Dalam ruangan Herman, tampak Ilyas duduk nyaman di kursi di depan rekan kerjanya itu. Dengan santai, pria itu melemparkan sebuah map berisi beberapa berkas ke atas meja.
"Apa ini?" "Kau lihat saja sendiri." Kening Herman berkerut saat ia menelusuri cepat berkas di tangannya. Setelahnya, ia menatap Ilyas. "P*lecehan? Salah satu karyawan kita?" Kepala Ilyas meneleng dan ia menyangga dagunya dengan satu tangan. Tatapannya mengarah ke arah lain. "Anak baru join kemarin. Aditya Prabukusuma. Kau pasti mengenal yang satunya. Andromeda. Bawahanmu." Tampak Herman sulit menelan. Ia kembali menatap berkas di tangannya. "Kau yakin? Sepertinya, wajahnya tidak mirip Aditya." Mata Ilyas menatap tajam Herman. "Aku saksinya." Dua rekan kerja itu bertatapan sebentar, sampai Herman menghela nafasnya berat. Pria itu menutup berkas. "Ilyas. Masalah Aditya ini-" "Dia punya backing siapa? Kenapa kau dan Stanley memaksa Andromeda merekrut-nya? Setahuku, dia tidak punya pengalaman di perusahaan teknologi. Dia terbiasa dengan B2C, tapi bukan B2B. Dia belum ada record sebagai Manager Marketing, kecuali kau mau bilang pengalamannya sebagai agen asuransi 'pengalaman'? Dia itu seorang Sales, Man. Hard sales! Direct! Apa yang kalian pikirkan saat memutuskan meng-hire-nya? Apalagi dengan tuntutan gajinya yang tidak masuk akal! Kita ini perusahaan swasta Man, bukan yayasan!" Nada suara Ilyas yang meninggi membuat Herman terdiam. Ia tahu rekannya ini sudah sangat marah. Cukup jarang pria di depannya ini mengomel panjang lebar seperti ini, kalau dia tidak marah. Berusaha menenangkan pria itu, Herman mencoba mengambil langkah aman. "Kau tahu nama Prabukusuma?" Dengusan kasar terdengar dari hidung Ilyas. Pria itu memalingkan kepala ke arah lain. "Jadi benar, dia bagian dari keluarga br*ngsek itu?" Kebencian yang menguar kuat dari rekannya membuat Herman terkejut. "Ilyas..." Tiba-tiba saja Ilyas berdiri. Berbeda dengan tadi, pria itu kali ini tersenyum dan suaranya kembali normal. "Sudahlah. Kau dan Stanley atur saja. Kalian yang berhak menentukan apakah si Aditya ini pantas direkrut atau tidak. Bukan aku. Stanley user-nya dan kau yang menentukan gajinya." "Ilyas, jangan begitu. Kau tahu sendiri aku dan Stanley selalu mendengar pendapatmu. Hanya saja, kali ini situasinya mendesak. Banyak barang-barang kita tertunda masuk karena masalah pajak. Kebetulan ada akses ke sana, jadi aku dan Stanley langsung mengambil keputusan. Aku minta maaf tidak melibatkanmu." Tatapan Ilyas menajam saat memandang Herman. Senyuman hilang dari bibirnya. "Aku sangat mengerti, Herman. Tidak perlu minta maaf padaku. Tapi aku ingatkan satu hal. Jangan sampai dia mengganggu Andromeda lagi. Kalau tidak, aku sendiri yang akan 'menghabisinya'." Kembali Herman sulit menelan ludahnya. Tapi pikirannya masih cukup waras untuk menangkap sesuatu yang sedikit tidak beres dari rekannya ini. Saat Ilyas akan membuka pintu, penuh ingin tahu Herman bertanya dengan bahasa asing, "Sebenarnya, apa hubunganmu dengan Andromeda? Kenapa kau sampai membelanya seperti ini? Apa kau suka padanya?" Wajah Ilyas yang menghadap pintu tampak kaku dan mengeras. Pria itu menggertakan giginya dan akhirnya berbalik menatap Herman. Ekspresinya terlihat biasa saja. "Kalau konteks 'suka' yang kau maksud adalah hubungan romantis, maka tidak. Aku tidak suka padanya. Aku hanya tidak suka ada seseorang yang berani mel*cehkan karyawanku. Biarpun itu orang lain dan bukan Andromeda, aku akan tetap mengatakan hal yang sama." Dua orang pria yang sudah saling mengenal hampir 20 tahun itu saling berpandangan beberapa saat. "Hagen. Mungkin ini saatnya kau membuka diri. Peristiwa itu sudah lama dan Andromeda bukan kandidat yang buruk untuk kau pertimbangkan. Wanita itu-" "Tidak." Terdengar Herman mend*sah dengan cukup putus asa. "Hagen..." "Aku tidak mau membicarakannya lagi." Pria tinggi itu dengan cepat membuka pintu dan menutupnya cukup kasar. Suara berdebum dari arah pintu membuat dua orang di balik meja menoleh terkejut. Keduanya menatap cemas punggung seseorang yang dengan tergesa berjalan melewati mereka, dan kembali membanting pintu ruangan kerjanya sendiri. Suasana di lantai itu terasa hening mencekam. Takut-takut, Sheila menatap Tantri. Tapi melihat wajah seniornya yang kaku, wanita itu tidak jadi bertanya. Ia baru saja akan kembali ke pekerjaannya, saat terdengar suara Tantri berbisik padanya, "Kamu harus cepat terbiasa. Kejadian seperti ini cukup sering terjadi di sini." "Apa semua direksi sepemarah itu?" Tantri tampak mengatur beberapa berkas, tapi kepalanya mengangguk singkat. "Banyak masalah perusahaan yang membuat mereka cepat emosi. Kamu harus cepat menangkap karakter bos kita, agar tidak salah langkah. Pak Stanley orang yang supel, tapi tidak sabar. Dia bisa membanting barang atau melempar berkas kalau karyawannya tidak becus bekerja." Wajah Sheila mulai memucat. Tapi wanita itu berusaha menahan lidahnya. "Pak Herman cukup bijaksana. Ia jarang marah, meski tidak terlalu ramah. Tapi jangan salah, dia lebih sadis dari pak Stanley saat memberikan punishment ke karyawan. Tidak satu atau dua orang karyawan yang keluar dari ruangan pak Herman dibuatnya menangis. Pokoknya, jangan pernah melanggar aturan perusahaan." Belum mendengar kelanjutannya, Sheila menoleh ke arah Tantri. "Kalau pak Ilyas?" Tidak disangka, Tantri meletakkan berkas-berkas yang sedang diaturnya ke atas meja. Ia tampak menghela nafas dan menatap juniornya. Pandangannya serius. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana tapi yang jelas, pak Ilyas itu paling aneh di antara mereka bertiga." Alis Sheila yang melengkung tampak berkerut. "Aneh?" Lagi-lagi, Tantri menghembuskan udara dari hidungnya. Wanita itu tampak berfikir. "Awal-awal kerja dulu, aku sempat kaget dengan ritme kerja pak Ilyas. Orang itu seperti tidak pernah tidur. Dia akan mengirimkan pesan atau email instruksi di jam-jam aneh. Kalau kebetulan aku membalasnya saat itu, maka dia langsung mengirimkan pesan balasan di jam yang sama. Setelah aku bilang keberatan harus stand by 24/7, dia malah bilang tidak pernah menuntutku bekerja dengan ritme-nya. Karenanya setelah itu, aku juga baru akan meresponnya di jam-jam normal saja. 7 to 9. Dan tidak ada protes dari dia." "Mungkin dia gila kerja." "Bisa jadi. Karena yang aku tahu, dia satu-satunya yang jarang mengambil cuti beberapa tahun ini. Mungkin karena belum berkeluarga, jadi dia tidak pernah liburan lama." Melihat kesempatan untuk sedikit bergosip, Sheila mendekatkan tubuh ke seniornya. "Aku cukup kaget saat tahu dia orang asing tulen. Maksudku, bahasa Indonesia-nya sangat bagus. Seperti orang Indonesia asli, cuman tampangnya bule." Seniornya yang cantik tampak mengangguk. "Dia orang asing tulen. Aku yang biasanya mengurus surat izin kerjanya di Indonesia. Mengenai fasihnya bahasa dia, aku juga tidak terlalu tahu. Yang aku tahu dia lahir dan besar LN. Baru beberapa tahun ini, dia ke Indonesia dan join dengan perusahaan." Melihat juniornya sedang menyentuh layar ponselnya, refleks Tantri menghentikan wanita itu. "Kamu sedang apa?" "Mengecek sosial media-nya. Dia tidak punya sosmed selain LinkedIn. Tapi juga tidak lengkap. Mungkin-" Tanpa diduga, Tantri merebut ponsel itu dan menyimpannya di laci. "Hey!" "Jangan melakukannya lagi kalau tidak mau dipecat." Ancaman itu membuat protesan di lidah Sheila terhenti. "Apa maksudmu?" "Jaringan internet di gedung ini berada di bawah pengawasan pak Ilyas. Meski kamu menggunakan VPN, tapi dia dan timnya punya cara untuk menembusnya. Beberapa orang langsung dipecat saat ketahuan mengakses situs-situs terlarang atau mencari tahu informasi sensitif." "Masa sampai segitunya..." "Jangan lupa pak Ilyas itu Direktur Operasional. Tugasnya dia menjaga keamanan dan kelancaran jaringan di perusahaan ini. Jangan pernah percaya dengan tampangnya yang sering tersenyum. Kalau kamu melakukan sesuatu yang tidak disukainya, dia akan langsung memecatmu dan bisa mem-blacklist-mu untuk melamar ke perusahaan teknologi lain. Masa depanmu akan jadi tidak jelas, khususnya kalau kamu bekerja di bagian IT. Intinya, jangan pernah macam-macam dengan direksi kita. Terutama dengan pak Ilyas."= Kantor TJ Corp. Di salah satu ruangan meeting. Hari Jumat =Pertemuan itu sudah berlangsung selama 20 menit, tapi pikiran Ilyas melayang ke mana-mana.Pria itu menatap lelaki di depannya yang sedang mempresentasikan rencana kerjanya 2 tahun ke dapan. Beberapa orang menunjukkan tampang puas dan menganggukkan kepala. Tanya jawab pun berlangsung lancar dan tidak ada kendala, sampai tatapan Adit berserobok dengan matanya sendiri."Pak Ilyas. Untuk menunjang kelancaran rencana kerja ini, dukungan dari tim Anda sangat kami perlukan. Dengan adanya aplikasi mobile yang lebih representatif, tentunya user akan mendapatkan experience yang berbeda. Mereka bisa langsung melakukan pembelian aset investasi tanpa harus mengunduh aplikasi lain. Dalam satu aplikasi, semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan sempurna."Perkataan itu belum direspon Ilyas. Pria itu malah menatap Adit lebih intens dan tanpa sadar, tangannya mengepal kencang di atas meja sampai bu
= Bioskop A. Jam 07.00 malam =Kaki bersepatu pantofel itu mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Beberapa kali pria itu menatap ke pintu kaca yang terdengar membuka, dan harus merasa kecewa setiap kalinya.Menatap ke arah jam tangannya, Ilyas mend*sah pelan. Sepertinya tiket ini harus dia buang.Kepalanya masih menunduk saat matanya menangkap sepasang sepatu kets yang berhenti di depannya. Pria itu menengadahkan kepalanya dengan gembira."Ema. Kamu datang?"Raut pria itu yang ceria membuat Ema tertegun sebentar. Wanita itu akhirnya mengangguk."Saya sudah janji akan datang."Pria itu berdiri. Tubuhnya yang tinggi menjulang di depan Ema yang hanya sebatas dagunya."Kamu tidak bawa mobil, kan?"Kening wanita itu sedikit berkerut, tapi ia lagi-lagi mengangguk."Ya. Kebetulan mobil saya di bengkel. Saya pakai taksi ke sini."Salah satu tangan Ilyas terangkat dan menunjukkan dua lembar tiket
= Beberapa hari kemudian. Kantor TJ Corp. Ruangan Ilyas. Sore hari ="Ini sudah beberapa hari, Em. Kamu sudah ambil keputusan?"Wanita yang duduk di sofa itu perlahan menggeleng. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap pria yang duduk di sebelahnya."Maaf, pak. Tapi sepertinya saya tidak bisa membantu.""Kalau ini masalah kompensasi...""Ini tidak ada hubungannya pak. Saya hanya tidak bisa memenuhi permintaan bapak kemarin."Selama beberapa menit tidak ada yang bicara. Ruangan kerja itu hening sekali.Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ema hampir berdiri saat tangannya ditarik kembali."Tunggu dulu, Em. Tunggu sebentar."Ema ingin menarik tangannya tapi ditahan Ilyas yang sedikit mencengkeramnya. Tampang pria itu gusar."Pak...""Tunggu sebentar, Em! Tunggu. Biarkan aku berfikir."Nada Ilyas yang sedikit tajam membuat Ema terdiam. Pria itu terlihat berfik
"Bu An?""Ya?"Ragu-ragu, Ayu duduk di depan atasannya itu. "Ibu tidak apa-apa? Sudah beberapa hari ini ibu kelihatan tidak sehat. Tidak mau cuti saja, bu?"Memaksakan senyuman di wajahnya yang pucat, Ema menggeleng."Saya baik-baik saja, Yu. Hanya kurang tidur dan minum vitamin. Itu saja.""Tapi-"Deringan telepon di meja Ema membuat wanita itu sigap mengangkatnya."Halo?"Perkataan seseorang di seberang, membuat wajah pucat Ema semakin memutih."Baik. Saya akan segera ke sana."Menutup telepon, sedikit panik wanita itu menoleh pada bawahannya."Ayu. Segera print kebutuhan MPP bagian Marketing dan pemenuhannya selama 6 bulan ini. Sekarang!"Tidak sampai 10 menit, wanita itu telah berdiri di depan salah satu ruangan meeting dan mengetuk pintunya."Masuk."Suara serak yang teredam itu membuat Ema memejamkan matanya sebentar. Kejadian itu sudah bebera
Dua orang yang tersisa dalam ruangan meeting itu masih tampak mematung.Merasa bersalah, Adit mendekati Ema. "An. Maafkan aku. Tapi tadi-"Tidak mau menatap pria itu, Ema duduk di salah satu kursi yang sedikit jauh. Wanita itu mengeluarkan tab yang tadi dibawanya dari ruangannya."Lebih baik kita langsung ke pokok masalahnya. Bisa Anda jelaskan lagi rencana kerja Anda tahun ini?""Andie... Aku-"Penuh kemarahan, Ema menggebrak meja di depannya sangat kencang. Membuat Adit terlonjak.Wanita itu menatap pria di depannya penuh permusuhan. Mulutnya terkatup rapat."Saya tidak mau mendengar pemintaan maaf Anda! Saya juga tidak punya waktu mengelus ego Anda yang terluka, pak Aditya! Saya dibayar untuk bekerja dan sebaiknya, Anda juga fokus saja di situ!"Mencoba menata emosinya kembali, Ema konsentrasi pada tab yang masih di tangannya."Sekarang, saya ingin mendengar lagi rencana kerja Anda tadi. Silahkan pak
= Rumah keluarga besar Tjakradinigrat. Beberapa hari kemudian. Hari Sabtu =Sambutan untuk pria yang baru datang itu hangat dan menyenangkan. Setidaknya, pelukan dari beberapa orang di sana benar-benar tulus padanya.Seorang wanita berusia hampir 90-an menghampiri tamunya yang baru datang. Tubuhnya yang ditopang tongkat sudah renta, tapi wajahnya masih terlihat cantik. Tampak ia menjaga kesehatan dan penampilannya."Ilyas! Kamu akhirnya datang juga!"Mencium pipi yang keriput itu, Ilyas memberikan kotak kado kecil yang terbungkus indah."Selamat ulang tahun, Oma."Bukannya menerima kado itu, mata tua yang sudah rabun itu malah antusias mencari ke belakang cucunya."Mana dia? Kamu bawa dia, kan?'Tersenyum kecut, pria itu mer*mas lembut lengan nenek-nya."Maaf, Oma. Dia tiba-tiba sakit. Aku tidak bisa membawanya ke sini."Menepuk kencang tangan Ilyas, mata tua itu melotot ke arahnya."S
= Kantor TJ Corp. Ruangan Stanley = "Presentasi-mu cukup bagus tadi. Sudah ada kemajuan." Sinar kegembiraan tampak di wajah Adit, tapi binar itu tidak berlangsung lama karena perkataan berikutnya. "Tapi tidak cukup bagus untuk saya. Atau pun Ilyas." Salah satu tangan Stanley mengetuk-ngetuk pemberat kertasnya. Pria itu memandang bawahannya tajam. "Sudah berapa lama kau join, Dit?" Menelan ludah, Adit menjawab gugup, "Hampir 3 bulan, pak." "Selama 3 bulan ini, apa pencapaianmu?" Pertanyaan itu membuat Adit terdiam. Matanya nanar memandang ke tangannya sendiri. Dengusan terdengar dari mulut Stanley. Raut wajah pria yang biasanya ramah itu menggelap. "Saya masih memaklumi kegagalanmu menyampaikan materi di awal kau baru join. Saya juga cukup maklum waktu kau bilang kekurangan SDM dan memojokkan bawahan Herman. Tapi sekarang?"
"Kamu mau minum apa?""Hm. Yang itu."Baru saja Ema akan mengeluarkan dompetnya, tangannya ditepis pria di sampingnya."Hari ini aku yang traktir.""Tapi bapak sudah membayar beberapa kali pak. Terakhir nonton, bapak juga beli yang paling mahal-""Kalau gitu, kapan-kapan kamu undang saja lagi aku ke rumahmu. Masakin aku makanan yang enak."Wanita itu tampak berfikir sebentar. "Saya akan traktir bapak di restoran baru-""Aku sudah sering makan di restoran, Em. Aku mau makan masakan rumahan. Di rumahmu."Nafas Ema terdengar menderu. Wanita itu jengkel sekali."Pak... Tidak pantas pria dan wanita berduaan di dalam kamar. Apalagi, bapak ini atasan saya.""Memangnya kamu naksir aku, Em?"Pertanyaan itu membuat Ema menatap Ilyas beberapa saat. "Tidak. Tapi seperti saya bilang dulu-""Tidak akan terjadi apapun di antara kita selama kamu tidak ingin, Em. Aku janji padamu."En
= Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu
"Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang
= Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa
"Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.
Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"
Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare
= Sekitar dua tahun kemudian. Kota B. Indonesia = Tampak seorang pria sedang bermain dengan anak perempuan di teras depan sebuah rumah sederhana. Wajah pria itu terlihat gembira dan bahagia saat memeluk balita itu. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti balita yang baru belajar jalan tersebut dan saat anak itu hampir jatuh, lelaki itu dengan sigap memeluknya. "Ups. Hati-hati, Nana..." Anak itu hanya tertawa, memperlihatkan gusinya yang masih ompong. Melihat itu, sang pria itu hanya tertawa geli dan memeluk anak itu erat-erat di tangannya. "Adit." Panggilan itu membuat Adit menoleh, masih tersenyum. Ia langsung berdiri dan memangku balita itu. "Papih." Sangat sopan, Adit membungkuk dan mencium punggung tangan pria tua yang pernah menjadi mertuanya.
= Salah satu taman bermain. Kota B. Indonesia = "Bagaimana kabarmu?" Pria yang duduk di depannya itu mengangguk. "Baik. Kamu sendiri?" "Aku juga baik..." Tatapan keduanya bertemu dan terlihat senyuman sendu dari mereka berdua. Mata pria itu turun dan menatap perut wanita di depannya yang tampak membesar. Bola matanya terlihat sedikit berair dan lelaki itu mengerjapkan matanya cepat. Suaranya terdengar pelan saat bertanya, "Kapan kamu lahiran?" "Sekitar 2 minggu lagi." Kepala pria itu mengangguk dan ia menelan ludahnya. Wajahnya sedikit memerah. "Maafin aku, Min... Kalau aku tahu..." Sesaat keduanya terdiam. Mimin menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya belum sampai setahun lalu. Sama seperti lelaki itu, ia menundukkan kepalanya.
"Bagaimana isteri saya dok?" Pertanyaan itu membuat sang dokter menaikkan salah satu alisnya. "Kalau Anda mau menoleh sedikit, Anda bisa melihat kondisi isteri Anda langsung, Tuan Hagen." Kepala Ilyas masih berpaling ke arah lain. Kedua matanya menutup erat. "Sa- Saya ga bisa dok! Saya ga bisa lihat dia kesakitan!" "Tiap wanita yang melahirkan pasti kesakitan, Tuan. Kalau keenakan, itu namanya sedang org*sme." Candaan itu sama sekali tidak membuat pria tinggi itu tersenyum. Wajahnya pucat dan berkeringat. Teriakan pendek wanita di sampingnya membuat sang dokter kembali konsentrasi. "Apa sudah keluar?" "Masih kepalanya." Kembali teriakan itu terdengar dan Ilyas sedikit melirik takut-takut. "Sudah keluar?" "Kelihatan bahunya."