Suara langkah lalu-lalang dan riuh rendah dari banyak pengunjung di kafe tampak tidak mempengaruhi dua manusia yang sedang duduk saling berhadapan. Pandangan mereka tertunduk ke arah cangkir di atas meja, sampai salah satu di antaranya akhirnya memecah kesunyian itu.
"Bagaimana kabarmu?" Pertanyaan itu dilontarkan ragu-ragu, tapi penuh rasa ingin tahu. Mendongak, wanita yang tadinya tertunduk itu mengerjapkan matanya yang bulat dan tersenyum lembut. Perlahan, ia menyenderkan punggungnya ke kursi di belakangnya. Kedua tangan di pangkuannya. "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya. Kamu sendiri, gimana kabarnya?" Pria tampan itu sejenak terdiam, tapi kemudian senyuman mulai muncul di bibirnya. "Aku juga baik-baik saja." Keduanya berpandangan dan saling memberikan senyuman, seperti teman lama. Wanita bernama Ema itu mengambil kopinya dan hampir menyesapnya saat terdengar lagi suara si pria. "Kamu sudah nikah?" Ada jeda sesaat ketika Ema menatap pria di depannya. Ia kemudian meminum kopinya dan meletakkan lagi cangkirnya ke atas meja dengan sangat pelan. Wanita itu masih tersenyum saat menjawab pertanyaan itu, "Belum." Jakun si pria sedikit naik turun ketika mendengarnya. "Kenapa?" Barulah ketika mendengarnya, senyuman di bibir Ema mulai memudar. Tatapannya menajam. "Kenapa kamu tanya? Itu bukan urusanmu." Nada suara Ema yang tajam membuat pria itu terdiam. Matanya bergerak-gerak menatap wanita itu. "An. Aku tahu kamu masih marah karena aku memutuskanmu dulu. Aku cuman khawatir kalau kamu-" Tawa geli yang rendah muncul dari tenggorokan Ema dan ia menutup mulut dengan tangannya saat melihat ekspresi pria di depannya tampak mengeras. "Ehm. Maaf. Aku kelepasan." Tidak mau melanjutkan lagi pembicaraan, Ema meraih tasnya dan mengeluarkan dompetnya. "Mau apa kamu, An? Aku yang akan-" Tidak menggubris perkataan itu, Ema meletakkan beberapa lembar uang berwarna biru ke meja dan berdiri. "Maaf. Tapi aku tidak mau berhutang. Aku pulang duluan." Ia baru saja akan melangkah saat tangannya ditahan pria itu. "Tunggu dulu, An! Aku-" "Lepaskan tanganmu, DIt. Atau aku teriak di sini." Kepala Adit menoleh ke sekelilingnya dan pria itu pun melepaskan cengkeramannya. Tampak ia menghela nafasnya berat dan berdiri mendekat ke arah wanita itu. "Andie, aku belum selesai membicarakan mengenai masalah kita dulu. Aku ingin-" Ema memundurkan tubuhnya dan membuatnya berada cukup jauh dari pria di depannya. "Masalah kita dulu? Masalah kamu selingkuh dan menikah dengan wanita lain? Masalah keluargamu yang sudah menghinaku? Atau masalah kamu belum membayar hutang sepeser pun padaku, padahal aku yang membantumu untuk skripsi dan penelitianmu? Belum lagi hobi mobil bekasmu? Masalah yang mana, Dit?" Perkataan itu disemburkan dengan nada pelan dan sangat lembut. Sama sekali tidak ada kemarahan, yang malah membuatnya terasa lebih menakutkan. "Andie..." Tangan Ema yang menggenggam tasnya terasa mengetat, tapi bibirnya masih tersenyum lembut. "Aku sudah move on, Aditya. Selama 7 tahun ini, aku sudah tidak lagi mengingatmu. Aku sudah sibuk dengan hidupku sendiri, dan tidak punya waktu mengingat masa lalu tidak berguna. Jadi kamu salah kalau kamu pikir aku belum nikah karena kamu. Aku juga tidak butuh rasa kasihanmu. Kamu urus saja keluargamu." Kakinya hampir saja melangkah, saat Ema menoleh kembali pada pria yang masih mematung itu. Kali ini, suara wanita itu terdengar tegas dan tidak terbantah. "Jangan mengajakku ketemuan di luar lagi seperti ini. Urusan kita sebatas pekerjaan. Tidak lebih. Kecuali kalau kamu berniat selingkuh dari isterimu." Bola mata Adit sedikit melebar mendengar kata-kata ketus itu. Ia hanya bisa terpana menatap Ema berjalan menjauh dengan tubuh yang tegak dan sama sekali tidak menoleh lagi. Sampai di mobilnya, Ema mencengkeram kemudinya dan menggeram kasar. Ia menengadahkan kepalanya tinggi dan menutup matanya erat-erat. Salah satu telapak tangannya memukul kemudinya kencang. Betapa ia sangat ingin menjerit dan memukul sesuatu saat ini! Ia butuh beberapa saat untuk menenangkan diri. Setelahnya, ia mengambil ponsel dan menggeser layarnya. Puas dengan yang dicarinya, ia melempar benda itu kembali ke dalam tas dan menyalakan mobil. Memasukkan persneling ke posisinya, Ema bergumam rendah, "Sudahlah, Em. Pria s*alan itu tidak perlu kau ingat-ingat lagi! Dia tidak pantas untuk diingat!" Selang beberapa waktu kemudian, Ema telah berada di salah satu gedung bioskop yang tidak terlalu ramai di kota itu. Tampak ia mengamati poster-poster di sana dan memutuskan menonton salah satunya. Melihat Ema yang sedang berjalan mendekat, petugas di baliknya tersenyum sumringah. "Malam, kak! Lama ga ketemu." Membalas senyuman itu, Ema terkekeh pelan. "Iya. Kebetulan ada film bagus. Rame malam ini?" Senyuman si petugas lebih lebar. "Cukup rame, kak. Kakak mau nonton film ini juga?" "Iya. Masih ada sisa?" Mata Ema menelusuri layar yang ada di depannya antusias. "Masih cukup banyak, kak. Kakak mau duduk di mana?" Melihat sudah ada beberapa bangku yang terisi, Ema akhirnya menunjuk satu bangku yang ada di samping lorong. Tampak deretan di sampingnya masih cukup kosong. "Di sini, mba. Satu." "Film-nya sudah dimulai, kak. Jadi nanti kakak langsung masuk saja ya." "Oke, mba. Makasih." Selesai transaksi, ia membeli sekotak popcorn dan juga sebotol minuman dingin. Suhu yang ternyata cukup rendah dalam studio, membuat Ema menyesal membeli minuman dingin. Ia mungkin akan menggigil nanti, terutama karena lupa membawa jaketnya. Setelah mencari bangkunya dibantu petugas, wanita itu pun duduk di kursinya dan mulai menikmati layar di depannya. Matanya sejenak berkelana menatap sekitarnya dalam suasana gelap. Terdapat cukup banyak pasangan yang menonton di Jumat malam ini. Ia baru saja akan menyuapkan popcorn-nya ke mulut saat seseorang tiba-tiba saja berdiri di sampingnya. "Maaf. Permisi." Suara pelan pria itu terdengar serak dan berat. Aksennya familiar. "Oh ya. Silahkan." Sedikit menggeser kakinya, Ema baru sadar kalau pria itu ternyata cukup tinggi dan besar. Kaki mereka saling bergesakan, sampai lelaki itu duduk di sampingnya. Hawa panas langsung terasa mulai menyebar ketika bahu mereka bersentuhan. Tidak nyaman, Ema menggeser tubuhnya ke samping tapi tetap saja, bahu mereka kembali saling menempel. Ia baru saja akan meminta pria itu sedikit bergeser, saat pasangan lain kembali harus melewati bangku Ema. Deretan itu ternyata cukup terisi penuh dan saat mengamati lajur bangkunya, barulah ia dapat melihat wajah lelaki di sampingnya dengan lebih jelas. Siluetnya mempertegas garis wajah pria itu yang kaku dan tajam. Suara Ema terasa tercekat saat ia refleks mencicit, "Pak Ilyas?" Kepala lelaki itu menoleh. Matanya yang kelabu muda, tampak memantulkan bayang-bayang gambar yang berseliweran di layar besar bioskop itu. Salah satu sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. "Ema?" S*al!"Ema? Tumben ketemu di sini."Mata Ema mengerjap mendengar panggilan akrab itu. Wanita itu berusaha menampilkan senyuman simpul profesional, untuk menutupi perasaan panas yang mulai muncul di d*danya.Kenapa dari sekian banyak orang, harus ketemu orang ini lagi sih? Tadi Adit, sekarang orang ini?"Hem. Iya, pak."Enggan memperpanjang, Ema mengalihkan perhatian kembali ke layar. Hatinya masih kesal saat mengingat kejadian menjengkelkan siang tadi ketika meeting kuartal dengan pria ini. Bahu wanita itu sedikit naik saat ia menarik nafas dalam-dalam, dan mulai menyuapkan popcorn-nya.Selama beberapa saat, konsentrasi wanita itu terpusat penuh pada layar bioskop. Fokusnya terganggu saat merasakan pria di sampingnya mulai bergerak-gerak gelisah dan makin memepet ke arahnya.Jengkel, kepala Ema menoleh dan ia berbisik rendah, "Kenapa sih, pak?"Wanita itu sedikit terkejut saat Ilyas mendekatkan wajah ke arahnya. Ema dapat merasakan hembusan udara hangat dan berbau mint saat pria itu balas
= Menara TJ Corp. Kota J. Hari Senin =Kejadian minggu kemarin seolah mimpi bagi Ema, saat ia menghadapi kenyataannya di awal minggu."Selamat pagi, An."Tubuh Ema menegak kaku. Wajahnya kaku. Ekspresinya kaku, tapi tampak senyuman profesional di bibirnya. Salah satu tangannya terulur ke depan dan ia menjabat tegas tangan pria itu."Selamat pagi, pak Aditya. Selamat bergabung dengan keluarga TJ Corp."Sapaan formal tapi sangat ramah itu tampak membuat Adit sedikit terkejut, dan ia tersenyum canggung."Ya. Ya. Terima kasih juga telah membantu proses rekrutmen saya hingga lancar semuanya."Melepas genggamannya, kepala Ema sedikit meneleng dan ia kembali tersenyum simpul."Saya hanya menjalankan instruksi dari manajemen."Sebelum Adit dapat menjawab, tatapan Ema terarah pada bawahannya yang berada di samping pria itu."Sudah dikenalkan ke departemen lainnya, Ayu? Ke para direksi barangkali?""Iya bu. Saya baru mau mengajak pak Adit keliling sekarang. Pak Ilyas juga sepertinya baru datang
"Aditya? Ada keperluan apa di lantai ini?"Pria yang menjabat sebagai Direktur Operasional itu memandang bertanya pada Adit yang terlihat gugup."Se- Selamat siang pak Ilyas. Sa- Saya... Kebetulan kami bertemu di lift pak."Bola mata Ilyas bergantian menatap Ema dan Adit. Salah satu jarinya menunjuk kedua orang di depannya."Kalian berdua saling mengenal?"Tersenyum kikuk, Adit keluar dari lift dan menatap Ema yang mengikuti di sampingnya."Eh, ya. Kebetulan saya sudah mengenal Andie cukup lama pak. Tapi sudah lama kami tidak bertemu."Alis Ilyas yang tebal terangkat tinggi dan pria itu meletakkan satu tangan di dagunya. "Oh?"Senyuman Ema terasa kaku di bibirnya. "Kami saling mengenal saat jaman kuliah dulu pak Ilyas."Memasukkan kembali kedua tangannya ke saku celana, kepala Ilyas mengangguk kecil. Ia kembali menatap Adit masih sambil tersenyum simpul."Kalau begitu, semoga Andromeda bisa membantumu cepat adaptasi di perusahaan ini, Aditya."Senyuman Adit tampak gembira. "Ya, pak Il
Pemandangan mengejutkan itu membuat Ema refleks berdiri dari duduknya. Tampak si wanita yang baru datang itu masih bergelayutan di leher Ilyas. Pria itu menghindar saat wanita itu berusaha mencium bibirnya dengan menjauhkan tubuh mereka sepanjang lengannya."Stop, Di!"Wajah Ilyas terlihat sedikit merah dan ekspresinya jengkel. Pria itu mengusap pipinya kasar dan semakin kesal saat menemukan jejak lipstik di sana. Ia baru saja akan ke mejanya saat sadar masih ada Ema di sana. Mata mereka terkunci beberapa saat."Sebaiknya mungkin saya pergi sekarang pak."Menarik tisu dari mejanya, pria itu mengangguk sambil menyeka pipinya. Bibirnya tersenyum kecil."Saya akan memanggilmu lagi. Pembicaraan kita tadi belum selesai."Berusaha bersikap profesional, Ema mengangguk. Dan setelah tersenyum singkat pada wanita baru itu, ia pun langsung keluar dari ruangan Ilyas.Saat menekan tombol lift, kepala Ema menoleh ke ruangan Ilyas yang tertutup. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, tapi akhirny
Tampak kedua pasang mata menatap kepergian mobil sedan di depan mereka. Selama beberapa detik, tidak ada yang bicara sampai terdengar suara serak Ilyas memecah kesunyian di basement itu. "Kamu yakin sudah tidak apa-apa?" "Ya pak. Saya sudah tidak apa-apa." Rahang Ilyas mengeras, menatap wanita di depannya yang masih menunduk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana panjangnya. Terdengar hembusan nafas yang keras dari cuping hidung pria itu. "Kenapa ya, kok rasanya aku tidak percaya ceritamu tadi? Kamu yakin tadi hanya ketakutan karena salah mengira Adit penjahat? Kamu tidak bohong?" Mata Ema mengedip cepat tapi tetap menunduk. Ia akan sulit bersilat lidah kalau menatap langsung lelaki di depannya, yang seperti sedang menginterogasinya. "Saya tidak bohong pak. Tadi saya akan ke mobil saat mendengar suara langkah orang. Saya panik. Itu saja." "Kamu yakin?"
Dalam ruangan Herman, tampak Ilyas duduk nyaman di kursi di depan rekan kerjanya itu. Dengan santai, pria itu melemparkan sebuah map berisi beberapa berkas ke atas meja."Apa ini?""Kau lihat saja sendiri."Kening Herman berkerut saat ia menelusuri cepat berkas di tangannya. Setelahnya, ia menatap Ilyas."P*lecehan? Salah satu karyawan kita?"Kepala Ilyas meneleng dan ia menyangga dagunya dengan satu tangan. Tatapannya mengarah ke arah lain."Anak baru join kemarin. Aditya Prabukusuma. Kau pasti mengenal yang satunya. Andromeda. Bawahanmu."Tampak Herman sulit menelan. Ia kembali menatap berkas di tangannya."Kau yakin? Sepertinya, wajahnya tidak mirip Aditya."Mata Ilyas menatap tajam Herman. "Aku saksinya."Dua rekan kerja itu bertatapan sebentar, sampai Herman menghela nafasnya berat. Pria itu menutup berkas."Ilyas. Masalah Aditya ini-""Dia punya backing siapa? Kenapa kau
= Kantor TJ Corp. Di salah satu ruangan meeting. Hari Jumat =Pertemuan itu sudah berlangsung selama 20 menit, tapi pikiran Ilyas melayang ke mana-mana.Pria itu menatap lelaki di depannya yang sedang mempresentasikan rencana kerjanya 2 tahun ke dapan. Beberapa orang menunjukkan tampang puas dan menganggukkan kepala. Tanya jawab pun berlangsung lancar dan tidak ada kendala, sampai tatapan Adit berserobok dengan matanya sendiri."Pak Ilyas. Untuk menunjang kelancaran rencana kerja ini, dukungan dari tim Anda sangat kami perlukan. Dengan adanya aplikasi mobile yang lebih representatif, tentunya user akan mendapatkan experience yang berbeda. Mereka bisa langsung melakukan pembelian aset investasi tanpa harus mengunduh aplikasi lain. Dalam satu aplikasi, semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan sempurna."Perkataan itu belum direspon Ilyas. Pria itu malah menatap Adit lebih intens dan tanpa sadar, tangannya mengepal kencang di atas meja sampai bu
= Bioskop A. Jam 07.00 malam =Kaki bersepatu pantofel itu mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Beberapa kali pria itu menatap ke pintu kaca yang terdengar membuka, dan harus merasa kecewa setiap kalinya.Menatap ke arah jam tangannya, Ilyas mend*sah pelan. Sepertinya tiket ini harus dia buang.Kepalanya masih menunduk saat matanya menangkap sepasang sepatu kets yang berhenti di depannya. Pria itu menengadahkan kepalanya dengan gembira."Ema. Kamu datang?"Raut pria itu yang ceria membuat Ema tertegun sebentar. Wanita itu akhirnya mengangguk."Saya sudah janji akan datang."Pria itu berdiri. Tubuhnya yang tinggi menjulang di depan Ema yang hanya sebatas dagunya."Kamu tidak bawa mobil, kan?"Kening wanita itu sedikit berkerut, tapi ia lagi-lagi mengangguk."Ya. Kebetulan mobil saya di bengkel. Saya pakai taksi ke sini."Salah satu tangan Ilyas terangkat dan menunjukkan dua lembar tiket
= Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu
"Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang
= Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa
"Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.
Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"
Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare
= Sekitar dua tahun kemudian. Kota B. Indonesia = Tampak seorang pria sedang bermain dengan anak perempuan di teras depan sebuah rumah sederhana. Wajah pria itu terlihat gembira dan bahagia saat memeluk balita itu. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti balita yang baru belajar jalan tersebut dan saat anak itu hampir jatuh, lelaki itu dengan sigap memeluknya. "Ups. Hati-hati, Nana..." Anak itu hanya tertawa, memperlihatkan gusinya yang masih ompong. Melihat itu, sang pria itu hanya tertawa geli dan memeluk anak itu erat-erat di tangannya. "Adit." Panggilan itu membuat Adit menoleh, masih tersenyum. Ia langsung berdiri dan memangku balita itu. "Papih." Sangat sopan, Adit membungkuk dan mencium punggung tangan pria tua yang pernah menjadi mertuanya.
= Salah satu taman bermain. Kota B. Indonesia = "Bagaimana kabarmu?" Pria yang duduk di depannya itu mengangguk. "Baik. Kamu sendiri?" "Aku juga baik..." Tatapan keduanya bertemu dan terlihat senyuman sendu dari mereka berdua. Mata pria itu turun dan menatap perut wanita di depannya yang tampak membesar. Bola matanya terlihat sedikit berair dan lelaki itu mengerjapkan matanya cepat. Suaranya terdengar pelan saat bertanya, "Kapan kamu lahiran?" "Sekitar 2 minggu lagi." Kepala pria itu mengangguk dan ia menelan ludahnya. Wajahnya sedikit memerah. "Maafin aku, Min... Kalau aku tahu..." Sesaat keduanya terdiam. Mimin menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya belum sampai setahun lalu. Sama seperti lelaki itu, ia menundukkan kepalanya.
"Bagaimana isteri saya dok?" Pertanyaan itu membuat sang dokter menaikkan salah satu alisnya. "Kalau Anda mau menoleh sedikit, Anda bisa melihat kondisi isteri Anda langsung, Tuan Hagen." Kepala Ilyas masih berpaling ke arah lain. Kedua matanya menutup erat. "Sa- Saya ga bisa dok! Saya ga bisa lihat dia kesakitan!" "Tiap wanita yang melahirkan pasti kesakitan, Tuan. Kalau keenakan, itu namanya sedang org*sme." Candaan itu sama sekali tidak membuat pria tinggi itu tersenyum. Wajahnya pucat dan berkeringat. Teriakan pendek wanita di sampingnya membuat sang dokter kembali konsentrasi. "Apa sudah keluar?" "Masih kepalanya." Kembali teriakan itu terdengar dan Ilyas sedikit melirik takut-takut. "Sudah keluar?" "Kelihatan bahunya."