Share

Bab 7. Ipar adalah Maut

“Bisa gak, sih, gak usah bikin kegaduhan di kamarku?!” Kehadiran Bara yang tiba-tiba membuat Tisa terlonjak kaget.

Gadis Itu langsung duduk dengan benar. Namun, dia membuang muka ketika ditatap oleh sang suami.

“Aku kan udah bilang sama kamu, kalau lapar ya, minum! Jangan makan!” Suara Bara kembali terdengar.

Tisa yang sudah bosan diolok-olok segera angkat bicara. “Di mana-mana, kalau laper ya, makan, Om Suami. Om, tuh yang aneh!” Tisa balas mencibir. “Om itu kan udah tua, usianya jelas lebih dari Tisa. Tapi, masa gitu doang aja gak ngerti.”

Bara memejamkan mata, menghindar dari tatapan seindah malam milik Tisa. Maniknya gelap dan Bara tidak suka. Ada perasaan aneh jika dia terus memperhatikannya.

“Waktu aku sesusia kamu, aku terlalu sibuk belajar sampai gak tahu apa namanya jajan.”

Tisa mencibir. “Yakin begitu?”

Bara menaikkan satu alisnya. “Maksud kamu apa?” Tangannya yang ada di dalam saku celana gatal ingin menoyor kepala istrinya yang songong.

“Om Suami kan pasti udah kaya dari lahir dan semua makanan sudah disediakan tanpa perlu repot nyari duit dulu!” Tisa balas menyindirnya.

Tatapan mata Bara terlihat dingin. Dia benci jika orang mengungkit masa kecilnya. “Jika kamu tak tahu apa-apa tentangku, lebih baik kamu diam!” katanya di antara gemertak giginya.

Tisa berdiri, berjalan mendekat pada sang suami yang langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia jelas menangkap luka di sana, tetapi pria tua itu begitu cepat menghindar. Aneh

Tisa kemudian mengedikkan bahu. Gadis itu berjalan mendekati pagar pembatas yang menghubungkan kamar dengan taman bunga di bawahnya. Kamar mereka bukan di lantai dua, hanya saja jarak tanah dan ubin yang diinjak mereka bisa mencapai satu setengah meter. Entah untuk apa, Tisa tidak tahu.

“Intinya Tisa laper dan pengin makan, Om,” ujarnya dengan tangan mengusap perutnya, perih.

“Apa kamu memang sekeras kepala ini sedari dulu?” Bara bertanya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

Tisa melirik Bara dari balik bahunya. “Otak Tisa gak bisa mikir kalau laper, Om,” jawabnya lemas.

“Cih! Menyusahkan saja!”

Pria itu menghilang beberapa saat dan dia kembali dengan satu kantong kresek besar. “Makan di sini dan aku gak mau sampai ada serpihan berceceran di dalam kamarku!” katanya ketus.

“Eh, ini serius buat aku semua, Om?” Tisa mengejar langkah Bara. Wajahnya yang tadi ditekuk kini sudah berubah sumringah. “Aih, Om ternyata baik banget, deh. Makin ganteng, kan, kalau gitu. Sekali lagi makasih, Om!” Gadis itu mengedipkan satu matanya, kemudian berlari ke arah balkon untuk memakan cemilan dari sang suami.

Bara terhenyak dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Tisa. Gadis itu baru saja mencium pipinya, lagi. Dia menggeram dengan tangan terkepal erat. “Berani sekali itu bocah menciumiku!” Dia langsung mengusap pipinya dan berjalan ke ruang kerjanya. “Lebih baik aku kerja daripada ngurusin itu bocah!”

Walaupun mendumel, Bara tetap tiba bisa menghilangkan pikiran tentang Tisa. Tangannya yang sedari tadi hanya memegang kertas tanpa melakukan apa pun, kini berada di pipi, mengusap bagian di mana gadis itu menciumnya.

“Eh, apa yang aku lakukan?” Bara menggelengkan kepala. Dia bahkan menampar wajahnya sendiri. Memperingati agar tidak kebablasan dan berakhir percuma.

Tisa sendiri kini tengah bahagia, tersenyum dengan banyak makanan di atas meja, serta kanan dan kiri tubuhnya. Kakinya bergoyang-goyang, layaknya anak kecil yang baru saja mendapatkan surprise dari ibunya.

“Om Suami kalau lagi baik, ganteng, yah!” Dia terkikik sendiri. Tiba-tiba, bibirnya mengerucut. “Tapi, kalau lagi galak, beuh! Anjing di luar aja kalah galaknya sama Om Suami,” sambungnya bergidik ngeri.

“Tisa! Hei, aku di bawah!” Sebuah suara laki-laki memanggil si gadis yang sedang enak-enaknya makan di balkon.

Tisa menoleh masih dengan keripik di dalam mulutnya yang menggembung. Keningnya mengernyit was-was dengan keberadaan Danandra. Dia jelas masih mengingat kejadian di mana ia hampir dilecehkan oleh adik iparnya.

“Hei, kok kamu malah malingin muka? Tisa … liat sini!” Danandra tidak patah semangat ketika dicuekin oleh istri dari abangnya. “Kamu pasti kesepian, kan? Ayo, ke sini aja! Di sini enak, loh. Ada kolam ikan, bunga-bunga yang indah, dan juga buah-buahan yang segar.”

Mendengar makanan yang disebutkan oleh Danandra, membuat Tisa menelan ludah. Dia mengintip dari balik bulu matanya. Melihat dengan seksama akan sekitar. Benar saja, selain bunga, ada beberapa pohon buah dari mangga, jambu, bahkan apel pun ada di sana.

“Ini sebenarnya rumah, apa kebun, sih? Kok, segala macam buah-buahan ada di sini?” Tisa menggigit bibirnya. Ragu, tetapi juga ingin.

Ketika Tisa sibuk dengan keraguannya, tiba-tiba seseorang sudah duduk manis di pagar balkon. “Hei, kamu mau, kan, berpetualang denganku?”

“Dia gak akan ke mana-mana.” Suara dari pintu balkon segera menginterupsi Tisa yang hendak membuka mulut.

“Om?” Tisa melongo.

Bara melirik ke arah Tisa, lalu melengos. Tatapannya kini tertuju pada sang adiknya. “Dan kamu, Andra! Sudah Abang bilang berkali-kali, jangan gangguin istriku! Abang gak suka kamu deket-deket istriku!”

“Yaelah, Bang. Abang gak usah nutup-nutupin perasaan Abang yang sesungguhnya, deh.” Danandra menyeringai. Dia bahkan tak canggung untuk duduk di pagar balkon dan mengedip ke arah Tisa. Namun, gadis itu justru terlihat takut padanya.

“Sial! Istrimu benar-benar sulit ditaklukan, Bang. Kau pakai pelet apa, sih? Sampai dia gak mau sama aku?” tanya Danandra dengan seenak jidat.

Bara menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Abang gak pernah menggunakan hal semacam itu, Ndra. Maaf aja. Pesona Abang jauh lebih kuat dibandingkan dirimu,” jawabnya percaya diri.

Tisa melirik ke arah dua kakak-beradik itu sambil ngemil. “Eh!” Dia terkejut dan segera berdiri ketika adik iparnya berjalan mendekatinya. “Mau ngapain kamu, Tuan?” tanyanya takut.

“Andra!” Bara langsung menarik kerah kemeja adiknya hingga kini mereka saling berhadapan. “Bukankah tadi Abang udah bilang–”

“Oi, kalem, Bang!” Andra mengangkat kedua tangannya ketika Bara mencengkeramnya begitu kuat.

Tisa mengerjap kaget melihat kakak-beradik itu hendak berkelahi. Dia pun segera menengahi. Bibirnya sempat mengerucut ketika berdiri di antara kedua kakak-beradik itu, tingginya hanya sebatas bahu mereka.

“Kamu ngapain, Bocah?” Bara segera menarik tangan Tisa. Menatapnya dengan tajam hingga si istri langsung menciut.

Danandra yang mendengar panggilan Bara pada Tisa segera berdecih. “Katanya suami-istri. Tapi, kenapa Abang manggil istrinya dengan sebutan bocah?” ejeknya. “Lagian, yah. Di mana-mana suami manggil istrinya dengan panggilan sayang, honey, cintaku, dan panggilan manis lainnya. Lah, dirimu, Bang?”

“Jaga mulut kamu, Ndra!” Bara hendak menghampiri adiknya, tetapi Tisa menghalangi dengan memeluknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status