Matahari masih malu-malu menampakkan sebagian sinarnya. Alia terbangun dari tidur nyenyaknya pagi ini. Ia merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi yang terasa sangat segar. Sesaat ia tersentak saat terbangun dan menyadari berada di dalam kamar kedua orang tuanya. Tapi ia segera sadar bahwa tadi malam dirinya memang tidur bersama sang mamih guna menghindari malam pertamanya bersama si om. Entah tidur di mana sang papih semalam. Alia terkikik mengingat kejadian itu.
‘Maafkan anakmu yang durhaka ini, Pih,’ gumam Alia.
Alia mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut kamar, tidak ada siapa-siapa di kamar itu selain dirinya. Mungkin sang mamih sudah turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Memang di rumah itu yang menyiapkan sarapan selalu sang mamih, bukan asisten rumah tangganya.
Kemudian Alia bergegas keluar kamar dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Ia berjalan mengendap-endap seperti maling yang ketakutan jika tertangkap basah. Dibukanya pelan-pelan kenop pintu kamar sambil kepalanya melongok sedikit ke dalam kamar untuk memastikan ada siapa di dalam kamar itu.
Kosong, tidak ada siapa-siapa di dalam kamarnya. Setelah memastikan si om tidak berada di dalam kamar, ia melangkah masuk ke dalam kamar dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lupa ia membawa baju ganti dari dalam lemari pakaiannya. Ia menyalakan keran air hangat di dalam bath tub-nya. Setelah air hangat memenuhi bath tub, ia menuangkan beberapa tetes aromaterapi ke dalamnya dan mulai menanggalkan seluruh pakaiannya untuk merendam tubuhnya di dalam air hangat itu.
Ah, seger!
Ketika sedang asyik berendam, tidak terasa matanya terpejam untuk beberapa saat. Ia merasakan tubuhnya nyaman di dalam air hangat. Ia membuka kedua matanya saat terdengar pintu kamar mandi dibuka oleh seseorang.
“Aaaaaa!!!” teriak Alia, ia sontak kaget saat mendapati Reyvan muncul dari balik pintu kamar mandi dan tengah melihat tubuh polosnya dengan ekspresi yang sulit dimengerti. Ia tidak menyadari bahwa pintu kamar mandi lupa ia kunci dari dalam ketika masuk tadi.
'Sial, gue lupa kunci kamar mandi tadi,' runtuk Alia dalam hati.
“Ngapain Om masuk ke kamar mandi? Mau ngintipin aku mandi, ya?” sembur Alia, ia menutup dadanya dengan kedua tangannya.
“Siapa yang mau ngintipin kamu?” tampik Reyvan, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. “Saya kira nggak ada siapa-siapa di dalam kamar mandi,” kilahnya lagi.
“Alasan!” geram Alia, “yaudah sekarang cepetan keluar, ngapain masih berdiri di situ?” dengusnya lagi kesal. Dalam hati, ia mengeluarkan sumpah serapah karena tubuh polosnya secara tidak langsung sudah dilihat oleh Reyvan.
Reyvan segera membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar mandi dengan menutup pintu agak keras sehingga menimbulkan suara dentuman yang cukup kencang.
“Dasar om-om mesum!” jerit Alia. Ia kesal, kesal, kesal.
Alia langsung membilas tubuhnya dengan cepat lalu memakai bajunya yang tadi sudah ia ambil di dalam lemari pakaiannya. Untungnya ia masih ingat membawa baju ganti ke dalam kamar mandi. Kalau tidak, apa jadinya nanti jika si om mesum masih berada di dalam kamar. Ia melangkah keluar kamar mandi dan mendapati Reyvan yang sedang duduk di tepi ranjang sambil memainkan ponselnya.
‘Tuh kan, si om masih di dalam kamar!’ gerutu Alia kesal.
Dengan raut wajah yang masih kesal, Alia berjalan menuju meja riasnya. Mendudukkan tubuhnya di kursi yang berada di depan meja rias, mengambil sisir dari dalam laci, lalu menyisir rambutnya yang panjang.
Dari pantulan cermin, Alia bisa melihat dengan jelas bahwa suaminya masih asik dengan ponselnya. Ia mengumpat, kenapa dirinya harus menikah dengan laki-laki semenyebalkan itu.
Reyvan beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi setelah menaruh ponsel miliknya di atas meja nakas samping tempat tidur.
Beberapa menit berlalu, Reyvan keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.
Alia memalingkan wajahnya saat pantulan cermin menampilkan Reyvan tanpa memakai baju. Terlihat otot-ototnya yang kekar terpampang di sana.
‘Ternyata si om rajin nge-gym juga,’ kata Alia membatin saat melihat dada sixpack suaminya.
Sesaat ia terpaku, baru kali ini melihat laki-laki lain bertelanjang dada selain papihnya. Tapi sedetik kemudian ia segera sadar. “Kenapa Om nggak pakai baju, sih?” sembur Alia. Matanya yang masih suci, kini sudah ternoda.
“Baju saya di dalam tas,” jawab Reyvan datar, ia mengambil sebuah kaos dari dalam tas hitam miliknya yang kemarin ia bawa dari rumahnya. Tanpa malu, Reyvan memakai kaos itu di dalam kamar yang masih bisa dilihat oleh Alia dari pantulan cermin. Saat Reyvan hendak membuka handuk yang melilit pinggangnya, Alia hampir saja terpekik tapi ia segera membungkam mulutnya saat sadar suaminya telah memakai celana pendek di balik handuk itu.
“Kamu kenapa?” tanya Reyvan datar saat melihat Alia menghembuskan napas panjangnya sambil menutup mata.
‘Aduh, jantung gue hampir copot!’ batin Alia. Jantungnya berpacu dengan kencang sambil membayangkan hal apa yang terjadi kalau tadi Reyvan tidak memakai apa-apa di balik handuknya. Ia jadi malu sendiri.
“Om bisa pakai baju di dalam kamar mandi nggak sih?” tanya Alia ketus.
“Emangnya kenapa?” Reyvan balik bertanya.
“Emangnya Om nggak malu ya pakai baju di depan aku?” tanya Alia lagi emosi.
“Emangnya salah kalau saya pakai baju di depan is-tri sa-ya?” lagi-lagi Reyvan menjawab pertanyaan Alia dengan pertanyaan lagi dan menekan kata ‘istri saya’ di akhir kalimatnya.
Alia kesal, percuma juga mendebat seorang dosen seperti suaminya. Pasti suaminya itu pandai berkelit dan tidak mau kalah.
Alia keluar kamar dengan menghentakkan kakinya. “Terserah Om, deh!” dengusnya kesal.
***
“Udah bangun, Al?” tanya Melati saat Alia mendudukkan tubuhnya di atas kursi yang berada di ruang makan.
Alia hanya tersenyum. Pagi-pagi mood-nya sudah hancur karena bertengkar dengan suaminya tadi.
“Kok mukanya cemberut?” tanya Bagas mengangkat alisnya, “bukankah semalam tidur kamu nyenyak karena kamu udah menyabotase kamar Papih,” cicitnya lagi.
Alia tertawa kecil sambil menangkup kedua tangannya di atas dada. “Maafkan hamba, Yang Mulia Raja,” selorohnya sambil terkikik.
“Tumben banget semalam kamu pingin tidur sama Mamih?” tanya Bagas, masih penasaran dengan alasan putrinya. “Papih jadi tidur di sofa, deh.”
“Ya ampun … maaf ya Pih, soalnya—” Belum sempat Alia menjawab pertanyaan sang papih, seseorang yang sangat menyebalkan sudah muncul dan langsung duduk di kursi samping dirinya.
“Selamat pagi, Pih, Mih,” sapa Reyvan pada kedua mertuanya.
Alia mendengus kesal. ‘Apa itu tadi? Si om manggil papih dan mamih? Itu kan papih dan mamih gue!’ desisnya, ia memutar bola matanya malas.
Apakah Alia lupa kalau yang dia sebut om itu sekarang sudah sah menjadi suaminya? Otomatis orang tua Alia adalah orang tuanya Reyvan juga, kan?!
“Pagi juga, Rey,” sahut Melati.
“Gimana tidurnya, Rey?” tanya Bagas, “pasti semalam tidur kamu nggak nyenyak karena nyariin guling hidup yang tiba-tiba hilang, ya?” tanyanya lagi menggoda.
Sudut kedua alis Alia berkerut, mencerna kata-kata sang papih barusan. ‘Si om nyariin guling hidup? Maksudnya?’ gumamnya tidak mengerti.
Reyvan hanya tertawa kecil menanggapi godaan sang mertua. Dirinya malah bersyukur semalam Alia tidak berada di dalam kamar karena ia sendiri pun masih segan kalau harus tidur berdua di dalam kamar dan berdekatan dengan seorang wanita walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Ia merasa belum terbiasa.
“Rey, hari ini kamu jadi pulang ke apartement kamu?” tanya Melati sambil mengolesi selai pada lembaran roti yang berada di hadapannya. Kebiasaan di rumah itu adalah mereka hanya memakan roti untuk sarapan.
“Jadi, Mih. Besok Rey harus ke kampus pagi-pagi soalnya. Ada mahasiswa yang mau bimbingan skripsi,” jawab Reyvan sambil melirik istrinya yang duduk di sampingnya.
Alia bersorak dalam hati. ‘Yes, hari ini si om pulang ke apartemennya. Otomatis gue nggak bakal ketemu dia lagi di rumah ini,’ batinnya senang. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan dirinya akan single kembali tanpa suami.
“Siapkan barang-barang kamu, Al. Nanti siang kita pindah,” ujar Reyvan melirik istrinya lagi.
Alia menganga. ‘Apa? Kenapa si om harus membawanya ikut serta pulang ke apartemennya juga?’
“Apa? Aku masih mau tinggal di sini!” seru Alia sambil menyilangkan kedua tangannya di atas dada, “kalau Om mau pulang, pulang aja sendiri!” semburnya lagi.
“Saya tidak suka dibantah. Bukankah kemarin Papih bilang kalau perintah suami harus dituruti?” Reyvan menatap tajam ke arahnya.
Alia bangkit lalu melingkarkan tangannya di pundak sang papih. “Pih, Alia masih mau tinggal di sini.” rajuknya manja.
“Karena sekarang tanggung jawab Papih udah pindah ke tangan Reyvan, jadi kamu harus nurut sama Reyvan,” jawab Bagas tegas. Sebenarnya ia pun ingin Alia tetap tinggal di rumah ini, namun suaminya lebih berhak atas hidup putrinya itu sekarang.
Karena tidak mendapatkan pembelaan apapun dari sang papih, Alia beranjak menghampiri sang mamih dan menyandarkan kepalanya di pundaknya. “Mih, boleh ya Alia tinggal di sini. Sebulan aja, deh. Atau seminggu, deh. Alia masih mau di sini,” rengeknya, matanya sudah mulai berkaca-kaca. Tidak mungkin ‘kan kalau dirinya akan langsung meninggalkan rumahnya bersama orang yang tidak dicintainya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana suasana yang akan terjadi kalau nanti mereka tinggal dalam atap yang sama tanpa ada cinta. Dan juga ia pasti akan merasa kesepian, tidak ada tempat untuk berkeluh kesah lagi.
“Kamu itu udah jadi tanggung jawab suamimu, Al. Kami nggak berhak melarangnya lagi,” jawab Melati, ia menyimpan pisau untuk mengupas buah yang sedang ia pegang lalu mengusap lembut rambut putrinya yang berada di pundaknya.
“Iya Al, kamu harus ikut apa kata Reyvan selagi itu hal yang benar. Dosa loh kalau kamu membantah,” kata Bagas menimpali.
“Lagian kamu masih bisa main ke sini, kan,” ujar Melati lagi.
Alia memberengut. Ia hanya bisa pasrah, tidak ada gunanya lagi berdebat dengan orang tuanya. Dengan langkah kesal dan menghentak-hentakan kakinya, ia kembali ke kursinya untuk sarapan. Pagi ini mood-nya benar-benar hancur. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si om mesum.
“Ayo, sekarang kita sarapan dulu!” ajak Bagas.
“Kamu mau sarapan nasi, Rey?” tanya Melati pada menantunya. Ia takut menantunya tidak terbiasa makan roti di pagi hari.
“Oh … nggak usah, Mih. Roti udah cukup, kok. Rey nggak biasa makan yang berat kalau pagi,” beber Reyvan.
“Tuh Al, denger. Reyvan nggak biasa makan yang berat-berat kalau sarapan. Kamu harus inget kalau nanti mau nyiapin sarapan untuk Reyvan,” imbuh Melati pada putrinya.
“Iya, Mih,” sahut Alia ketus.
‘Siapa juga yang mau bikinin si om sarapan? Emangnya gue pembantu dia? Kalau mau dibikinin sarapan, nyari pembantu aja sana!’ sulut Alia dalam hati.
“Saya tau lho, kalau kamu sedang menggerutu,” bisik Reyvan di telinga Alia.
“Eh, siapa yang lagi ngegerutu? Dasar sok tau!” kilah Alia sambil memeletkan lidahnya ke arah suaminya.
Untung sang mamih dan sang papih tidak melihat kelakuannya yang tidak sopan terhadap suaminya. Kalau tahu, Alia pasti akan mendapat ceramah tujuh hari tujuh malam sampai kupingnya panas.
***
Setelah sarapan, penghuni rumah ini kembali menjalani aktivitasnya masing-masing. Bagas belum pergi ke kantor karena ingin melihat putrinya itu pergi meninggalkan rumahnya.
Alia kembali ke kamarnya untuk menyiapkan barang-barangnya. Dibukanya pintu kamar itu dengan sedikit kasar, ia sebal karena orang tuanya menginginkan ia pindah siang ini.
Saat memasuki kamar, terlihat Reyvan sedang berbaring di sofa yang berada di kamarnya sambil memainkan ponselnya.
“Kenapa harus pindah hari ini sih, Om?” runtuk Alia kesal, “kalau mau pulang, ya pulang aja sendiri,” lanjutnya lagi.
Reyvan bangun dari posisinya berbaring lalu menghembuskan napasnya berat. Ia berjalan menhampiri istrinya yang masih mematung di depan pintu walaupun pintu kamar itu sudah tertutup.
Melihat suaminya yang berjalan semakin mendekatinya, membuat Alia berjalan mundur sampai tubuhnya membentur pintu. Ia sudah tidak bisa bergerak kemana-mana lagi karena Reyvan mengunci pergerakannya dengan merentangkan kedua tangannya di samping kanan dan kiri Alia.
“Kamu belum paham juga dengan omongan papih dan mamih tadi?” Reyvan menatap tajam ke arah istrinya. “Apa nanti saya harus memberikan mata kuliah pemahaman untuk kamu?” tanyanya lagi.
Alia bisa merasakan aroma mint yang menguar dari mulut suaminya karena kini jarak mereka hanya beberapa senti saja.
“Ta—tapi, aku belum mau pindah dari sini,” jawab Alia terbata, ia gugup dengan jarak mereka yang sedekat ini. Ini adalah kali pertama dirinya berdekatan sedekat itu dengan lawan jenis walaupun dirinya pernah pacaran dengan Aldo selama tiga tahun. Tapi ia selalu membentangkan jarak lebar agar Aldo tidak melampaui batasnya.
Reyvan semakin mendekatkan wajahnya yang membuat jantung Alia semakin berdegup kencang. Alia memejamkan matanya saat Reyvan seperti hendak mencium bibirnya.
“Itu urusan kamu,” bisik Reyvan tepat di telinga Alia sambil menyentil keningnya.
Alia terlonjak kaget sambil kesakitan memegangi keningnya. Wajahnya memerah saat menyadari sudah berpikiran yang tidak-tidak tadi. Ia pikir suaminya akan menciumnya dengan jarak yang sedekat tadi. Tapi ternyata ia malah mendapatkan hadiah sentilan di keningnya.
Reyvan kembali berjalan menuju sofa dan mendudukkan tubuhnya di sana. “Cepat, bereskan barang-barang kamu,” kata Reyvan.
Alia melangkah menuju lemari pakaiannya untuk membereskan pakaiannya sambil tangannya masih mengusap-usap keningnya yang masih terasa sakit. Belum apa-apa, dirinya sudah terkena KDRT.
‘Dasar om-om mesum!’ pekik Alia dalam hati. Kesal!
Pagi setelah hari pernikahan, Alia tengah bersiap menurunkan koper yang berisi pakaiannya. Hari ini ia akan mulai tinggal di apartemen suaminya. Dengan langkah gontai, ia mulai menuruni anak tangga dengan membawa koper besarnya.“Kamu hati-hati di sana ya, Al,” ucap Melati saat Alia berpamitan, “yang nurut sama Reyvan, ya,” lanjutnya menasihati.“Rey, Papih titip Alia ya. Tolong jaga Alia.” Sang ayah mertua berpesan pada menantunya.“Iya, Pih. Rey akan jaga Alia baik-baik,” jawab Reyvan, ia mencium punggung tangan kedua mertuanya bergantian.“Mih, Pih, Alia pergi ya,” ujar Alia, ia menatap orang tuanya lalu memeluk mereka bergantian. Rasanya ia memang berat berpisah dengan orang tuanya. Ia juga berat meninggalkan bi Ijah yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya.“Sering-sering mampir ke sini ya, Non,” kata Bi Ijah. Terlihat raut kesedihan tercetak di wajah wanita yang su
Pagi ini langit sangat cerah. Alia mengerjap-ngerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui matanya. Ia terbangun saat matahari sudah cukup tinggi. Semalaman ia susah memejamkan matanya. Mungkin ia masih harus menyesuaikan diri tinggal di apartement Reyvan dan mungkin juga karena ada seorang laki-laki yang statusnya sudah menjadi suaminya berbaring di sampingnya. Ia merasa takut, takut suaminya melakukan hal yang tidak-tidak terhadap dirinya.‘Astaga!’ Alia terlonjak saat melihat jam yang terpasang di kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 dan itu berarti hanya tinggal 30 menit lagi sebelum perkuliahannya dimulai. Ia melihat di sampingnya sudah tidak ada suaminya.Alia beranjak dari tempat tidurnya lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Ia menggosok gigi dan mencuci mukanya. Setelah itu ia keluar dari kamar menuju lemari pakaian dan mengambil asal pakaian yang akan dipakainy
Siang itu setelah jadwal perkuliahannya selesai, Alia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Kinanti dan Satria sudah pamit pulang duluan karena mereka ada urusan nanti sore. Sebelum pulang ke rumah orang tuannya, Alia akan meminta izin dulu kepada suaminya. Ia membelokkan kakinya menuju ruangan Reyvan. Setelah berada di depan pintu, diketuknya pintu itu. Ia membuka kenop pintu setelah ada sahutan dari dalam yang mempersilahkannya masuk. “Al, ada apa?” tanya Reyvan saat istrinya sudah menutup pintu itu kembali.
Hingga malam menjelang, ternyata Melati belum juga tersadar dari pingsannya padahal dokter sudah memastikan keadaannya baik-baik saja. Entah apa yang membuatnya betah memejamkan mata. Karena sang mamih belum sadar juga, akhirnya Alia memutuskan untuk menunggui mamihnya di samping ranjangnya.Tadi malam sekitar pukul tujuh, Bagas datang ke Rumah Sakit langsung dari Bandara. Setelah dikabari oleh asisten rumah tangganya, Bagas segera mengambil jadwal penerbangan dari Balikpapan menuju Jakarta, setelah itu melanjutkan perjalanan darat menuju Bandung. Pagi tadi sebelum istrinya jatuh pingsan, Bagas berpamitan untuk meninjau proyeknya yang berada di Balikpapan. Padahal pekerjaannya di sana belum selesai, namun ia tinggalkan setelah tahu istrinya tiba-tiba pingsan.Reyvan melirik jam yang melingkar ditangannya, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. “Pih … Papih pulang aja untuk istirahat. Biar Reyvan yang jaga mamih,” ujarnya pada sang ayah mertua saat mel
Satria mengendarai kuda besi berwarna hitam miliknya dengan kecepatan sedang. Jarak dari kampus ke Rumah Sakit akan memakan waktu kurang lebih 30 menit.“Al,” panggil Satria.Alia yang sedang menikmati jalanan lewat kaca mobil di sampingnya, menoleh ke arah temannya itu.“Bukannya tadi kamu disuruh datang ke ruangan pak Reyvan, ya?” tanya Satria sambal tetap fokus menatap jalanan—mengemudikan mobilnya.“Biarin aja, aku nggak peduli. Keadaan mamih lebih penting,” jawab Alia, ia membuka sedikit kaca mobil untuk menikmati udara siang itu. Angin menerbangkan sebagian rambutnya yang ia biarkan tergerai.“Emangnya kamu nggak takut kena hukuman dari pak Reyvan?” goda Satria.Alia mengendikkan bahu. “I really don’t care,” sahutnya yakin. Ia memang tidak peduli jika nanti suaminya itu akan memarahinya ketika tiba di rumah. Ia tidak peduli sama sekali!“Lagia
Di saat Alia sedang menikmati buburnya di ruang makan, tiba-tiba pintu apartemen berbunyi. Reyvan yang sedang berada di dapur, segera beranjak untuk membukakan pintu.“Kamu lanjutin makan aja, biar saya yang buka,” kata Reyvan saat melihat Alia beranjak hendak membukakan pintunya. “Mungkin itu tukang servis AC, soalnya tadi saya hubungi suruh datang.”“Oh, yaudah ….” Alia melangkah kembali ke ruang makan untuk melanjutkan sarapan plus makan siangnya.Di saat Reyvan membuka pintu, di sana ada Satria dan Kinanti.“Lho, kok Pak Reyvan ada di sini?” tanya Satri kaget. Kinanti pun melongo—tidak kalah kaget.“Ini ‘kan memang apartemen saya,” jawab Reyvan cuek.Satria buru-buru mengeluarkan kembali ponselnya. Ia membaca deretan huruf yang bertuliskan alamat tempat tinggal Alia yang tadi ia dapat dari mamih Alia sendiri.“Ini apartemen Gardenia lanta
Setelah perkuliahannya selesai, Alia berjalan dengan cepat menelusuri koridor kampus dan sambil menyibakkan rambutnya yang sedikit menutupi wajahnya yang diterpa angin. Lalu dengan langkah ringan ia menuruni anak tangga satu per satu.“Alia!”Sebuah suara dari arah belakang terdengar memanggil namanya. Alia segera menghentikan langkah dan menoleh mencari asal suara itu. Dilihatnya Aldo tersenyum menghampirinya. Sejak Aldo menolong dirinya membawa Mamihnya ke Rumah Sakit, Alia mencoba bersikap ramah dan wajar terhadap dirinya lagi. Bagaimana pun juga Aldo adalah mantan kekasihnya dan pernah menolong sang mamih.“Ada apa, Do?” tanya Alia, ia kembali melangkahkan kakinya.“Aku denger kemarin kamu sakit ya, makanya nggak masuk kuliah?” tanya Aldo sambil menyejajarkan langkahnya dengan langkah Alia.Alia mengangguk sekilas. “Iya. Cuma demam biasa aja, kok.”“Kemarin aku nyariin kamu.”
Praaakkk Sebuah figura yang membingkai foto Alia tidak sengaja tersenggol oleh Melati sehingga menyebabkan figura itu menyentuh tanah dan kacanya hancur berantakan. “Astagfirullah …” pekik Melati, ia mengusap dadanya. Tiba-tiba saja perasaan tidak enak menyergap hatinya. Jantungnya pun berdegup kencang. ‘Ini pasti sebuah firasat,’ pikirnya. Mendengar suara pecahan kaca disusul dengan pekikan dari majikannya, membuat Bi Ijah datang tergopoh-gopoh menghampirinya di dalam kamar. “Ada apa, Bu?” tanyanya khawatir. Matanya menangkap serpihan kaca yang sudah berceceran di lantai kamar itu. “Nggak tau, Bi. Tiba-tiba aja saya nggak sengaja menyenggol foto Alia,” ungkap Melati, masih memegangi dadanya. “Kok perasaan saya jadi nggak enak ya, Bi? Astagfirullah.” Melati mengusap dadanya pelan. “Ibu jangan berpikiran yang macem-macem. Non Alia pasti nggak kenapa-napa, Bu,” ujar Bi Ijah, seakan tahu kekhawatiran yang menimpa majikannya. Menurut mito