"Aditya? Ada keperluan apa di lantai ini?"
Pria yang menjabat sebagai Direktur Operasional itu memandang bertanya pada Adit yang terlihat gugup. "Se- Selamat siang pak Ilyas. Sa- Saya... Kebetulan kami bertemu di lift pak." Bola mata Ilyas bergantian menatap Ema dan Adit. Salah satu jarinya menunjuk kedua orang di depannya. "Kalian berdua saling mengenal?" Tersenyum kikuk, Adit keluar dari lift dan menatap Ema yang mengikuti di sampingnya. "Eh, ya. Kebetulan saya sudah mengenal Andie cukup lama pak. Tapi sudah lama kami tidak bertemu." Alis Ilyas yang tebal terangkat tinggi dan pria itu meletakkan satu tangan di dagunya. "Oh?" Senyuman Ema terasa kaku di bibirnya. "Kami saling mengenal saat jaman kuliah dulu pak Ilyas." Memasukkan kembali kedua tangannya ke saku celana, kepala Ilyas mengangguk kecil. Ia kembali menatap Adit masih sambil tersenyum simpul. "Kalau begitu, semoga Andromeda bisa membantumu cepat adaptasi di perusahaan ini, Aditya." Senyuman Adit tampak gembira. "Ya, pak Ilyas. Saya yakin Andie dapat membantu saya." Mata kelabu Ilyas sedikit berkilat, tapi bibirnya masih menampilkan senyuman. "Saya harap kau lebih mengandalkan kemampuan dirimu sendiri, Aditya. Karena masa probation-mu sebagai Manager Marketing hanya 6 bulan saja. Dan itu dimulai dari hari ini." Suasana yang tadinya akrab, tiba-tiba saja mendingin. Suasana mulai terasa canggung dan tidak enak. Tubuh Ilyas menegak dan ia menatap Adit lebih tajam. Kali ini, ekspresinya kaku. "Ada lagi? Karena saya harus membicarakan sesuatu dengan Andromeda sekarang." "O- Oh! Ma- Maafkan saya. Saya permisi kalau begitu. Selamat siang pak Ilyas." Pria itu menatap Adit yang dengan kikuk memasuki lift kembali. Kepalanya mengangguk. "Selamat siang." Menoleh ke arah Ema, Ilyas melihat wanita itu masih menatap pintu lift yang tertutup dalam diam. "Dia mengganggumu tadi?" "Eh?" "Anak baru itu. Dia mengganggumu?" Gelengan segera diberikan Ema dan wanita itu tersenyum. "Oh. Tidak. Sama sekali tidak." "Hm." "Apa yang ingin bapak bicarakan sampai memanggil saya ke sini?" Kedua mata kelabu Ilyas mengedip dan masih mengamati wanita di depannya. Pria itu baru akan membuka mulutnya saat seseorang menginterupsi keduanya. "Pak Ilyas." Kepala pria itu menoleh dan tersenyum ramah. "Tantri." Wanita yang dipanggil Tantri itu tersenyum cantik. "Saya membawa dokumen yang bapak minta." Menerima dokumen itu, Ilyas masih memberikan senyumannya. "Terima kasih. Ada pertanyaan dari Stanley?" Stanley adalah Direktur Marketing. "Tidak ada pak. Beliau tidak mengatakan apa pun." "Baguslah. Beritahu saya kalau dia menginginkan berkas ini lagi." "Baik pak." Wanita itu tampak ingin tahu saat melihat kehadiran Ema yang berdiri di belakang Ilyas. "Ada lagi?" Sadar dengan intonasi bicara Ilyas yang sedikit berubah, tubuh Tantri menegak dan ia menggeleng. "Tidak ada pak. Saya permisi dulu." Setelah wanita itu menghilang dari pandangan, tangan Ilyas menyentuh punggung Ema ringan. Telapak pria itu terasa menyebarkan hawa panas di bagian yang disentuhnya. "Ayo, kita ke ruanganku dulu." Menurut, Ema berjalan beriringan dengan Ilyas dan memasuki ruangan kantor yang cukup besar. "Duduklah di sofa." Duduk di sofa, Ema memperhatikan kalau ternyata sudah ada beberapa makanan di atas meja. Tidak lama, Ilyas menyusul dan duduk di sampingnya. Pria itu menyerahkan berkas yang diterimanya tadi pada Ema. Posisi mereka cukup dekat, dengan bahu hampir bersentuhan. "Aku baru tahu kalau dia dari eks distributor kita. Kenapa dia sampai bisa diterima di sini, Em?" Dalam hati, Ema sudah mengantisipasi pembicaraan ini. Tapi tidak menyangka, kalau Ilyas akan membuka diskusi dengan cara yang ringan. Pria ini biasanya akan langsung bersikap judgemental saat dalam forum. "Bukan saya yang merekrutnya pak. Saya hanya menjalankan perintah." "Kenapa bahasa kamu formal begitu? Aku kira kita sudah lebih akrab sejak minggu kemarin." Tersenyum canggung, Ema berusaha menjaga ekspresinya tetap ramah. "Bukan begitu pak. Tapi saya tetap bawahan Anda dan-" "Dan aku minta kamu untuk tidak kaku saat kita berdua saja. Kamu paham?" Perintah itu membuat postur Ema membeku. Dua orang itu berpandangan dan tiba-tiba saja Ilyas terkekeh. "Aku bercanda. Senyamannya kamu saja, Em. Jangan dipaksakan. Tapi sejujurnya, aku memang merasa lebih dekat sejak kita nonton bareng kemarin." Wanita itu tertegun dan pikirannya belum jernih, sampai pria itu menyerahkan piring berisi makanan. "Oh! Pak Ilyas. Ini-" "Aku lebih suka ngobrol santai saat kita diskusi. Kamu ga keberatan nemenin aku makan siang kan?" "Tapi ini-" "Aku lapar Em. Please, jangan membantah lagi." Tanpa terganggu sama sekali, Ilyas mulai menyuapkan makanan dari piringnya sendiri. Mulutnya mulai sibuk mengunyah saat ia menatap Ema yang masih mematung. "Dimakan Em. Dagingnya enak." Wanita itu hanya bisa tersenyum kikuk. "Eh, iya pak." "Mengenai Aditya tadi. Kamu bilang, bukan kamu yang rekrut dia?" Mengambil sesuap makanan, Ema mengangguk pelan. "Benar pak. Bukan saya. Saya hanya bertugas untuk menghubunginya dan langsung memprosesnya tanpa tes." "Siapa yang menyuruh?" "Pak Stanley dan pak Herman." Herman adalah Direktur Personalia, merangkap Keuangan. Atasan Ema. Pria itu mengangguk-angguk. "Apa alasannya? Apa benar dia anak pejabat?" Meletakkan piringnya di atas meja, pandangan Ema tertunduk. Wanita itu tampak ragu-ragu. "Em?" Menatap Ilyas tepat di matanya, Ema menarik nafas dalam. "Boleh saya bicara jujur?" Sadar pembicaraan ini cukup serius, Ilyas me-lap mulutnya dan mengangguk. Tubuhnya lebih tegak. "Ya. Aku justru ingin kamu jujur. Katakan saja semua yang kamu tahu." Wanita itu menggigiti bibirnya sebentar. "Sejujurnya, pak Herman atau pun pak Stanley tidak menjelaskan apapun pada saya. Tapi saya sempat melakukan background check untuk Aditya di beberapa perusahaan sebelumnya. Performance-nya tidak bisa dibilang bagus, tapi tidak juga jelek. Biasa saja." "Terus?" "Durasi kerjanya di tiap tempat tidak lama. Biasanya sekitar 1-2 tahun. Dia justru lebih lama bekerja sebagai agen asuransi lepas, atau mengurus bisnis-nya." "Oh? Dia punya bisnis?" "Dia punya hobi modifikasi mobil-mobil lama dan menjual sparepart-nya pada para kolektor. Sepertinya itu berkembang jadi bisnis yang menguntungkan." Ekspresi Ilyas lebih intens. "Aku yakin penjelasan itu tidak ada di CV. Kamu kenal dekat Aditya, Em?" Pertanyaan itu seperti menampar Ema. Ia baru sadar telah keceplosan. "Ti- Tidak. Sa- saya kebetulan tahu hobinya saat kuliah dulu." Ema memperhatikan alis Ilyas perlahan berkerut. Tatapan mereka terkunci dan udara mulai terasa berat. Bola mata pria itu yang kelabu seolah menghipnotisnya dan membuatnya tidak bisa berpaling. Seperti tertarik magnet, mata Ema turun ke arah bibir Ilyas yang merah muda. Suara pria itu terdengar lebih serak dan berat saat ia bicara, "Ema... Aku-" Pintu ruangan tiba-tiba terbuka lebar dan terdengar suara melengking. "Ilyas!" Tampak seorang wanita muda mengenakan gaun selutut yang dengan cepat menerjang dan memeluk pria yang masih duduk itu. Bibirnya yang berlipstik merah pun mendarat di pipi lelaki itu yang sedikit gelap. "Ilyas! Aku rindu banget!"Pemandangan mengejutkan itu membuat Ema refleks berdiri dari duduknya. Tampak si wanita yang baru datang itu masih bergelayutan di leher Ilyas. Pria itu menghindar saat wanita itu berusaha mencium bibirnya dengan menjauhkan tubuh mereka sepanjang lengannya."Stop, Di!"Wajah Ilyas terlihat sedikit merah dan ekspresinya jengkel. Pria itu mengusap pipinya kasar dan semakin kesal saat menemukan jejak lipstik di sana. Ia baru saja akan ke mejanya saat sadar masih ada Ema di sana. Mata mereka terkunci beberapa saat."Sebaiknya mungkin saya pergi sekarang pak."Menarik tisu dari mejanya, pria itu mengangguk sambil menyeka pipinya. Bibirnya tersenyum kecil."Saya akan memanggilmu lagi. Pembicaraan kita tadi belum selesai."Berusaha bersikap profesional, Ema mengangguk. Dan setelah tersenyum singkat pada wanita baru itu, ia pun langsung keluar dari ruangan Ilyas.Saat menekan tombol lift, kepala Ema menoleh ke ruangan Ilyas yang tertutup. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, tapi akhirny
Tampak kedua pasang mata menatap kepergian mobil sedan di depan mereka. Selama beberapa detik, tidak ada yang bicara sampai terdengar suara serak Ilyas memecah kesunyian di basement itu. "Kamu yakin sudah tidak apa-apa?" "Ya pak. Saya sudah tidak apa-apa." Rahang Ilyas mengeras, menatap wanita di depannya yang masih menunduk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana panjangnya. Terdengar hembusan nafas yang keras dari cuping hidung pria itu. "Kenapa ya, kok rasanya aku tidak percaya ceritamu tadi? Kamu yakin tadi hanya ketakutan karena salah mengira Adit penjahat? Kamu tidak bohong?" Mata Ema mengedip cepat tapi tetap menunduk. Ia akan sulit bersilat lidah kalau menatap langsung lelaki di depannya, yang seperti sedang menginterogasinya. "Saya tidak bohong pak. Tadi saya akan ke mobil saat mendengar suara langkah orang. Saya panik. Itu saja." "Kamu yakin?"
Dalam ruangan Herman, tampak Ilyas duduk nyaman di kursi di depan rekan kerjanya itu. Dengan santai, pria itu melemparkan sebuah map berisi beberapa berkas ke atas meja."Apa ini?""Kau lihat saja sendiri."Kening Herman berkerut saat ia menelusuri cepat berkas di tangannya. Setelahnya, ia menatap Ilyas."P*lecehan? Salah satu karyawan kita?"Kepala Ilyas meneleng dan ia menyangga dagunya dengan satu tangan. Tatapannya mengarah ke arah lain."Anak baru join kemarin. Aditya Prabukusuma. Kau pasti mengenal yang satunya. Andromeda. Bawahanmu."Tampak Herman sulit menelan. Ia kembali menatap berkas di tangannya."Kau yakin? Sepertinya, wajahnya tidak mirip Aditya."Mata Ilyas menatap tajam Herman. "Aku saksinya."Dua rekan kerja itu bertatapan sebentar, sampai Herman menghela nafasnya berat. Pria itu menutup berkas."Ilyas. Masalah Aditya ini-""Dia punya backing siapa? Kenapa kau
= Kantor TJ Corp. Di salah satu ruangan meeting. Hari Jumat =Pertemuan itu sudah berlangsung selama 20 menit, tapi pikiran Ilyas melayang ke mana-mana.Pria itu menatap lelaki di depannya yang sedang mempresentasikan rencana kerjanya 2 tahun ke dapan. Beberapa orang menunjukkan tampang puas dan menganggukkan kepala. Tanya jawab pun berlangsung lancar dan tidak ada kendala, sampai tatapan Adit berserobok dengan matanya sendiri."Pak Ilyas. Untuk menunjang kelancaran rencana kerja ini, dukungan dari tim Anda sangat kami perlukan. Dengan adanya aplikasi mobile yang lebih representatif, tentunya user akan mendapatkan experience yang berbeda. Mereka bisa langsung melakukan pembelian aset investasi tanpa harus mengunduh aplikasi lain. Dalam satu aplikasi, semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan sempurna."Perkataan itu belum direspon Ilyas. Pria itu malah menatap Adit lebih intens dan tanpa sadar, tangannya mengepal kencang di atas meja sampai bu
= Bioskop A. Jam 07.00 malam =Kaki bersepatu pantofel itu mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Beberapa kali pria itu menatap ke pintu kaca yang terdengar membuka, dan harus merasa kecewa setiap kalinya.Menatap ke arah jam tangannya, Ilyas mend*sah pelan. Sepertinya tiket ini harus dia buang.Kepalanya masih menunduk saat matanya menangkap sepasang sepatu kets yang berhenti di depannya. Pria itu menengadahkan kepalanya dengan gembira."Ema. Kamu datang?"Raut pria itu yang ceria membuat Ema tertegun sebentar. Wanita itu akhirnya mengangguk."Saya sudah janji akan datang."Pria itu berdiri. Tubuhnya yang tinggi menjulang di depan Ema yang hanya sebatas dagunya."Kamu tidak bawa mobil, kan?"Kening wanita itu sedikit berkerut, tapi ia lagi-lagi mengangguk."Ya. Kebetulan mobil saya di bengkel. Saya pakai taksi ke sini."Salah satu tangan Ilyas terangkat dan menunjukkan dua lembar tiket
= Beberapa hari kemudian. Kantor TJ Corp. Ruangan Ilyas. Sore hari ="Ini sudah beberapa hari, Em. Kamu sudah ambil keputusan?"Wanita yang duduk di sofa itu perlahan menggeleng. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap pria yang duduk di sebelahnya."Maaf, pak. Tapi sepertinya saya tidak bisa membantu.""Kalau ini masalah kompensasi...""Ini tidak ada hubungannya pak. Saya hanya tidak bisa memenuhi permintaan bapak kemarin."Selama beberapa menit tidak ada yang bicara. Ruangan kerja itu hening sekali.Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ema hampir berdiri saat tangannya ditarik kembali."Tunggu dulu, Em. Tunggu sebentar."Ema ingin menarik tangannya tapi ditahan Ilyas yang sedikit mencengkeramnya. Tampang pria itu gusar."Pak...""Tunggu sebentar, Em! Tunggu. Biarkan aku berfikir."Nada Ilyas yang sedikit tajam membuat Ema terdiam. Pria itu terlihat berfik
"Bu An?""Ya?"Ragu-ragu, Ayu duduk di depan atasannya itu. "Ibu tidak apa-apa? Sudah beberapa hari ini ibu kelihatan tidak sehat. Tidak mau cuti saja, bu?"Memaksakan senyuman di wajahnya yang pucat, Ema menggeleng."Saya baik-baik saja, Yu. Hanya kurang tidur dan minum vitamin. Itu saja.""Tapi-"Deringan telepon di meja Ema membuat wanita itu sigap mengangkatnya."Halo?"Perkataan seseorang di seberang, membuat wajah pucat Ema semakin memutih."Baik. Saya akan segera ke sana."Menutup telepon, sedikit panik wanita itu menoleh pada bawahannya."Ayu. Segera print kebutuhan MPP bagian Marketing dan pemenuhannya selama 6 bulan ini. Sekarang!"Tidak sampai 10 menit, wanita itu telah berdiri di depan salah satu ruangan meeting dan mengetuk pintunya."Masuk."Suara serak yang teredam itu membuat Ema memejamkan matanya sebentar. Kejadian itu sudah bebera
Dua orang yang tersisa dalam ruangan meeting itu masih tampak mematung.Merasa bersalah, Adit mendekati Ema. "An. Maafkan aku. Tapi tadi-"Tidak mau menatap pria itu, Ema duduk di salah satu kursi yang sedikit jauh. Wanita itu mengeluarkan tab yang tadi dibawanya dari ruangannya."Lebih baik kita langsung ke pokok masalahnya. Bisa Anda jelaskan lagi rencana kerja Anda tahun ini?""Andie... Aku-"Penuh kemarahan, Ema menggebrak meja di depannya sangat kencang. Membuat Adit terlonjak.Wanita itu menatap pria di depannya penuh permusuhan. Mulutnya terkatup rapat."Saya tidak mau mendengar pemintaan maaf Anda! Saya juga tidak punya waktu mengelus ego Anda yang terluka, pak Aditya! Saya dibayar untuk bekerja dan sebaiknya, Anda juga fokus saja di situ!"Mencoba menata emosinya kembali, Ema konsentrasi pada tab yang masih di tangannya."Sekarang, saya ingin mendengar lagi rencana kerja Anda tadi. Silahkan pak