"Ema? Tumben ketemu di sini."
Mata Ema mengerjap mendengar panggilan akrab itu. Wanita itu berusaha menampilkan senyuman simpul profesional, untuk menutupi perasaan panas yang mulai muncul di d*danya. Kenapa dari sekian banyak orang, harus ketemu orang ini lagi sih? Tadi Adit, sekarang orang ini? "Hem. Iya, pak." Enggan memperpanjang, Ema mengalihkan perhatian kembali ke layar. Hatinya masih kesal saat mengingat kejadian menjengkelkan siang tadi ketika meeting kuartal dengan pria ini. Bahu wanita itu sedikit naik saat ia menarik nafas dalam-dalam, dan mulai menyuapkan popcorn-nya. Selama beberapa saat, konsentrasi wanita itu terpusat penuh pada layar bioskop. Fokusnya terganggu saat merasakan pria di sampingnya mulai bergerak-gerak gelisah dan makin memepet ke arahnya. Jengkel, kepala Ema menoleh dan ia berbisik rendah, "Kenapa sih, pak?" Wanita itu sedikit terkejut saat Ilyas mendekatkan wajah ke arahnya. Ema dapat merasakan hembusan udara hangat dan berbau mint saat pria itu balas berbisik. "Sori. Tapi cewe di sampingku mepet terus. Padahal ada pacarnya. Aku engga nyaman." Lagi-lagi Ema terkejut dengan nada akrab itu. Ia sedikit menjauh saat menyadari wajah mereka terlalu dekat. "Tapi saya juga ga nyaman pak kalau terlalu dekat gini. Bisa geser sedikit ga ke sana?" Bukannya menjauh, bahu Ilyas malah makin menempel. "Kamu kan masih luas gini. Sampingmu kosong." Salah satu tangan Ema mengepal kencang. Untung bioskop yang gelap menyembunyikan ekspresi marahnya. Malas mendebat lagi, wanita itu lagi-lagi menghela nafas panjang. Badannya terasa mulai gemetar karena suhu ruangan yang semakin mendingin. Tiba-tiba saja sebuah jas menutupi pangkuannya, membuat Ema menoleh. "Kamu kedinginan. Tanganmu dari tadi gemetar. Makanya, jangan minum dingin kalau sudah malam." Pandangan Ema masih terarah pada Ilyas, tapi pria itu telah memalingkan kepala ke layar. Menunduk, ia mengelus kain jas hitam itu yang terasa tebal dan mahal. Memutuskan tidak ingin memancing pertengkaran, Ema menyusupkan kedua tangannya ke pakaian tebal itu dan kembali menonton. Tidak sampai 10 menit, sudut mata wanita itu lagi-lagi menangkap pergerakan di sampingnya. Tampak Ilyas telah menyelonjorkan tubuh, padahal kakinya sendiri sudah mentok ke bangku depannya. Kepala lelaki itu tertunduk dan beberapa kali terayun pelan, seperti sedang menahan kantuk. Kedua alis Ema sedikit terangkat heran. Padahal film yang sedang mereka tonton adalah film action, tapi pria ini malah tertidur. Aneh sekali. Baru saja Ema akan memusatkan lagi perhatiannya, terdengar bisikan serak dari arah sampingnya. "Pinjam bahumu sebentar, Em. Aku ngantuk banget." "Eh? Pak-" Protesan Ema tertelan di tenggorokannya. Kepala Ilyas telah bersandar dengan nyaman di bahunya dan tidak butuh waktu lama, dengkuran halus terdengar dari hidung mancungnya. Memutar bola matanya ke atas, Ema menengadahkan kepala dan menggigiti bibirnya. Sabar... Sabar, Em... Dia itu orang penting... Kalau kau hajar dia, kau bisa langsung dipecat nanti! Berusaha mengembalikan konsentrasinya, Ema mengalihkan pandangannya ke layar. Tidak lama, wanita itu kembali menikmati tayangan di depannya tanpa terganggu sedikit pun. Film itu ternyata cukup seru. Mata Ema mengerjap pelan saat lampu di ruangan bioskop mulai dinyalakan dan layar sudah menayangkan bagian akhir dari film. Tampak para pengunjung mulai berdiri dan meninggalkan ruangan bioskop itu. "Permisi." Mendongak, Ema melihat tatapan sinis dari seorang wanita muda yang ternyata duduk di sebelah Ilyas tadi. "Silahkan." Sebisa mungkin, Ema beringsut untuk membuka jalan. "Tolong pacarnya dibangunkan, mba. Menghalangi jalan saja." Salah satu alis Ema terangkat dan menatap kepergian pasangan itu. Tampak si wanita berjalan duluan, yang dikejar oleh pria di belakangnya. Ruangan itu mulai sepi, sampai Ema tersadar pria di sampingnya belum terbangun juga. Saat menoleh, tidak sengaja ia mencium wangi dari rambut tebal pria itu yang terasa halus di pipinya. Tanpa sadar, Ema menghidunya dalam. Harum itu terasa menyenangkan. Lembut, tapi tetap maskulin. Kaget dengan kelakuannya, Ema langsung menjauh. "Pak? Bangun pak." Beberapa kali Ema menggerakkan bahunya, tapi Ilyas belum terbangun. Ragu-ragu, ia menyentuh lengan pria itu yang berkemeja panjang dan menggoyangnya pelan. "Pak? Pak Ilyas? Bangun pak." "Hmmh? Filmnya?" Suara pria itu terdengar lebih serak dan ia mengusap wajahnya, tapi belum beranjak. "Sudah selesai dari tadi pak." Setelah lelaki itu tidak lagi bersandar padanya, barulah Ema bergerak. Bahunya terasa panas dan kebas. Refleks, tangannya menyentuh bagian tubuhnya itu sambil meringis. "Oh! Maaf. Sakit ya?" Masih dengan muka mengantuk, Ilyas mengulurkan tangan ke arah Ema dan memijat bahu wanita itu pelan. Sentuhannya terasa mantap dan mengalirkan hawa panas yang menyenangkan di tengah udara dingin. Keterkejutan Ema membuat wanita itu membatu dan hanya menatap pria di sampingnya diam. Kegiatan itu diinterupsi suara deheman pelan dari seseorang. "Maaf... Ruangan mau dibersihkan Bapak, Ibu." Gugup, Ema langsung berdiri dan terburu-buru turun ke arah tangga. "Oh ya. Maaf, mas." Sama sekali wanita itu tidak berbalik dan berjalan lurus, sampai terasa tarikan pelan di lengannya. "Em. Tunggu, Em." Saat ini, mereka sudah berada di ruangan lobi bioskop yang sudah cukup kosong. Hanya beberapa gelintir orang yang tampaknya ingin menonton tayangan midnight di malam itu. Cahaya lampu yang terang benderang membuat Ema dapat melihat wajah Ilyas dengan jelas. Tampak mata pria itu masih sedikit merah dan lingkaran hitam terlihat jelas di bawah matanya. "Ema. Maaf tadi aku membuatmu tidak nyaman. Aku-" Gelengan tampak dari kepala Ema dan wanita itu tersenyum canggung. "Tidak apa, pak. Saya tahu kalau bapak sepertinya sedang capek. Oh ya, terima kasih untuk jas-nya." Kedua mata Ilyas mengerjap pelan dan pria itu akhirnya tersenyum. Ia mengambil uluran jas itu. "Terima kasih kembali, Em. Kamu harus tahu, bahumu sangat membantuku tadi." Pandangan bertanya Ema hanya dijawab Ilyas dengan senyuman. Senyuman yang entah kenapa membuat jantung wanita itu terasa berdebar lebih cepat. Memundurkan kepalanya, wanita itu menelan ludahnya sulit. Sepertinya, ia harus segera menghindar. Ada sesuatu di diri pria ini yang membuatnya merasa tidak nyaman dan ter-ekspos. "Kalau begitu, saya permisi dulu, pak." "Kamu tinggal di mana?" Ilyas malah mengikutinya ke arah lift dan ketika Ema menyebutkan lokasi tempat tinggalnya, tampak pria itu menatap jam di pergelangan tangan kanannya. Kedua alis tebalnya berkerut dalam. "Tempatmu tidak terlalu jauh, tapi sekarang sudah cukup malam. Kamu pulang naik apa?" "Saya bawa mobil pak. Parkir di B1." "B1? Kebetulan. Aku juga parkir di sana. Biar aku sekalian mengantarmu." Tertegun, Ema menatap Ilyas yang sudah memasuki lift. "Pak?" Menahan pintu lift, pria itu memandang Ema dengan tajam saat melihat wanita itu akan membantah. "Banyak kasus begal sekarang ini. Bahaya perempuan mengendarai mobil sendirian. Aku akan mengikuti mobilmu dari belakang. Jangan membantah."= Menara TJ Corp. Kota J. Hari Senin =Kejadian minggu kemarin seolah mimpi bagi Ema, saat ia menghadapi kenyataannya di awal minggu."Selamat pagi, An."Tubuh Ema menegak kaku. Wajahnya kaku. Ekspresinya kaku, tapi tampak senyuman profesional di bibirnya. Salah satu tangannya terulur ke depan dan ia menjabat tegas tangan pria itu."Selamat pagi, pak Aditya. Selamat bergabung dengan keluarga TJ Corp."Sapaan formal tapi sangat ramah itu tampak membuat Adit sedikit terkejut, dan ia tersenyum canggung."Ya. Ya. Terima kasih juga telah membantu proses rekrutmen saya hingga lancar semuanya."Melepas genggamannya, kepala Ema sedikit meneleng dan ia kembali tersenyum simpul."Saya hanya menjalankan instruksi dari manajemen."Sebelum Adit dapat menjawab, tatapan Ema terarah pada bawahannya yang berada di samping pria itu."Sudah dikenalkan ke departemen lainnya, Ayu? Ke para direksi barangkali?""Iya bu. Saya baru mau mengajak pak Adit keliling sekarang. Pak Ilyas juga sepertinya baru datang
"Aditya? Ada keperluan apa di lantai ini?"Pria yang menjabat sebagai Direktur Operasional itu memandang bertanya pada Adit yang terlihat gugup."Se- Selamat siang pak Ilyas. Sa- Saya... Kebetulan kami bertemu di lift pak."Bola mata Ilyas bergantian menatap Ema dan Adit. Salah satu jarinya menunjuk kedua orang di depannya."Kalian berdua saling mengenal?"Tersenyum kikuk, Adit keluar dari lift dan menatap Ema yang mengikuti di sampingnya."Eh, ya. Kebetulan saya sudah mengenal Andie cukup lama pak. Tapi sudah lama kami tidak bertemu."Alis Ilyas yang tebal terangkat tinggi dan pria itu meletakkan satu tangan di dagunya. "Oh?"Senyuman Ema terasa kaku di bibirnya. "Kami saling mengenal saat jaman kuliah dulu pak Ilyas."Memasukkan kembali kedua tangannya ke saku celana, kepala Ilyas mengangguk kecil. Ia kembali menatap Adit masih sambil tersenyum simpul."Kalau begitu, semoga Andromeda bisa membantumu cepat adaptasi di perusahaan ini, Aditya."Senyuman Adit tampak gembira. "Ya, pak Il
Pemandangan mengejutkan itu membuat Ema refleks berdiri dari duduknya. Tampak si wanita yang baru datang itu masih bergelayutan di leher Ilyas. Pria itu menghindar saat wanita itu berusaha mencium bibirnya dengan menjauhkan tubuh mereka sepanjang lengannya."Stop, Di!"Wajah Ilyas terlihat sedikit merah dan ekspresinya jengkel. Pria itu mengusap pipinya kasar dan semakin kesal saat menemukan jejak lipstik di sana. Ia baru saja akan ke mejanya saat sadar masih ada Ema di sana. Mata mereka terkunci beberapa saat."Sebaiknya mungkin saya pergi sekarang pak."Menarik tisu dari mejanya, pria itu mengangguk sambil menyeka pipinya. Bibirnya tersenyum kecil."Saya akan memanggilmu lagi. Pembicaraan kita tadi belum selesai."Berusaha bersikap profesional, Ema mengangguk. Dan setelah tersenyum singkat pada wanita baru itu, ia pun langsung keluar dari ruangan Ilyas.Saat menekan tombol lift, kepala Ema menoleh ke ruangan Ilyas yang tertutup. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, tapi akhirny
Tampak kedua pasang mata menatap kepergian mobil sedan di depan mereka. Selama beberapa detik, tidak ada yang bicara sampai terdengar suara serak Ilyas memecah kesunyian di basement itu. "Kamu yakin sudah tidak apa-apa?" "Ya pak. Saya sudah tidak apa-apa." Rahang Ilyas mengeras, menatap wanita di depannya yang masih menunduk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana panjangnya. Terdengar hembusan nafas yang keras dari cuping hidung pria itu. "Kenapa ya, kok rasanya aku tidak percaya ceritamu tadi? Kamu yakin tadi hanya ketakutan karena salah mengira Adit penjahat? Kamu tidak bohong?" Mata Ema mengedip cepat tapi tetap menunduk. Ia akan sulit bersilat lidah kalau menatap langsung lelaki di depannya, yang seperti sedang menginterogasinya. "Saya tidak bohong pak. Tadi saya akan ke mobil saat mendengar suara langkah orang. Saya panik. Itu saja." "Kamu yakin?"
Dalam ruangan Herman, tampak Ilyas duduk nyaman di kursi di depan rekan kerjanya itu. Dengan santai, pria itu melemparkan sebuah map berisi beberapa berkas ke atas meja."Apa ini?""Kau lihat saja sendiri."Kening Herman berkerut saat ia menelusuri cepat berkas di tangannya. Setelahnya, ia menatap Ilyas."P*lecehan? Salah satu karyawan kita?"Kepala Ilyas meneleng dan ia menyangga dagunya dengan satu tangan. Tatapannya mengarah ke arah lain."Anak baru join kemarin. Aditya Prabukusuma. Kau pasti mengenal yang satunya. Andromeda. Bawahanmu."Tampak Herman sulit menelan. Ia kembali menatap berkas di tangannya."Kau yakin? Sepertinya, wajahnya tidak mirip Aditya."Mata Ilyas menatap tajam Herman. "Aku saksinya."Dua rekan kerja itu bertatapan sebentar, sampai Herman menghela nafasnya berat. Pria itu menutup berkas."Ilyas. Masalah Aditya ini-""Dia punya backing siapa? Kenapa kau
= Kantor TJ Corp. Di salah satu ruangan meeting. Hari Jumat =Pertemuan itu sudah berlangsung selama 20 menit, tapi pikiran Ilyas melayang ke mana-mana.Pria itu menatap lelaki di depannya yang sedang mempresentasikan rencana kerjanya 2 tahun ke dapan. Beberapa orang menunjukkan tampang puas dan menganggukkan kepala. Tanya jawab pun berlangsung lancar dan tidak ada kendala, sampai tatapan Adit berserobok dengan matanya sendiri."Pak Ilyas. Untuk menunjang kelancaran rencana kerja ini, dukungan dari tim Anda sangat kami perlukan. Dengan adanya aplikasi mobile yang lebih representatif, tentunya user akan mendapatkan experience yang berbeda. Mereka bisa langsung melakukan pembelian aset investasi tanpa harus mengunduh aplikasi lain. Dalam satu aplikasi, semua kebutuhan mereka sudah terpenuhi dengan sempurna."Perkataan itu belum direspon Ilyas. Pria itu malah menatap Adit lebih intens dan tanpa sadar, tangannya mengepal kencang di atas meja sampai bu
= Bioskop A. Jam 07.00 malam =Kaki bersepatu pantofel itu mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Beberapa kali pria itu menatap ke pintu kaca yang terdengar membuka, dan harus merasa kecewa setiap kalinya.Menatap ke arah jam tangannya, Ilyas mend*sah pelan. Sepertinya tiket ini harus dia buang.Kepalanya masih menunduk saat matanya menangkap sepasang sepatu kets yang berhenti di depannya. Pria itu menengadahkan kepalanya dengan gembira."Ema. Kamu datang?"Raut pria itu yang ceria membuat Ema tertegun sebentar. Wanita itu akhirnya mengangguk."Saya sudah janji akan datang."Pria itu berdiri. Tubuhnya yang tinggi menjulang di depan Ema yang hanya sebatas dagunya."Kamu tidak bawa mobil, kan?"Kening wanita itu sedikit berkerut, tapi ia lagi-lagi mengangguk."Ya. Kebetulan mobil saya di bengkel. Saya pakai taksi ke sini."Salah satu tangan Ilyas terangkat dan menunjukkan dua lembar tiket
= Beberapa hari kemudian. Kantor TJ Corp. Ruangan Ilyas. Sore hari ="Ini sudah beberapa hari, Em. Kamu sudah ambil keputusan?"Wanita yang duduk di sofa itu perlahan menggeleng. Kepalanya menunduk, tidak berani menatap pria yang duduk di sebelahnya."Maaf, pak. Tapi sepertinya saya tidak bisa membantu.""Kalau ini masalah kompensasi...""Ini tidak ada hubungannya pak. Saya hanya tidak bisa memenuhi permintaan bapak kemarin."Selama beberapa menit tidak ada yang bicara. Ruangan kerja itu hening sekali.Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ema hampir berdiri saat tangannya ditarik kembali."Tunggu dulu, Em. Tunggu sebentar."Ema ingin menarik tangannya tapi ditahan Ilyas yang sedikit mencengkeramnya. Tampang pria itu gusar."Pak...""Tunggu sebentar, Em! Tunggu. Biarkan aku berfikir."Nada Ilyas yang sedikit tajam membuat Ema terdiam. Pria itu terlihat berfik