“Kita putus!” Aliandra Cessa menunduk dalam, tanpa sanggup menatap layar smartphone-nya yang saat ini sedang melakukan sambungan video call dengan sang kekasih yang kini resmi menjadi mantan kekasihnya. Setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, barulah ia yakin kalau kekasihnya itu benar-benar menduakannya. Dan parahnya lagi, laki-laki itu berselingkuh dengan Amanda—sahabatnya sendiri. Astaga!
“A—apa? Pu—putus?” tanya Aldo Prayoga—kekasih Alia, dengan jantung yang berdebar hebat. Dia berharap kalau kekasihnya itu sedang melakukan prank saja terhadap dirinya mengingat hari itu adalah anniversary mereka yang ketiga.
Alia menganggukkan kepala mantap. Ia beranikan menatap wajah sang kekasih—yang kini statusnya sudah jadi mantan kekasih. Ia benar-benar tidak menyangka kekasih dan sahabatnya bermain di belakang dirinya. Jika bukan melihat dengan matanya sendiri, mungkin ia tidak akan pernah percaya dan akan terus mengelak ketika beberapa temannya sering memberitahu perselingkuhan mereka. Dengan tegas ia yakin kalau kekasih yang telah dipacarinya selama tiga tahun sejak mereka masih duduk di Sekolah Menengah Atas tidak akan mungkin menduakannya.
“Iya ... tapi kenapa, sayang?” Aldo mengerutkan keningnya. Entah apa yang merasuki Alia, tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba dirinya meminta putus.
“Ka—kamu … hiks … selingkuh … hiks ….” Air mata mulai mengalir dari pelupuk mata Alia begitu saja tanpa bisa ia cegah. “Dan parahnya, kamu tega selingkuh dengan sahabat aku sendiri!” sungutnya kesal dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. Ia menyeka air matanya dengan kasar. Sungguh, ia tidak ingin terlihat lemah di depan mantan kekasihnya itu.
“Selingkuh?” Aldo menelan salivanya, “kapan aku selingkuh dari kamu, Al?” tanya Aldo berusaha mengelak. Sekian detik ia menganga, tidak menyangka Alia mencium perselingkuhan mereka yang sudah terjalin hampir satu tahun lamanya. Ternyata sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga bau busuknya. Bukankah pepatah mengatakan seperti itu?
Alia diam membisu. Ia sudah tidak ingin berdebat dengan Aldo lagi. Bahkan untuk melihat wajahnya di kemudian hari saja ia sudah tidak sudi. Sebegitu bencinya dia kepada Aldo dan kepada Amanda—sahabatnya sendiri yang sudah ia anggap seperti saudara kandung. Mengingat dirinya adalah anak tunggal.
“Maaf…” ujar Aldo, hanya kata itu yang sanggup keluar dari mulut Aldo.
“Aku udah maafin kalian, kok. Tapi aku udah nggak bisa lanjutin hubungan kita lagi. Silakan kamu lanjutin hubungan kamu dengan Amanda ...” putus Alia sambil sesegukkan.
“Al, ini semua nggak seperti yang kamu bayangin. Aku bisa jelasin semuanya!” ujar Aldo dengan suara bergetar. Dia berusaha menahan air matanya setelah tau bahwa sang pujaan hati telah mencium perselingkuhannya. Sebenarnya bukan akhir yang seperti ini yang ia harapkan dengan hubungannya bersama Alia. Sungguh, ia benar-benar sangat mencintai Alia. Aldo memacari Amanda hanya karena sebuah taruhan bodoh bersama teman-teman nongkrongnya. Awalnya ia merasa tertantang saat salah seorang temannya menantang dirinya untuk menggoda sahabat dari pacarnya sendiri. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Seperti dayung bersambut, Amanda merespon perhatian yang diberikan Aldo hingga akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berpacaran. Tentu saja tanpa diketahui oleh Alia. Mereka bermain apik dibelakangnya.
Hening beberapa saat, Aldo masih menatap Alia yang kini sedang menunduk itu.
“Maaf, Do … aku nggak bisa menerima sebuah pengkhianatan.” Alia mencoba menahan isakannya yang terus mencoba untuk keluar lagi. Jauh di dasar hatinya, ingin sekali Alia memaafkan Aldo dan menganggap hubungannya dengan Aldo akan baik-baik saja setelah memberikannya kesempatan kedua. Namun ia terlalu takut Aldo akan mengulangi perbuatan itu lagi setelah mereka kembali bersama.
Aldo tidak menyangka, Alia akan mengetahui perselingkuhannya sebelum ia memutuskan Amanda. Sebenarnya sudah lama ia berniat mengakhiri hubungan terlarang itu, namun hatinya luluh setiap kali Amanda merengek tidak ingin putus dengannya. Bahkan Amanda rela menjadi yang kedua asalkan Aldo tetap bersamanya.
Hari-hari yang telah Alia dan Aldo lewati bersama selama tiga tahun mereka duduk di bangku SMA ternyata hanya sampai di sini saja. Jalinan kasih yang berjalan antara mereka, sepertinya harus kandas saat ini juga. Julukan double A yang melekat pada diri mereka sudah tidak ada lagi. Padahal dia masih ingat, bagaimana Alia dengan malu-malu menerima cinta dari teman satu sekolah dengannya itu. Kelas mereka bersebelahan, sehingga benih-benih cinta yang tumbuh karena seringnya mereka bertemu pada saat jam istirahat atau pun pulang sekolah, menimbulkan ketertarikan satu sama lain. Tapi kini, sang pujaan hati malah membuatnya patah hati. Memang ia akui, semua ini terjadi karena ulahnya yang dengan tega bermain api.
“Maafin aku, Al. Aku akan putusin Amanda dan setelah itu hubungan kita akan berjalan seperti dulu, yang hanya ada aku dan kamu. Aku mohon …” mohon Aldo lirih. Entah kata-kata apa lagi yang harus ia ucapkan agar Alia tidak memutuskan hubungan mereka.
“Maaf, Do. Aku nggak bisa!” Setelah mengatakan hal itu, Alia memutuskan sambungan videonya sepihak. Ia tak sanggup berlama-lama berbicara dengan kekasih yang sekarang telah menjadi mantan kekasih bangkenya itu.
Alia menangis sejadi-jadinya di dalam kamar, namun dengan menutup mulutnya menggunakan bantal agar papih atau mamihnya tidak mendengar isak tangisnya. Hatinya pun hancur setelah mengetahui perselingkuhan dua orang yang sangat ia sayangi dan percayai.
***
Alia baru saja menjejakkan kakinya di rumah. Hari ini adalah hari pertamanya kuliah di sebuah kampus negeri ternama di kota Bandung. Satu minggu sebelum memulai perkuliahan, mahasiswa baru diwajibkan untuk mengikuti MPK, yaitu masa perkenalan kampus.
Pagi-pagi sekali, Alia sudah rapih dengan pakaian yang harus dipakainya hari ini, kemeja putih dan bawahan hitam—boleh rok ataupun celana panjang. Rambutnya harus dikuncir dua, kiri dan kanan dengan ikatan warna berbeda di setiap sisinya.
Beruntung, satu hari telah ia lewati tanpa ada halangan berarti. MPK hari ini hanya perkenalan para senior saja. Besok di hari kedua, mungkin akan lebih berat lagi dari hari ini.
Alia mendudukkan tubuhnya di sofa ruang tamu sambil melepaskan satu persatu ikatan di rambutnya.
“Ini jus jeruk kesukaan, Non.” Bi Ijah—seorang asisten rumah tangga berusia empat puluhan, menaruh segelas jus jeruk kesukaan anak majikannya. Ia sudah hapal kalau setiap pulang dari mana saja, Alia pasti meminta dibuatkan minuman kesukaannya itu. Maka tanpa disuruh, dirinya sudah membuatkannya.
“Makasih, Bi.” Alia mengambil gelas jus jeruk dan langsung meneguknya hingga menyisakan setengah gelas. “Bibi emang the best, paling tau yang aku mau,” katanya sambil mengacungkan kedua jempolnya setelah menaruh gelas itu kembali di atas meja.
“Bibi gitu, loh!” seloroh Bi Ijah sambil tertawa kecil. Bergaul dengan anak majikannya, membuat dirinya sedikit tahu bahasa gaul yang sekarang beredar di luar sana.
Alia tertawa melihat tingkah pembantunya itu.
“Bibi ke dapur lagi ya, Non. Bibi mau nyiapin makan siang untuk Non Alia yang tadi udah dimasak ibu,” ujar bi Ijah
“Iya, Bi. Nanti aku ke ruang makan,” sahut Alia.
“Ahsiaaappp,” kata bi Ijah mengacungkan jempol kanannya, kemudian berlalu pergi ke dapur.
Tingkah bi Ijah membuat Alia tergelak. “Dasar, masa muda kurang gaul!” gumamnya pelan sambil geleng-geleng kepala.
“Al ….” Sebuah suara menginterupsinya.
Alia menengok, “Hai, Mih,” sapanya pada sang mamih—Melati Ramalia.
“Dari kapan kamu sampai rumah, Al?” tanya Melati saat melihat sang putri sudah duduk santai di ruang tamu dengan ditemani segelas jus jeruk di hadapannya.
“Beberapa menit yang lalu lah, Mih,” jawab Alia.
“Kenapa nggak minta jemput pak Tejo?” tanya Melati lagi saat tahu Alia tidak menghubunginya sama sekali untuk minta dijemput karena dia tidak membawa mobilnya tadi pagi dengan alasan takut terjebak macet di hari pertama MPK sehingga lebih memilih naik ojek online.
“Tadi acara di kampusnya sebentar, Mih. Cuma perkenalan para senior aja. Alia kelamaan kalau harus nunggu pak Tejo jemput,” jelas Alia.
“Trus, kamu pulang naik apa?”
“Ojek online lagi lah, Mih.”
“Kenapa nggak naik taksi?” tanya Melati, matanya memicing ke arah Alia. Sebenarnya ia tidak suka melihat anak semata wayangnya naik ojeg karena menurut dirinya itu kurang safety jika terjadi kecelakaan.
“Kelamaan kalau harus nunggu taksi lewat depan kampus, Mamih kusayang,” ujar Alia, ia meneguk jus jeruknya lagi hingga habis tak bersisa.
“Yaudah … kita makan, yuk! Tadi Mamih udah masakin makanan kesukaan kamu,” kata Melati sambil menggandeng tangan Alia menuju ruang makan.
Di meja makan, sudah tersedia beraneka ragam masakan kesukaannya. Ada udang balado, capcay, ayam goreng beserta tahu tempe, dan tak lupa sambal korek. Di atas meja juga always ada orange juice. Entah kenapa, Alya memang sangat menyukai perpaduan rasa asam dan manis dari minuman itu. Apalagi diminum saat tengah bolong seperti sekarang ini.
Yummy! Hanya dengan melihat masakannya saja sudah membuat air liur Alia hampir menetes.
“Wah ... enak banget, Mih!” ucap Alia saat satu sendok nasi beserta udang balado berhasil masuk ke mulutnya. Ia berbicara tanpa menelan makanannya terlebih dahulu.
“Kalau makan, jangan sambil ngomong. Nanti keselek!” ujar Melati mengingatkan, “ayo makan yang banyak,” lanjutnya lagi. Setelah perut Alia kenyang, ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Hal yang menyangkut masa depan putrinya itu.
Dengan lahap, Alia memakan semua masakan hasil mamihnya yang menurut dia tidak ada duanya di dunia. Badannya memang kecil, tapi jangan tanyakan porsi makannya yang sanggup menghabiskan tiga piring nasi sekaligus.
Alia bersendawa. “Maaf, Mih. Alia nggak sengaja,” ucapnya saat mulutnya dengan lancang mengeluarkan bunyi tidak sopan itu. Alia nyengir kuda.
“Al,” ucap sang mamih menatapnya dengan tatapan serius, “ada hal penting yang ingin Mamih sampaikan sama kamu,” ujarnya lagi.
“Ada apa, Mih? ‘Kok tiba-tiba jadi horror begini,” kata Alia, ia memicingkan kedua matanya menatap sang mamih dengan tatapan heran.
“Kamu mau nggak menikah dalam waktu dekat?” tanya Melati hati-hati, ia tidak ingin putrinya itu shock saat tahu akan menikah dalam waktu dua bulan kedepan.
"Menikah?" Alia yang sedang meneguk jus jeruknya hampir saja menyemburkan cairan yang sudah masuk ke dalam mulutnya karena kaget saat sang mamih tiba-tiba menanyakan soal pernikahan kepadanya. Ditatapnya lekat-lekat mata sang mamih yang tengah duduk dihadapannya, mencari apa maksud dari pertanyaan tadi. “Menikah sama siapa, Mih?” tanyanya lagi heran. Pasalnya ‘kan ia baru saja putus dengan Aldo karena perselingkuhannya yang terbongkar. Jadi laki-laki mana yang akan menikahinya?
“Kalau papih udah punya calon untuk kamu, kamu mau nggak, Al?”
Seketika Alia tertawa kencang. "Mamih pasti bercanda, kan?" Alia mengambil kembali gelas berisi jus jeruk yang sudah ia letakkan tadi di atas meja lalu meneguknya sampai habis.
"Mamih serius, Al," jawab Melati dengan nada seriusnya. Jangan lupa, wajahnya pun terlihat sangat serius.
Alia mengangkat kedua alisnya, kali ini ia tidak bisa tertawa karena raut wajah mamihnya yang terlihat begitu serius seakan perkataannya tadi bukan sebuah lelucon.
"Alia ‘kan baru lulus SMA, Mih ... Alia belum bisa ngurusin orang lain. Ngurusin diri sendiri aja belum becus! Mamih ‘kan tau gimana sembrononya Alia. Alia suka lupa naruh barang di mana-mana. Apa jadinya kalau Alia harus ngurusin orang lain, Mih?" terang Alia panjang lebar sambil menaruh gelas jus jeruk yang sudah habis ia minum.
Semua yang diucapkan oleh putrinya itu memang benar. Di usianya yang sudah hampir menginjak dua puluh tahun, putrinya itu terlalu manja dan tidak ada tanggung jawabnya sama sekali terhadap dirinya sendiri atau pun barang-barang miliknya. Alia selalu menyimpan barang-barangnya di sembarangan tempat sehingga ia kesusahan saat barang yang ia butuhkan tidak berada di tempatnya.
Awalnya Melati menolak keras saat Bagas Pradipta—papih Alia, mengutarakan tentang perjodohan yang dilakukannya bersama teman bisnisnya. Namun Melati tidak bisa menentang saat Bagas menjelaskan maksud dari perjodohan itu agar membuat Alia mandiri dan dewasa. Siapa tahu dengan menikah di usia muda membuat Alia bisa bertanggung jawab terhadap orang lain, khususnya untuk dirinya sendiri.
Melati tersenyum hangat. "Karena kami menyayangi kamu, Al. Kami ingin yang terbaik untuk kamu. Kami ingin kamu mendapatkan suami yang bisa membimbing kamu, membuat kamu jadi dewasa, dan menyayangi kamu tentunya," lirih sang mamih dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Mamih, jangan nangis.” Alia beranjak dari duduknya lalu berhambur memeluk sang mamih dari samping. “Maafin Alia kalau selalu ngerepotin, ya.”
Melati mengusap rambut panjang Alia dengan sayang. “Kamu nggak pernah bikin Mamih sama papih repot ‘kok, sayang. Kamu adalah anugerah terbesar yang Tuhan kasih buat kami,” ujarnya kemudian. Ia mengusap air mata yang mulai menganak sungai di pelupuk matanya.
Alia lahir saat usia Melati tidak muda lagi, yaitu 35 tahun. Ia lahir setelah usia pernikahan Melati dan Bagas menginjak tahun ke-sepuluh. Sudah berbagai macam usaha yang mereka lakukan agar segera mendapatkan momongan. Mulai dari meminum berbagai macam obat penyubur kandungan dengan konsultasi ke berbagai dokter tentu saja, melakukan cek kesehatan secara rutin dan berkala, jalani pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan bernutrisi, mengkonsumsi suplemen atau makanan yang mengandung asam folat.
Setelah berbagai upaya sudah dilakukan agar segera hamil namun Tuhan belum juga memberi mereka momongan, akhirnya upaya terakhir yang mereka lakukan adalah mendapatkan bayi melalui proses bayi tabung. Sudah hampir dua tahun mereka melakukan proses bayi tabung, namun belum juga berhasil. Di tahun ke sepuluh pernikahan mereka, Tuhan mengabulkan doa-doa mereka. Proses bayi tabung itu berhasil setelah mereka melakukannya tiga kali dan melahirkan bayi cantik nan menggemaskan dengan bobot 3.7 kg dan panjang 51 cm.
"Mih, Alia mau menikah asalkan itu bisa bikin Mamih dan papih bahagia,” ucap Alia, masih dalam pelukan sang mamih.
Melati melerai pelukan mereka lalu menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan tatapan lembut, “Kalau Alia nggak mau, nggak apa-apa. Nanti Mamih bilang sama papih untuk ngebatalin perjodohan itu,” ujarnya lagi, diusapnya kepala Alia dengan sayang.
Alia buru-buru menggeleng. “Alia mau, Mih. Biar Mamih nggak usah khawatirin Alia lagi,” sahut Alia mantap. Biarlah dirinya berkorban asalkan mamih dan papihnya hidup tenang tanpa memikirkan dirinya lagi.
“Makasih ya, sayang. Mamih dan papih sayang Alia,” kata Melati, memeluk putrinya lagi.
***
Seorang laki-laki dengan kemeja tangan panjang yang ia gulung sampai sikut, melenggang masuk ke dalam sebuah rumah besar yang di dalamnya hanya di huni oleh dirinya dan sang papah. Laki-laki itu adalah Reyvan Anggara, seorang dosen di kampus negeri ternama di kota Bandung. Usianya hampir menginjak kepala tiga, tapi ia belum memikirkan soal pernikahan.“Papah udah punya calon istri untuk kamu, Rey!” Pernyataan sang papah siang itu bagaikan petir di siang bolong. Reyvan yang baru saja pulang mengajar dari kampusnya, tersentak tidak percaya mendengar pernyataan papahnya barusan. Tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri mendengar ucapan papahnya itu.
Hari ini adalah hari terakhir Alia mengikuti acara MPK di kampusnya. Ia turun dari mini cooper berwarna merah miliknya yang merupakan hadiah sweet seventeen dari sang papih tahun lalu. Ia mengambil papan nama yang sudah selama satu minggu ini menemaninya menjalani MPK.Si Manis Jembatan Ancol, nama yang tertulis di papan nama yang terbuat dari karton tebal itu. Para seniornya memang sengaja menyuruh para mahasiswa baru untuk mengganti nama mereka selama acara MPK berlangsung dengan nama-nama hantu. Entahlah tujuannya apa, Alia hanya menuruti perintah para seniornya saja. Toh, si manis jembatan Ancol adalah nama yang tidak terlalu buruk menurutnya. Berdasarkan kisahnya, si manis jembatan ancol adalah gadis cantik nan sexy. Daripada dirinya harus mengganti namanya selama satu minggu dengan sebutan ‘Wewe Gombel.’Hiiiih, Alia bergidik ngeri membayangkan penampakan sosok hantu tersebut.“Al ....” Seseorang terdengar memanggi
“Pagi, Mih, Pih.” Alia menghampiri kedua orang tuanya yang sudah berada di ruang makan dan mencium pipi orang tuanya bergantian. Semalam ia tidur larut karena menyiapkan perlengkapan untuk ke kampus pagi ini. Belum lagi bayangan Reyvan yang terus menari-nari di pikirannya. Walaupun tadi malam Alia tidur hanya beberapa jam saja, namun ia sangat bersemangat menjalani hari-harinya menjadi seorang mahasiswa. Ia tidur menjelang pukul dua dini hari. Ia bangun kesiangan karena jam beker yang sudah ia setting untuk membangunkannya pukul enam tidak berdering karena kehabisan baterai. Dan tumben sekali mamihnya tidak cerewet membangunkannya. Mungkin sang mamih berpikir dirinya kuliah di siang hari. “Ayo sarapan, Al,” ajak sang mamih. Di meja makan sudah tersedia segelas susu murni rasa coklat hangat dan roti isi selai coklat kesukaannya. Walaupun sudah besar, Melati memang selalu menyediakan susu untuk Alia agar putrinya itu tumbuh besar dan tinggi. Walaupun tinggi Al
“Al, setelah selesai kuliah kamu mau kemana?” tanya Satria yang duduk di samping bangku Alia. Mereka sudah menyelesaikan jadwal perkuliahan terakhir hari ini. Terlihat Kinanti dengan tergesa-gesa merapihkan peralatan kuliahnya. “Al, maaf aku duluan ya. udah dijemput soalnya,” ujarnya, “Bang Sat, aku duluan ya,” pamitnya lagi pada Satria. Ia tertawa keras saat Satria memelototinya. Satria memang paling tidak suka kalau anak dari sahabat ibunya dan juga sahabatnya sendiri memanggilnya Bang Sat (singkatan dari Abang Satria). Panggilan itu tidak enak didengar. “Iya … hati-hati ya, Nan,” kata Alia. “Sampai ketemu besok,” ujar Kinanti sambil berlari keluar kelas. “Al, setelah selesai kuliah kamu mau kemana?” Satri mengulang pertanyaannya lagi karena tadi Alia belum menjawab pertanyaannya. Alia membereskan peralatan kuliahnya ke dalam tas, lalu melirik Satria. “Kayaknya langsung pulang deh, Sat. kenapa emang?” tanyanya. Ia melirik jam tangannya, suda
Sebagai manusia yang normal, tentunya kita menginginkan menikah dengan seseorang yang dicintai.Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial.Ketika dua orang sudah memantapkan hati utnuk melangkah ke jenjang pernikahan, keduanya berarti sudah yakin satu dengan yang lainnya.Menjalani pernikahan bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Hal tersebut memerlukan banyak persiapan, baik secara fisik maupun mental. Baik secara materi atau pikiran. Semuanya diperlukan untuk menghasilkan rumah tangga yang baik dan dapat berjalan dengan sangat lancar.Saling percaya dan saling cinta menjadi satu di antara kunci yang akan menyatukan pasangan selamanya. Perasaan cinta akan benar-benar dapat dibuktikan melalui sebuah pernikahan.Menikah adalah proses menyatukan dua insan dalam mahligai rumah tangga, dimana pernikahan itu
Matahari masih malu-malu menampakkan sebagian sinarnya. Alia terbangun dari tidur nyenyaknya pagi ini. Ia merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi yang terasa sangat segar. Sesaat ia tersentak saat terbangun dan menyadari berada di dalam kamar kedua orang tuanya. Tapi ia segera sadar bahwa tadi malam dirinya memang tidur bersama sang mamih guna menghindari malam pertamanya bersama si om. Entah tidur di mana sang papih semalam. Alia terkikik mengingat kejadian itu. ‘Maafkan anakmu yang durhaka ini, Pih,’ gumam Alia. Alia mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut kamar, tidak ada siapa-siapa di kamar itu selain dirinya. Mungkin sang mamih sudah turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Memang di rumah itu yang menyiapkan sarapan selalu sang mamih, bukan asisten rumah tangganya. Kemudian Alia bergegas keluar kamar dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Ia berjalan mengendap-endap seperti maling yang ketakutan jika tertangkap basah. Dibukanya
Pagi setelah hari pernikahan, Alia tengah bersiap menurunkan koper yang berisi pakaiannya. Hari ini ia akan mulai tinggal di apartemen suaminya. Dengan langkah gontai, ia mulai menuruni anak tangga dengan membawa koper besarnya.“Kamu hati-hati di sana ya, Al,” ucap Melati saat Alia berpamitan, “yang nurut sama Reyvan, ya,” lanjutnya menasihati.“Rey, Papih titip Alia ya. Tolong jaga Alia.” Sang ayah mertua berpesan pada menantunya.“Iya, Pih. Rey akan jaga Alia baik-baik,” jawab Reyvan, ia mencium punggung tangan kedua mertuanya bergantian.“Mih, Pih, Alia pergi ya,” ujar Alia, ia menatap orang tuanya lalu memeluk mereka bergantian. Rasanya ia memang berat berpisah dengan orang tuanya. Ia juga berat meninggalkan bi Ijah yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya.“Sering-sering mampir ke sini ya, Non,” kata Bi Ijah. Terlihat raut kesedihan tercetak di wajah wanita yang su
Pagi ini langit sangat cerah. Alia mengerjap-ngerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui matanya. Ia terbangun saat matahari sudah cukup tinggi. Semalaman ia susah memejamkan matanya. Mungkin ia masih harus menyesuaikan diri tinggal di apartement Reyvan dan mungkin juga karena ada seorang laki-laki yang statusnya sudah menjadi suaminya berbaring di sampingnya. Ia merasa takut, takut suaminya melakukan hal yang tidak-tidak terhadap dirinya.‘Astaga!’ Alia terlonjak saat melihat jam yang terpasang di kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 dan itu berarti hanya tinggal 30 menit lagi sebelum perkuliahannya dimulai. Ia melihat di sampingnya sudah tidak ada suaminya.Alia beranjak dari tempat tidurnya lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Ia menggosok gigi dan mencuci mukanya. Setelah itu ia keluar dari kamar menuju lemari pakaian dan mengambil asal pakaian yang akan dipakainy
Begitu sampai di parkiran kampus, Satria memarkirkan mobilnya dengan tergesa-gesa. Menyambar tas ransel yang teronggok begitu saja di belakang jok mobil, lalu segera melangkahkan kakinya keluar dari dalam mobil. Ia terlihat celingukan mencari seseorang begitu ia menjejakkan kakinya di halaman kampus yang luas itu.“Kemana sih, nih orang?! Giliran dibutuhin kaya gini malah ngilang,” gerutu anak muda itu. Ia terus mengedarkan pandangannya ke seantero wilayah kampus sambil tangannya terus memencet nomer telepon Kinanti—gadis yang sedang ia cari.Tadi pagi dirinya mendapatkan kabar buruk bahwa kemarin Alia kecelakaan. Untuk memastikan berita itu benar atau tidak, ia harus menanyakannya pada Kinanti. Siapa tahu saja gadis ituInsting kejantanannya memberitahunya bahwa orang yang ia cari pasti sedang berada di dalam kantin, menikmati sepiring makanan kesukaannya. Dan benar saja, Kinanti berada di sana! Ia terlihat sedang menikmati makan siangnya seorang diri sambil sesekali jari-jari tangan
Suara derap langkah menggema di sepanjang lorong rumah sakit lantai dua. Sepasang suami istri itu berjalan terburu-buru menuju ruang rawat putrinya. Setelah memastikan bahwa Alia kecelakaan, maka Reyvan segera menghubungi mertuanya—papih dan mamih Alia. Mereka tiba di depan ruangan bertuliskan ‘Lily’s Room’—kamar VVIP tempat Alia di rawat. Dengan perlahan, dibukanya pintu berwarna coklat itu. Tidak ada siapa-siapa di dalam sana, hanya ada tubuh sang putri yang terbaring lemah, masih tak sadarkan diri. Mungkin sang menantu sedang pergi ke kantin sebentar. Mamih Alia menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia benar-benar tak menyangka kejadian naas itu bisa menimpa putri semata wayangnya. Hampir saja tubuhnya ambruk di atas lantai dingin itu jika saja suaminya tidak segera menyangga tubuh rapuhnya. “Anak kita, Pih …” isak wanita yang masih cantik di usianya yang sudah tak muda lagi itu. “Iya, Mih. Alia pasti kuat, Mih. Dia pasti bisa segera melewati masa kritisnya,” ujar sang suami men
Praaakkk Sebuah figura yang membingkai foto Alia tidak sengaja tersenggol oleh Melati sehingga menyebabkan figura itu menyentuh tanah dan kacanya hancur berantakan. “Astagfirullah …” pekik Melati, ia mengusap dadanya. Tiba-tiba saja perasaan tidak enak menyergap hatinya. Jantungnya pun berdegup kencang. ‘Ini pasti sebuah firasat,’ pikirnya. Mendengar suara pecahan kaca disusul dengan pekikan dari majikannya, membuat Bi Ijah datang tergopoh-gopoh menghampirinya di dalam kamar. “Ada apa, Bu?” tanyanya khawatir. Matanya menangkap serpihan kaca yang sudah berceceran di lantai kamar itu. “Nggak tau, Bi. Tiba-tiba aja saya nggak sengaja menyenggol foto Alia,” ungkap Melati, masih memegangi dadanya. “Kok perasaan saya jadi nggak enak ya, Bi? Astagfirullah.” Melati mengusap dadanya pelan. “Ibu jangan berpikiran yang macem-macem. Non Alia pasti nggak kenapa-napa, Bu,” ujar Bi Ijah, seakan tahu kekhawatiran yang menimpa majikannya. Menurut mito
Setelah perkuliahannya selesai, Alia berjalan dengan cepat menelusuri koridor kampus dan sambil menyibakkan rambutnya yang sedikit menutupi wajahnya yang diterpa angin. Lalu dengan langkah ringan ia menuruni anak tangga satu per satu.“Alia!”Sebuah suara dari arah belakang terdengar memanggil namanya. Alia segera menghentikan langkah dan menoleh mencari asal suara itu. Dilihatnya Aldo tersenyum menghampirinya. Sejak Aldo menolong dirinya membawa Mamihnya ke Rumah Sakit, Alia mencoba bersikap ramah dan wajar terhadap dirinya lagi. Bagaimana pun juga Aldo adalah mantan kekasihnya dan pernah menolong sang mamih.“Ada apa, Do?” tanya Alia, ia kembali melangkahkan kakinya.“Aku denger kemarin kamu sakit ya, makanya nggak masuk kuliah?” tanya Aldo sambil menyejajarkan langkahnya dengan langkah Alia.Alia mengangguk sekilas. “Iya. Cuma demam biasa aja, kok.”“Kemarin aku nyariin kamu.”
Di saat Alia sedang menikmati buburnya di ruang makan, tiba-tiba pintu apartemen berbunyi. Reyvan yang sedang berada di dapur, segera beranjak untuk membukakan pintu.“Kamu lanjutin makan aja, biar saya yang buka,” kata Reyvan saat melihat Alia beranjak hendak membukakan pintunya. “Mungkin itu tukang servis AC, soalnya tadi saya hubungi suruh datang.”“Oh, yaudah ….” Alia melangkah kembali ke ruang makan untuk melanjutkan sarapan plus makan siangnya.Di saat Reyvan membuka pintu, di sana ada Satria dan Kinanti.“Lho, kok Pak Reyvan ada di sini?” tanya Satri kaget. Kinanti pun melongo—tidak kalah kaget.“Ini ‘kan memang apartemen saya,” jawab Reyvan cuek.Satria buru-buru mengeluarkan kembali ponselnya. Ia membaca deretan huruf yang bertuliskan alamat tempat tinggal Alia yang tadi ia dapat dari mamih Alia sendiri.“Ini apartemen Gardenia lanta
Satria mengendarai kuda besi berwarna hitam miliknya dengan kecepatan sedang. Jarak dari kampus ke Rumah Sakit akan memakan waktu kurang lebih 30 menit.“Al,” panggil Satria.Alia yang sedang menikmati jalanan lewat kaca mobil di sampingnya, menoleh ke arah temannya itu.“Bukannya tadi kamu disuruh datang ke ruangan pak Reyvan, ya?” tanya Satria sambal tetap fokus menatap jalanan—mengemudikan mobilnya.“Biarin aja, aku nggak peduli. Keadaan mamih lebih penting,” jawab Alia, ia membuka sedikit kaca mobil untuk menikmati udara siang itu. Angin menerbangkan sebagian rambutnya yang ia biarkan tergerai.“Emangnya kamu nggak takut kena hukuman dari pak Reyvan?” goda Satria.Alia mengendikkan bahu. “I really don’t care,” sahutnya yakin. Ia memang tidak peduli jika nanti suaminya itu akan memarahinya ketika tiba di rumah. Ia tidak peduli sama sekali!“Lagia
Hingga malam menjelang, ternyata Melati belum juga tersadar dari pingsannya padahal dokter sudah memastikan keadaannya baik-baik saja. Entah apa yang membuatnya betah memejamkan mata. Karena sang mamih belum sadar juga, akhirnya Alia memutuskan untuk menunggui mamihnya di samping ranjangnya.Tadi malam sekitar pukul tujuh, Bagas datang ke Rumah Sakit langsung dari Bandara. Setelah dikabari oleh asisten rumah tangganya, Bagas segera mengambil jadwal penerbangan dari Balikpapan menuju Jakarta, setelah itu melanjutkan perjalanan darat menuju Bandung. Pagi tadi sebelum istrinya jatuh pingsan, Bagas berpamitan untuk meninjau proyeknya yang berada di Balikpapan. Padahal pekerjaannya di sana belum selesai, namun ia tinggalkan setelah tahu istrinya tiba-tiba pingsan.Reyvan melirik jam yang melingkar ditangannya, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. “Pih … Papih pulang aja untuk istirahat. Biar Reyvan yang jaga mamih,” ujarnya pada sang ayah mertua saat mel
Siang itu setelah jadwal perkuliahannya selesai, Alia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Kinanti dan Satria sudah pamit pulang duluan karena mereka ada urusan nanti sore. Sebelum pulang ke rumah orang tuannya, Alia akan meminta izin dulu kepada suaminya. Ia membelokkan kakinya menuju ruangan Reyvan. Setelah berada di depan pintu, diketuknya pintu itu. Ia membuka kenop pintu setelah ada sahutan dari dalam yang mempersilahkannya masuk. “Al, ada apa?” tanya Reyvan saat istrinya sudah menutup pintu itu kembali.
Pagi ini langit sangat cerah. Alia mengerjap-ngerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui matanya. Ia terbangun saat matahari sudah cukup tinggi. Semalaman ia susah memejamkan matanya. Mungkin ia masih harus menyesuaikan diri tinggal di apartement Reyvan dan mungkin juga karena ada seorang laki-laki yang statusnya sudah menjadi suaminya berbaring di sampingnya. Ia merasa takut, takut suaminya melakukan hal yang tidak-tidak terhadap dirinya.‘Astaga!’ Alia terlonjak saat melihat jam yang terpasang di kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 dan itu berarti hanya tinggal 30 menit lagi sebelum perkuliahannya dimulai. Ia melihat di sampingnya sudah tidak ada suaminya.Alia beranjak dari tempat tidurnya lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Ia menggosok gigi dan mencuci mukanya. Setelah itu ia keluar dari kamar menuju lemari pakaian dan mengambil asal pakaian yang akan dipakainy