Tampak kedua pasang mata menatap kepergian mobil sedan di depan mereka. Selama beberapa detik, tidak ada yang bicara sampai terdengar suara serak Ilyas memecah kesunyian di basement itu.
"Kamu yakin sudah tidak apa-apa?" "Ya pak. Saya sudah tidak apa-apa." Rahang Ilyas mengeras, menatap wanita di depannya yang masih menunduk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana panjangnya. Terdengar hembusan nafas yang keras dari cuping hidung pria itu. "Kenapa ya, kok rasanya aku tidak percaya ceritamu tadi? Kamu yakin tadi hanya ketakutan karena salah mengira Adit penjahat? Kamu tidak bohong?" Mata Ema mengedip cepat tapi tetap menunduk. Ia akan sulit bersilat lidah kalau menatap langsung lelaki di depannya, yang seperti sedang menginterogasinya. "Saya tidak bohong pak. Tadi saya akan ke mobil saat mendengar suara langkah orang. Saya panik. Itu saja." "Kamu yakin?" Kepala Ema mengangguk beberapa kali, tapi ia tetap menunduk. Tiba-tiba saja, dagunya diangkat dan membuatnya terpaksa menatap ke arah pria di depannya. "Lihat aku kalau sedang bicara, Ema. Aku tidak suka-" Perkataan pria itu terhenti dan matanya terlihat menyipit. Jempolnya mengusap lembut bibir bawah Ema yang masih sedikit mengeluarkan darah. "Kamu terluka, Em..." Suara serak pria itu terdengar sangat berat. Tiba-tiba saja, keduanya saling memandang. Tidak ada yang berkedip. Setelah beberapa saat, kepala Ilyas mendekat. Ema dapat melihat deretan bulu mata pria itu yang panjang dan lentik. Matanya yang kelabu ternyata memiliki semburat warna hijau yang mengelilingi pupilnya. Hembusan udara hangat menerpa kulit Ema dan membuatnya merinding. Hidung lelaki itu yang mancung terasa mengusap hidungnya sendiri. Ia merasakan bibir mereka hampir bersentuhan, saat Ilyas menatapnya. "Kamu mau aku menciummu?" Dengan segera, semburat merah yang panas terasa mengaliri pipi Ema yang dingin. Refleks, wanita itu mendorong d*da Ilyas dan langsung menjauh. Kepalanya menunduk. Ia sangat malu. "Sebaiknya saya segera pulang, pak. Selamat malam." Wanita itu segera melangkah ke arah mobilnya, saat terdengar suara Ilyas kembali. "Sebentar, Em." Ema masih belum berani menatap Ilyas, sampai tangan pria itu mengulurkan sapu tangannya. "Seka lukamu pakai ini. Segera obati kalau kamu sudah sampai rumah." "Terima kasih pak. Tapi saya-" Pria itu mengambil tangan Ema dan menekankan benda tadi ke bibir wanita itu. Mereka kembali bertatapan. "Kamu ini memang bandel ya. Harus dipaksa. Ingat, obati bibirmu nanti." Tidak tahu harus membantah apa, kepala Ema terpaksa mengangguk. "Terima kasih." Menepuk bahu wanita itu, bibir Ilyas membentuk senyuman kecil. Tangan pria itu terasa mer*mas lembut lengannya dan mengalirkan hawa hangat melewati kemejanya. "Pulanglah sekarang. Sudah malam." Sentuhan Ilyas sangat berbeda dengan sentuhan Adit tadi, membuat detak jantung Ema perlahan normal. Ia merasa lebih tenang dan anehnya, terlindungi. "Terima kasih, pak. Selamat malam." Mata kelabu Ilyas mengawasi mobil Ema yang secara perlahan, menghilang dari pandangannya. Setelahnya, kepala pria itu menengadah ke beberapa arah. Mencari sesuatu. Saat sudah menemukannya, pria itu berbalik dan kembali melangkah memasuki lift. Tampak ia menghubungi seseorang melalui ponselnya, sampai pintu menutup sempurna. Beberapa jam kemudian, di tempat lain, Ema membaringkan tubuhnya di kasur. Wanita itu terlihat berfikir. Jari-jarinya mengusap bibirnya sendiri. Benaknya kacau saat mengingat ia hampir mencium atasannya. Ini sudah kedua kalinya, ia merasa terhipnotis oleh pria itu. Tubuhnya seolah lumpuh dan menyerah. Ema mengenal Ilyas sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya 3 tahun lalu, saat ia baru menyelesaikan pendidikan Magister-nya. Ia melamar ke TJ Corp. dengan berbekal ijasah akhirnya, dan bekerja hingga saat ini. Sepanjang menempuh karir-nya di perusahaan, ia sudah terbiasa bertemu Ilyas saat meeting dan tidak jarang pula, pria itu memarahi dan menegurnya langsung di forum. Sebagai bagian dari HC terutama garda depan tim rekrutmen, Ema tidak jarang menjadi sasaran kemarahan para user saat ada karyawan yang tidak perform dalam bekerja. Ia dan tim-nya akan selalu disalahkan tidak becus dalam mencari orang. Atau hasil tes mereka tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. Sudah sering kali Ema melakukan pembelaan, bahwa semua itu tidak lepas dari peranan para atasan untuk mau mengembangkan anak buahnya. Mengajarinya dan bukannya melepasnya tanpa panduan. Dan bahwa, bagiannya juga dirugikan dari sisi waktu dan biaya bila terlalu banyak karyawan yang keluar-masuk. Tapi seperti biasanya. Tidak ada seorang pun mau disalahkan. Semua mencari kambing hitam dan dalam kasus ini, Ema adalah sasarannya. Ia termasuk karyawan junior berusia muda. Dianggap tidak tahu apa-apa dan masih hijau. Sangat cocok untuk diumpankan ke singa. Dan salah satu singa itu adalah Ilyas. Semenjak menjabat sementara sebagai Manager, menggantikan atasannya yang tidak kuat karena tekanan itu, sudah hampir 2 tahun ini telinga Ema mulai terasa kebas mendengar perkataan tidak enak dari para user. Menggulingkan badannya hingga telentang, wanita itu menatap langit-langit di atasnya. "Apa aku resign saja ya?" Tapi saat ia terbaring di kasur dan menatap sekitarnya, hatinya terasa kosong. Ia tidak tahu harus kembali ke mana. Ia sudah tidak punya kampung halaman. Rumahnya dulu sudah dijual untuk membiayai hidupnya, termasuk pendidikannya. Ibunya pun sudah meninggal beberapa tahun lalu. Saat mengingat ibunya, bola mata Ema memanas dan mulai berkaca-kaca. Wanita itu berbaring menyamping dan mulai meringkuk seperti bola. Kedua tangan menutupi wajahnya dan terdengar suara tangisan pelan dari mulutnya. Suara yang keluar dari tenggorokan Ema terdengar tersendat-sendat, menandakan perasaannya yang sangat kalut. Ia tahu, ia belum selesai dengan masa lalunya. Keesokan paginya di kantor TJ Corp. tampak seseorang keluar dari lift dan langsung menuju suatu ruangan. Senyuman khas-nya terlihat di bibirnya saat ia menyapa ramah dua orang sekretaris direksi. "Pagi, Tantri. Sheila. Herman sudah datang?" "Selamat pagi pak Ilyas. Pak Herman baru saja datang. Beliau ada di ruangannya." Sheila menjawab cerah. Kepala Ilyas mengangguk dan ia masih tersenyum. "Stanley?" "Pak Stanley belum datang pak. Mungkin sebentar lagi." Kembali kepala pria itu mengangguk. "Anak baru itu. Aditya. Kapan rencana meeting dengan dia?" Kali ini, tampak Tantri yang lebih senior menyentuh tab-nya beberapa kali. "Dijadwalkan Jumat ini pak, jam 10 pagi." "Oke. Thanks." Tidak menoleh lagi, pria itu langsung masuk ke ruangan Herman dan pintu itu kembali tertutup. Saat duduk, Tantri menghembuskan nafasnya. Wanita itu terlihat tegang, tapi tampak tidak terperhatikan oleh Sheila yang masih setia menatap pintu ruangan Herman. "Orang itu sangat ganteng. Juga ramah. Tapi kenapa belum menikah sampai sekarang ya?" Tidak acuh, Tantri mengetik sesuatu di laptop-nya. "Aku tidak tahu. Mungkin belum ketemu jodohnya?" Menoleh pada Tantri, Sheila berbisik, "Mungkin juga g*y? Sekarang banyak cowo yang aneh-aneh." Sheila yang baru join ke perusahaan beberapa hari, masih dipenuhi rasa ingin tahu yang besar. "Nama pak Ilyas. Kenapa dia dipanggil Ilyas ya? Kan namanya-" Dengan cepat, kepala Tantri menoleh pada juniornya. Tatapan matanya terlihat marah. "Kalau kamu doyan gosip, di sini bukan tempatnya. Apa pun nama pak Ilyas, dia g*y atau bukan, itu urusan dia. Bukan urusan kita. Kecuali kamu mau tidak lulus probation, kamu boleh menyebar gosip apa pun tentang atasan kita di kantor ini. Paham kamu?" Terkejut melihat kemarahan seniornya, Sheila mengangguk. "Pa- Paham. Maafkan aku, mba. Aku-" "Kembali kerja. Tidak usah bergosip. Ingat, di surat kontrak kamu ada klausul mengenai menjaga kerahasiaan perusahaan. Dan itu termasuk kehidupan pribadi atasan kita. Apa terjadi di lantai ini, cukup kita yang tahu." Tidak berani bicara lagi, Sheila langsung menenggelamkan kepalanya dalam tumpukan pekerjaan.Dalam ruangan Herman, tampak Ilyas duduk nyaman di kursi di depan rekan kerjanya itu. Dengan santai, pria itu melemparkan sebuah map berisi beberapa berkas ke atas meja."Apa ini?""Kau lihat saja sendiri."Kening Herman berkerut saat ia menelusuri cepat berkas di tangannya. Setelahnya, ia menatap Ilyas."P*lecehan? Salah satu karyawan kita?"Kepala Ilyas meneleng dan ia menyangga dagunya dengan satu tangan. Tatapannya mengarah ke arah lain."Anak baru join kemarin. Aditya Prabukusuma. Kau pasti mengenal yang satunya. Andromeda. Bawahanmu."Tampak Herman sulit menelan. Ia kembali menatap berkas di tangannya."Kau yakin? Sepertinya, wajahnya tidak mirip Aditya."Mata Ilyas menatap tajam Herman. "Aku saksinya."Dua rekan kerja itu bertatapan sebentar, sampai Herman menghela nafasnya berat. Pria itu menutup berkas."Ilyas. Masalah Aditya ini-""Dia punya backing siapa? Kenapa kau
= Kantor TJ Corp. Di salah satu ruangan meeting. Hari Jumat =Pertemuan itu sudah berlangsung selama 20 menit, tapi pikiran Ilyas melayang ke mana-mana.Pria itu menatap lelaki di depannya yang sedang mempresentasikan rencana kerjanya 2 tahun ke dapan. Beberapa orang menunjukkan tampang puas dan menganggukkan kepala. Tanya jawab pun berlangsung lancar dan tidak ada kendala, sampai tatapan Adit berserobok dengan matanya sendiri."Pak Ilyas. Untuk menunjang kelancaran rencana kerja ini, dukungan dari tim Anda sangat kami perlukan. Dengan adanya aplikasi mobile yang lebih representatif, tentunya user akan mendapatkan experience yang berbeda. Mereka bisa langsung melakukan pembelian aset investasi tanpa harus mengunduh aplikasi lain. Dalam satu aplikasi, semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan sempurna."Perkataan itu belum direspon Ilyas. Pria itu malah menatap Adit lebih intens dan tanpa sadar, tangannya mengepal kencang di atas meja sampai bu
= Bioskop A. Jam 07.00 malam =Kaki bersepatu pantofel itu mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Beberapa kali pria itu menatap ke pintu kaca yang terdengar membuka, dan harus merasa kecewa setiap kalinya.Menatap ke arah jam tangannya, Ilyas mend*sah pelan. Sepertinya tiket ini harus dia buang.Kepalanya masih menunduk saat matanya menangkap sepasang sepatu kets yang berhenti di depannya. Pria itu menengadahkan kepalanya dengan gembira."Ema. Kamu datang?"Raut pria itu yang ceria membuat Ema tertegun sebentar. Wanita itu akhirnya mengangguk."Saya sudah janji akan datang."Pria itu berdiri. Tubuhnya yang tinggi menjulang di depan Ema yang hanya sebatas dagunya."Kamu tidak bawa mobil, kan?"Kening wanita itu sedikit berkerut, tapi ia lagi-lagi mengangguk."Ya. Kebetulan mobil saya di bengkel. Saya pakai taksi ke sini."Salah satu tangan Ilyas terangkat dan menunjukkan dua lembar tiket
= Beberapa hari kemudian. Kantor TJ Corp. Ruangan Ilyas. Sore hari ="Ini sudah beberapa hari, Em. Kamu sudah ambil keputusan?"Wanita yang duduk di sofa itu perlahan menggeleng. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap pria yang duduk di sebelahnya."Maaf, pak. Tapi sepertinya saya tidak bisa membantu.""Kalau ini masalah kompensasi...""Ini tidak ada hubungannya pak. Saya hanya tidak bisa memenuhi permintaan bapak kemarin."Selama beberapa menit tidak ada yang bicara. Ruangan kerja itu hening sekali.Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ema hampir berdiri saat tangannya ditarik kembali."Tunggu dulu, Em. Tunggu sebentar."Ema ingin menarik tangannya tapi ditahan Ilyas yang sedikit mencengkeramnya. Tampang pria itu gusar."Pak...""Tunggu sebentar, Em! Tunggu. Biarkan aku berfikir."Nada Ilyas yang sedikit tajam membuat Ema terdiam. Pria itu terlihat berfik
"Bu An?""Ya?"Ragu-ragu, Ayu duduk di depan atasannya itu. "Ibu tidak apa-apa? Sudah beberapa hari ini ibu kelihatan tidak sehat. Tidak mau cuti saja, bu?"Memaksakan senyuman di wajahnya yang pucat, Ema menggeleng."Saya baik-baik saja, Yu. Hanya kurang tidur dan minum vitamin. Itu saja.""Tapi-"Deringan telepon di meja Ema membuat wanita itu sigap mengangkatnya."Halo?"Perkataan seseorang di seberang, membuat wajah pucat Ema semakin memutih."Baik. Saya akan segera ke sana."Menutup telepon, sedikit panik wanita itu menoleh pada bawahannya."Ayu. Segera print kebutuhan MPP bagian Marketing dan pemenuhannya selama 6 bulan ini. Sekarang!"Tidak sampai 10 menit, wanita itu telah berdiri di depan salah satu ruangan meeting dan mengetuk pintunya."Masuk."Suara serak yang teredam itu membuat Ema memejamkan matanya sebentar. Kejadian itu sudah bebera
Dua orang yang tersisa dalam ruangan meeting itu masih tampak mematung.Merasa bersalah, Adit mendekati Ema. "An. Maafkan aku. Tapi tadi-"Tidak mau menatap pria itu, Ema duduk di salah satu kursi yang sedikit jauh. Wanita itu mengeluarkan tab yang tadi dibawanya dari ruangannya."Lebih baik kita langsung ke pokok masalahnya. Bisa Anda jelaskan lagi rencana kerja Anda tahun ini?""Andie... Aku-"Penuh kemarahan, Ema menggebrak meja di depannya sangat kencang. Membuat Adit terlonjak.Wanita itu menatap pria di depannya penuh permusuhan. Mulutnya terkatup rapat."Saya tidak mau mendengar pemintaan maaf Anda! Saya juga tidak punya waktu mengelus ego Anda yang terluka, pak Aditya! Saya dibayar untuk bekerja dan sebaiknya, Anda juga fokus saja di situ!"Mencoba menata emosinya kembali, Ema konsentrasi pada tab yang masih di tangannya."Sekarang, saya ingin mendengar lagi rencana kerja Anda tadi. Silahkan pak
= Rumah keluarga besar Tjakradinigrat. Beberapa hari kemudian. Hari Sabtu =Sambutan untuk pria yang baru datang itu hangat dan menyenangkan. Setidaknya, pelukan dari beberapa orang di sana benar-benar tulus padanya.Seorang wanita berusia hampir 90-an menghampiri tamunya yang baru datang. Tubuhnya yang ditopang tongkat sudah renta, tapi wajahnya masih terlihat cantik. Tampak ia menjaga kesehatan dan penampilannya."Ilyas! Kamu akhirnya datang juga!"Mencium pipi yang keriput itu, Ilyas memberikan kotak kado kecil yang terbungkus indah."Selamat ulang tahun, Oma."Bukannya menerima kado itu, mata tua yang sudah rabun itu malah antusias mencari ke belakang cucunya."Mana dia? Kamu bawa dia, kan?'Tersenyum kecut, pria itu mer*mas lembut lengan nenek-nya."Maaf, Oma. Dia tiba-tiba sakit. Aku tidak bisa membawanya ke sini."Menepuk kencang tangan Ilyas, mata tua itu melotot ke arahnya."S
= Kantor TJ Corp. Ruangan Stanley = "Presentasi-mu cukup bagus tadi. Sudah ada kemajuan." Sinar kegembiraan tampak di wajah Adit, tapi binar itu tidak berlangsung lama karena perkataan berikutnya. "Tapi tidak cukup bagus untuk saya. Atau pun Ilyas." Salah satu tangan Stanley mengetuk-ngetuk pemberat kertasnya. Pria itu memandang bawahannya tajam. "Sudah berapa lama kau join, Dit?" Menelan ludah, Adit menjawab gugup, "Hampir 3 bulan, pak." "Selama 3 bulan ini, apa pencapaianmu?" Pertanyaan itu membuat Adit terdiam. Matanya nanar memandang ke tangannya sendiri. Dengusan terdengar dari mulut Stanley. Raut wajah pria yang biasanya ramah itu menggelap. "Saya masih memaklumi kegagalanmu menyampaikan materi di awal kau baru join. Saya juga cukup maklum waktu kau bilang kekurangan SDM dan memojokkan bawahan Herman. Tapi sekarang?"
= Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu
"Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang
= Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa
"Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.
Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"
Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare
= Sekitar dua tahun kemudian. Kota B. Indonesia = Tampak seorang pria sedang bermain dengan anak perempuan di teras depan sebuah rumah sederhana. Wajah pria itu terlihat gembira dan bahagia saat memeluk balita itu. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti balita yang baru belajar jalan tersebut dan saat anak itu hampir jatuh, lelaki itu dengan sigap memeluknya. "Ups. Hati-hati, Nana..." Anak itu hanya tertawa, memperlihatkan gusinya yang masih ompong. Melihat itu, sang pria itu hanya tertawa geli dan memeluk anak itu erat-erat di tangannya. "Adit." Panggilan itu membuat Adit menoleh, masih tersenyum. Ia langsung berdiri dan memangku balita itu. "Papih." Sangat sopan, Adit membungkuk dan mencium punggung tangan pria tua yang pernah menjadi mertuanya.
= Salah satu taman bermain. Kota B. Indonesia = "Bagaimana kabarmu?" Pria yang duduk di depannya itu mengangguk. "Baik. Kamu sendiri?" "Aku juga baik..." Tatapan keduanya bertemu dan terlihat senyuman sendu dari mereka berdua. Mata pria itu turun dan menatap perut wanita di depannya yang tampak membesar. Bola matanya terlihat sedikit berair dan lelaki itu mengerjapkan matanya cepat. Suaranya terdengar pelan saat bertanya, "Kapan kamu lahiran?" "Sekitar 2 minggu lagi." Kepala pria itu mengangguk dan ia menelan ludahnya. Wajahnya sedikit memerah. "Maafin aku, Min... Kalau aku tahu..." Sesaat keduanya terdiam. Mimin menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya belum sampai setahun lalu. Sama seperti lelaki itu, ia menundukkan kepalanya.
"Bagaimana isteri saya dok?" Pertanyaan itu membuat sang dokter menaikkan salah satu alisnya. "Kalau Anda mau menoleh sedikit, Anda bisa melihat kondisi isteri Anda langsung, Tuan Hagen." Kepala Ilyas masih berpaling ke arah lain. Kedua matanya menutup erat. "Sa- Saya ga bisa dok! Saya ga bisa lihat dia kesakitan!" "Tiap wanita yang melahirkan pasti kesakitan, Tuan. Kalau keenakan, itu namanya sedang org*sme." Candaan itu sama sekali tidak membuat pria tinggi itu tersenyum. Wajahnya pucat dan berkeringat. Teriakan pendek wanita di sampingnya membuat sang dokter kembali konsentrasi. "Apa sudah keluar?" "Masih kepalanya." Kembali teriakan itu terdengar dan Ilyas sedikit melirik takut-takut. "Sudah keluar?" "Kelihatan bahunya."