= Kantor TJ Corp. Ruangan Stanley =
"Presentasi-mu cukup bagus tadi. Sudah ada kemajuan." Sinar kegembiraan tampak di wajah Adit, tapi binar itu tidak berlangsung lama karena perkataan berikutnya. "Tapi tidak cukup bagus untuk saya. Atau pun Ilyas." Salah satu tangan Stanley mengetuk-ngetuk pemberat kertasnya. Pria itu memandang bawahannya tajam. "Sudah berapa lama kau join, Dit?" Menelan ludah, Adit menjawab gugup, "Hampir 3 bulan, pak." "Selama 3 bulan ini, apa pencapaianmu?" Pertanyaan itu membuat Adit terdiam. Matanya nanar memandang ke tangannya sendiri. Dengusan terdengar dari mulut Stanley. Raut wajah pria yang biasanya ramah itu menggelap. "Saya masih memaklumi kegagalanmu menyampaikan materi di awal kau baru join. Saya juga cukup maklum waktu kau bilang kekurangan SDM dan memojokkan bawahan Herman. Tapi sekarang?""Kamu mau minum apa?""Hm. Yang itu."Baru saja Ema akan mengeluarkan dompetnya, tangannya ditepis pria di sampingnya."Hari ini aku yang traktir.""Tapi bapak sudah membayar beberapa kali pak. Terakhir nonton, bapak juga beli yang paling mahal-""Kalau gitu, kapan-kapan kamu undang saja lagi aku ke rumahmu. Masakin aku makanan yang enak."Wanita itu tampak berfikir sebentar. "Saya akan traktir bapak di restoran baru-""Aku sudah sering makan di restoran, Em. Aku mau makan masakan rumahan. Di rumahmu."Nafas Ema terdengar menderu. Wanita itu jengkel sekali."Pak... Tidak pantas pria dan wanita berduaan di dalam kamar. Apalagi, bapak ini atasan saya.""Memangnya kamu naksir aku, Em?"Pertanyaan itu membuat Ema menatap Ilyas beberapa saat. "Tidak. Tapi seperti saya bilang dulu-""Tidak akan terjadi apapun di antara kita selama kamu tidak ingin, Em. Aku janji padamu."En
"Andie! Kamu datang juga!"Sambutan yang meriah diberikan ketiga teman Ema yang sedang berada di ruang tamu. Empat orang itu saling berpelukan sebentar dengan penuh haru. Menarik tangan Ema untuk duduk, mata Tika masih sedikit berkaca-kaca."Apa kabarmu, An? Aku rindu sekali! Sudah lama aku ingin kita semua ketemuan lagi."Kedua lengan Cia juga memeluk bahu Ema. "Aku juga, An. Aku rindu."Ema tertawa. Hatinya sedikit bahagia saat tahu bahwa masih ada yang merindukannya."Aku juga rindu kalian semua. Oh ya, De. Ini untuk dede bayi. Selamat ya."Menerima kado itu, Ade mengedipkan matanya."Tadi kamu dianter siapa, An? Suami-mu?"Kepala Ema menggeleng, dan ia tersenyum. Sangat sudah menduga pertanyaan itu."Cuman temen. Kebetulan dia ada keperluan di daerah sini.""Temen apa temen, An?""Apa temen tapi mesra?"Ketiga wanita itu berteriak kegirangan. Mereka ber-empat mas
Beberapa kali Ilyas melirik sebelahnya, tapi pandangan wanita itu mengarah ke jendela. Tidak tahu akan bagaimana reaksi Ema, pria itu memutuskan melemparkan pancingan."Maaf aku jemput kamu tadi. Soalnya kalian seperti sedang bertengkar di sana."Perkataan itu berhasil membuat Ema berpaling dan menatapnya. Wanita itu tampak tersenyum."Tidak pak. Saya justru berterima kasih bapak datang jemput saya tadi."Lega dengan reaksi wanita itu, Ilyas sedikit memelankan mobilnya."Kamu mau pulang sekarang?"Raut Ema terlihat cerah. Sama sekali tidak ada jejak keruh seperti yang dilihatnya sebelumnya."Ke supermarket pak. Saya kan sudah janji mau masak buat bapak.""Kamu yakin, Em? Aku ga apa-apa kalau kamu mau langsung pulang."Tampak wanita itu mengeluarkan kertas dengan tulisan cakar ayam di tangannya."Saya sudah me-list bahannya. Kecuali bapak sudah ada acara lain hari ini."Menata
Suara ketukan pelan di meja membuat kepala yang tadinya sedang menunduk itu, akhirnya mendongak. "Selamat sore, An.""Selamat sore, pak Aditya."Menatap Ema, Adit menelisik raut wajah dan mata wanita itu. Dulu, ia sering melihat sinar mata Ema yang berbinar saat memandangnya. Pipinya sedikit bersemu tiap kali ia tersenyum dan menunjukkan lesungnya. Tapi yang ada di hadapannya sekarang, adalah sosok wanita karir yang memandangnya datar dengan sorot mata yang jelas menyiratkan bahwa tidak ada hubungan apapun antara mereka, selain sebagai rekan kerja.Kepala Adit sedikit menunduk tapi pria itu tersenyum."Terima kasih sudah men-support-ku tadi, An. Kamu memberikan masukan yang sangat membantu."Wanita itu mengangguk singkat dan tampak menutup laptop-nya. Senyumnya sopan."Tidak masalah pak. Kebetulan saya juga diberi tanggungjawab oleh pak Herman untuk mengatur komisi bagi para tim sales dan marketing. Budget pen
Ciuman Ilyas terasa bertubi-tubi di wajah dan segera turun ke leher wanita mungil itu. Ema cukup kewalahan dengan perilaku pria itu yang cukup liar saat mereka hanya berdua.Kaki belakangnya menendang tembok, saat Ilyas mendorongnya ke belakang. Pria itu masih menciuminya."P- Pak!"Wanita itu terengah ketika lelaki itu menggigiti lehernya yang jenjang dan memberi ciuman panas di sana. Kancing kemejanya hampir terbuka separuh, dan ia sudah terbuai dengan belaian pria yang memeluknya.Pikiran sehatnya hampir melayang dan tiba-tiba tersadar, saat telapakan pria itu yang sangat panas terasa mengelus dan mer*mas d*danya cukup kuat. Jari-jari lelaki itu mulai menarik kain pelindung itu ke bawah.Membuka matanya, segera saja tangan Ema mencengkeram pergelangan Ilyas. "Pak!"Deruan nafas pria itu terdengar sangat kasar di telinga wanita itu. Bibir lelaki itu masih berada di lehernya."Please, Em... Sedikit saja..."Sua
= Keesokan harinya. Bioskop A. Jam 07.00 malam ="Pak? Pak Ilyas?"Gerakan di lengannya membuat Ilyas menoleh. Tampak Ema sedang memandanginya khawatir."Pak? Bapak ga apa-apa? Yakin mau tetap nonton malam ini?"Suara wanita itu sangat lembut dan terdengar tulus. Ada sesuatu dalam suara Ema yang membuat Ilyas sedikit tertusuk di hatinya. Ia merasa bersalah. "Aku baik-baik saja. Kamu juga sudah beli tiket kan? Ayo kita masuk." Pria itu berusaha tersenyum.Kakinya baru melangkah saat lengannya kembali ditarik pelan."Bapak yakin? Kita bisa langsung pulang saja pak. Tiket ini juga masih bisa saya kembalikan."Kedua mata Ilyas memandang wajah wanita itu dan bibirnya tersenyum lebih lebar. Ia menoel dagu Ema."Aku ga mau pulang, Ema. Lagian, kamu juga tahu kita punya jadwal tetap kan?"Pria itu menggandeng tangan Ema tapi kemudian melepasnya saat mereka sudah masuk studio. Keduanya duduk
Suara langkah lalu-lalang dan riuh rendah dari banyak pengunjung di kafe tampak tidak mempengaruhi dua manusia yang sedang duduk saling berhadapan. Pandangan mereka tertunduk ke arah cangkir di atas meja, sampai salah satu di antaranya akhirnya memecah kesunyian itu."Bagaimana kabarmu?" Pertanyaan itu dilontarkan ragu-ragu, tapi penuh rasa ingin tahu.Mendongak, wanita yang tadinya tertunduk itu mengerjapkan matanya yang bulat dan tersenyum lembut. Perlahan, ia menyenderkan punggungnya ke kursi di belakangnya. Kedua tangan di pangkuannya."Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya. Kamu sendiri, gimana kabarnya?"Pria tampan itu sejenak terdiam, tapi kemudian senyuman mulai muncul di bibirnya."Aku juga baik-baik saja."Keduanya berpandangan dan saling memberikan senyuman, seperti teman lama. Wanita bernama Ema itu mengambil kopinya dan hampir menyesapnya saat terdengar lagi suara si pria."Kamu sudah nikah?"Ada jeda sesaat ketika Ema menatap pria di depannya. Ia kemudian mem
"Ema? Tumben ketemu di sini."Mata Ema mengerjap mendengar panggilan akrab itu. Wanita itu berusaha menampilkan senyuman simpul profesional, untuk menutupi perasaan panas yang mulai muncul di d*danya.Kenapa dari sekian banyak orang, harus ketemu orang ini lagi sih? Tadi Adit, sekarang orang ini?"Hem. Iya, pak."Enggan memperpanjang, Ema mengalihkan perhatian kembali ke layar. Hatinya masih kesal saat mengingat kejadian menjengkelkan siang tadi ketika meeting kuartal dengan pria ini. Bahu wanita itu sedikit naik saat ia menarik nafas dalam-dalam, dan mulai menyuapkan popcorn-nya.Selama beberapa saat, konsentrasi wanita itu terpusat penuh pada layar bioskop. Fokusnya terganggu saat merasakan pria di sampingnya mulai bergerak-gerak gelisah dan makin memepet ke arahnya.Jengkel, kepala Ema menoleh dan ia berbisik rendah, "Kenapa sih, pak?"Wanita itu sedikit terkejut saat Ilyas mendekatkan wajah ke arahnya. Ema dapat merasakan hembusan udara hangat dan berbau mint saat pria itu balas