“Sayang, kamu di mana? Aku kangen sama kamu!” Bara menatap pigura foto pernikahan mereka dengan tatapan merindu. Badannya juga tak sesegar dulu, bahkan dia menjadi malas hanya sekedar memotong jambang.
Semenjak empat tahun lalu, tepatnya ketika sang istri kabur dari rumah Dia memutuskan untuk tinggal di apartemen, sendirian. Semua dilakukan untuk ketenangan hati serta batinnya. Jika di rumah, kepalanya penuh.“Pulanglah, Baby! Aku minta maaf karena sudah bodoh melukai gadis yang benar-benar tulus mencintaiku. Mungkin jika saat itu aku tidak termakan kecemburuanku, mendengarkan dulu penjelasan mu, kamu pasti masih berada di sisiku,” gumamnya seorang diri.Kini, dia menyesal, sangat-sangat menyesal. Andai bisa memutar waktu, Bara tidak ingin gegabah dan mencari tahu dulu tentang mereka berdua. Bukan malah main tuduh dan mabuk hingga melampiaskan kekesalannya pada hal yang salah.Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Sanjaya bahkan sampai menghajar“Jika boleh meminta, Bara ingin mengejarnya. Tapi, Bara juga gak mau egois, Yah!” Pria itu tampak merenung.“Ckckck! Pantas saja menantuku milih kabur daripada tetap bertahan denganmu,” cibir Sanjaya pada anaknya.“Yah!” Bara terlihat merengek.Sanjaya menghela napas, lalu menepuk bahu sang anak. “Apa kau tahu jika Tisa itu sangat mencintaimu?”Bara mengangguk ragu. “Entahlah, Yah.”Sanjaya yang gemas pada Bara lalu menempeleng kepala putranya. “Badan besar, umur tua, emang gak menjamin,” cibirnya pedas, “intinya, kamu itu terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Sampai kau melupakan hal yang sesungguhnya, Nak!”“Jadi, maksud Ayah, prasangka Bara selama ini salah?”“Hem. Jadi, kau akan tetapi diam saja? Atau, kamu emang gak mau kembali pada menantuku?” Sanjaya menatap putranya dengan serius.Bara menggeleng. Tekadnya sekarang makin kuat untuk tetap mendapatkan kata maaf dari Tisa. “Bara akan mel
“Arghh!” Tiba-tiba, Bara merasa sakit di bagian perut. Dia meringis sambil meremas baju bagian bawah dengan badan membungkuk. “Yah, ndak papa?” Panggilan cadel dan sedikit tak jelas, serta usapan di bagian punggung membuat Bara menengadahkan wajahnya sambil menahan sakit. Dengan terengah, ia memaksakan bibirnya tersenyum ketika menemukan ekspresi cemas di wajah batita tersebut. “Makasih, Sayang. Karena kamu, Om sudah jauh lebih baik,” kilahnya tak ingin membuat khawatir. Dia lalu menegakkan badan kemudian mengusap puncak kepala Basta. Biarlah dia yang sakit, tanpa perlu ada yang tahu sebenarnya.“Ndak!” Basta menggelengnkeras kepala. “Yah, Atit?” Wajah anak kecil masih saja khawatir. “Acuk, yu, Yah … alem!” ajaknya kemudian.Bara sempat tidak mengerti maksud ucapan Basta. Namun, dia sadar ketika tangannya terus ditarik oleh anak kecil tersebut. “Apa kamu mengajak Om masuk ke dalam?” tanyanya bodoh.“Hem! Cuk, yuk, Ya
“Bagaimana ini?” Pada saat Tisa kebingungan, dia lalu menemukan pengawal pribadinya. Dia pun melambaikan tangannya ke arah Ricky.Tanpa disuruh dia kali, pemuda yang bernama Ricky itu berjalan ke arahnya dan menunduk hormat. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?”“Bisa tolong kamu bawa Basta dulu? Saya ada urusan,” beritahunya.Ricky yang memang mengenal jelas siapa pria yang kini tengah memeluk kaki Nona Mudanya mengangguk patuh. “Baik, Nona.” Setelah Basta dibawa pergi oleh Ricky, Tisa pun memegang bahu yang ternyata bergetar milik suaminya. Dia yang sudah sangat merindukan suaminya tentu merasa bersedih dan tidak tega. “Bangunlah, Mas, sebaiknya kita cari tempat untuk bicara!” putus Tisa kemudian. Tisa kurang nyaman jika harus menjadi perhatian banyak orang. Bara mengangguk, lalu berdiri. Dia langsung membawa tangan mereka dalam satu tautan hangat yang sudah sekian lama tak dia daoatkan. “Biarkan begini ya, Sayang?” tanyanya den
“Pokoknya, aku nggak mau tahu, kamu harus menerima pinangan dari keluarga Sanjaya!” Bagaikan disambar petir di siang hari bolong. Tisa berharap jika apa yang baru saja dikatakan oleh Pamannya–Galuh Wararui– itu hanyalah sekedar gertakan saja, bukan keharusan yang membuatnya harus kehilangan masa depan. Dia baru berusia 19 tahun, lulus SMA saja belum lama, dan kini harus menikah di usia muda? Tidak pernah terlintas dalam benak Tisa Ratu Ayu untuk menjadi seorang istri di usia belasan tahun. Gadis itu menatap pamannya dengan pandangan memohon. “Paman, tolong batalkan rencana ini! Tisa gak mau. Tisa masih pengin nyari duit sendiri.” Tisa menangkup kedua tangan, lalu saling digosokkan. “Tisa, kamu itu bukanlah anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa. Kamu harus tahu apa itu balas budi. Kalau kamu lupa, semua yang sudah Paman berikan ke kamu tidaklah sedikit, banyak, dan mahal,” sahut si Paman perhitungan. Tisa semakin menunduk, meremas ujung dress bunga yang dipakainya. Surai panjangnya
Seketika langkah Bara berhenti tepat di tengah lorong. Di belakang tubuhnya terdapat potret besar dirinya yang sedang memandang tajam. “Kau–”Tisa menelan kasar dengan bulu kuduk meremang, apalagi setelah ditatap begitu dingin oleh Bara. Gadis itu berubah menjadi gugup. “A-apa Tisa salah ngomong, O-om?”Bara menyeringai. Dengan cepat, ia mendorong Tisa hingga tubuh mungil itu terpojok di dinding. Hidungnya kembang kempis lantaran terus saja dipanggil ‘Om’ oleh budak kecil di hadapan. “Apa kau cari mati, Bocah?” Kedua tangan besar dan berotot milik Bara, kini mengukung tubuh calon istri kecilnya. Ia bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya.Tisa menggeleng panik.“Lalu, bagaimana bisa kamu memanggilku Om? Huh! Padahal, wajahku ini adalah aset termahal yang sulit didapatkan oleh siapapun. Terus, punya apa kamu sampai bisa menghinaku, Bocah?”Tubuh Tisa bergetar ketakutan, tetapi dia bersikeras jika apa yang diucapkan tidaklah salah. Pandangannya naik dengan bibir sedikit mengerucut.
Kini, semua tatapan tamu undangan terarah pada perempuan bergaun seksi dengan potongan gaun berdada rendah hingga membuat Tisa khawatir, kalau isinya akan tumpah ruah. Tisa semakin dibuat melongo saat wanita itu datang, kemudian mencium pipi kanan dan kiri Bara, tepat di depannya. Tangannya semakin mengepal ketika wanita seksi itu bergelayut manja di tubuh sang suami. Dia hendak menegurnya, tetapi suara ceriwis wanita itu sudah menginterupsi duluan. “Sayang, kok kamu mau, sih, nikah sama bocah ingusan itu? Apa selama ini kamu gak puas memilikiku?” Tatapan wanita itu tertuju sinis, bahkan mencemooh ke arah Tisa. “Lihat saja tubuhnya yang bagaikan papan penggilasan itu! Dan, hei! Kenapa ukuran dadanya … Auh, jauh banget sama milikku!” “A-apa?” Tisa tertawa aneh ketika dirinya dikatai oleh orang yang tidak dikenal. Tatapannya beralih ke arah miliknya yang tertutupi oleh gaun. Miliknya memang tidak sebesar milik wanita gila itu. Namun, dia tetap tidak terima. Sementara itu, Bara ter
Tisa langsung memejamkan mata karena kedua tangannya dikunci di belakang tubuhnya. “Om, sadar! Aku ini adalah gadis udik, jelek, dan cuma buruh pabrik. Jadi, lebih baik Om cari yang lain aja,” racaunya ngawur. Bara mendengkus. Dia langsung menyentil kening istri kecilnya. “Buka mata kamu, Bocah!” Suara pria di depannya begitu menuntut. Tisa menggeleng. “Gak. Tisa gak mau! Om harus pakai baju dulu!” Asal Bara tahu, kalau dirinya juga sekeras batu. “Om ingat, yah! Aku ini masih kecil. Om gak boleh ngelakuin hal bodoh dan dituduh sebagai pedofil!” Bara terbahak. “Sayangnya kamu sudah legal untuk menikah, Bocah! Jadi, aku bukan pedof1l seperti yang kamu tuduhkan. Mengerti!” Dia tidak tahu jika gadis yang baru saja dinikahinya begitu polos, atau pura-pura polos. Dia tidak peduli. Bara lalu berjalan mundur dan membiarkan Tisa seorang diri. “Apa kamu lupa jika kita sudah sah menjadi suami istri? Huh!” Bukannya menjawab, Tisa justru sibuk menilai tubuh sang suami. Menurut Tisa, Bara ter
Bara mengabaikan teriakan dan tawa adiknya, atau tatapan dingin ayahnya. Matanya menyipit penuh peringatan ke arah Tisa yang terus menempel hingga membongkar jika mereka tak tidur seranjang semalam. “Menyingkirlah!” bisiknya di antara gemertak giginya.“Gak mau, Om!” Gadis itu menggeleng imut. Dia bahkan tak malu menarik wajah Bara dan mengecupnya di depan adik ipar, serta ayah mertuanya. “Ini hukuman buat Om karena udah ninggalin Tisa semalam,” sambungnya dengan mata menyipit. Tangan Bara mengepal di dalam saku celananya dan jangan lupakan juga tatapan sedingin kutub Utara ditujukan pada sang istri.Tisa mengabaikan tatapan membunuh dari Bara. Dia dengan semangat menarik tangan suaminya untuk duduk di kursi yang sengaja disiapkan, tepat berada di samping gadis itu. “Em, Om Suami mau makan apa? Biar Tisa ambilkan.” Gadis itu sudah memegang piring dan bersiap menyendok nasi untuk Bara, tetapi pria itu justru menolaknya.“Aku bisa ambil sendiri,” katanya datar.“No, no, no!” Tisa meng