Seorang laki-laki dengan kemeja tangan panjang yang ia gulung sampai sikut, melenggang masuk ke dalam sebuah rumah besar yang di dalamnya hanya di huni oleh dirinya dan sang papah. Laki-laki itu adalah Reyvan Anggara, seorang dosen di kampus negeri ternama di kota Bandung. Usianya hampir menginjak kepala tiga, tapi ia belum memikirkan soal pernikahan.
“Papah udah punya calon istri untuk kamu, Rey!” Pernyataan sang papah siang itu bagaikan petir di siang bolong. Reyvan yang baru saja pulang mengajar dari kampusnya, tersentak tidak percaya mendengar pernyataan papahnya barusan. Tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri mendengar ucapan papahnya itu.
“Aku belum mau menikah, Pah,” ucap Reyvan mengelak. Ia menghempaskan tubuhnya kasar di atas sofa yang berada di ruang tamu.
“Apa lagi yang kamu tunggu, Rey?” tanya Reza Baskara—papah Reyvan.
Reyvan terdiam. Entah apa lagi yang membuatnya enggan menikah. Ia mempunyai pekerjaan yang mapan karena karier di kampusnya sangat bagus. Apabila ia sudah tidak ingin menjadi dosen, ia bahkan bisa mengurus Resort papahnya yang berada di Bali.
“Udah lama Papah ingin kamu belajar mengurus Resort di Bali, tapi kamu selalu menolak,” kata Reza menatap wajah anaknya yang terdiam, “tapi kamu malah memilih bekerja sebagai seorang dosen, yang Papah tau gajinya kecil jika dibandingkan kamu bekerja di Resort. Itu Resort keluarga kita, Rey. Kalau bukan kamu yang mengurusnya, lantas siapa lagi? Anak Papah ‘kan cuma kamu. Andaikan Papah punya anak laki-laki lain!” cerocosnya lagi.
“Kalau begitu, Papah menikah lagi saja untuk mendapatkan anak laki-laki lain,” ucap Reyvan datar. Ia melonggarkan dasi yang masih melingkar di lehernya yang terasa mencekik saat sang papah membicarakan soal pernikahan.
“Kamu ngomong apa? Walaupun mamah kamu sudah lama meninggalkan kita, tapi Papah tidak berniat menikah lagi dari dulu. Papah ini tipe suami setia.”
“Kalau begitu, jangan paksa aku untuk bekerja di Resort Papah! Aku mau menjadi orang sukses atas usahaku sendiri. Bukan karena ada Papah di belakang aku!” ujar Reyvan kesal. Sudah berapa kali papahnya itu membahas hal yang sama, dan jawaban Reyvani tetap tidak. Ia tidak mau berdiri di belakang nama besar papahnya itu—Reza Baskara, pemilik beberapa Resort yang tersebar di Indonesia. Dan Resort yang kini sedang ia kembangkan berada di Bali. Reza ingin putranya mengurusi Resort itu karena usianya sudah tidak muda lagi untuk bolak-balik Bandung-Bali. Ia ingin Reyvan menetap di Bali untuk mengurusi Resort-nya
“Kamu ini bodoh atau apa, sih?” tanya Reza, ia memicingkan matanya di balik kaca mata yang ia pakai, “banyak orang yang menginginkan berada di posisi kamu, tapi kamu malah menyia-nyiakan kesempatan ini,” lanjutnya lagi sambil menggelengkan kepala, heran dengan pemikiran anaknya sendiri.
“Aku udah bosen bahas hal ini sama Papah,” ujar Reyvan sambil menghela napas berat, ”soal perjodohan tadi, anak gadis mana yang mau Papah tumbalin untuk memperbesar Resort Papah?” sarkasnya. Reyvan menyadari obsesi papahnya yang ingin membuat Resort miliknya semakin besar dan banyak lagi.
“Hahaha ….” Reza tertawa kencang. “Papah lakukan semua ini untuk kamu juga, Rey. Untuk kelangsungan hidup kamu ke depannya.”
Mata Reyvan melebar seketika. “Papah lakukan semua ini demi memuaskan obsesi Papah, bukan semata-mata untuk kebahagiaan aku,” ujarnya datar.
Reza terkekeh kecil. “Suatu hari nanti kamu pasti akan berterimakasih pada Papah.”
Reyvan menghela napas panjang. “Siapa perempuan yang mau Papah jodohin sama aku?” tanyanya kemudian.
Reza mengeluarkan selembar foto dari dalam saku jas yang dipakainya lalu melemparkannya ke atas meja, tepat di depan putra semata wayangnya itu.
Reyvan melihat sekilas perempuan yang ada di dalam foto tersebut. Seorang gadis berambut panjang dengan seragam putih abu-abunya yang sedang menatap kamera dengan garis bibirnya yang melengkung ke atas.
“Ya Tuhan, apa gadis ini masih sekolah, Pah?” tanya Reyvan tidak percaya. Tidak percaya karena papahnya menyodorkan perempuan yang masih belia untuk menjadi istrinya.
Reza buru-buru menggeleng. “Gadis itu baru saja lulus dari bangku SMA. Dia adalah mahasiswi baru jurusan Psikologi di kampus kamu,” katanya menjelaskan.
“Yang benar saja, Pah? Kenapa aku harus menikahi gadis di bawah umur seperti dia?” tanya Reyvan tidak percaya.
“Papah dan papih gadis itu menjalin kerja sama sekarang. Perusahaan papihnya yang bergerak di bidang property akan sangat menguntungkan untuk perusahaan kita apabila kedua perusahaan kami bergabung. Agar saling percaya, maka kami sudah memutuskan untuk menikahkan anak-anak kami. Karena anak Papah cuma kamu, jadi kamu lah yang harus menikahinya,” kata Reza menjelaskan
Reyvan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Apa jadinya nanti jika menjalani sebuah pernikahan karena obsesi kedua orang tua mereka?
“Tapi tidak dengan gadis di bawah umur, Pah! Gadis itu bahkan cocoknya menjadi adikku, bukan istriku!” Reyvan menentang keras. Ia takut terkena pasal asusila karena menikahi gadis di bawah umur walaupun umur gadis itu menginjak dua puluh tahun. Tapi tetap saja Reyvan merasa gadis itu masih di bawah umur.
Reza menghela napas panjang, mencoba untuk tetap tenang menghadapi sifat keras kepala anaknya. Sifat keras kepala putranya memang diturunkan darinya.
“Sekeras apapun kamu menolak, pernikahan kalian akan tetap dilaksanakan dua bulan lagi, Rey. Jadi, cobalah membuka hati untuk gadis itu. Masih ada waktu dua bulan untuk kalian saling mengenal. Cinta akan datang karena terbiasa. Apalagi kamu akan sering bertemu gadis itu karena kalian satu kampus. Tidak akan sulit untuk kalian jatuh cinta,” tekad Reza, ia bangkit dari duduknya. “Bersiaplah, nanti malam kita akan pergi ke rumah gadis itu agar kalian saling mengenal satu sama lain,” lanjutnya lagi sambil melangkah pergi keluar dari ruang tamu menuju ruang kerjanya di lantai atas.
Reyvan menghembuskan napas frustasi, tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ia sudah tidak bisa menolak perjodohan itu. Perintah sang papah adalah hal yang mutlak, yang tidak bisa ia langgar seenaknya. Papahnya adalah sosok yang keras kepala, seperti dirinya. Sifat keras kepala yang dimiliki Reyvan memang diturunkan oleh papahnya. Jadi akan sia-sia saja jika Reyvan mencoba membantah dengan cara apapun.
***
Sesuai dengan yang dijanjikan, malam ini kedua keluarga akan bertemu. Mereka akan mempertemukan kedua anak mereka untuk pertama kalinya agar saling mengenal. Masih ada waktu dua bulan sebelum hari pernikahan dilaksanakan.
Alia tengah mematut di depan cermin besar yang terletak di sudut kamarnya. Ia sedang memperhatikan penampilannya yang sangat cantik malam ini. Melati sengaja mendatangkan MUA alias make up artis untuk meng-make over anak gadisnya.
“Kamu cantik banget, Al!” seru Melati, ia sudah berada di kamar Alia sejak beberapa menit yang lalu sambil menatap kagum ke arah anak gadisnya.
“Apa ini nggak terlalu berlebihan, Mih?” tanya Alia masih memperhatikan riasan di wajahnya. Malam ini ‘kan hanya perkenalan saja, bukan lamaran apalagi pernikahan. Kenapa dirinya harus berdandan seheboh ini? ‘Mamih lebay!’ pikirnya.
“Memangnya kenapa, Al?” tanya Melati tidak mengerti.
“Kenapa Alia harus dandan segala, Mih? Malam ini hanya perkenalan aja, kan?” heran Alia.
“Iya, malam ini hanya perkenalan kamu sama calon suami kamu aja. Kamu berdandan begini agar calon suami kamu terpesona pada pandangan pertama, Al ...” ujar Melati sambil tertawa kecil. Lagu kali ah!
Alia mencebikkan bibirnya. Padahal ia berharap kalau calon suaminya itu akan merasa illfeel saat melihat dirinya tampil kucel bin kumel. Tapi kalau ia berdandan cantik seperti ini, laki-laki mana yang sanggup menolak pesona kecantikan dirinya?
‘Bisa gawat, nih!’ batin Alia bergejolak.
“Al,” panggil Bagas sambil melongokkan sedikit kepalanya dari balik pintu kamar Alia.
Alia menengok ke arah sang papih, “Iya, Pih.”
“Kamu udah siap belum?” tanya Bagas masih berdiri di ambang pintu kamar Alia.
“Udah, Pih.”
“Kalau gitu, ayo keluar. Keluarga calon suami kamu udah datang,” ujar Bagas memberi tahu.
“Eh ... iya, Pih. Sebentar lagi Alia keluar sama Mamih,” sahut Alia. Mendengar calon suaminya itu sudah datang membuat jantung Alia berdetak sangat kencang tidak karuan. Ia meremas kedua tangannya gugup.
“Jangan gugup ya, Al. kalau nanti ternyata kamu merasa nggak cocok, kamu boleh menolak perjodohan ini. Pasti papih akan mengerti dan nggak akan maksa kamu,” kata Melati mengusap punggung Alia pelan, “yuk, kita keluar!” ajaknya sambil menggandeng tangan Alia untuk segera keluar dari kamar.
Alia keluar kamar dengan di gandeng oleh Melati. Malam ini ia memakai dress lengan panjang dengan kerah agak pendek untuk sedikit menonjolkan dadanya yg rata. Panjang dress itu hanya sebatas lututnya sehingga menampilkan kakinya yang jenjang. Di usianya yang belum genap dua puluh tahun, tinggi badannya sudah mencapai 167 cm. Ia mewarisi gen tinggi dari sang papih.
Alia menuruni anak tangga satu persatu dengan hati-hati. Semakin mendekati ruang tamu, jantungnya semakin cepat berdetak. Ia pun penasaran, seperti apa rupa dari calon suaminya. Semoga laki-laki itu berparas buruk rupa agar Alia bisa dengan berani menolak pernikahan mereka.
“Duduk sini, Al,” kata Bagas sambil menepuk sofa di sebelah kanan dirinya duduk saat Alia tiba di ruang tamu.
Alia duduk di samping papihnya dan Melati duduk di samping kiri Alia. Ia menundukkan kepalanya, belum mau menatap sang calon suami.
“Ini anak saya, Pak Reza. Namanya Aliandra Cessa, biasa dipanggil Alia,” ucap Bagas memperkenalkan putrinya.
“Halo, Alia ...” sapa Reza ramah pada calon menantunya.
“Halo juga, Om,” balas Alia, ia memberanikan diri mengangkat kepalanya dengan menyunggingkan senyum lebar. Seketika tatapannya bertemu dengan tatapan calon suaminya yang ternyata dari tadi sedang memandanginya juga.
Alia langsung memalingkan muka. ‘Ganteng juga,’ batinnya.
“Alia, ini anak Om. Namanya Reyvan Anggara. Reyvan ini dosen di kampus kamu, lho,” kata Reza yang seketika membuat Alia tercengang.
‘Apa? Jadi calon suami gue ini dosen di kampus? Gawat, bisa ketemu tiap hari dong!’ tanpa sadar Alia menepuk jidatnya sendiri. Refleks.
“Kenapa, Al?” tanya Reza heran saat melihat calon menantunya menepuk jidatnya sendiri.
“Eh ... nggak, Om. Ta—tadi ada nyamuk di kening aku kayanya,” kilah Alia terbata.
“Oh,” Reza tertawa kecil.
Alia kembali menundukkan kepalanya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Reyvan yang sedang asik berbincang dengan kedua orang tuanya.
Menurut Alia, Reyvan adalah paket sempurna. Tampan dan gagah. Perawakannya yang tinggi beberapa inci dari tubuhnya. Bulu-bulu tipis terlihat menghiasai dagunya yang putih dan bersih. Tubuhnya yang kekar dibalut kemeja warna Navy yang dipadu padankan dengan celana panjang warna putih. Wajahnya tampan dengan alis tebal yang membingkai wajahnya. Garis rahang yang tegas dengan bibir tipis yang merah alami. Dari bibirnya saja ia tahu jika Reyvan tidak merokok. Hal itu bisa dilihat dari warna merah di bibirnya. Dan yang paling penting adalah wajah tampan Reyvan seperti Oppa-Oppa Korea—Lee Min Hoo, aktor favorit Alia.
Setelah satu jam berbincang di ruang tamu, waktunya makan malam tiba. Mereka duduk di ruang makan dengan hening. Kebiasaan dari kedua keluarga bahwa tidak boleh berbicara ketika sedang makan. Makanan yang disajikan oleh keluarga Alia adalah nasi kebuli kesukaan Reza lengkap dengan lauk pauk pendukungnya. Melati sengaja memesan nasi kebuli di Restauran langganannya yang menyediakan makanan itu untuk menjamu calon besannya.
Setelah acara makan malam selesai, waktunya acara santai. Para orang tua yang terdiri dari Melati, Bagas, dan Reza bercengkrama di ruang tamu. Sedangkan Alia dan Reyvan sedang berada di taman belakang yang terdapat kolam renang di sana.
Alia melepaskan sepatu heels yang ia pakai dari tadi, kemudian ia duduk di tepian kolam renang dengan menceburkan kedua kakinya ke dalam sana. Ia merasa kikuk, tidak tahu harus memulai obrolan dari mana dengan calon suaminya.
Alia memainkan kedua kakinya, mengangkatnya ke atas ke bawah silih bergantian untuk menghalau rasa gugupnya.
“Al,” panggil Reyvan.
Alia yang merasa namanya dipanggil, segera menoleh. “Iya.”
Reyvan mendekati Alia di tepi kolam renang, membuka sepatu pantofelnya, menggulung celana putihnya sedikit kemudian ikut menceburkan kedua kakinya.
Kini mereka duduk berdampingan yang membuat jantung Alia semakin berdetak kencang. Padahal dirinya tadi sudah bisa mengontrol jantungnya yang bertalu-talu seperti mau keluar dari tempatnya. Aroma tubuh maskulin dengan parfume Burgary menggelitik indera penciumannya yang menguar dari tubuh Reyvan. Untuk sesaat, ia merasa nyaman berdekatan dengan calon suaminya itu.
“Al, kenapa kamu mau menerima perjodohan ini?” tanya Reyvan to the poin, tanpa basa-basi terlebih dahulu. Dirinya heran, kenapa gadis seusia Alia yang notabenenya masih ingin merasakan masa remajanya dengan suka rela mau menerima sebuah perjodohan dengan laki-laki yang belum dikenalnya bahkan dengan rentang usia yang cukup berbeda jauh?!
Alia menunduk, ia tidah berani bersitatap dengan Reyvan dalam jarak sedekat ini. Ia terlihat menghembuskan napas panjang. “Aku ingin bikin mamih dan papih bahagia,” jawabnya dengan singkat.
“Hanya itu?” tanya Reyvan tidak percaya.
Alia mengangguk. “Kalau perjodohan ini bisa bikin kedua orang tua kita bahagia, kenapa nggak?!” ujarnya sepenuh hati. Ia sudah merelakan masa remajanya untuk repot mengurusi ‘om-om’ itu nantinya.
“Umur kita berbeda jauh, Al. Kamu tau, kan?” tanya Reyvan lagi.
“Nggak masalah, aku akan belajar jadi istri yang baik buat Om,” sahut Alia.
“Apa? Om?” Reyvan membulatkan kedua matanya. “Kamu panggil saya Om?”
“Maaf, aku bingung harus panggil Pak dosen dengan sebutan apa,” ujar Alia lirih.
Reyvan menatap Alia yang masih betah menunduk dari samping. “Saya seperti akan menikahi seorang anak kecil,” dengusnya pelan, namun masih bisa didengar oleh Alia yang duduk di sampingnya.
Dari kejahuan, terlihat para orang tua sedang mengintip anak-anaknya dari balik jendela ruang keluarga yang terhubung langsung ke taman belakang. Mereka bahagia kalau kedua anak mereka akhirnya merasa cocok satu sama lain.
Hari ini adalah hari terakhir Alia mengikuti acara MPK di kampusnya. Ia turun dari mini cooper berwarna merah miliknya yang merupakan hadiah sweet seventeen dari sang papih tahun lalu. Ia mengambil papan nama yang sudah selama satu minggu ini menemaninya menjalani MPK.Si Manis Jembatan Ancol, nama yang tertulis di papan nama yang terbuat dari karton tebal itu. Para seniornya memang sengaja menyuruh para mahasiswa baru untuk mengganti nama mereka selama acara MPK berlangsung dengan nama-nama hantu. Entahlah tujuannya apa, Alia hanya menuruti perintah para seniornya saja. Toh, si manis jembatan Ancol adalah nama yang tidak terlalu buruk menurutnya. Berdasarkan kisahnya, si manis jembatan ancol adalah gadis cantik nan sexy. Daripada dirinya harus mengganti namanya selama satu minggu dengan sebutan ‘Wewe Gombel.’Hiiiih, Alia bergidik ngeri membayangkan penampakan sosok hantu tersebut.“Al ....” Seseorang terdengar memanggi
“Pagi, Mih, Pih.” Alia menghampiri kedua orang tuanya yang sudah berada di ruang makan dan mencium pipi orang tuanya bergantian. Semalam ia tidur larut karena menyiapkan perlengkapan untuk ke kampus pagi ini. Belum lagi bayangan Reyvan yang terus menari-nari di pikirannya. Walaupun tadi malam Alia tidur hanya beberapa jam saja, namun ia sangat bersemangat menjalani hari-harinya menjadi seorang mahasiswa. Ia tidur menjelang pukul dua dini hari. Ia bangun kesiangan karena jam beker yang sudah ia setting untuk membangunkannya pukul enam tidak berdering karena kehabisan baterai. Dan tumben sekali mamihnya tidak cerewet membangunkannya. Mungkin sang mamih berpikir dirinya kuliah di siang hari. “Ayo sarapan, Al,” ajak sang mamih. Di meja makan sudah tersedia segelas susu murni rasa coklat hangat dan roti isi selai coklat kesukaannya. Walaupun sudah besar, Melati memang selalu menyediakan susu untuk Alia agar putrinya itu tumbuh besar dan tinggi. Walaupun tinggi Al
“Al, setelah selesai kuliah kamu mau kemana?” tanya Satria yang duduk di samping bangku Alia. Mereka sudah menyelesaikan jadwal perkuliahan terakhir hari ini. Terlihat Kinanti dengan tergesa-gesa merapihkan peralatan kuliahnya. “Al, maaf aku duluan ya. udah dijemput soalnya,” ujarnya, “Bang Sat, aku duluan ya,” pamitnya lagi pada Satria. Ia tertawa keras saat Satria memelototinya. Satria memang paling tidak suka kalau anak dari sahabat ibunya dan juga sahabatnya sendiri memanggilnya Bang Sat (singkatan dari Abang Satria). Panggilan itu tidak enak didengar. “Iya … hati-hati ya, Nan,” kata Alia. “Sampai ketemu besok,” ujar Kinanti sambil berlari keluar kelas. “Al, setelah selesai kuliah kamu mau kemana?” Satri mengulang pertanyaannya lagi karena tadi Alia belum menjawab pertanyaannya. Alia membereskan peralatan kuliahnya ke dalam tas, lalu melirik Satria. “Kayaknya langsung pulang deh, Sat. kenapa emang?” tanyanya. Ia melirik jam tangannya, suda
Sebagai manusia yang normal, tentunya kita menginginkan menikah dengan seseorang yang dicintai.Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial.Ketika dua orang sudah memantapkan hati utnuk melangkah ke jenjang pernikahan, keduanya berarti sudah yakin satu dengan yang lainnya.Menjalani pernikahan bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Hal tersebut memerlukan banyak persiapan, baik secara fisik maupun mental. Baik secara materi atau pikiran. Semuanya diperlukan untuk menghasilkan rumah tangga yang baik dan dapat berjalan dengan sangat lancar.Saling percaya dan saling cinta menjadi satu di antara kunci yang akan menyatukan pasangan selamanya. Perasaan cinta akan benar-benar dapat dibuktikan melalui sebuah pernikahan.Menikah adalah proses menyatukan dua insan dalam mahligai rumah tangga, dimana pernikahan itu
Matahari masih malu-malu menampakkan sebagian sinarnya. Alia terbangun dari tidur nyenyaknya pagi ini. Ia merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi yang terasa sangat segar. Sesaat ia tersentak saat terbangun dan menyadari berada di dalam kamar kedua orang tuanya. Tapi ia segera sadar bahwa tadi malam dirinya memang tidur bersama sang mamih guna menghindari malam pertamanya bersama si om. Entah tidur di mana sang papih semalam. Alia terkikik mengingat kejadian itu. ‘Maafkan anakmu yang durhaka ini, Pih,’ gumam Alia. Alia mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut kamar, tidak ada siapa-siapa di kamar itu selain dirinya. Mungkin sang mamih sudah turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Memang di rumah itu yang menyiapkan sarapan selalu sang mamih, bukan asisten rumah tangganya. Kemudian Alia bergegas keluar kamar dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Ia berjalan mengendap-endap seperti maling yang ketakutan jika tertangkap basah. Dibukanya
Pagi setelah hari pernikahan, Alia tengah bersiap menurunkan koper yang berisi pakaiannya. Hari ini ia akan mulai tinggal di apartemen suaminya. Dengan langkah gontai, ia mulai menuruni anak tangga dengan membawa koper besarnya.“Kamu hati-hati di sana ya, Al,” ucap Melati saat Alia berpamitan, “yang nurut sama Reyvan, ya,” lanjutnya menasihati.“Rey, Papih titip Alia ya. Tolong jaga Alia.” Sang ayah mertua berpesan pada menantunya.“Iya, Pih. Rey akan jaga Alia baik-baik,” jawab Reyvan, ia mencium punggung tangan kedua mertuanya bergantian.“Mih, Pih, Alia pergi ya,” ujar Alia, ia menatap orang tuanya lalu memeluk mereka bergantian. Rasanya ia memang berat berpisah dengan orang tuanya. Ia juga berat meninggalkan bi Ijah yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya.“Sering-sering mampir ke sini ya, Non,” kata Bi Ijah. Terlihat raut kesedihan tercetak di wajah wanita yang su
Pagi ini langit sangat cerah. Alia mengerjap-ngerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui matanya. Ia terbangun saat matahari sudah cukup tinggi. Semalaman ia susah memejamkan matanya. Mungkin ia masih harus menyesuaikan diri tinggal di apartement Reyvan dan mungkin juga karena ada seorang laki-laki yang statusnya sudah menjadi suaminya berbaring di sampingnya. Ia merasa takut, takut suaminya melakukan hal yang tidak-tidak terhadap dirinya.‘Astaga!’ Alia terlonjak saat melihat jam yang terpasang di kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 dan itu berarti hanya tinggal 30 menit lagi sebelum perkuliahannya dimulai. Ia melihat di sampingnya sudah tidak ada suaminya.Alia beranjak dari tempat tidurnya lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Ia menggosok gigi dan mencuci mukanya. Setelah itu ia keluar dari kamar menuju lemari pakaian dan mengambil asal pakaian yang akan dipakainy
Siang itu setelah jadwal perkuliahannya selesai, Alia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Kinanti dan Satria sudah pamit pulang duluan karena mereka ada urusan nanti sore. Sebelum pulang ke rumah orang tuannya, Alia akan meminta izin dulu kepada suaminya. Ia membelokkan kakinya menuju ruangan Reyvan. Setelah berada di depan pintu, diketuknya pintu itu. Ia membuka kenop pintu setelah ada sahutan dari dalam yang mempersilahkannya masuk. “Al, ada apa?” tanya Reyvan saat istrinya sudah menutup pintu itu kembali.
Begitu sampai di parkiran kampus, Satria memarkirkan mobilnya dengan tergesa-gesa. Menyambar tas ransel yang teronggok begitu saja di belakang jok mobil, lalu segera melangkahkan kakinya keluar dari dalam mobil. Ia terlihat celingukan mencari seseorang begitu ia menjejakkan kakinya di halaman kampus yang luas itu.“Kemana sih, nih orang?! Giliran dibutuhin kaya gini malah ngilang,” gerutu anak muda itu. Ia terus mengedarkan pandangannya ke seantero wilayah kampus sambil tangannya terus memencet nomer telepon Kinanti—gadis yang sedang ia cari.Tadi pagi dirinya mendapatkan kabar buruk bahwa kemarin Alia kecelakaan. Untuk memastikan berita itu benar atau tidak, ia harus menanyakannya pada Kinanti. Siapa tahu saja gadis ituInsting kejantanannya memberitahunya bahwa orang yang ia cari pasti sedang berada di dalam kantin, menikmati sepiring makanan kesukaannya. Dan benar saja, Kinanti berada di sana! Ia terlihat sedang menikmati makan siangnya seorang diri sambil sesekali jari-jari tangan
Suara derap langkah menggema di sepanjang lorong rumah sakit lantai dua. Sepasang suami istri itu berjalan terburu-buru menuju ruang rawat putrinya. Setelah memastikan bahwa Alia kecelakaan, maka Reyvan segera menghubungi mertuanya—papih dan mamih Alia. Mereka tiba di depan ruangan bertuliskan ‘Lily’s Room’—kamar VVIP tempat Alia di rawat. Dengan perlahan, dibukanya pintu berwarna coklat itu. Tidak ada siapa-siapa di dalam sana, hanya ada tubuh sang putri yang terbaring lemah, masih tak sadarkan diri. Mungkin sang menantu sedang pergi ke kantin sebentar. Mamih Alia menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia benar-benar tak menyangka kejadian naas itu bisa menimpa putri semata wayangnya. Hampir saja tubuhnya ambruk di atas lantai dingin itu jika saja suaminya tidak segera menyangga tubuh rapuhnya. “Anak kita, Pih …” isak wanita yang masih cantik di usianya yang sudah tak muda lagi itu. “Iya, Mih. Alia pasti kuat, Mih. Dia pasti bisa segera melewati masa kritisnya,” ujar sang suami men
Praaakkk Sebuah figura yang membingkai foto Alia tidak sengaja tersenggol oleh Melati sehingga menyebabkan figura itu menyentuh tanah dan kacanya hancur berantakan. “Astagfirullah …” pekik Melati, ia mengusap dadanya. Tiba-tiba saja perasaan tidak enak menyergap hatinya. Jantungnya pun berdegup kencang. ‘Ini pasti sebuah firasat,’ pikirnya. Mendengar suara pecahan kaca disusul dengan pekikan dari majikannya, membuat Bi Ijah datang tergopoh-gopoh menghampirinya di dalam kamar. “Ada apa, Bu?” tanyanya khawatir. Matanya menangkap serpihan kaca yang sudah berceceran di lantai kamar itu. “Nggak tau, Bi. Tiba-tiba aja saya nggak sengaja menyenggol foto Alia,” ungkap Melati, masih memegangi dadanya. “Kok perasaan saya jadi nggak enak ya, Bi? Astagfirullah.” Melati mengusap dadanya pelan. “Ibu jangan berpikiran yang macem-macem. Non Alia pasti nggak kenapa-napa, Bu,” ujar Bi Ijah, seakan tahu kekhawatiran yang menimpa majikannya. Menurut mito
Setelah perkuliahannya selesai, Alia berjalan dengan cepat menelusuri koridor kampus dan sambil menyibakkan rambutnya yang sedikit menutupi wajahnya yang diterpa angin. Lalu dengan langkah ringan ia menuruni anak tangga satu per satu.“Alia!”Sebuah suara dari arah belakang terdengar memanggil namanya. Alia segera menghentikan langkah dan menoleh mencari asal suara itu. Dilihatnya Aldo tersenyum menghampirinya. Sejak Aldo menolong dirinya membawa Mamihnya ke Rumah Sakit, Alia mencoba bersikap ramah dan wajar terhadap dirinya lagi. Bagaimana pun juga Aldo adalah mantan kekasihnya dan pernah menolong sang mamih.“Ada apa, Do?” tanya Alia, ia kembali melangkahkan kakinya.“Aku denger kemarin kamu sakit ya, makanya nggak masuk kuliah?” tanya Aldo sambil menyejajarkan langkahnya dengan langkah Alia.Alia mengangguk sekilas. “Iya. Cuma demam biasa aja, kok.”“Kemarin aku nyariin kamu.”
Di saat Alia sedang menikmati buburnya di ruang makan, tiba-tiba pintu apartemen berbunyi. Reyvan yang sedang berada di dapur, segera beranjak untuk membukakan pintu.“Kamu lanjutin makan aja, biar saya yang buka,” kata Reyvan saat melihat Alia beranjak hendak membukakan pintunya. “Mungkin itu tukang servis AC, soalnya tadi saya hubungi suruh datang.”“Oh, yaudah ….” Alia melangkah kembali ke ruang makan untuk melanjutkan sarapan plus makan siangnya.Di saat Reyvan membuka pintu, di sana ada Satria dan Kinanti.“Lho, kok Pak Reyvan ada di sini?” tanya Satri kaget. Kinanti pun melongo—tidak kalah kaget.“Ini ‘kan memang apartemen saya,” jawab Reyvan cuek.Satria buru-buru mengeluarkan kembali ponselnya. Ia membaca deretan huruf yang bertuliskan alamat tempat tinggal Alia yang tadi ia dapat dari mamih Alia sendiri.“Ini apartemen Gardenia lanta
Satria mengendarai kuda besi berwarna hitam miliknya dengan kecepatan sedang. Jarak dari kampus ke Rumah Sakit akan memakan waktu kurang lebih 30 menit.“Al,” panggil Satria.Alia yang sedang menikmati jalanan lewat kaca mobil di sampingnya, menoleh ke arah temannya itu.“Bukannya tadi kamu disuruh datang ke ruangan pak Reyvan, ya?” tanya Satria sambal tetap fokus menatap jalanan—mengemudikan mobilnya.“Biarin aja, aku nggak peduli. Keadaan mamih lebih penting,” jawab Alia, ia membuka sedikit kaca mobil untuk menikmati udara siang itu. Angin menerbangkan sebagian rambutnya yang ia biarkan tergerai.“Emangnya kamu nggak takut kena hukuman dari pak Reyvan?” goda Satria.Alia mengendikkan bahu. “I really don’t care,” sahutnya yakin. Ia memang tidak peduli jika nanti suaminya itu akan memarahinya ketika tiba di rumah. Ia tidak peduli sama sekali!“Lagia
Hingga malam menjelang, ternyata Melati belum juga tersadar dari pingsannya padahal dokter sudah memastikan keadaannya baik-baik saja. Entah apa yang membuatnya betah memejamkan mata. Karena sang mamih belum sadar juga, akhirnya Alia memutuskan untuk menunggui mamihnya di samping ranjangnya.Tadi malam sekitar pukul tujuh, Bagas datang ke Rumah Sakit langsung dari Bandara. Setelah dikabari oleh asisten rumah tangganya, Bagas segera mengambil jadwal penerbangan dari Balikpapan menuju Jakarta, setelah itu melanjutkan perjalanan darat menuju Bandung. Pagi tadi sebelum istrinya jatuh pingsan, Bagas berpamitan untuk meninjau proyeknya yang berada di Balikpapan. Padahal pekerjaannya di sana belum selesai, namun ia tinggalkan setelah tahu istrinya tiba-tiba pingsan.Reyvan melirik jam yang melingkar ditangannya, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. “Pih … Papih pulang aja untuk istirahat. Biar Reyvan yang jaga mamih,” ujarnya pada sang ayah mertua saat mel
Siang itu setelah jadwal perkuliahannya selesai, Alia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Kinanti dan Satria sudah pamit pulang duluan karena mereka ada urusan nanti sore. Sebelum pulang ke rumah orang tuannya, Alia akan meminta izin dulu kepada suaminya. Ia membelokkan kakinya menuju ruangan Reyvan. Setelah berada di depan pintu, diketuknya pintu itu. Ia membuka kenop pintu setelah ada sahutan dari dalam yang mempersilahkannya masuk. “Al, ada apa?” tanya Reyvan saat istrinya sudah menutup pintu itu kembali.
Pagi ini langit sangat cerah. Alia mengerjap-ngerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui matanya. Ia terbangun saat matahari sudah cukup tinggi. Semalaman ia susah memejamkan matanya. Mungkin ia masih harus menyesuaikan diri tinggal di apartement Reyvan dan mungkin juga karena ada seorang laki-laki yang statusnya sudah menjadi suaminya berbaring di sampingnya. Ia merasa takut, takut suaminya melakukan hal yang tidak-tidak terhadap dirinya.‘Astaga!’ Alia terlonjak saat melihat jam yang terpasang di kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 dan itu berarti hanya tinggal 30 menit lagi sebelum perkuliahannya dimulai. Ia melihat di sampingnya sudah tidak ada suaminya.Alia beranjak dari tempat tidurnya lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Ia menggosok gigi dan mencuci mukanya. Setelah itu ia keluar dari kamar menuju lemari pakaian dan mengambil asal pakaian yang akan dipakainy