= Salah satu kedai kopi di kota J. Jam 07.30 malam =
Meletakkan cangkirnya di meja, senyuman Ema tampak mengembang."Tumben kamu datang lagi ke kota J, Tik. Ada urusan?"Temannya terkekeh pelan."Kebetulan suami-ku lagi perjalanan dinas ke sini. Karena dapet jatah hotel, ya sudah dia ajak aku. Kita juga besok akan langsung pulang, makanya aku ajak kamu ketemuan malem ini."Ema ikut terkekeh. "Yah. Hitung-hitung bulan madu karena belum ada anak kan? Kalau sudah punya anak pasti akan repot dan kamu ga akan bisa gini lagi."Tika masih tertawa, tapi lama-lama suara tawa itu menghilang. Kali ini wanita itu tersenyum sedih."Aku dan mas Anton sudah pasrah, An. Kami sudah nikah hampir 3 tahun, tapi sampai sekarang belum dapat momongan. Mungkin belum rezeki kali ya."Tangan Ema mer*mas tangan temannya di atas meja. Wanita itu tersenyum tidak enak."Maaf, Tik. Aku ga bisa hibur kamu. Aku ga bisa ngomong apa-apaHari sabtu pagi itu cerah. Cahaya matahari masuk dari jendela balkon dan angin terasa berhembus lembut. Di depan jendela, Ema memandang kejauhan. Tatapannya terlihat melamun. Wanita itu sudah berdiri cukup lama sampai perhatiannya teralih karena deringan ponselnya."Halo?""Em? Aku sudah di bawah.""Ok. Sebentar pak. Saya segera turun."Beberapa menit kemudian, keduanya kembali masuk ke ruangan. Wangi harum masakan membuat kepala Ilyas menoleh dan wajah pria itu sumringah."Kamu masak apa? Bau-nya enak banget."Senyuman Ema mengembang. Wanita itu meletakkan kantong makanan penutup yang dibawa Ilyas ke meja."Cuman masakan rumahan kok. Ayo kita makan sekarang."Setelah Ilyas selesai menyuapkan sendok terakhirnya, Ema terkekeh pelan."Laper banget pak? Makannya rakus begitu.""Aku memang laper, Em. Dari tadi malem belum makan juga.""Bapak harus makan teratur. Kalau ga, nanti b
Di dalam toilet yang luas itu, tampak Ema memperhatikan penampilannya. Ia mengoleskan lipstik-nya tipis di bibir dan kembali mengamati bayangannya di cermin yang besar.Benak wanita itu berputar-putar saat ia mencoba menilai dirinya sendiri. Ia memiliki gelar di belakang namanya. Ia juga punya uang di rekeningnya. Secara fisik, dia juga tidak jelek. Rambutnya panjang dan indah. Matanya bulat dan besar. Tubuhnya semampai. Ia tidak cacat. Ia sempurna.Tapi nyatanya, apa yang ia miliki ternyata tetap tidak cukup untuk membuat seseorang tulus mencintainya.Tidak dulu, tidak sekarang. Ia tetaplah Ema yang dulu. Ema yang berasal dari kota kecil dan sangat polos. Seorang wanita miskin yang sangat mudah dimanfaatkan, dan ia pun terlalu bodoh untuk menyadarinya.Wanita itu menutup matanya erat dan mengambil nafas beberapa kali. Setelah berhasil menenangkan diri, ia pun keluar dari toilet. Saat berjalan kembali ke ruang tamu, telinganya
Selama seminggu ke depan, dua orang yang tadinya cukup sering ketemu sembunyi-sembunyi itu kini saling menghindar. Tidak hanya karena sibuk masalah pekerjaan, tapi juga karena keduanya masih belum sanggup menghadapi secara frontal masalah mereka sendiri. Satu sama lain masih takut mengungkap kebenaran.Tidak ada yang sadar hubungan dua orang itu mendingin, sampai suatu ketika Stanley bertemu Herman."Kau perhatikan Ilyas akhir-akhir ini?"Membubuhkan tanda tangan di berkas terakhir, Herman menggeleng ringan."Memang kenapa dengan Ilyas? Sepertinya biasa saja."Pria itu berdiri dan akhirnya duduk di sofa. Ia meminum santai kopi yang disediakan sekretarisnya tadi."Entahlah. Tapi aku lihat sepertinya dia kurang tidur lagi. Kantong matanya hitam."Perkataan Stanley membuat Herman terdiam dan meletakkan cangkirnya."Mungkin dia punya masalah di pikirannya. Kau tahu sendiri kan, dia seperti apa.""Karena itu
"Kamu masih kedinginan, Em? Cuaca agak dingin malam ini." "Ga apa-apa pak. Nanti juga hangat." Tanpa mengatakan apapun lagi, Ilyas membantu Ema memakaikan jas-nya di luar jaket wanita itu. "Pak? Nanti bapak yang kedinginan." Menyender ke bahu Ema, Ilyas mengambil tangan wanita itu dan mengusapnya lembut. Ia menautkan jari-jari mereka dan menggenggamnya erat. Hati pria itu berdesir hangat. "Aku ga pernah kedinginan, Em. Kan ada kamu." Wanita itu terkekeh kecil. Pria itu bisa merasakan kepalanya dicium pelan oleh wanita di sebelahnya. "Kalau capek, tidur ya pak. Nanti akan saya bangunkan." Mendekatkan hidungnya ke leher Ema, Ilyas bisa melihat denyutan samar di kulit leher wanita itu yang halus. Bibirnya mendekat dan ia mengecupnya. Hidungnya mengendus aroma wanita itu yang sangat dikenalinya. "Pak?" Tubuh pria itu makin beringsut mendek
Aku mengerti? "Ilyas?" Kenapa aku bilang, aku mengerti? "Hagen?" Tangan kirinya yang memegang bolpoin mengetat. Goresannya di atas kertas menguat dan makin menekan. Wajahnya tanpa sadar mengeras dan keningnya berkerut dalam. Mulutnya tertekuk ke bawah. Apa yang aku mengerti dari kata-kata wanita itu? Tidak! Aku tidak mengerti! Aku tidak akan pernah- "Hagen!" Seruan itu membuat Ilyas terkejut dan refleks, mata penanya yang tajam membuat robekan pada kertas itu. Suara koyakan terdengar kencang dalam ruangan yang tadinya hening itu. Beberapa pasang mata tertuju padanya. Semua orang memandangnya dengan bola mata melebar dan raut mereka terlihat tegang. Tidak ada satu pun yang bersuara. "Hagen. Ada apa denganmu?" Teguran itu membuat Ilyas menoleh ke samping. Tampak Stanley memandanginya tajam, dan juga cemas. Mengepalkan sat
"Andie. Aku perlu bicara denganmu." Ia baru keluar dari toilet, dan tiba-tiba saja pria ini menghadang di hadapannya. Memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di sekitar mereka, Ema sedikit memelankan suaranya. "Ada keperluan apa?" Mata Adit memejam sebentar. Pria itu terlihat frustasi. "Aku perlu bicara dengan seseorang. Kepalaku mau pecah. Please, An. Sekali ini saja." Menghela nafasnya, Ema memperhatikan tampilan kusut pria di depannya. Tadi ia mendengar selentingan, kalau lelaki ini menjadi bulan-bulanan saat rapat siang dengan direksi. Ilyas sudah menghabisinya. Ema sangat tahu perasaan pria ini, karena dulu dia juga pernah mengalaminya. "Baiklah. Saya punya waktu sebentar saja. Kita bisa bicara di ruangan meeting kecil di sana." "Kita ke kafe. Aku akan-" "Ruangan meeting, pak Aditya. Di sini, atau tidak sama sekali."
Menatap pintu kamar yang tertutup itu, konsentrasi Ilyas kembali ke teko air yang ada di atas kompor. Seolah telah tinggal lama di sana, pria itu mempersiapkan teh dan menyeduhnya dengan air panas. Berdiri di depan kamar, Ilyas mengetuknya pelan. "Ema? Boleh aku aku masuk?" Terdengar suara kunci yang diputar dan pintu itu terbuka. Tampak wanita itu berdiri dengan muka kusut. Ia terlihat sudah mandi dan mengenakan baju rumahnya. "Boleh aku masuk?" Kepala wanita itu mengangguk dan duduk di tempat tidur. Melangkahkan kakinya, Ilyas memandang sekelilingnya. Tidak ada yang bisa dilihat sebenarnya. Kamar tidur itu hanya cukup untuk satu tempat tidur ukuran queen, sebuah lemari pakaian, dan satu meja kecil. Tampak ada satu pintu tertutup yang ia tahu mengarah ke kamar mandi. Meletakkan cangkir teh ke atas meja, Ilyas duduk di samping Ema. Ia mengambil tangan wanita itu.
Hampir 20 menit lamanya, pria di tempat tidur itu berbaring diam. Ia menunggu wanita di sampingnya terbangun, tapi detik demi detik berlalu dan wanita itu malah beringsut menjauh dan berbaring membelakanginya. Memandang langit-langit di atasnya, Ilyas menimbang-nimbang. Hatinya ragu. Ema wanita baik, Hag. Kau sudah menipunya sekali, apa kau yakin akan menipunya kedua kali? Melirik ke sampingnya, pria itu menumpu tangan di bawah kepala dan memandangi punggung Ema. Sambil melamun, tangannya terulur dan mengelus kulit wanita itu yang halus. Ia menarik dirinya mendekat dan mencium punggung itu ringan. Ilyas menyenderkan kepalanya di sana dan matanya terpejam, menikmati momen kedekatannya dengan wanita itu. Lengannya memeluk Ema erat. Jantungnya berdebar lebih cepat, bersamaan dengan matanya yang perlahan terbuka. Maafkan aku, Em. Aku tidak bisa kehilangan kamu lagi. Aku butuh kamu.
= Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu
"Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang
= Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa
"Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.
Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"
Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare
= Sekitar dua tahun kemudian. Kota B. Indonesia = Tampak seorang pria sedang bermain dengan anak perempuan di teras depan sebuah rumah sederhana. Wajah pria itu terlihat gembira dan bahagia saat memeluk balita itu. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti balita yang baru belajar jalan tersebut dan saat anak itu hampir jatuh, lelaki itu dengan sigap memeluknya. "Ups. Hati-hati, Nana..." Anak itu hanya tertawa, memperlihatkan gusinya yang masih ompong. Melihat itu, sang pria itu hanya tertawa geli dan memeluk anak itu erat-erat di tangannya. "Adit." Panggilan itu membuat Adit menoleh, masih tersenyum. Ia langsung berdiri dan memangku balita itu. "Papih." Sangat sopan, Adit membungkuk dan mencium punggung tangan pria tua yang pernah menjadi mertuanya.
= Salah satu taman bermain. Kota B. Indonesia = "Bagaimana kabarmu?" Pria yang duduk di depannya itu mengangguk. "Baik. Kamu sendiri?" "Aku juga baik..." Tatapan keduanya bertemu dan terlihat senyuman sendu dari mereka berdua. Mata pria itu turun dan menatap perut wanita di depannya yang tampak membesar. Bola matanya terlihat sedikit berair dan lelaki itu mengerjapkan matanya cepat. Suaranya terdengar pelan saat bertanya, "Kapan kamu lahiran?" "Sekitar 2 minggu lagi." Kepala pria itu mengangguk dan ia menelan ludahnya. Wajahnya sedikit memerah. "Maafin aku, Min... Kalau aku tahu..." Sesaat keduanya terdiam. Mimin menatap pria yang telah menjadi mantan suaminya belum sampai setahun lalu. Sama seperti lelaki itu, ia menundukkan kepalanya.
"Bagaimana isteri saya dok?" Pertanyaan itu membuat sang dokter menaikkan salah satu alisnya. "Kalau Anda mau menoleh sedikit, Anda bisa melihat kondisi isteri Anda langsung, Tuan Hagen." Kepala Ilyas masih berpaling ke arah lain. Kedua matanya menutup erat. "Sa- Saya ga bisa dok! Saya ga bisa lihat dia kesakitan!" "Tiap wanita yang melahirkan pasti kesakitan, Tuan. Kalau keenakan, itu namanya sedang org*sme." Candaan itu sama sekali tidak membuat pria tinggi itu tersenyum. Wajahnya pucat dan berkeringat. Teriakan pendek wanita di sampingnya membuat sang dokter kembali konsentrasi. "Apa sudah keluar?" "Masih kepalanya." Kembali teriakan itu terdengar dan Ilyas sedikit melirik takut-takut. "Sudah keluar?" "Kelihatan bahunya."