“Arghh!” Tiba-tiba, Bara merasa sakit di bagian perut. Dia meringis sambil meremas baju bagian bawah dengan badan membungkuk.
“Yah, ndak papa?”Panggilan cadel dan sedikit tak jelas, serta usapan di bagian punggung membuat Bara menengadahkan wajahnya sambil menahan sakit. Dengan terengah, ia memaksakan bibirnya tersenyum ketika menemukan ekspresi cemas di wajah batita tersebut.“Makasih, Sayang. Karena kamu, Om sudah jauh lebih baik,” kilahnya tak ingin membuat khawatir. Dia lalu menegakkan badan kemudian mengusap puncak kepala Basta.Biarlah dia yang sakit, tanpa perlu ada yang tahu sebenarnya.“Ndak!” Basta menggelengnkeras kepala. “Yah, Atit?” Wajah anak kecil masih saja khawatir. “Acuk, yu, Yah … alem!” ajaknya kemudian.Bara sempat tidak mengerti maksud ucapan Basta. Namun, dia sadar ketika tangannya terus ditarik oleh anak kecil tersebut. “Apa kamu mengajak Om masuk ke dalam?” tanyanya bodoh.“Hem! Cuk, yuk, Ya“Bagaimana ini?” Pada saat Tisa kebingungan, dia lalu menemukan pengawal pribadinya. Dia pun melambaikan tangannya ke arah Ricky.Tanpa disuruh dia kali, pemuda yang bernama Ricky itu berjalan ke arahnya dan menunduk hormat. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?”“Bisa tolong kamu bawa Basta dulu? Saya ada urusan,” beritahunya.Ricky yang memang mengenal jelas siapa pria yang kini tengah memeluk kaki Nona Mudanya mengangguk patuh. “Baik, Nona.” Setelah Basta dibawa pergi oleh Ricky, Tisa pun memegang bahu yang ternyata bergetar milik suaminya. Dia yang sudah sangat merindukan suaminya tentu merasa bersedih dan tidak tega. “Bangunlah, Mas, sebaiknya kita cari tempat untuk bicara!” putus Tisa kemudian. Tisa kurang nyaman jika harus menjadi perhatian banyak orang. Bara mengangguk, lalu berdiri. Dia langsung membawa tangan mereka dalam satu tautan hangat yang sudah sekian lama tak dia daoatkan. “Biarkan begini ya, Sayang?” tanyanya den
“Pokoknya, aku nggak mau tahu, kamu harus menerima pinangan dari keluarga Sanjaya!” Bagaikan disambar petir di siang hari bolong. Tisa berharap jika apa yang baru saja dikatakan oleh Pamannya–Galuh Wararui– itu hanyalah sekedar gertakan saja, bukan keharusan yang membuatnya harus kehilangan masa depan. Dia baru berusia 19 tahun, lulus SMA saja belum lama, dan kini harus menikah di usia muda? Tidak pernah terlintas dalam benak Tisa Ratu Ayu untuk menjadi seorang istri di usia belasan tahun. Gadis itu menatap pamannya dengan pandangan memohon. “Paman, tolong batalkan rencana ini! Tisa gak mau. Tisa masih pengin nyari duit sendiri.” Tisa menangkup kedua tangan, lalu saling digosokkan. “Tisa, kamu itu bukanlah anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa. Kamu harus tahu apa itu balas budi. Kalau kamu lupa, semua yang sudah Paman berikan ke kamu tidaklah sedikit, banyak, dan mahal,” sahut si Paman perhitungan. Tisa semakin menunduk, meremas ujung dress bunga yang dipakainya. Surai panjangnya
Seketika langkah Bara berhenti tepat di tengah lorong. Di belakang tubuhnya terdapat potret besar dirinya yang sedang memandang tajam. “Kau–”Tisa menelan kasar dengan bulu kuduk meremang, apalagi setelah ditatap begitu dingin oleh Bara. Gadis itu berubah menjadi gugup. “A-apa Tisa salah ngomong, O-om?”Bara menyeringai. Dengan cepat, ia mendorong Tisa hingga tubuh mungil itu terpojok di dinding. Hidungnya kembang kempis lantaran terus saja dipanggil ‘Om’ oleh budak kecil di hadapan. “Apa kau cari mati, Bocah?” Kedua tangan besar dan berotot milik Bara, kini mengukung tubuh calon istri kecilnya. Ia bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya.Tisa menggeleng panik.“Lalu, bagaimana bisa kamu memanggilku Om? Huh! Padahal, wajahku ini adalah aset termahal yang sulit didapatkan oleh siapapun. Terus, punya apa kamu sampai bisa menghinaku, Bocah?”Tubuh Tisa bergetar ketakutan, tetapi dia bersikeras jika apa yang diucapkan tidaklah salah. Pandangannya naik dengan bibir sedikit mengerucut.
Kini, semua tatapan tamu undangan terarah pada perempuan bergaun seksi dengan potongan gaun berdada rendah hingga membuat Tisa khawatir, kalau isinya akan tumpah ruah. Tisa semakin dibuat melongo saat wanita itu datang, kemudian mencium pipi kanan dan kiri Bara, tepat di depannya. Tangannya semakin mengepal ketika wanita seksi itu bergelayut manja di tubuh sang suami. Dia hendak menegurnya, tetapi suara ceriwis wanita itu sudah menginterupsi duluan. “Sayang, kok kamu mau, sih, nikah sama bocah ingusan itu? Apa selama ini kamu gak puas memilikiku?” Tatapan wanita itu tertuju sinis, bahkan mencemooh ke arah Tisa. “Lihat saja tubuhnya yang bagaikan papan penggilasan itu! Dan, hei! Kenapa ukuran dadanya … Auh, jauh banget sama milikku!” “A-apa?” Tisa tertawa aneh ketika dirinya dikatai oleh orang yang tidak dikenal. Tatapannya beralih ke arah miliknya yang tertutupi oleh gaun. Miliknya memang tidak sebesar milik wanita gila itu. Namun, dia tetap tidak terima. Sementara itu, Bara ter
Tisa langsung memejamkan mata karena kedua tangannya dikunci di belakang tubuhnya. “Om, sadar! Aku ini adalah gadis udik, jelek, dan cuma buruh pabrik. Jadi, lebih baik Om cari yang lain aja,” racaunya ngawur. Bara mendengkus. Dia langsung menyentil kening istri kecilnya. “Buka mata kamu, Bocah!” Suara pria di depannya begitu menuntut. Tisa menggeleng. “Gak. Tisa gak mau! Om harus pakai baju dulu!” Asal Bara tahu, kalau dirinya juga sekeras batu. “Om ingat, yah! Aku ini masih kecil. Om gak boleh ngelakuin hal bodoh dan dituduh sebagai pedofil!” Bara terbahak. “Sayangnya kamu sudah legal untuk menikah, Bocah! Jadi, aku bukan pedof1l seperti yang kamu tuduhkan. Mengerti!” Dia tidak tahu jika gadis yang baru saja dinikahinya begitu polos, atau pura-pura polos. Dia tidak peduli. Bara lalu berjalan mundur dan membiarkan Tisa seorang diri. “Apa kamu lupa jika kita sudah sah menjadi suami istri? Huh!” Bukannya menjawab, Tisa justru sibuk menilai tubuh sang suami. Menurut Tisa, Bara ter
Bara mengabaikan teriakan dan tawa adiknya, atau tatapan dingin ayahnya. Matanya menyipit penuh peringatan ke arah Tisa yang terus menempel hingga membongkar jika mereka tak tidur seranjang semalam. “Menyingkirlah!” bisiknya di antara gemertak giginya.“Gak mau, Om!” Gadis itu menggeleng imut. Dia bahkan tak malu menarik wajah Bara dan mengecupnya di depan adik ipar, serta ayah mertuanya. “Ini hukuman buat Om karena udah ninggalin Tisa semalam,” sambungnya dengan mata menyipit. Tangan Bara mengepal di dalam saku celananya dan jangan lupakan juga tatapan sedingin kutub Utara ditujukan pada sang istri.Tisa mengabaikan tatapan membunuh dari Bara. Dia dengan semangat menarik tangan suaminya untuk duduk di kursi yang sengaja disiapkan, tepat berada di samping gadis itu. “Em, Om Suami mau makan apa? Biar Tisa ambilkan.” Gadis itu sudah memegang piring dan bersiap menyendok nasi untuk Bara, tetapi pria itu justru menolaknya.“Aku bisa ambil sendiri,” katanya datar.“No, no, no!” Tisa meng
Melihat Bara yang tak bergerak, atau beritikad balik badan, akhirnya dia berjongkok. Memeluk dirinya sendiri. “O-om, kok, gak sopan banget, sih? Om mau modus, kan?” tanyanya dengan wajah memerah menahan malu. Bara gelagapan. Dia langsung berpaling, berdeham, lalu memunggungi Tisa. Detak jantungnya bertalu hingga dia merasa sesak. Namun, bukan Bara namanya jika tak pandai menutupi keadaan. Masih membelakangi Tisa, dia pun berkata, “badan kerempeng begitu gak bakalan bikin aku nafsu! Lagian, aku balik ke sini cuma mau ambil handuk, kok!” kilahnya lalu pergi. “Dasar Om mesum!” teriak Tisa sebelum pintu kamar mandi ditutup oleh Bara. Sementara itu, Bara sudah berada di kamar. Tatapannya melihat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Lekuk tubuh istrinya masih terngiang jelas dalam pikirannya. Bohong jika dia mengatakan tak terangsang. Namun, dia tak mungkin terang-terangan mengatakannya pada Tisa. Dia lalu melirik ke arah bagian bawah, celananya terasa sesak. Bara memejamkan mata d
“Bisa gak, sih, gak usah bikin kegaduhan di kamarku?!” Kehadiran Bara yang tiba-tiba membuat Tisa terlonjak kaget. Gadis Itu langsung duduk dengan benar. Namun, dia membuang muka ketika ditatap oleh sang suami. “Aku kan udah bilang sama kamu, kalau lapar ya, minum! Jangan makan!” Suara Bara kembali terdengar. Tisa yang sudah bosan diolok-olok segera angkat bicara. “Di mana-mana, kalau laper ya, makan, Om Suami. Om, tuh yang aneh!” Tisa balas mencibir. “Om itu kan udah tua, usianya jelas lebih dari Tisa. Tapi, masa gitu doang aja gak ngerti.” Bara memejamkan mata, menghindar dari tatapan seindah malam milik Tisa. Maniknya gelap dan Bara tidak suka. Ada perasaan aneh jika dia terus memperhatikannya. “Waktu aku sesusia kamu, aku terlalu sibuk belajar sampai gak tahu apa namanya jajan.” Tisa mencibir. “Yakin begitu?” Bara menaikkan satu alisnya. “Maksud kamu apa?” Tangannya yang ada di dalam saku celana gatal ingin menoyor kepala istrinya yang songong. “Om Suami kan pasti udah k