Bagai makan buah simalakama Begitulah kondisiku saat iniJujur salah, diam pun rasanya serba salahLantas, aku harus apa?***Bang Habib masih memandangku lewat pantulan cermin, hingga tatapan kami bersirobok. Mata elang itu seakan mengunci pergerakan sendi di seluruh tubuh ini. Aku tidak dapat bergerak, lidah pun teras kelu. Bahkan, aliran darah seakan berhenti, seiring waktu yang sekaan berhenti berputar.Bang Habib membalikkan tubuhku, sehingga kami jadi berhadapan dengan jarak dekat. "Kamu hamil, Ra? Jawab Abang!" Dia berteriak dengan napas memburu. Aku menunduk sembari mengatur debaran jantung, lalu menjawab pertanyaannya dengan merangkai kebohongan lain. "Abang jangan mengada-ngada. Asam lambung Ra naik akhir-akhir ini."Dia memicingkan mata, lalu menghela napas beberapa kali. Mungkin untuk mengurai emosi yang ada. "Benarkah?" Aku hanya mengangguk menanggapi, tentu saja bibir masih melengkung membentuk senyum tipis.Sekarang mungkin aku bisa berbohong, tetapi tidak untuk ke
Waktu berhentilah barang sejenak, lalu berputar kembali ke masa lalu. Aku bingung saat mata dengan bola berwarna cokelat madu itu menuntut jawaban dari pertanyaan yang dia lontarkan. Dia memutar tubuhku agar kami saling berhadapan. Dia yang tidak bisa dibohongi dengan alasan apa pun. Ah, mengapa jadi begini?"Kita harus bicara!" Ucapannya yang tegas dan.tidak terbantah, membuat kaki ini melangkah pasrah saat dia menyeret tanganku entah ke mana.Melewati ruang keluarga, semua keluarga menatap heran dan penuh selidik. Meski begitu, orang yang menyeret tanganku dengan lembut ini tidak memedulikan saat Mama Hani bertanya kami mau ke mana. Dia mengajakku ke lantai dua. Lebih tepatnya menuju kamarku."Masuk!" Kembali dia memberi perintah setelah pintu kamar dia buka. Kamarku ini memang tidak pernah dikunci agar asisten rumah tangga dapat membersihkan secara berkala. Mama sangat memercayai mereka, begitu pula aku.Kamar yang didominasi warna biru mengembuskan hawa segar saat dia menyalakan
Aku mematut diri di depan cermin tolet jati berwarna hitam. Menyapu pipi dengan blush on agar tidak pucat. Hari ini aku ada janji dengan Mbak Viona dan untuk pekerjaanku, pagi tadi aku telah meminta izin pada Profesor Lauren dengan alasan masih belum fit. Bukannya aku berbohong, saat subuh tubuh ini menggigil seperti orang meriang. Belum lagi rasa pusing dan mual yang menyerang, hingga membuat tubuhku semakin lemah. Kemarin, Mbak Viona belum sempat mengatakan rencana karena kedua ibuku menyusul ke kamar. Kami terpaksa bersandiwara. Adik kandung Bang Habib itu meminta aku berbaring di ranjang setelah membuka tunik yang aku kenakan dan membalur tubuhku dengan minyak kayu putih yang tersimpan di laci.Bersusah payah aku dan Mbak Viona menyembunyikan sisa air mata dengan mengaplikasikan bedak di wajah. Untung saja, kedua perempuan bergelar kakak adik itu tidak curiga. Mereka justru khawatir padaku. Mbak Viona memberi alasan bahwa aku masuk angin dan asam lambung kumat, sehingga harus d
Aku masih menanti dengan perasaan gelisah, tetapi perempuan cantik yang duduk di hadapanku ini justru tersenyum penuh teka-teki. Apa yang dia rencanakan? Mengapa dia menanyakan tentang Tommy? Berbagai tanya berkelebat dalam pikiran, namun aku tidak menemukan jawaban apa pun.Mbak Viona tertawa kecil, lalu berkata, "Telepon Tommy sekarang! Suruh dia menyusul kita ke sini. Bukannya dia sekarang bersama laki-laki bodoh itu? "Untuk apa, Mbak?" tanyaku bingung.Mbak Vioana menjentikkan jari, lalu menjawab, "Lakukan saja. Kamu akan tahu nanti."Aku semakin mengernyitkan dahi, tetapi tetap mengikuti perintah Mbak Viona. Gawai aku ambil dari sling bag yang aku letakkan di atas kursi kosong. Nama Tommy aku cari dalam daftar kontak benda pipih berwarna hitam ini dan mulai melakukan panggilan telepon. Pada panggilan ketiga, laki-laki yang gemar becanda itu menjawab panggilan. Mungkin dia sibuk dengan pekerjaannya."Mas Tonny di mana?" Pertanyaan pertama setelah aku mengucap salam."Aku baru
Atmosfer terasa begitu panas. Aura permusuhan terpancar jelas dari laki-laki bergelar suami ini. Dia hanya berdiri tegak tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Memandang Tommy seperti ingin menerkam saja. Sementara itu, Mbak Viona dengan santainya tertawa sambil memainkan gawai. Entah apa yang dia lihat dari benda pipih itu. Sejak Bang Habib di sini, matanya tidak lepas dari gawai.Aku tidak berani menatap Bang Habib. Hanya melirik dari ekor mata saja seraya memilin jari di atas paha. Mendadak aku menjadi tidak enak hati karena melibatkan Tommy di dalam permasalahan kami. Tetapi, bukannya aku tidak sepenuhnya salah. Dia yang meminta agar aku lebih dekat dengan Tommy. Lantas, mengapa dia tidak terima.Tommy berdeham dan tegak berdiri. "Pak Habib, silakan duduk." Tommy bergeser dan meminta Bang Habib agar duduk di sampingku. Meja ini, hanya menyediakan empat kursi berbahan stainless steel saja. Aku dan Tommy duduk bersisian, tapi tetap berjarak. Sementara Mbak Viona duduk sendiri di seb
Mendekatlah! Setelah itu aku akan memasang jarakSeperti yang biasa kau lakukan padakuSeperti itu pula aku membalas meski hanya sejenak Aku hanya ingin menikmati permainan yang kau mulai dulu*** Benarkah yang sudah aku lakukan? Entah mengapa, aku merasa ragu mengikuti rencana Mbak Viona meski aku tahu dia tidak mungkin menjebakku. Hanya saja, aku takut permainan ini justru memperburuk keadaan yang sudah pelik.Kami telah tiba di Pakuwon Mall sejak setengah jam lalu. Mbak Viona terus meminta agar aku mengikuti langkahnya menuju salah satu butik yang menyediakan kebutuhan wanita dewasa. Kaki gemetar saat melewati pintu masuk berbahan kaca tebal ini. Sejak menikah, aku tidak pernah memakai pakaian haram itu. Lagian, pernikahan kami jauh berbeda dari pasangan lain. Jadi untuk apa aku memakai pakaian tipis dan menerawang itu?"Ini, ini dan ini." Dengan lincah Mbak Viona memiliki beberapa lingerie berbagai warna. Aku menelan saliva membayangkan saat memakai pakaian itu. Belum dicoba, a
Dia semakin maju dan membuat punggungku membentur daun pintu. Embusan napasnya menggelitik wajah, sehingga membuat bulu kudukku meremang. Apa mau dia? Mengapa dia jadi posesif? Seharusnya aku senang, tapi entah mengapa rasanya sudah hambar. Kata Mbak Viona, sudah saatnya aku yang memegang kendali."Biasanya kamu nggak pernah mengabaikan teelpon Abang, Ra. Tapi hari ini kamu berbeda." Suaranya terdengar berat dan serak. Aku coba menghela napas agar tidak terbuai dengan sikapnya. Perlahan aku mendongak dan menatap iris mata elang lelakiku ini. "Abang tahu kalau perempuan sudah di salon, maka dia bisa melupakan banyak hal. Bukannya Abang juga begitu kalau lagi menghabiskan waktu di luar?" Aku sengaja menyindir Bang Habib seperti saran Mbak Viona."Ra mau mandi dulu. Gerah," ujarku seraya mendorong dada Bang Habib. Dia masih bergeming tanpa menjawab sindiranku. Tersinggung atau sedang berpikir, mungkin. "Tapi kita belum bicara, Ra. Abang kan udah bilang kalau ada hal penting yang ingin
Bicaralah dengan rasa tanpa amarahGenapkan cinta tanpa prasangka Apalagi praduga yang membuat angkaraKemudian, genggam erat tanganku dengan simpul asmara -Rara Audy Sanjaya- "Ka-kamu tidur pakai baju laknat ini?" tanya Bang Habib terbata-bata. Aku mengulas senyum tipis, lalu menjawab acuh tak acuh sambil mengedikkan bahu. "Lagi pengin aja. Lagian, malam ini gerah." Aku sengaja menekan kata gerah agar dapat melihat reaksi Bang Habib yang ternganga. Mungkin dia heran karena malam ini cuaca cukup dingin, apalagi ditambah pendingin ruang.Bang Habib masih bergeming. Matanya masih memandang lekat tubuhku yang dibalut lingerie seksi ini. Aku tertawa puas di dalam hati. Benar kata Mbak Vioana, laki-laki itu seperti kucing yang tidak akan menolak ikan asin. Walaupun sedikit konyol, itulah kenyataanya. Bahkan, aku dapat melihat jelas dia menelan saliva dengan susah payah."Kamu tahu, Ra? Perempuan hamil itu jauh lebih seksi dibanding sebelum dia hamil. Apalagi kalau perut sudah mulai me