Beranda / CEO / ISTRI KESAYANGAN OM BARA / Bab 6. Si Cerewet dan Si Arogan

Share

Bab 6. Si Cerewet dan Si Arogan

Melihat Bara yang tak bergerak, atau beritikad balik badan, akhirnya dia berjongkok. Memeluk dirinya sendiri. “O-om, kok, gak sopan banget, sih? Om mau modus, kan?” tanyanya dengan wajah memerah menahan malu.

Bara gelagapan. Dia langsung berpaling, berdeham, lalu memunggungi Tisa. Detak jantungnya bertalu hingga dia merasa sesak. Namun, bukan Bara namanya jika tak pandai menutupi keadaan. Masih membelakangi Tisa, dia pun berkata, “badan kerempeng begitu gak bakalan bikin aku nafsu! Lagian, aku balik ke sini cuma mau ambil handuk, kok!” kilahnya lalu pergi.

“Dasar Om mesum!” teriak Tisa sebelum pintu kamar mandi ditutup oleh Bara.

Sementara itu, Bara sudah berada di kamar. Tatapannya melihat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Lekuk tubuh istrinya masih terngiang jelas dalam pikirannya. Bohong jika dia mengatakan tak terangsang. Namun, dia tak mungkin terang-terangan mengatakannya pada Tisa.

Dia lalu melirik ke arah bagian bawah, celananya terasa sesak. Bara memejamkan mata dengan pikiran mulai menggila. “Kamu ngapain ada acara pakai bangun segala, sih, Jon? Kalau begini, siapa yang susah!” Dia menjenggut rambutnya frustasi. “Alamat harus main solo deh aku!”

***

Tisa melongok dari balik pintu kamar mandi. Sepi. Bara tidak terlihat di kamar. Kening gadis itu pun mengernyit. “Om Suami ke mana, yah? Bukankah pintunya terkunci, yah?” Matanya menyipit curiga, tetapi pikiran itu segera dienyahkan.

Dia berdiri tegap sambil mengedikkan bahu. “Ah, sudahlah. Bagus juga kalau om suami gak ada di sini. Aku bisa ganti baju tanpa perlu takut ada yang ngintip,” ocehnya sendiri.

Mengingat kejadian memalukan tadi, rona merta serta-merta kembali menghiasi pipi Tisa. “Auh, malu banegt aku tadi,” ujarnya smabil memegang bagian wajhanya. Bibir itu mengerucut ketika mengingat ucapan sang suami. “Aku tahu badanku gak seksi, tapi bisa gak, sih, itu om suami gak pakai menghinaku?”

Sambil menghentakkan kaki kesal, Tisa berjalan menuju kopernya yang berada di samping ranjang. Semalam dia memang sudah tidur di sana, tetapi tak bisa pulas. Pikiran akan pernikahannya yang jauh dari kata cinta sedikit membebaninya.

“Benarkah aku akan tetap bertahan dna menjadi gadis perawan setelah menikah dengan om Bara? Jika memang benar, haruskah aku bahagia, atau sedih?” Selagi memakai baju, sesekali dia melihat sekitar. Mengawasi jika saja ada penampakan sang suami yang tiba-tiba datang.

Akan tetapi, semua terlihat sepi. Sampai Tisa selesai memakai baju, sosok Bara tak jua terlihat. Pikiran gadis itu pun mulai memikirkan praduga jika suaminya kabur lagi seperti semalam.

“Kayaknya aku emang gak layak jadi istri om Bara, deh. Liat saja,” jedanya melihat ke arah sekitar kamar, “di sini aku tak diterima. Atau, aku emang gak pantas bahagia?” Matanya menerawang ke jendela yang dibiarkan terbuka. Suara cicitan burung di luar seolah tengah menertawakan nasib Tisa.

“Ibu bahkan tak sudi merawatku dan menitipkanku pada paman.” Bibirnya tersenyum miris.

Selagi Tisa melamun, sebuah pintu di samping lemari terbuka. Adalah Bara yang muncul dengan pakaian santai. Kaos berkerah dipadukan dengan celana pendek terlihat pas di tubuhnya. Aroma wangi pun langsung menguar ketika dia berjalan.

Hidung Tisa yang tajam pun langsung mencium aroma tersebut. Dia menoleh dan matanya menyipit. “Om masuk dari mana?” tanyanya bingung. Gadis itu melihat ke arah sekitar, tetapi pintu kamar masih tertutup rapat. “Atau, di rumah ini ada pintu ajaib, yah, Om? Di mana?”

Gadis itu berubah antusias.

Bara mengurut pelipisnya. “Bisa gak kamu diam semenit saja?”

Wajah yang tadinya antusias kini berubah cemberut. “Bisa, Om. Tapi, nanti nunggu Tisa tidur, yah? Kan, kalau bobo merem matanya, tuh. Sama kayak mulut Tisa juga bakalan ikut diam,” jawabnya lugu.

Bara mendengkus pasrah. “Ngomong sama kamu, tuh, bikin capek. Udah, sana minggir! Aku mau tidur!” usirnya pada Tisa.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Dia berdiri, menyingkir dari ranjang king size yang semalam dia tempati. Tatapannya melihat ke arah jam dinding, pukul 10.00 wib. “O-om,” panggilnya takut-takut.

“Hm.”

Tisa terlihat kikuk, apalagi dirinya hanya disuruh melihat punggung Bara yang sudah memunggunginya. Sementara dirinya berdiri seperti orang bodoh.

Bara yang berniat memejamkan mata akhirnya menggeram kesal. Dia sudah menunggu hingga beberapa menit, tetapi istrinya belum juga membuka mulut. Pria itu pun membalikkan posisi tidurnya hingga menghadap Tisa. “Kamu mau nanya apa, Bocah?”

“Em, apa di kamar ini ada cemilan?”

“Apa?” Bara langsung bangun dari tidurnya. Menatap Tisa yang sedang memainkan jari dan bibir mengerucut di hadapan. Pria itu mendesah keras. “Kamu ini, yah, benar-benar … arghh! Gak tau, ah! Kalau laper, minum tuh air kamar mandi!”

“Lah, kok?” Belum sempat Tisa mengomentari, pria itu sudah keburu pergi.

Setelah itu, Bara kembali rebahan, menutupi tubuhnya dengan selimut hingga kepala. “Perasaan aku lagi kecil nggak pernah begitu amat, deh. Masa pertumbuhan, sih, masa pertumbuhan. Tapi, gak laper mulu, dong! Baru juga jam 10,” dumelnya sadis.

Sementara itu, Tisa yang ditinggal sendiri oleh Bara kemudian menghentakkan kaki. Dia bersungut-sungut sambil pergi ke arah balkon. Ingin berteriak, walau kenyataannya tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya bibir saja yang ‘mangap’, layaknya orang berteriak betulan.

Setelah puas ‘mangap-mangap’ seperti ikan kekurangan oksigen, kini Tisa memilih duduk. Kakinya dilipat di kursi empuk dengan mata menyipit menatap pohon kaktus di di atas meja. Dia mengibaratkan Bara dengan pohon berdiri itu. Walau kecil, tetapi sulit untuk didekati, apalagi dipegang, terlalu banyak ranjau di sana.

Tisa kemudian ganti posisi menjadi menyamping, kepalanya ditaruh di lengan dan memasang wajah kesal.

“Kenapa, sih, orang dewasa gak bisa ngertiin perasaan Tisa? Dulu paman dan bibi juga melarangku jajan mulu. Padahal, dia yang nyari duit. Giliran sekarang, eh, om suami. Emang kalau laper gak boleh? Apa segitu takutnya mereka menjadi miskin hanya sekadar membeli cemilan? Huh! Pokoknya, aku gak mau jadi dewasa!”

Tisa kembali mengganti posisi duduknya. Dia membiarkan kepalanya menghadap atas, di mana langit cerah, bahkan terkesan panas membuat matanya silau. Tangannya disilangkan di depan dada dan kembali berceloteh.

“Jika menjadi dewasa seperti itu, Tisa gak mau. Biarlah orang menganggap Tisa gila, silakan! Toh, Tisa gak minta makan dan uang sama mereka. Tisa bisa nyari duit sendiri, kok!”

Napasnya memburu dengan dada naik turun. Emosi di dalam hatinya masih belum habis dan dia butuh pelampiasan. Namun, gadis itu tidak tahu harus melakukan apa. “Tapi, Tisa lapar,” ujarnya sedih sambil mengusap perutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status