Setelah perkuliahannya selesai, Alia berjalan dengan cepat menelusuri koridor kampus dan sambil menyibakkan rambutnya yang sedikit menutupi wajahnya yang diterpa angin. Lalu dengan langkah ringan ia menuruni anak tangga satu per satu.
“Alia!”
Sebuah suara dari arah belakang terdengar memanggil namanya. Alia segera menghentikan langkah dan menoleh mencari asal suara itu. Dilihatnya Aldo tersenyum menghampirinya. Sejak Aldo menolong dirinya membawa Mamihnya ke Rumah Sakit, Alia mencoba bersikap ramah dan wajar terhadap dirinya lagi. Bagaimana pun juga Aldo adalah mantan kekasihnya dan pernah menolong sang mamih.
“Ada apa, Do?” tanya Alia, ia kembali melangkahkan kakinya.
“Aku denger kemarin kamu sakit ya, makanya nggak masuk kuliah?” tanya Aldo sambil menyejajarkan langkahnya dengan langkah Alia.
Alia mengangguk sekilas. “Iya. Cuma demam biasa aja, kok.”
“Kemarin aku nyariin kamu.”
Praaakkk Sebuah figura yang membingkai foto Alia tidak sengaja tersenggol oleh Melati sehingga menyebabkan figura itu menyentuh tanah dan kacanya hancur berantakan. “Astagfirullah …” pekik Melati, ia mengusap dadanya. Tiba-tiba saja perasaan tidak enak menyergap hatinya. Jantungnya pun berdegup kencang. ‘Ini pasti sebuah firasat,’ pikirnya. Mendengar suara pecahan kaca disusul dengan pekikan dari majikannya, membuat Bi Ijah datang tergopoh-gopoh menghampirinya di dalam kamar. “Ada apa, Bu?” tanyanya khawatir. Matanya menangkap serpihan kaca yang sudah berceceran di lantai kamar itu. “Nggak tau, Bi. Tiba-tiba aja saya nggak sengaja menyenggol foto Alia,” ungkap Melati, masih memegangi dadanya. “Kok perasaan saya jadi nggak enak ya, Bi? Astagfirullah.” Melati mengusap dadanya pelan. “Ibu jangan berpikiran yang macem-macem. Non Alia pasti nggak kenapa-napa, Bu,” ujar Bi Ijah, seakan tahu kekhawatiran yang menimpa majikannya. Menurut mito
Suara derap langkah menggema di sepanjang lorong rumah sakit lantai dua. Sepasang suami istri itu berjalan terburu-buru menuju ruang rawat putrinya. Setelah memastikan bahwa Alia kecelakaan, maka Reyvan segera menghubungi mertuanya—papih dan mamih Alia. Mereka tiba di depan ruangan bertuliskan ‘Lily’s Room’—kamar VVIP tempat Alia di rawat. Dengan perlahan, dibukanya pintu berwarna coklat itu. Tidak ada siapa-siapa di dalam sana, hanya ada tubuh sang putri yang terbaring lemah, masih tak sadarkan diri. Mungkin sang menantu sedang pergi ke kantin sebentar. Mamih Alia menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia benar-benar tak menyangka kejadian naas itu bisa menimpa putri semata wayangnya. Hampir saja tubuhnya ambruk di atas lantai dingin itu jika saja suaminya tidak segera menyangga tubuh rapuhnya. “Anak kita, Pih …” isak wanita yang masih cantik di usianya yang sudah tak muda lagi itu. “Iya, Mih. Alia pasti kuat, Mih. Dia pasti bisa segera melewati masa kritisnya,” ujar sang suami men
Begitu sampai di parkiran kampus, Satria memarkirkan mobilnya dengan tergesa-gesa. Menyambar tas ransel yang teronggok begitu saja di belakang jok mobil, lalu segera melangkahkan kakinya keluar dari dalam mobil. Ia terlihat celingukan mencari seseorang begitu ia menjejakkan kakinya di halaman kampus yang luas itu.“Kemana sih, nih orang?! Giliran dibutuhin kaya gini malah ngilang,” gerutu anak muda itu. Ia terus mengedarkan pandangannya ke seantero wilayah kampus sambil tangannya terus memencet nomer telepon Kinanti—gadis yang sedang ia cari.Tadi pagi dirinya mendapatkan kabar buruk bahwa kemarin Alia kecelakaan. Untuk memastikan berita itu benar atau tidak, ia harus menanyakannya pada Kinanti. Siapa tahu saja gadis ituInsting kejantanannya memberitahunya bahwa orang yang ia cari pasti sedang berada di dalam kantin, menikmati sepiring makanan kesukaannya. Dan benar saja, Kinanti berada di sana! Ia terlihat sedang menikmati makan siangnya seorang diri sambil sesekali jari-jari tangan
“Kita putus!” Aliandra Cessa menunduk dalam, tanpa sanggup menatap layar smartphone-nya yang saat ini sedang melakukan sambungan video call dengan sang kekasih yang kini resmi menjadi mantan kekasihnya. Setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, barulah ia yakin kalau kekasihnya itu benar-benar menduakannya. Dan parahnya lagi, laki-laki itu berselingkuh dengan Amanda—sahabatnya sendiri. Astaga!“A—apa? Pu—putus?” tanya Aldo Prayoga—kekasih Alia, dengan jantung yang berdebar hebat. Dia berharap kalau kekasihnya itu sedang melakukan prank saja terhadap dirinya mengingat hari itu adalah anniversary mereka yang ketiga.
Seorang laki-laki dengan kemeja tangan panjang yang ia gulung sampai sikut, melenggang masuk ke dalam sebuah rumah besar yang di dalamnya hanya di huni oleh dirinya dan sang papah. Laki-laki itu adalah Reyvan Anggara, seorang dosen di kampus negeri ternama di kota Bandung. Usianya hampir menginjak kepala tiga, tapi ia belum memikirkan soal pernikahan.“Papah udah punya calon istri untuk kamu, Rey!” Pernyataan sang papah siang itu bagaikan petir di siang bolong. Reyvan yang baru saja pulang mengajar dari kampusnya, tersentak tidak percaya mendengar pernyataan papahnya barusan. Tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri mendengar ucapan papahnya itu.
Hari ini adalah hari terakhir Alia mengikuti acara MPK di kampusnya. Ia turun dari mini cooper berwarna merah miliknya yang merupakan hadiah sweet seventeen dari sang papih tahun lalu. Ia mengambil papan nama yang sudah selama satu minggu ini menemaninya menjalani MPK.Si Manis Jembatan Ancol, nama yang tertulis di papan nama yang terbuat dari karton tebal itu. Para seniornya memang sengaja menyuruh para mahasiswa baru untuk mengganti nama mereka selama acara MPK berlangsung dengan nama-nama hantu. Entahlah tujuannya apa, Alia hanya menuruti perintah para seniornya saja. Toh, si manis jembatan Ancol adalah nama yang tidak terlalu buruk menurutnya. Berdasarkan kisahnya, si manis jembatan ancol adalah gadis cantik nan sexy. Daripada dirinya harus mengganti namanya selama satu minggu dengan sebutan ‘Wewe Gombel.’Hiiiih, Alia bergidik ngeri membayangkan penampakan sosok hantu tersebut.“Al ....” Seseorang terdengar memanggi
“Pagi, Mih, Pih.” Alia menghampiri kedua orang tuanya yang sudah berada di ruang makan dan mencium pipi orang tuanya bergantian. Semalam ia tidur larut karena menyiapkan perlengkapan untuk ke kampus pagi ini. Belum lagi bayangan Reyvan yang terus menari-nari di pikirannya. Walaupun tadi malam Alia tidur hanya beberapa jam saja, namun ia sangat bersemangat menjalani hari-harinya menjadi seorang mahasiswa. Ia tidur menjelang pukul dua dini hari. Ia bangun kesiangan karena jam beker yang sudah ia setting untuk membangunkannya pukul enam tidak berdering karena kehabisan baterai. Dan tumben sekali mamihnya tidak cerewet membangunkannya. Mungkin sang mamih berpikir dirinya kuliah di siang hari. “Ayo sarapan, Al,” ajak sang mamih. Di meja makan sudah tersedia segelas susu murni rasa coklat hangat dan roti isi selai coklat kesukaannya. Walaupun sudah besar, Melati memang selalu menyediakan susu untuk Alia agar putrinya itu tumbuh besar dan tinggi. Walaupun tinggi Al
“Al, setelah selesai kuliah kamu mau kemana?” tanya Satria yang duduk di samping bangku Alia. Mereka sudah menyelesaikan jadwal perkuliahan terakhir hari ini. Terlihat Kinanti dengan tergesa-gesa merapihkan peralatan kuliahnya. “Al, maaf aku duluan ya. udah dijemput soalnya,” ujarnya, “Bang Sat, aku duluan ya,” pamitnya lagi pada Satria. Ia tertawa keras saat Satria memelototinya. Satria memang paling tidak suka kalau anak dari sahabat ibunya dan juga sahabatnya sendiri memanggilnya Bang Sat (singkatan dari Abang Satria). Panggilan itu tidak enak didengar. “Iya … hati-hati ya, Nan,” kata Alia. “Sampai ketemu besok,” ujar Kinanti sambil berlari keluar kelas. “Al, setelah selesai kuliah kamu mau kemana?” Satri mengulang pertanyaannya lagi karena tadi Alia belum menjawab pertanyaannya. Alia membereskan peralatan kuliahnya ke dalam tas, lalu melirik Satria. “Kayaknya langsung pulang deh, Sat. kenapa emang?” tanyanya. Ia melirik jam tangannya, suda