Pagi setelah hari pernikahan, Alia tengah bersiap menurunkan koper yang berisi pakaiannya. Hari ini ia akan mulai tinggal di apartemen suaminya. Dengan langkah gontai, ia mulai menuruni anak tangga dengan membawa koper besarnya.
“Kamu hati-hati di sana ya, Al,” ucap Melati saat Alia berpamitan, “yang nurut sama Reyvan, ya,” lanjutnya menasihati.
“Rey, Papih titip Alia ya. Tolong jaga Alia.” Sang ayah mertua berpesan pada menantunya.
“Iya, Pih. Rey akan jaga Alia baik-baik,” jawab Reyvan, ia mencium punggung tangan kedua mertuanya bergantian.
“Mih, Pih, Alia pergi ya,” ujar Alia, ia menatap orang tuanya lalu memeluk mereka bergantian. Rasanya ia memang berat berpisah dengan orang tuanya. Ia juga berat meninggalkan bi Ijah yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya.
“Sering-sering mampir ke sini ya, Non,” kata Bi Ijah. Terlihat raut kesedihan tercetak di wajah wanita yang su
Pagi ini langit sangat cerah. Alia mengerjap-ngerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui matanya. Ia terbangun saat matahari sudah cukup tinggi. Semalaman ia susah memejamkan matanya. Mungkin ia masih harus menyesuaikan diri tinggal di apartement Reyvan dan mungkin juga karena ada seorang laki-laki yang statusnya sudah menjadi suaminya berbaring di sampingnya. Ia merasa takut, takut suaminya melakukan hal yang tidak-tidak terhadap dirinya.‘Astaga!’ Alia terlonjak saat melihat jam yang terpasang di kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 dan itu berarti hanya tinggal 30 menit lagi sebelum perkuliahannya dimulai. Ia melihat di sampingnya sudah tidak ada suaminya.Alia beranjak dari tempat tidurnya lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Ia menggosok gigi dan mencuci mukanya. Setelah itu ia keluar dari kamar menuju lemari pakaian dan mengambil asal pakaian yang akan dipakainy
Siang itu setelah jadwal perkuliahannya selesai, Alia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Kinanti dan Satria sudah pamit pulang duluan karena mereka ada urusan nanti sore. Sebelum pulang ke rumah orang tuannya, Alia akan meminta izin dulu kepada suaminya. Ia membelokkan kakinya menuju ruangan Reyvan. Setelah berada di depan pintu, diketuknya pintu itu. Ia membuka kenop pintu setelah ada sahutan dari dalam yang mempersilahkannya masuk. “Al, ada apa?” tanya Reyvan saat istrinya sudah menutup pintu itu kembali.
Hingga malam menjelang, ternyata Melati belum juga tersadar dari pingsannya padahal dokter sudah memastikan keadaannya baik-baik saja. Entah apa yang membuatnya betah memejamkan mata. Karena sang mamih belum sadar juga, akhirnya Alia memutuskan untuk menunggui mamihnya di samping ranjangnya.Tadi malam sekitar pukul tujuh, Bagas datang ke Rumah Sakit langsung dari Bandara. Setelah dikabari oleh asisten rumah tangganya, Bagas segera mengambil jadwal penerbangan dari Balikpapan menuju Jakarta, setelah itu melanjutkan perjalanan darat menuju Bandung. Pagi tadi sebelum istrinya jatuh pingsan, Bagas berpamitan untuk meninjau proyeknya yang berada di Balikpapan. Padahal pekerjaannya di sana belum selesai, namun ia tinggalkan setelah tahu istrinya tiba-tiba pingsan.Reyvan melirik jam yang melingkar ditangannya, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. “Pih … Papih pulang aja untuk istirahat. Biar Reyvan yang jaga mamih,” ujarnya pada sang ayah mertua saat mel
Satria mengendarai kuda besi berwarna hitam miliknya dengan kecepatan sedang. Jarak dari kampus ke Rumah Sakit akan memakan waktu kurang lebih 30 menit.“Al,” panggil Satria.Alia yang sedang menikmati jalanan lewat kaca mobil di sampingnya, menoleh ke arah temannya itu.“Bukannya tadi kamu disuruh datang ke ruangan pak Reyvan, ya?” tanya Satria sambal tetap fokus menatap jalanan—mengemudikan mobilnya.“Biarin aja, aku nggak peduli. Keadaan mamih lebih penting,” jawab Alia, ia membuka sedikit kaca mobil untuk menikmati udara siang itu. Angin menerbangkan sebagian rambutnya yang ia biarkan tergerai.“Emangnya kamu nggak takut kena hukuman dari pak Reyvan?” goda Satria.Alia mengendikkan bahu. “I really don’t care,” sahutnya yakin. Ia memang tidak peduli jika nanti suaminya itu akan memarahinya ketika tiba di rumah. Ia tidak peduli sama sekali!“Lagia
Di saat Alia sedang menikmati buburnya di ruang makan, tiba-tiba pintu apartemen berbunyi. Reyvan yang sedang berada di dapur, segera beranjak untuk membukakan pintu.“Kamu lanjutin makan aja, biar saya yang buka,” kata Reyvan saat melihat Alia beranjak hendak membukakan pintunya. “Mungkin itu tukang servis AC, soalnya tadi saya hubungi suruh datang.”“Oh, yaudah ….” Alia melangkah kembali ke ruang makan untuk melanjutkan sarapan plus makan siangnya.Di saat Reyvan membuka pintu, di sana ada Satria dan Kinanti.“Lho, kok Pak Reyvan ada di sini?” tanya Satri kaget. Kinanti pun melongo—tidak kalah kaget.“Ini ‘kan memang apartemen saya,” jawab Reyvan cuek.Satria buru-buru mengeluarkan kembali ponselnya. Ia membaca deretan huruf yang bertuliskan alamat tempat tinggal Alia yang tadi ia dapat dari mamih Alia sendiri.“Ini apartemen Gardenia lanta
Setelah perkuliahannya selesai, Alia berjalan dengan cepat menelusuri koridor kampus dan sambil menyibakkan rambutnya yang sedikit menutupi wajahnya yang diterpa angin. Lalu dengan langkah ringan ia menuruni anak tangga satu per satu.“Alia!”Sebuah suara dari arah belakang terdengar memanggil namanya. Alia segera menghentikan langkah dan menoleh mencari asal suara itu. Dilihatnya Aldo tersenyum menghampirinya. Sejak Aldo menolong dirinya membawa Mamihnya ke Rumah Sakit, Alia mencoba bersikap ramah dan wajar terhadap dirinya lagi. Bagaimana pun juga Aldo adalah mantan kekasihnya dan pernah menolong sang mamih.“Ada apa, Do?” tanya Alia, ia kembali melangkahkan kakinya.“Aku denger kemarin kamu sakit ya, makanya nggak masuk kuliah?” tanya Aldo sambil menyejajarkan langkahnya dengan langkah Alia.Alia mengangguk sekilas. “Iya. Cuma demam biasa aja, kok.”“Kemarin aku nyariin kamu.”
Praaakkk Sebuah figura yang membingkai foto Alia tidak sengaja tersenggol oleh Melati sehingga menyebabkan figura itu menyentuh tanah dan kacanya hancur berantakan. “Astagfirullah …” pekik Melati, ia mengusap dadanya. Tiba-tiba saja perasaan tidak enak menyergap hatinya. Jantungnya pun berdegup kencang. ‘Ini pasti sebuah firasat,’ pikirnya. Mendengar suara pecahan kaca disusul dengan pekikan dari majikannya, membuat Bi Ijah datang tergopoh-gopoh menghampirinya di dalam kamar. “Ada apa, Bu?” tanyanya khawatir. Matanya menangkap serpihan kaca yang sudah berceceran di lantai kamar itu. “Nggak tau, Bi. Tiba-tiba aja saya nggak sengaja menyenggol foto Alia,” ungkap Melati, masih memegangi dadanya. “Kok perasaan saya jadi nggak enak ya, Bi? Astagfirullah.” Melati mengusap dadanya pelan. “Ibu jangan berpikiran yang macem-macem. Non Alia pasti nggak kenapa-napa, Bu,” ujar Bi Ijah, seakan tahu kekhawatiran yang menimpa majikannya. Menurut mito
Suara derap langkah menggema di sepanjang lorong rumah sakit lantai dua. Sepasang suami istri itu berjalan terburu-buru menuju ruang rawat putrinya. Setelah memastikan bahwa Alia kecelakaan, maka Reyvan segera menghubungi mertuanya—papih dan mamih Alia. Mereka tiba di depan ruangan bertuliskan ‘Lily’s Room’—kamar VVIP tempat Alia di rawat. Dengan perlahan, dibukanya pintu berwarna coklat itu. Tidak ada siapa-siapa di dalam sana, hanya ada tubuh sang putri yang terbaring lemah, masih tak sadarkan diri. Mungkin sang menantu sedang pergi ke kantin sebentar. Mamih Alia menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia benar-benar tak menyangka kejadian naas itu bisa menimpa putri semata wayangnya. Hampir saja tubuhnya ambruk di atas lantai dingin itu jika saja suaminya tidak segera menyangga tubuh rapuhnya. “Anak kita, Pih …” isak wanita yang masih cantik di usianya yang sudah tak muda lagi itu. “Iya, Mih. Alia pasti kuat, Mih. Dia pasti bisa segera melewati masa kritisnya,” ujar sang suami men