Kini, semua tatapan tamu undangan terarah pada perempuan bergaun seksi dengan potongan gaun berdada rendah hingga membuat Tisa khawatir, kalau isinya akan tumpah ruah. Tisa semakin dibuat melongo saat wanita itu datang, kemudian mencium pipi kanan dan kiri Bara, tepat di depannya. Tangannya semakin mengepal ketika wanita seksi itu bergelayut manja di tubuh sang suami. Dia hendak menegurnya, tetapi suara ceriwis wanita itu sudah menginterupsi duluan. “Sayang, kok kamu mau, sih, nikah sama bocah ingusan itu? Apa selama ini kamu gak puas memilikiku?” Tatapan wanita itu tertuju sinis, bahkan mencemooh ke arah Tisa. “Lihat saja tubuhnya yang bagaikan papan penggilasan itu! Dan, hei! Kenapa ukuran dadanya … Auh, jauh banget sama milikku!” “A-apa?” Tisa tertawa aneh ketika dirinya dikatai oleh orang yang tidak dikenal. Tatapannya beralih ke arah miliknya yang tertutupi oleh gaun. Miliknya memang tidak sebesar milik wanita gila itu. Namun, dia tetap tidak terima. Sementara itu, Bara ter
Tisa langsung memejamkan mata karena kedua tangannya dikunci di belakang tubuhnya. “Om, sadar! Aku ini adalah gadis udik, jelek, dan cuma buruh pabrik. Jadi, lebih baik Om cari yang lain aja,” racaunya ngawur. Bara mendengkus. Dia langsung menyentil kening istri kecilnya. “Buka mata kamu, Bocah!” Suara pria di depannya begitu menuntut. Tisa menggeleng. “Gak. Tisa gak mau! Om harus pakai baju dulu!” Asal Bara tahu, kalau dirinya juga sekeras batu. “Om ingat, yah! Aku ini masih kecil. Om gak boleh ngelakuin hal bodoh dan dituduh sebagai pedofil!” Bara terbahak. “Sayangnya kamu sudah legal untuk menikah, Bocah! Jadi, aku bukan pedof1l seperti yang kamu tuduhkan. Mengerti!” Dia tidak tahu jika gadis yang baru saja dinikahinya begitu polos, atau pura-pura polos. Dia tidak peduli. Bara lalu berjalan mundur dan membiarkan Tisa seorang diri. “Apa kamu lupa jika kita sudah sah menjadi suami istri? Huh!” Bukannya menjawab, Tisa justru sibuk menilai tubuh sang suami. Menurut Tisa, Bara ter
Bara mengabaikan teriakan dan tawa adiknya, atau tatapan dingin ayahnya. Matanya menyipit penuh peringatan ke arah Tisa yang terus menempel hingga membongkar jika mereka tak tidur seranjang semalam. “Menyingkirlah!” bisiknya di antara gemertak giginya.“Gak mau, Om!” Gadis itu menggeleng imut. Dia bahkan tak malu menarik wajah Bara dan mengecupnya di depan adik ipar, serta ayah mertuanya. “Ini hukuman buat Om karena udah ninggalin Tisa semalam,” sambungnya dengan mata menyipit. Tangan Bara mengepal di dalam saku celananya dan jangan lupakan juga tatapan sedingin kutub Utara ditujukan pada sang istri.Tisa mengabaikan tatapan membunuh dari Bara. Dia dengan semangat menarik tangan suaminya untuk duduk di kursi yang sengaja disiapkan, tepat berada di samping gadis itu. “Em, Om Suami mau makan apa? Biar Tisa ambilkan.” Gadis itu sudah memegang piring dan bersiap menyendok nasi untuk Bara, tetapi pria itu justru menolaknya.“Aku bisa ambil sendiri,” katanya datar.“No, no, no!” Tisa meng
Melihat Bara yang tak bergerak, atau beritikad balik badan, akhirnya dia berjongkok. Memeluk dirinya sendiri. “O-om, kok, gak sopan banget, sih? Om mau modus, kan?” tanyanya dengan wajah memerah menahan malu. Bara gelagapan. Dia langsung berpaling, berdeham, lalu memunggungi Tisa. Detak jantungnya bertalu hingga dia merasa sesak. Namun, bukan Bara namanya jika tak pandai menutupi keadaan. Masih membelakangi Tisa, dia pun berkata, “badan kerempeng begitu gak bakalan bikin aku nafsu! Lagian, aku balik ke sini cuma mau ambil handuk, kok!” kilahnya lalu pergi. “Dasar Om mesum!” teriak Tisa sebelum pintu kamar mandi ditutup oleh Bara. Sementara itu, Bara sudah berada di kamar. Tatapannya melihat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Lekuk tubuh istrinya masih terngiang jelas dalam pikirannya. Bohong jika dia mengatakan tak terangsang. Namun, dia tak mungkin terang-terangan mengatakannya pada Tisa. Dia lalu melirik ke arah bagian bawah, celananya terasa sesak. Bara memejamkan mata d
“Bisa gak, sih, gak usah bikin kegaduhan di kamarku?!” Kehadiran Bara yang tiba-tiba membuat Tisa terlonjak kaget. Gadis Itu langsung duduk dengan benar. Namun, dia membuang muka ketika ditatap oleh sang suami. “Aku kan udah bilang sama kamu, kalau lapar ya, minum! Jangan makan!” Suara Bara kembali terdengar. Tisa yang sudah bosan diolok-olok segera angkat bicara. “Di mana-mana, kalau laper ya, makan, Om Suami. Om, tuh yang aneh!” Tisa balas mencibir. “Om itu kan udah tua, usianya jelas lebih dari Tisa. Tapi, masa gitu doang aja gak ngerti.” Bara memejamkan mata, menghindar dari tatapan seindah malam milik Tisa. Maniknya gelap dan Bara tidak suka. Ada perasaan aneh jika dia terus memperhatikannya. “Waktu aku sesusia kamu, aku terlalu sibuk belajar sampai gak tahu apa namanya jajan.” Tisa mencibir. “Yakin begitu?” Bara menaikkan satu alisnya. “Maksud kamu apa?” Tangannya yang ada di dalam saku celana gatal ingin menoyor kepala istrinya yang songong. “Om Suami kan pasti udah k
“Eits! Kakak-beradik gak boleh berantem!” Tisa melerai. “Lagian, ya, Tuan. Terserah kami berdua dong, mau manggil apa. Bocah, kek. Om, kek. Ya, itu terserah kami. Bagi Tisa,” ujarnya melirik ke arah sang suami, “Om Suami itu adalah lelaki yang sangat keren, ganteng, bahkan dia begitu baik sama Tisa!” Tisa berkata seperti itu karena mengingat bagaimana Bara yang mau menuruti kemauannya. Buktinya, sang suami memberinya satu kantong kresek cemilan. Baik, kan? Pujian itu ternyata membuat Bara besar kepala. Hidungnya bahkan langsung kembang kempis di pelukan sang istri. Satu sudut bibirnya menyeringai menatap Danandra. “See, apa perlu aku mengumumkan lagi kepadamu jika kami ini adalah pasangan suami-istri?” Bara terlihat bangga. Danandra melihat ke arah Tisa, lalu abangnya dengan kecewa. Namun, secepat kilat ekspresi itu berubah ceria ketika melihat lagi wajah gadis cantik di depannya. “Manis. Jika abangku galak dan tidak memperlakukanmu dengan baik, aku selalu ada di belakangmu, ok!”
Tanpa berbalik, Bara menjawab, “apa, sih? Kamu gak usah deket-deket aku, deh! Kamu itu bau!” “Bau?” Tisa kemudian membaui dirinya sendiri dengan hidung dienduskan. Namun, ia pikir tidak ada yang janggal. Ia tak menambahkan apa pun pada tubuhnya, bahkan parfum pun masih sama. Tisa menoleh mendongak, menatap sang suami yang tampak masih sibuk menutup hidung. Sekali lagi ia membaui bagian bahu dan lengannya. “Gak bau, kok, Om,” balasnya dengan wajah polos. “Tapi, kamu bau!” “Em, apa Om gak suka sama bau parfum Tisa?” Suara gadis itu terdengar bertanya-tanya. “Padahal, Tisa udah mandi loh, Om, tadi pagi. Jadi, kayaknya gak mungkin bau, deh!” Bara melirik Tisa dari balik bahunya. “Bukan parfummu, tapi bau micin yang ada di sekitarmu membuat hidungku gatel, Bocah!” balasnya, lalu kembali bersin. “Aish! Makanya ‘kan aku tadi bilang ke kamu, kalau aku tidak suka jika ada serpihan makananmu di kamar ini!” “Ahh, maaf, Om. Tisa gak tau.” Suara Tisa terdengar bersalah. “Tisa pikir, Om suam
“To-long … j-jangan! T-tisa gak mau, Paman. Jangan! S-sakit … u-udah, Ti-sa gak ku-at, Paman!” Tubuh gadis yang ada di atas ranjang terlihat begitu gusar. Adalah Tisa Ratu Ayu, matanya yang tertutup seolah membuktikan jika dirinya sedang mengalami mimpi buruk. “J-jangan, Paman! Sakit… Ti-sa janji gak akan bantah lagi!” rintih gadis itu dengan mata tertutup dan menangis. Tiba-tiba, ia berteriak, “Ampun, Paman!” Tisa terbangun. Mata gadis itu membelalak lebar dengan deru napas yang memburu. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Ia lalu menarik kedua kakinya, memeluknya dengan air mata yang mengalir deras. Tiba-tiba, telinganya seolah-olah mendengar suara bentakan dari sekitar sehingga membuat gadis itu menjerit. “Tidak! T-tisa gak mau, Paman! T-tisa janji akan menuruti ucapan Paman. Tapi, jangan sakiti Tisa lagi! Ini sakit, Paman!” Ia tergugu sambil menangis. Dalam bayangan Tisa, pamannya sedang memegang rotan, memukulnya tanpa ampun dengan mata memerah, mengancam seolah henda