Bara mengabaikan teriakan dan tawa adiknya, atau tatapan dingin ayahnya. Matanya menyipit penuh peringatan ke arah Tisa yang terus menempel hingga membongkar jika mereka tak tidur seranjang semalam. “Menyingkirlah!” bisiknya di antara gemertak giginya.
“Gak mau, Om!” Gadis itu menggeleng imut. Dia bahkan tak malu menarik wajah Bara dan mengecupnya di depan adik ipar, serta ayah mertuanya. “Ini hukuman buat Om karena udah ninggalin Tisa semalam,” sambungnya dengan mata menyipit. Tangan Bara mengepal di dalam saku celananya dan jangan lupakan juga tatapan sedingin kutub Utara ditujukan pada sang istri. Tisa mengabaikan tatapan membunuh dari Bara. Dia dengan semangat menarik tangan suaminya untuk duduk di kursi yang sengaja disiapkan, tepat berada di samping gadis itu. “Em, Om Suami mau makan apa? Biar Tisa ambilkan.” Gadis itu sudah memegang piring dan bersiap menyendok nasi untuk Bara, tetapi pria itu justru menolaknya. “Aku bisa ambil sendiri,” katanya datar. “No, no, no!” Tisa menggeleng hingga rambut ekor kudanya ikut bergoyang, sesuai intensitas gerakannya. “Sebagai seorang istri, Tisa ingin melayani Om Suami dengan sepenuh hati,” katanya sedih, berharap jika dengan gak itu suami mengizinkannya. “Bara!” Bara melirik ke arah ayahnya. Pria itu tahu jika ayahnya pasti marah padanya. Akhirnya, dia menghela napas pasrah. Memberikan kembali piring itu pada Tisa. Bibir Tisa melengkung membentuk kurva senyum yang indah. “Makasih ya, Om Suami. Om, ganteng, deh,” pujinya sambil mencolek dagu Bara. Bara mengatupkan bibirnya, menahan geram lantaran Tisa semakin kurang ajar padanya, dan itu membuat harga dirinya terluka. “Awas aja, aku gak akan pernah melepaskan kamu, Bocah!” batinnya. Bara menatap ke depan. Pada saat itu juga, dia melihat Danandra tengah tersenyum menyeringai. Rahangnya mengetat dengan tangan mengepal di bawah meja. “Sial!” umpat Bara dalam hati. Setelah acara sarapan pagi yang menyebalkan bagi Bara selesai. Kini, dirinya kembali terkurung di dalam kamar bersama istrinya. Itu semua adalah ide dari Ayahnya. Katanya, mereka harus mengobrol untuk saling mengenal satu sama lain, supaya chemistry seorang suami-istri makin terjalin. “Cih!” Bara berdecih muak saat membayangkan jika dia harus mengurusi seorang bocah. Dia lantas berdiri dengan satu tangan masuk ke dalam saku celana, berjalan menuju balkon untuk menghubungi seseorang. Akan tetapi, langkahnya yang baru tiga langkah terinterupsi akan teriakan dari arah kamar mandi. “Om, tolongin Tisa!” Tiba-tiba, gadis itu berlari ke arah Bara. Wajahnya sudah basah dan panik. Bara melihat penampilan Tisa yang terlihat seperti ayam kecebur got. Dress berwarna putih itu kini menempel pada kulit istrinya. Belum lagi dalaman warna hitam itu nyeplak dan membuat libidonya seketika naik. “Shit!” umpat Bara, memalingkan wajah. “Apa yang kamu lakukan, Bocah? Dan, apa kamu gak tau jika kita ini berada di rumah, bukan di kolam renang? Huh!” teriaknya kemudian. “Iih, Om tuh daripada sibuk ngomel-ngomel mulu, lebih baik bantuin Tisa.’’ Tisa menyeret tangan Bara hingga mereka berada di depan pintu kamar mandi. “Itu, kerannya bocor, Om!” Tangannya menunjuk ke arah dalam. Bara hendak mengomeli gadis itu, tetapi gagal. Tisa justru mepet-mepet dirinya karena air cipratan dari kran itu menyembur ke arah mereka. Baju yang dikenakannya pun ikutan basah. “Sabar, Bar! Ingat, itu di depan bukan siapa-siapa. Anggap aja kamu lagi bantuin bocah ingusan yang kecebur got. Abaikan lekuk tubuh bocah itu! Kamu gak boleh terpedaya, apalagi terpesona dengan bocah sableng ini!” batin Bara memperingati. Bara lalu menarik napas dalam-dalam, membuangnya hingga beberapa kali. “Om!” Tisa menggoyangkan lengan Bara tak sabar. “Om, tuh, lagi mikirin apa, sih? Kok, malah ngelamun?” Bara menggerakkan rahangnya, berharap jika dia tak menggigit istri kecilnya itu. Dia menatap Tisa dengan bibir mengatup. “Bagaimana bisa keran ini patah? Dan, kamu tuh baru sehari di sini. Tapi, kenapa kamu udah ngerusakin barang-barangku? Huh!” Bibir Tisa mengerucut tak mau disalahkan. “Mana Tisa tahu, Om. Tadi itu Tisa cuman mau cuci tangan, eh, tiba-tiba krannya patah sendiri,” ceritanya, “mungkin, emang udah waktunya ganti kali, Om!” “Yakh!” teriak Bara kelepasan. Tisa mengkerut. Bara menyugar rambutnya kesal. Dia menjauhkan diri dari Tisa. Bisa jadi perkedel itu bocah, kalau mepetin dia terus. “Sabar Bara, sabar! Kamu gak boleh marah-marah. Nanti, ketampananmu bisa berkurang!” gumamnya. Meladeni kelakuan istri kecilnya yang aneh bin ajaib, ternyata benar-benar merepotkan seorang Bara. Ini baru satu hari mereka menikah, tetapi ada saja kelakuan Tisa yang membuatnya naik darah. “Sekarang gimana, Om?” Tiba-tiba, Tisa sudah berdiri di dekatnya lagi. Menarik baju bagian ujung suaminya. Tatapannya seperti anak kucing yang minta dikasih makan. Bara hampir terpedaya, tetapi langsung dienyahkan. “Menurut kamu, apa saya harus pergi keluar, dan panggil tukang buat benerin itu kran?” tanyanya di antara gigi bergemeletuk. “Iya, dong, Om.” Tisa menjawabnya tanpa ragu. “Oh my God!” Kepala Bara hampir meledak. “Berani sekali kamu menyuruh seorang CEO buat manggil tukang? Apa nyawamu banyak? Huh!” Tisa berjengit kaget. Dia mundur dengan bibir yang mendumel. “Kamu pikir, kamu siapa nyuruh-nyuruh aku buat benerin kran itu?” tanya Bara lagi. Tisa melirik keberadaan suaminya. Baju pria itu sudah basah, sama seperti dirinya. “Tapi, baju Tisa ‘kan basah, Om! G-gak mungkin–” “Diam gak kamu?!” Bara berteriak. Deru napasnya memburu. Matanya berkilat marah menatap sang istri. “Sekali lagi kamu ngomong lagi, aku gak segan membuangmu ke tempat sampah!” Sambil berjalan menghentak, Bara meninggalkan Tisa. “Apa susahnya, sih, bilang gak mau bantuin? Orang, kok, senengnya marah-marah mulu. Nanti, giliran kena stroke aja nyalahin Tisa!” Sambil melepaskan baju, Tisa mendumel. Menyisakan dalamannya saja. Namun, suara dari arah pintu membuatnya menjerit kaget. “O-om–” Tisa langsung menyilangkan kedua tangannya, menutupi bagian yang tak seharusnya dilihat oleh orang lain. Tapi, percuma. “Om, tuh ngapain balik lagi, sih?” Bara sudah melihatnya. Pria itu bahkan sedari tadi berdiri diam tanpa mengalihkan pandangan. Tubuh gadis itu kini sudah terpampang nyata di hadapannya. Putih, dan seksi. Tiba-tiba, sesuatu di dalam dirinya terasa sesak. “Sial!”Melihat Bara yang tak bergerak, atau beritikad balik badan, akhirnya dia berjongkok. Memeluk dirinya sendiri. “O-om, kok, gak sopan banget, sih? Om mau modus, kan?” tanyanya dengan wajah memerah menahan malu. Bara gelagapan. Dia langsung berpaling, berdeham, lalu memunggungi Tisa. Detak jantungnya bertalu hingga dia merasa sesak. Namun, bukan Bara namanya jika tak pandai menutupi keadaan. Masih membelakangi Tisa, dia pun berkata, “badan kerempeng begitu gak bakalan bikin aku nafsu! Lagian, aku balik ke sini cuma mau ambil handuk, kok!” kilahnya lalu pergi. “Dasar Om mesum!” teriak Tisa sebelum pintu kamar mandi ditutup oleh Bara. Sementara itu, Bara sudah berada di kamar. Tatapannya melihat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Lekuk tubuh istrinya masih terngiang jelas dalam pikirannya. Bohong jika dia mengatakan tak terangsang. Namun, dia tak mungkin terang-terangan mengatakannya pada Tisa. Dia lalu melirik ke arah bagian bawah, celananya terasa sesak. Bara memejamkan mata d
“Bisa gak, sih, gak usah bikin kegaduhan di kamarku?!” Kehadiran Bara yang tiba-tiba membuat Tisa terlonjak kaget. Gadis Itu langsung duduk dengan benar. Namun, dia membuang muka ketika ditatap oleh sang suami. “Aku kan udah bilang sama kamu, kalau lapar ya, minum! Jangan makan!” Suara Bara kembali terdengar. Tisa yang sudah bosan diolok-olok segera angkat bicara. “Di mana-mana, kalau laper ya, makan, Om Suami. Om, tuh yang aneh!” Tisa balas mencibir. “Om itu kan udah tua, usianya jelas lebih dari Tisa. Tapi, masa gitu doang aja gak ngerti.” Bara memejamkan mata, menghindar dari tatapan seindah malam milik Tisa. Maniknya gelap dan Bara tidak suka. Ada perasaan aneh jika dia terus memperhatikannya. “Waktu aku sesusia kamu, aku terlalu sibuk belajar sampai gak tahu apa namanya jajan.” Tisa mencibir. “Yakin begitu?” Bara menaikkan satu alisnya. “Maksud kamu apa?” Tangannya yang ada di dalam saku celana gatal ingin menoyor kepala istrinya yang songong. “Om Suami kan pasti udah k
“Eits! Kakak-beradik gak boleh berantem!” Tisa melerai. “Lagian, ya, Tuan. Terserah kami berdua dong, mau manggil apa. Bocah, kek. Om, kek. Ya, itu terserah kami. Bagi Tisa,” ujarnya melirik ke arah sang suami, “Om Suami itu adalah lelaki yang sangat keren, ganteng, bahkan dia begitu baik sama Tisa!” Tisa berkata seperti itu karena mengingat bagaimana Bara yang mau menuruti kemauannya. Buktinya, sang suami memberinya satu kantong kresek cemilan. Baik, kan? Pujian itu ternyata membuat Bara besar kepala. Hidungnya bahkan langsung kembang kempis di pelukan sang istri. Satu sudut bibirnya menyeringai menatap Danandra. “See, apa perlu aku mengumumkan lagi kepadamu jika kami ini adalah pasangan suami-istri?” Bara terlihat bangga. Danandra melihat ke arah Tisa, lalu abangnya dengan kecewa. Namun, secepat kilat ekspresi itu berubah ceria ketika melihat lagi wajah gadis cantik di depannya. “Manis. Jika abangku galak dan tidak memperlakukanmu dengan baik, aku selalu ada di belakangmu, ok!”
Tanpa berbalik, Bara menjawab, “apa, sih? Kamu gak usah deket-deket aku, deh! Kamu itu bau!” “Bau?” Tisa kemudian membaui dirinya sendiri dengan hidung dienduskan. Namun, ia pikir tidak ada yang janggal. Ia tak menambahkan apa pun pada tubuhnya, bahkan parfum pun masih sama. Tisa menoleh mendongak, menatap sang suami yang tampak masih sibuk menutup hidung. Sekali lagi ia membaui bagian bahu dan lengannya. “Gak bau, kok, Om,” balasnya dengan wajah polos. “Tapi, kamu bau!” “Em, apa Om gak suka sama bau parfum Tisa?” Suara gadis itu terdengar bertanya-tanya. “Padahal, Tisa udah mandi loh, Om, tadi pagi. Jadi, kayaknya gak mungkin bau, deh!” Bara melirik Tisa dari balik bahunya. “Bukan parfummu, tapi bau micin yang ada di sekitarmu membuat hidungku gatel, Bocah!” balasnya, lalu kembali bersin. “Aish! Makanya ‘kan aku tadi bilang ke kamu, kalau aku tidak suka jika ada serpihan makananmu di kamar ini!” “Ahh, maaf, Om. Tisa gak tau.” Suara Tisa terdengar bersalah. “Tisa pikir, Om suam
“To-long … j-jangan! T-tisa gak mau, Paman. Jangan! S-sakit … u-udah, Ti-sa gak ku-at, Paman!” Tubuh gadis yang ada di atas ranjang terlihat begitu gusar. Adalah Tisa Ratu Ayu, matanya yang tertutup seolah membuktikan jika dirinya sedang mengalami mimpi buruk. “J-jangan, Paman! Sakit… Ti-sa janji gak akan bantah lagi!” rintih gadis itu dengan mata tertutup dan menangis. Tiba-tiba, ia berteriak, “Ampun, Paman!” Tisa terbangun. Mata gadis itu membelalak lebar dengan deru napas yang memburu. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Ia lalu menarik kedua kakinya, memeluknya dengan air mata yang mengalir deras. Tiba-tiba, telinganya seolah-olah mendengar suara bentakan dari sekitar sehingga membuat gadis itu menjerit. “Tidak! T-tisa gak mau, Paman! T-tisa janji akan menuruti ucapan Paman. Tapi, jangan sakiti Tisa lagi! Ini sakit, Paman!” Ia tergugu sambil menangis. Dalam bayangan Tisa, pamannya sedang memegang rotan, memukulnya tanpa ampun dengan mata memerah, mengancam seolah henda
Siang ini, Bara masih berada di kamar. Pria itu terlihat sibuk dengan laptop dan kacamata bacanya, sementara sesekali ekor matanya melirik ke arah ranjang di mana sang istri masih terlelap. Luka di tangan dan kakinya sudah dibersihkan oleh dokter. Jadi, tidak akan ada infeksi atas semacamnya.Tiba-tiba, suara ketukan pintu dari luar yang disusul dengan panggilan dari seseorang membuat Bara mendongak. “Masuk!” ucap Bara mempersilahkan. “Permisi, Tuan. Ini saya Oji!”Bara yang sedari tadi menunggui istrinya segera berjalan menuju sofa. Jika dulu kamar tidurnya akan bebas terlihat dari pintu, kini sudah ada sekat yang terbuat dari bambu sehingga orang tidak akan bisa melihat keadaan atas ranjang.Jangan tanyakan ini usul siapa? Sudah jelas Tisalah pelakunya. Kenapa Bara tidak menolak? Atau, kenapa ia mau-mau saja menuruti kemauan istri kecilnya itu? Alasannya, Tisa dilindungi oh Sanjaya, ayahnya sendiri. Coba bagaimana itu? Bara jelas kalah telak dari Tisa. Mau berdebat pun percuma.U
Tubuh Bara langsung berbalik dan matanya menatap tajam Tisa. “Atas dasar apa aku harus menggendongmu? Hm!” Tangannya masih di dalam saku celana ketika menemukan wajah istrinya yang tampak cemberut.“Tisa gak mungkin ngesot dong, Om, ke ruang makan,” jawabnya cerdik.Bibir Bara menyeringai, kemudian menyahutnya tak kalah sinis. “Bermimpi saja untuk bisa digendong olehku!” “O-om! Yakh, bagaimana bisa kamu meninggalkanku dengan kondisi seperti ini? O-om….”Bara langsung menutup kamarnya dan berjalan menuju ke ruang makan dengan seringainya. Ia sudah kembali ke setelan pabrik yang cuek dan dingin. Kakinya melangkah dengan santai menuju ruang makan. Namun, ketika berbelok, ia berpapasan dengan adiknya. “Bang, apa benar Tisa terluka? Kok, bisa? Emang lo apain, sih? Jadi laki gak usah jahat bisa gak, sih, Bang?” Andra terdengar panik. Adiknya bahkan hendak menyusup ke belakang tubuhnya sebelum ia menghentikan.“Apa lagi, sih, Ndra? Lagian, kalau kamu gak tau apa-apa mending diem aja, deh!”
Gadis itu mencoba berdiri sambil berpegangan pada meja dan tersenyum ke arah sang suami. “Tisa udah selesai kok, Om.” “Tapi, makananmu belum habis, Sayang!” Itu suara Sanjaya. Pria tua itu kemudian menatap Bara sambil menggelengkan kepala. "Apa kamu gak bisa nungguin istrimu selesai makan, Nak?"Bata hendak menyahuti, tetapi suara istrinya sudah lebih dulu menginterupsi. Ia pun akhirnya diam saja."Tis Audah kenyang beneran kok, Yah." ujarnya sambil menatap ayah mertuanya dengan tangan mengusap perut. “Tadi, sebelum ke sini, Tisa udah ngemil, Yah,” akunya dusta.Sejak bangun tidur, gadis itu langsung ke kamar mandi. Jadi, mana sempat ngemil. Salahkan saja tampang rupawan suaminya ketika terlelap, sungguh menggoda iman.“Kalau begitu biar nanti Ayah minta bibi buat mengantarkan cemilan ke kamar kalian.” Sanjaya mempersilakan. “Bara, hati-hati bawa menantu Ayah!”Bibir Tisa seketika mengulas senyum lebar. “Makasih. Ayah yang terbaik!” Ia mengacungkan kedua ibu jarinya, tetapi setelah i