Pemandangan mengejutkan itu membuat Ema refleks berdiri dari duduknya.
Tampak si wanita yang baru datang itu masih bergelayutan di leher Ilyas. Pria itu menghindar saat wanita itu berusaha mencium bibirnya dengan menjauhkan tubuh mereka sepanjang lengannya. "Stop, Di!" Wajah Ilyas terlihat sedikit merah dan ekspresinya jengkel. Pria itu mengusap pipinya kasar dan semakin kesal saat menemukan jejak lipstik di sana. Ia baru saja akan ke mejanya saat sadar masih ada Ema di sana. Mata mereka terkunci beberapa saat. "Sebaiknya mungkin saya pergi sekarang pak." Menarik tisu dari mejanya, pria itu mengangguk sambil menyeka pipinya. Bibirnya tersenyum kecil. "Saya akan memanggilmu lagi. Pembicaraan kita tadi belum selesai." Berusaha bersikap profesional, Ema mengangguk. Dan setelah tersenyum singkat pada wanita baru itu, ia pun langsung keluar dari ruangan Ilyas. Saat menekan tombol lift, kepala Ema menoleh ke ruangan Ilyas yang tertutup. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, tapi akhirnya wanita itu menggeleng. "Bukan urusanku." Sepanjang hari itu, Ema menghabiskan waktunya untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Wanita itu baru saja mematikan laptop-nya, saat ponselnya tiba-tiba berdenting. Keningnya berkerut saat deretan nomor tidak dikenal mengirim pesan singkat padanya. 'Bisa kita bicara?' Tidak mengenal nomor itu, ia baru akan mengabaikannya saat pesan lain masuk. 'Andie. Aku benar-benar harus bicara denganmu. Aku tidak ingin hubungan kita buruk seperti ini. Please?' Wanita itu menggigit bibirnya kuat. Tanpa diinginkannya, kedua bola matanya berair. Peristiwa itu sudah cukup lama. Sudah 7 tahun yang lalu tapi entah kenapa, sakitnya masih belum menghilang. Lukanya ternyata masih belum sembuh. Masih berdarah. Mengerjapkan matanya berkali-kali, Ema memasukkan benda pipih itu ke dalam tasnya. Ia membereskan mejanya dan akhirnya keluar dari ruangannya. Suasana sudah mulai gelap dan sepi. Di lantai basement, wanita itu baru saja memasukkan kunci mobilnya saat terdengar suara memanggilnya. "Andie!" Kelopak mata Ema menutup erat dan ia menghitung dalam hati. Jantungnya mulai berdebar kencang. "Andie..." Meski tahu sosok di belakangnya mendekat, tapi Ema tidak berpaling. Ia malah membuka pintu mobilnya. "An!" Tidak disangka, muncul tangan pria mendorong lagi pintu mobilnya hingga menutup dengan suara keras. Cukup terkejut, perhatian Ema akhirnya terfokus pada sosok pria di depannya yang terlihat marah. "An! Aku hanya ingin bicara! Mengenai kita!" Mendengar itu, kening Ema berkerut. Tubuh wanita itu menegak dan mundur menjauh. Suaranya sedikit bergetar saat ia membuka mulutnya, "Kita...? Memangnya pernah ada kata 'kita'?" Jakun Adit naik turun saat mengamati wanita di depannya. Ekspresi marah pria itu dengan cepat digantikan dengan tatapan penuh permohonan dari lelaki itu. Bola matanya mulai memerah. "An... Please... Aku mohon padamu. Biarkan aku menjelaskan padamu apa yang terjadi saat itu. Aku tidak mau hubungan kita rusak seperti ini, An. Aku rindu kita yang dulu. Aku-" Tidak tahan lagi, Ema membalikkan tubuhnya. Mulut wanita itu terkunci rapat. Ia tidak bisa bicara. Ia tidak sanggup mengatakan apapun saat d*danya mulai bergemuruh dan nafasnya sesak. Ia butuh udara segar! Aku harus keluar dari sini! "An! Tunggu dulu!" Salah satu tangan Adit meraihnya tapi dengan kasar, Ema mengibaskannya. Tatapan wanita itu kali ini tidak lagi menyembunyikan perasaannya. Kesakitan yang berusaha disimpannya sendiri bertahun-tahun. "Apa maumu, Aditya? Kau dan keluargamu sudah memberi penjelasan. Penjelasan yang sangat jelas sekali!" Tampak setitik air keluar dari kelopak mata lelaki itu. "An..." "Aku tidak pantas untuk keluargamu! Pendidikanku tidak setara. Status sosialku tidak setara. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Andromeda untuk masuk ke dalam keluarga Prabukusuma!" Ema tidak ingin menangis, tapi lelehan cairan terasa mengalir di salah satu pipinya. Dengan kasar, wanita itu menghapusnya. Ia tidak mau menunjukkan kelemahannya. Kedua orang itu berdiri berhadapan. Masing-masing menyimpan luka masa lalu yang masih belum selesai. "Aku minta maaf, An... Aku benar-benar menyesal... Aku tidak bermaksud menyakitimu seperti itu... Aku... Aku masih mencintaimu, Andie..." Kata-kata yang diucapkan Adit tadinya tidak dipahami Ema. Tapi saat perlahan terserap di otaknya, bola mata wanita itu perlahan membulat tidak percaya. "Apa... kau bilang... tadi?" Pria itu mendekat dan meraih kedua bahu wanita di depannya. Sedikit mer*masnya. "Aku mencintaimu, Andromeda. Sampai sekarang. Aku tidak ingin mengulangi lagi kesalahanku dulu." Wanita itu masih tertegun dan hanya terdiam mendengar pengakuan itu. Barulah saat semuanya telah ia cerna, Ema menggeleng pelan. "Kau gila, Dit." R*masan pria itu di bahunya mengencang. Lelaki itu semakin mendekatkan tubuh mereka. "Ya! Aku memang gila! Aku sudah gila melepasmu dulu. Saat kamu pergi dulu, kamu membuatku gila, An! Kamu membuatku tidak bisa melupakanmu. Dan sekarang, aku tidak mau melepasmu lagi." Kepala pria itu menunduk dan hampir saja menciumnya, kalau Ema tidak segera mendorong wajah lelaki itu. Nafas wanita itu memburu, dan ia dengan panik mundur menjauh saat Adit berusaha meraihnya lagi. "Jangan sentuh aku, Aditya! Kau sudah gila!" "Aku mencintaimu, An!" Bola mata wanita itu dengan liar memandang sekitarnya. Berusaha mencari bantuan. Sayangnya, hanya tersisa beberapa mobil malam itu dan tidak tampak batang hidung seorang pun di sana. Ia sendirian. Sendirian bersama orang yang sudah tidak waras! "Menjauh, Dit!" Melihat tidak ada intensi pria itu mendengarkannya, Ema segera berbalik dari lari secepat mungkin. "An!" Berusaha untuk mencari lift terdekat, wanita itu menggigit bibirnya hingga berdarah. Ia takut. Sangat takut! Rasa lega membanjiri tubuh wanita itu saat melihat pintu lift direksi berwarna abu gelap mengkilat. Panik, wanita itu menekan-nekan tombol lift. Ia makin panik ketika melihat Adit berjalan cepat mendekatinya. "Oh, please! Please!" "Andie." Tubuh wanita itu bergetar saat menyenderkan punggungnya ke pintu lift yang masih tertutup rapat. Jari-jarinya masih berusaha menekan tombol di balik punggungnya. Wajah Ema pias menatap sosok Adit yang berhenti tepat di depannya. Jantungnya berdebar liar. Di luar dugaan, pria itu tampak menyesali tindakannya tadi. Kedua telapakannya terbuka, tanda menyerah. "An? Andie. Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menakutimu tadi. Tapi aku benar-benar rindu kamu, An. Aku rindu obrolan kita dulu. Aku rindu kita yang dulu, An." Beberapa kali, Ema menelan ludah. Meski sempat takut, tapi ia tahu pria di depannya ini tidak berbohong. Tahunan ia mengenal lelaki ini, yang memang cenderung impulsif saat sedang kalut. Tapi saat melihat kaki Adit yang akan melangkah mendekat, rasa panik wanita kembali. Ia semakin memepet ke pintu lift dan menekan-nekan kencang tombolnya lagi. Melihat reaksi Ema, tatapan pria itu sendu. "Aku tahu sudah sangat menyakitimu, An. Tapi aku-" Pintu lift tiba-tiba terbuka, dan wanita itu tidak sempat menahan tubuhnya yang langsung jatuh ke belakang. "An!" Terasa sepasang tangan kuat segera memeluk Ema dari belakang. Menahannya. Aliran udara yang menenangkan memenuhi hidung Ema, saat terdengar suara serak seseorang, "Ema?"Tampak kedua pasang mata menatap kepergian mobil sedan di depan mereka. Selama beberapa detik, tidak ada yang bicara sampai terdengar suara serak Ilyas memecah kesunyian di basement itu. "Kamu yakin sudah tidak apa-apa?" "Ya pak. Saya sudah tidak apa-apa." Rahang Ilyas mengeras, menatap wanita di depannya yang masih menunduk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana panjangnya. Terdengar hembusan nafas yang keras dari cuping hidung pria itu. "Kenapa ya, kok rasanya aku tidak percaya ceritamu tadi? Kamu yakin tadi hanya ketakutan karena salah mengira Adit penjahat? Kamu tidak bohong?" Mata Ema mengedip cepat tapi tetap menunduk. Ia akan sulit bersilat lidah kalau menatap langsung lelaki di depannya, yang seperti sedang menginterogasinya. "Saya tidak bohong pak. Tadi saya akan ke mobil saat mendengar suara langkah orang. Saya panik. Itu saja." "Kamu yakin?"
Dalam ruangan Herman, tampak Ilyas duduk nyaman di kursi di depan rekan kerjanya itu. Dengan santai, pria itu melemparkan sebuah map berisi beberapa berkas ke atas meja."Apa ini?""Kau lihat saja sendiri."Kening Herman berkerut saat ia menelusuri cepat berkas di tangannya. Setelahnya, ia menatap Ilyas."P*lecehan? Salah satu karyawan kita?"Kepala Ilyas meneleng dan ia menyangga dagunya dengan satu tangan. Tatapannya mengarah ke arah lain."Anak baru join kemarin. Aditya Prabukusuma. Kau pasti mengenal yang satunya. Andromeda. Bawahanmu."Tampak Herman sulit menelan. Ia kembali menatap berkas di tangannya."Kau yakin? Sepertinya, wajahnya tidak mirip Aditya."Mata Ilyas menatap tajam Herman. "Aku saksinya."Dua rekan kerja itu bertatapan sebentar, sampai Herman menghela nafasnya berat. Pria itu menutup berkas."Ilyas. Masalah Aditya ini-""Dia punya backing siapa? Kenapa kau
= Kantor TJ Corp. Di salah satu ruangan meeting. Hari Jumat =Pertemuan itu sudah berlangsung selama 20 menit, tapi pikiran Ilyas melayang ke mana-mana.Pria itu menatap lelaki di depannya yang sedang mempresentasikan rencana kerjanya 2 tahun ke dapan. Beberapa orang menunjukkan tampang puas dan menganggukkan kepala. Tanya jawab pun berlangsung lancar dan tidak ada kendala, sampai tatapan Adit berserobok dengan matanya sendiri."Pak Ilyas. Untuk menunjang kelancaran rencana kerja ini, dukungan dari tim Anda sangat kami perlukan. Dengan adanya aplikasi mobile yang lebih representatif, tentunya user akan mendapatkan experience yang berbeda. Mereka bisa langsung melakukan pembelian aset investasi tanpa harus mengunduh aplikasi lain. Dalam satu aplikasi, semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan sempurna."Perkataan itu belum direspon Ilyas. Pria itu malah menatap Adit lebih intens dan tanpa sadar, tangannya mengepal kencang di atas meja sampai bu
= Bioskop A. Jam 07.00 malam =Kaki bersepatu pantofel itu mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Beberapa kali pria itu menatap ke pintu kaca yang terdengar membuka, dan harus merasa kecewa setiap kalinya.Menatap ke arah jam tangannya, Ilyas mend*sah pelan. Sepertinya tiket ini harus dia buang.Kepalanya masih menunduk saat matanya menangkap sepasang sepatu kets yang berhenti di depannya. Pria itu menengadahkan kepalanya dengan gembira."Ema. Kamu datang?"Raut pria itu yang ceria membuat Ema tertegun sebentar. Wanita itu akhirnya mengangguk."Saya sudah janji akan datang."Pria itu berdiri. Tubuhnya yang tinggi menjulang di depan Ema yang hanya sebatas dagunya."Kamu tidak bawa mobil, kan?"Kening wanita itu sedikit berkerut, tapi ia lagi-lagi mengangguk."Ya. Kebetulan mobil saya di bengkel. Saya pakai taksi ke sini."Salah satu tangan Ilyas terangkat dan menunjukkan dua lembar tiket
= Beberapa hari kemudian. Kantor TJ Corp. Ruangan Ilyas. Sore hari ="Ini sudah beberapa hari, Em. Kamu sudah ambil keputusan?"Wanita yang duduk di sofa itu perlahan menggeleng. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap pria yang duduk di sebelahnya."Maaf, pak. Tapi sepertinya saya tidak bisa membantu.""Kalau ini masalah kompensasi...""Ini tidak ada hubungannya pak. Saya hanya tidak bisa memenuhi permintaan bapak kemarin."Selama beberapa menit tidak ada yang bicara. Ruangan kerja itu hening sekali.Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ema hampir berdiri saat tangannya ditarik kembali."Tunggu dulu, Em. Tunggu sebentar."Ema ingin menarik tangannya tapi ditahan Ilyas yang sedikit mencengkeramnya. Tampang pria itu gusar."Pak...""Tunggu sebentar, Em! Tunggu. Biarkan aku berfikir."Nada Ilyas yang sedikit tajam membuat Ema terdiam. Pria itu terlihat berfik
"Bu An?""Ya?"Ragu-ragu, Ayu duduk di depan atasannya itu. "Ibu tidak apa-apa? Sudah beberapa hari ini ibu kelihatan tidak sehat. Tidak mau cuti saja, bu?"Memaksakan senyuman di wajahnya yang pucat, Ema menggeleng."Saya baik-baik saja, Yu. Hanya kurang tidur dan minum vitamin. Itu saja.""Tapi-"Deringan telepon di meja Ema membuat wanita itu sigap mengangkatnya."Halo?"Perkataan seseorang di seberang, membuat wajah pucat Ema semakin memutih."Baik. Saya akan segera ke sana."Menutup telepon, sedikit panik wanita itu menoleh pada bawahannya."Ayu. Segera print kebutuhan MPP bagian Marketing dan pemenuhannya selama 6 bulan ini. Sekarang!"Tidak sampai 10 menit, wanita itu telah berdiri di depan salah satu ruangan meeting dan mengetuk pintunya."Masuk."Suara serak yang teredam itu membuat Ema memejamkan matanya sebentar. Kejadian itu sudah bebera
Dua orang yang tersisa dalam ruangan meeting itu masih tampak mematung.Merasa bersalah, Adit mendekati Ema. "An. Maafkan aku. Tapi tadi-"Tidak mau menatap pria itu, Ema duduk di salah satu kursi yang sedikit jauh. Wanita itu mengeluarkan tab yang tadi dibawanya dari ruangannya."Lebih baik kita langsung ke pokok masalahnya. Bisa Anda jelaskan lagi rencana kerja Anda tahun ini?""Andie... Aku-"Penuh kemarahan, Ema menggebrak meja di depannya sangat kencang. Membuat Adit terlonjak.Wanita itu menatap pria di depannya penuh permusuhan. Mulutnya terkatup rapat."Saya tidak mau mendengar pemintaan maaf Anda! Saya juga tidak punya waktu mengelus ego Anda yang terluka, pak Aditya! Saya dibayar untuk bekerja dan sebaiknya, Anda juga fokus saja di situ!"Mencoba menata emosinya kembali, Ema konsentrasi pada tab yang masih di tangannya."Sekarang, saya ingin mendengar lagi rencana kerja Anda tadi. Silahkan pak
= Rumah keluarga besar Tjakradinigrat. Beberapa hari kemudian. Hari Sabtu =Sambutan untuk pria yang baru datang itu hangat dan menyenangkan. Setidaknya, pelukan dari beberapa orang di sana benar-benar tulus padanya.Seorang wanita berusia hampir 90-an menghampiri tamunya yang baru datang. Tubuhnya yang ditopang tongkat sudah renta, tapi wajahnya masih terlihat cantik. Tampak ia menjaga kesehatan dan penampilannya."Ilyas! Kamu akhirnya datang juga!"Mencium pipi yang keriput itu, Ilyas memberikan kotak kado kecil yang terbungkus indah."Selamat ulang tahun, Oma."Bukannya menerima kado itu, mata tua yang sudah rabun itu malah antusias mencari ke belakang cucunya."Mana dia? Kamu bawa dia, kan?'Tersenyum kecut, pria itu mer*mas lembut lengan nenek-nya."Maaf, Oma. Dia tiba-tiba sakit. Aku tidak bisa membawanya ke sini."Menepuk kencang tangan Ilyas, mata tua itu melotot ke arahnya."S
= Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu
"Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang
= Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa
"Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.
Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"
Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare
= Sekitar dua tahun kemudian. Kota B. Indonesia = Tampak seorang pria sedang bermain dengan anak perempuan di teras depan sebuah rumah sederhana. Wajah pria itu terlihat gembira dan bahagia saat memeluk balita itu. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti balita yang baru belajar jalan tersebut dan saat anak itu hampir jatuh, lelaki itu dengan sigap memeluknya. "Ups. Hati-hati, Nana..." Anak itu hanya tertawa, memperlihatkan gusinya yang masih ompong. Melihat itu, sang pria itu hanya tertawa geli dan memeluk anak itu erat-erat di tangannya. "Adit." Panggilan itu membuat Adit menoleh, masih tersenyum. Ia langsung berdiri dan memangku balita itu. "Papih." Sangat sopan, Adit membungkuk dan mencium punggung tangan pria tua yang pernah menjadi mertuanya.
= Salah satu taman bermain. Kota B. Indonesia = "Bagaimana kabarmu?" Pria yang duduk di depannya itu mengangguk. "Baik. Kamu sendiri?" "Aku juga baik..." Tatapan keduanya bertemu dan terlihat senyuman sendu dari mereka berdua. Mata pria itu turun dan menatap perut wanita di depannya yang tampak membesar. Bola matanya terlihat sedikit berair dan lelaki itu mengerjapkan matanya cepat. Suaranya terdengar pelan saat bertanya, "Kapan kamu lahiran?" "Sekitar 2 minggu lagi." Kepala pria itu mengangguk dan ia menelan ludahnya. Wajahnya sedikit memerah. "Maafin aku, Min... Kalau aku tahu..." Sesaat keduanya terdiam. Mimin menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya belum sampai setahun lalu. Sama seperti lelaki itu, ia menundukkan kepalanya.
"Bagaimana isteri saya dok?" Pertanyaan itu membuat sang dokter menaikkan salah satu alisnya. "Kalau Anda mau menoleh sedikit, Anda bisa melihat kondisi isteri Anda langsung, Tuan Hagen." Kepala Ilyas masih berpaling ke arah lain. Kedua matanya menutup erat. "Sa- Saya ga bisa dok! Saya ga bisa lihat dia kesakitan!" "Tiap wanita yang melahirkan pasti kesakitan, Tuan. Kalau keenakan, itu namanya sedang org*sme." Candaan itu sama sekali tidak membuat pria tinggi itu tersenyum. Wajahnya pucat dan berkeringat. Teriakan pendek wanita di sampingnya membuat sang dokter kembali konsentrasi. "Apa sudah keluar?" "Masih kepalanya." Kembali teriakan itu terdengar dan Ilyas sedikit melirik takut-takut. "Sudah keluar?" "Kelihatan bahunya."