad balik badan, akhirnya dia berjongkok. Memeluk dirinya sendiri. “O-om, kok, gak sopan banget, sih? Om mau modus, kan?” tanyanya dengan wajah memerah menahan malu. Bara gelagapan. Dia langsung berpaling, berdeham, lalu memunggungi Tisa. Detak jantungnya bertalu hingga dia merasa sesak. Namun, bukan Bara namanya jika tak pandai menutupi keadaan. Masih membelakangi Tisa, dia pun berkata, “badan kerempeng begitu gak bakalan bikin aku nafsu! Lagian, aku balik ke sini cuma mau ambil handuk, kok!” kilahnya lalu pergi. “Dasar Om mesum!” teriak Tisa sebelum pintu kamar mandi ditutup oleh Bara. Sementara itu, Bara sudah berada di kamar. Tatapannya melihat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Lekuk tubuh istrinya masih terngiang jelas dalam pikirannya. Bohong jika dia mengatakan tak terangsang. Namun, dia tak mungkin terang-terangan mengatakannya pada Tisa. Dia lalu melirik ke arah bagian bawah, celananya terasa sesak. Bara memejamkan mata d
“Bisa gak, sih, gak usah bikin kegaduhan di kamarku?!” Kehadiran Bara yang tiba-tiba membuat Tisa terlonjak kaget. Gadis Itu langsung duduk dengan benar. Namun, dia membuang muka ketika ditatap oleh sang suami. “Aku kan udah bilang sama kamu, kalau lapar ya, minum! Jangan makan!” Suara Bara kembali terdengar. Tisa yang sudah bosan diolok-olok segera angkat bicara. “Di mana-mana, kalau laper ya, makan, Om Suami. Om, tuh yang aneh!” Tisa balas mencibir. “Om itu kan udah tua, usianya jelas lebih dari Tisa. Tapi, masa gitu doang aja gak ngerti.” Bara memejamkan mata, menghindar dari tatapan seindah malam milik Tisa. Maniknya gelap dan Bara tidak suka. Ada perasaan aneh jika dia terus memperhatikannya. “Waktu aku sesusia kamu, aku terlalu sibuk belajar sampai gak tahu apa namanya jajan.” Tisa mencibir. “Yakin begitu?” Bara menaikkan satu alisnya. “Maksud kamu apa?” Tangannya yang ada di dalam saku celana gatal ingin menoyor kepala istrinya yang songong. “Om Suami kan pasti udah k
“Eits! Kakak-beradik gak boleh berantem!” Tisa melerai. “Lagian, ya, Tuan. Terserah kami berdua dong, mau manggil apa. Bocah, kek. Om, kek. Ya, itu terserah kami. Bagi Tisa,” ujarnya melirik ke arah sang suami, “Om Suami itu adalah lelaki yang sangat keren, ganteng, bahkan dia begitu baik sama Tisa!” Tisa berkata seperti itu karena mengingat bagaimana Bara yang mau menuruti kemauannya. Buktinya, sang suami memberinya satu kantong kresek cemilan. Baik, kan? Pujian itu ternyata membuat Bara besar kepala. Hidungnya bahkan langsung kembang kempis di pelukan sang istri. Satu sudut bibirnya menyeringai menatap Danandra. “See, apa perlu aku mengumumkan lagi kepadamu jika kami ini adalah pasangan suami-istri?” Bara terlihat bangga. Danandra melihat ke arah Tisa, lalu abangnya dengan kecewa. Namun, secepat kilat ekspresi itu berubah ceria ketika melihat lagi wajah gadis cantik di depannya. “Manis. Jika abangku galak dan tidak memperlakukanmu dengan baik, aku selalu ada di belakangmu, ok!”
Tanpa berbalik, Bara menjawab, “apa, sih? Kamu gak usah deket-deket aku, deh! Kamu itu bau!” “Bau?” Tisa kemudian membaui dirinya sendiri dengan hidung dienduskan. Namun, ia pikir tidak ada yang janggal. Ia tak menambahkan apa pun pada tubuhnya, bahkan parfum pun masih sama. Tisa menoleh mendongak, menatap sang suami yang tampak masih sibuk menutup hidung. Sekali lagi ia membaui bagian bahu dan lengannya. “Gak bau, kok, Om,” balasnya dengan wajah polos. “Tapi, kamu bau!” “Em, apa Om gak suka sama bau parfum Tisa?” Suara gadis itu terdengar bertanya-tanya. “Padahal, Tisa udah mandi loh, Om, tadi pagi. Jadi, kayaknya gak mungkin bau, deh!” Bara melirik Tisa dari balik bahunya. “Bukan parfummu, tapi bau micin yang ada di sekitarmu membuat hidungku gatel, Bocah!” balasnya, lalu kembali bersin. “Aish! Makanya ‘kan aku tadi bilang ke kamu, kalau aku tidak suka jika ada serpihan makananmu di kamar ini!” “Ahh, maaf, Om. Tisa gak tau.” Suara Tisa terdengar bersalah. “Tisa pikir, Om suam
“To-long … j-jangan! T-tisa gak mau, Paman. Jangan! S-sakit … u-udah, Ti-sa gak ku-at, Paman!” Tubuh gadis yang ada di atas ranjang terlihat begitu gusar. Adalah Tisa Ratu Ayu, matanya yang tertutup seolah membuktikan jika dirinya sedang mengalami mimpi buruk. “J-jangan, Paman! Sakit… Ti-sa janji gak akan bantah lagi!” rintih gadis itu dengan mata tertutup dan menangis. Tiba-tiba, ia berteriak, “Ampun, Paman!” Tisa terbangun. Mata gadis itu membelalak lebar dengan deru napas yang memburu. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Ia lalu menarik kedua kakinya, memeluknya dengan air mata yang mengalir deras. Tiba-tiba, telinganya seolah-olah mendengar suara bentakan dari sekitar sehingga membuat gadis itu menjerit. “Tidak! T-tisa gak mau, Paman! T-tisa janji akan menuruti ucapan Paman. Tapi, jangan sakiti Tisa lagi! Ini sakit, Paman!” Ia tergugu sambil menangis. Dalam bayangan Tisa, pamannya sedang memegang rotan, memukulnya tanpa ampun dengan mata memerah, mengancam seolah henda
Siang ini, Bara masih berada di kamar. Pria itu terlihat sibuk dengan laptop dan kacamata bacanya, sementara sesekali ekor matanya melirik ke arah ranjang di mana sang istri masih terlelap. Luka di tangan dan kakinya sudah dibersihkan oleh dokter. Jadi, tidak akan ada infeksi atas semacamnya.Tiba-tiba, suara ketukan pintu dari luar yang disusul dengan panggilan dari seseorang membuat Bara mendongak. “Masuk!” ucap Bara mempersilahkan. “Permisi, Tuan. Ini saya Oji!”Bara yang sedari tadi menunggui istrinya segera berjalan menuju sofa. Jika dulu kamar tidurnya akan bebas terlihat dari pintu, kini sudah ada sekat yang terbuat dari bambu sehingga orang tidak akan bisa melihat keadaan atas ranjang.Jangan tanyakan ini usul siapa? Sudah jelas Tisalah pelakunya. Kenapa Bara tidak menolak? Atau, kenapa ia mau-mau saja menuruti kemauan istri kecilnya itu? Alasannya, Tisa dilindungi oh Sanjaya, ayahnya sendiri. Coba bagaimana itu? Bara jelas kalah telak dari Tisa. Mau berdebat pun percuma.U