Home / Pernikahan / Hidden Marriage (Suamiku Dosen Killer) / Bab 3 : Si Manis Jembatan Ancol

Share

Bab 3 : Si Manis Jembatan Ancol

Hari ini adalah hari terakhir Alia mengikuti acara MPK di kampusnya. Ia turun dari mini cooper berwarna merah miliknya yang merupakan hadiah sweet seventeen dari sang papih tahun lalu. Ia mengambil papan nama yang sudah selama satu minggu ini menemaninya menjalani MPK.

Si Manis Jembatan Ancol, nama yang tertulis di papan nama yang terbuat dari karton tebal itu. Para seniornya memang sengaja menyuruh para mahasiswa baru untuk mengganti nama mereka selama acara MPK berlangsung dengan nama-nama hantu. Entahlah tujuannya apa, Alia hanya menuruti perintah para seniornya saja. Toh, si manis jembatan Ancol adalah nama yang tidak terlalu buruk menurutnya. Berdasarkan kisahnya, si manis jembatan ancol adalah gadis cantik nan sexy. Daripada dirinya harus mengganti namanya selama satu minggu dengan sebutan ‘Wewe Gombel.’

Hiiiih, Alia bergidik ngeri membayangkan penampakan sosok hantu tersebut.

“Al ....” Seseorang terdengar memanggil namanya.

Alia menoleh ke samping, matanya menangkap sosok yang sangat tidak ingin ia temui untuk saat ini—Aldo. ‘Kenapa dia bisa berada di kampus ini?’ pikirnya sambil mempercepat langkahnya menyusuri lorong kampus saat tahu siapa yang tengah memanggilnya. Ia melirik arloji Casio yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, sebentar lagi acara penutupan MPK para mahasiswa baru akan segera di mulai dalam beberapa menit lagi.

“Al … tunggu sebentar, Al!” Aldo berusaha menjajari langkah Alia yang tergesa-gesa saat melihat dirinya.

“Ada apa lagi, Do? Aku udah terlambat,” sahut Alia dengan langkah yang semakin cepat. Ia tidak mau datang terlambat pada acara penutupan MPK.

“Aku mau bicara sama kamu sebentar, Al," kata Aldo tegas.

“Mau bicara apa? Diantara kita udah nggak ada yang harus dibicarakan lagi,” ketus Alia. Sekilas, ia melirik Aldo yang masih berjalan di sampingnya. ‘Oh my God!’ Alia baru sadar, Aldo memakai perlengkapan seperti dirinya, baju putih dengan bawahan celana hitam dan papan nama yang juga menggantung di lehernya—Valak. Apa jangan-jangan…

Alia mendengus kesal, kenapa dirinya harus satu kampus lagi dengan mantan bangkenya itu. Sudah cukuplah mereka satu sekolah sewaktu di SMA selama tiga tahun, dan ternyata Tuhan mempertemukan mereka lagi dalam satu kampus.

“Emangnya kamu kuliah di sini juga?” tanya Alia penasaran saat Aldo mengikutinya sampai ke ruang Auditorium, tempat berlangsungnya acara penutupan MPK.

Aldo mengangguk dan mendudukkan tubuhnya di samping gadis yang masih dicintainya itu.

“Kok aku nggak liat kamu dari pertama acara MPK?” tanya Alia lagi, rasa penasarannya belum tertuntaskan.

“Aku emang nggak ikut pas hari pertama MPK karena aku baru pindah kampus di hari kedua pas tau ternyata kamu kuliah di sini,” jawab Aldo tenang.

“What??? Kok bisa, sih?” tanya Alia lagi. Ia heran kenapa bisa dengan mudahnya Aldo kuliah di kampusnya sedangkan ia sendiri harus mengikuti serangkaian ujian tertulis agar bisa di terima di kampusnya sekarang.

“Bisa lah,” sahut Aldo sambil mengerlingkan matanya pada Alia, “rektor kampus ini ‘kan om aku,” sambungnya mengejutkan.

‘What???!!!’ Alia bengong, jadi om Aldo adalah rektor di kampusnya. Segitu cintanya si mantan bangkenya itu sampai harus mengikutinya di kampus yang sama? Dan mereka harus bertemu lagi selama empat tahun ke depan? TIDAK! batin Alia menangis.

“Jauh-jauh dari aku. Aku nggak mau berurusan lagi sama kamu!” sembur Alia.

Aldo terkekeh kecil. “Kamu nggak akan bisa lepas dari aku, Al,” bisiknya tepat di dekat telinga Alia yang duduk di sampingnya.

Alia bergidik.

‘Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?’ Alia menangis dalam hati

***

Akhirnya selesai juga acara MPK yang sudah para mahasiswa jalani selama seminggu. Alia melenggang keluar dari ruang Auditorium kampus. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Aldo masih setia mengekorinya di belakang kemana pun ia melangkah.

“Ada apa lagi sih, Do?” tanya Alia kesal karena Aldo belum mau pergi dari hadapannya.

“Aku mau ngomong sama kamu. Please … sebentar aja, Al,” pinta Aldo.

“Aku bilang nggak, ya nggak!” keukeuh Alia. Dirinya sudah tidak ingin mendengarkan apa-apa lagi dari si mantan bangke. Alia mempercepat langkahnya menuju parkiran kampus dengan tetap diekori oleh Aldo di belakang.

Karena tidak terlalu memperhatikan jalan, sehingga Alia menabrak seseorang yang membuat tubuhnya terpental ke belakang.

Brukkk

Alia terjatuh dengan bokongnya yang terlebih dahulu mendarat di tanah.

“Awww!” pekik Alia. Ia meringis merasai bagian bawahnya nyeri.

“Kamu nggak apa-apa, Al?” tanya Aldo, hendak membantu Alia untuk bangun.

“Jangan pegang-pegang!” hardik Alia agar Aldo menjauhinya.

Alia mendongakkan kepalanya saat sebuah tangan terulur di depannya. Itu bukan tangan Aldo.

“Om,” ucap Alia saat tahu si pemilik tangan kekar itu. Ia menyambut uluran tangan Reyvan yang akan membantunya berdiri.

Aldo terdiam mematung di tempatnya berdiri. ‘Om? Memangnya Om Alia jadi dosen di sini juga?’ pikirnya saat tahu sang gadis pujaan hati memanggil dengan sebutan ‘om’ pada laki-laki di hadapannya itu.

Reyvan melirik papan nama yang masih menggantung di leher Alia.

Sadar dengan arah tatapan calon suaminya, membuat Alia langsung menyopot paksa papan nama tersebut.

“Nggak usah ngetawain aku kaya gitu, Om!” runtuk Alia saat Reyvan tertawa kecil setelah melihat papan namanya.

“Namanya cocok untuk kamu,” ujar Reyvan, masih terkekeh.

Alia mendaratkan beberapa pukulan kecil di lengan Reyvan, ‘Sialan!’ gumamnya dalam hati.

“Jadi Pak dosen ini adalah Om-nya Alia, ya?” tanya Aldo akhirnya. Sedari tadi ia sudah penasaran ingin menanyakan hal itu.

Alia dan Reyvan menoleh bersamaan ke arah Aldo. Mereka melupakan seseorang yang dari tadi memperhatikan mereka dari jarak dekat.

“Dia ini calon—” ucapan Alia terpotong.

“Iya, saya anak dari temen papihnya Alia dan dosen di sini,” sahut Reyvan memotong ucapan Alia yang ingin memberi tahu status mereka.

Alia mendelik tidak suka ke arah calon suaminya itu. Padahal dirinya akan terbebas dari gangguan Aldo kalau Aldo tahu bahwa dirinya sudah mempunyai calon suami dan sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan.

“Oh … kenalin Pak, saya Aldo mantan pacar Alia tapi sebentar lagi bakal jadi pacar Alia lagi dan calon imamnya juga.” Aldo memperkenalkan dirinya dengan percaya diri, seolah Alia akan menerima dirinya menjadi kekasihnya lagi.

“Enak aja!” sungut Alia ketus, “nggak usah ngaku-ngaku. Nggak ada tuh di dalam kamus hidup aku balikan sama mantan BANGKE!” lanjutnya lagi dengan menekan kata bangke di akhir kalimatnya.

“Oh, kalian akan balikan ya? Kalau gitu selamat ya. Semoga kamu berhasil mendapatkan hati Alia lagi,” kata Reyvan sambil berlalu pergi. Sore itu ia masih harus memberikan pelajaran di kelas lain sampai petang menjelang nanti.

“Makasih ya, Pak. Jangan lupa doain yang kenceng!” ujar Aldo agak kencang karena Reyvan yang sudah mulai menjauh.

Sebelum Aldo menyadari, Alia segera ambil langkah seribu menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari jarak dia berdiri. Ia membuka kunci dan masuk ke dalam mini cooper-nya, lalu mulai menghidupkan mesinnya.

Aldo mengejar Alia saat menyadari gadis pujaannya sudah masuk ke dalam mobil miliknya. “Al, tunggu,” ujarnya sambil mengetuk-ngetuk pintu kaca mobil Alia.

Bye ...” kata Alia dari dalam mobilnya sambil melambaikan tangannya kea rah Aldo. Ia mengemudikan mobilnya keluar dari area kampus menuju rumahnya di kawasan Setia Budi.

***

“Assalamualaikum ….” ucap Alia.

“Wa’alaikumussalam. Kok sore banget pulangnya, Al?” tanya Melati saat melihat anak semata wayangnya baru saja menjejakkan kakinya ketika jarum pendek sudah menunjukkan angka enam dan jarum panjang tepat di angka dua belas. Menurut calon menantunya, tadi Alia keluar kampus sekitar pukul tiga sore dan harusnya putrinya itu sudah sampai rumah sebelum pukul empat karena jarak kampus dengan rumahnya tidak begitu jauh. Melati sengaja menelpon Reyvan karena ponsel Alia tidak bisa dihubungi. Ia mengkhawatirkan putrinya.

Alia nyengir, menampilkan deretan giginya yang putih, bersih, dan rapih. Sebelum pulang ke rumah, dirinya memang pergi ke toko buku dulu sebentar tanpa memberi tahu orang rumah karena ponselnya mati kehabisan daya. Semalam ia lupa men-charge benda pipih itu.

“Tadi Alia mampir ke toko buku dulu sebentar, Mih," kata Alia sambil memperlihatkan tentengan yang berada di tangan kanannya. Ia mencium punggung tangan mamihnya dengan ta’dzim. “Maaf Alia nggak kasih tau Mamih karena ponsel Alia mati. Semalam lupa di charge."

“Yaudah sekarang kamu mandi dulu, ya. badan kamu bau asem," kata Melati sambil pura-pura mengendusi tubuh putrinya, “trus langsung turun untuk makan, ya. Papih udah pulang dari tadi dan nanyain kamu kelayapan kemana,“ sambungnya.

“Siap, Nyonya,” ujar Alia sambil mengangkat tangan kanannya tanda hormat. Ia menaiki anak tangga sambil bersiul senang, senang karena sekarang statusnya sudah jadi seorang mahasiswi jurusan Psikolog. Ia memang senang dengan pelajaran yang berbau psikologi.

Setelah membersihkan tubuhnya dengan air hangat untuk merilekskan otot-ototnya yang kaku dan tegang, Alia segera turun ke bawah menuju ruang makan. Dirinya sudah segar dengan stelan piyama lengan pendek dan celana panjang berwarna merah. Red is her favorite color.

“Anak Papih udah seger,” ujar Bagas saat putrinya sudah berada di ruang makan.

“Iya dong, Pih ...” sahut Alia, ia mendudukkan tubuhnya berhadapan dengan sang papih.

“Gimana kegiatan MPK-nya, Al?” tanya Bagas lagi.

“Baik, Pih. Lancar. Alia seneng kuliah di sana. Kakak seniornya ganteng-ganteng. Dan—” Alia mengedarkan pandangan ke arah mamih dan papihnya. “Dosennya juga ganteng-ganteng,” lanjutnya sambil terkekeh kecil.

“Hush! Sebentar lagi kamu akan menikah, Al. Dan calon suami kamu juga ‘kan termasuk dosen ganteng,” kata Bagas mengingatkan, “mirip aktor Korea siapa Mih?” tanyanya pada sang istri.

“Mirip Li Ming—” Melati berusaha mengingat aktor Korea yang pernah disebutkan oleh putrinya waktu itu.

“Lee Min Hoo, Mih, Pih,” jelas Alia.

“Nah iya, mirip Lee Min Hoo. Kamu sendiri ‘kan yang bilang begitu,” ujar Bagas sambil terkekeh.

“Ganteng sih ganteng, Pih. Tapi nyebelin!” seru Alia sambil tangannya bersedekap di atas dada.

“Kenapa emangnya?” tanya Melati penasaran.

“Tadi aku ketemu si om di kampus dan dia ngetawain papan nama aku,” jawab Alia sambil mencebikkan bibirnya sebal karena mengingat kejadian tadi sore.

“Si manis jembatan Ancol itu?” Bagas memastikan, matanya menyipit karena menahan tawanya yang ingin meledak.

“Walaupun nyebelin, tapi Mamih perhatiin Reyvan emang ganteng ‘kok, Al. Dan kamu beruntung akan menikah dengan dosen ganteng,” ungkap Melati menimpali.

Alia memanyunkan bibirnya. “Iya, Mih. Sebentar lagi Alia akan jadi istri seorang dosen ganteng,” ujarnya, “tapi … tua,” sambungnya kemudian sambil terkekeh.

“Hush … nggak boleh gitu ah, Al. Reyvan itu dewasa, bukan tua. Dia bisa menjadi imam yang baik untuk kamu, bisa bimbing kamu ke jalan yang benar,” kata Bagas ikut menimpali.

“Memangnya selama ini hidup aku nggak bener, Pih?” protes Alia karena tidak terima dengan perkataan papihnya barusan.

“Bukan begitu, Al. Bener yang dibilang Papih. Reyvan adalah laki-laki yang tepat untuk kamu, Al. Mamih yakin dia laki-laki yang bertanggung jawab,” kata Melati menyetujui ucapan suaminya.

Fix! Kedua orang tuanya membela si dosen tua itu. Tidak ada yang membela putrinya sendiri.

“Iya deh, iya ... semuanya ngebela si om. Nggak ada yang belain aku. Emangnya yang anak Mamih sama Papih itu aku atau si om, sih?” Alia menyilangkan kedua tangannya di atas dada, sebal karena ia tidak mempunyai sekutu yang membelanya.

Melati dan Bagas saling pandang lalu keduanya tertawa melihat putrinya cemberut seperti itu.

***

Setelah makan malam, Alia langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia akan mempersiapkan peralatan untuk besok ke kampus. Ia melihat jadwal pelajaran yang tertempel di meja belajarnya. Jadwal hari pertamanya adalah Biopsikologi pukul delapan pagi. Ia mengambil sebuah buku yang tebalnya bisa diperkirakan seberat setengah kilo, lalu ia masukkan ke dalam tas ranselnya.

Ia mencoba menggendong tas itu. ‘Berat juga tasnya.’ gumamnya. Kemudian ia keluarkan buku tebal tadi dari dalam tasnya. ‘Bukunya ditenteng aja.’ ucapnya lagi dalam hati.

Setelah dirasa semua perlengkapan untuk besok ke kampus telah siap, Alia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia mencoba memejamkan matanya berkali-kali, namun rasa kantuk belum menghampirinya.

Jam di dinding kamarnya sudah menunjuk angka sebelas, tapi Alia belum juga bisa tertidur. Tiba-tiba smartphone di atas meja nakasnya berdering kencang. Rupanya Alia lupa untuk mematikan ponselnya.

Ia merogoh ponsel itu dan melihat siapa yang malam-malam tengah mengganggu waktu istirahatnya.

Sayangku is calling

Tanpa sadar, Alia melempar ponsel itu ke bawah tempat tidur hingga layarnya membentur lantai dan retak. Ia kaget dengan nama yang masih terpajang di phonebook-nya. Rupanya ia lupa mengganti nama itu dengan sebutan ‘si mantan bangke’.

Setelah sadar layar ponselnya retak, Alia merutuki kecerobohannya. Gara-gara Aldo menelpon, sampai ia tega melempar ponsel ipod keluaran barunya yang baru saja dibelikan papihnya beberapa minggu setelah kelulusannya dari bangku SMA ke lantai hingga retak.

‘Dasar mantan bangke! Masih aja ganggu gue! Mau apa lagi sih dia? Go to the hell!’ geram Alia saat Aldo berkali-kali mencoba menghubunginya malam ini.

Alia mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai lalu mematikannya agar Aldo tidak bisa lagi menghubunginya. Besok ia akan minta sang papih membelikan ponsel lagi untuk mengganti ponselnya yang rusak, sekalian ia pun akan mengganti nomernya dengan yang lain agar si mantan bangke tidak bisa menghubunginya lagi.

Ya, itu adalah jalan terbaik jika Alia tidak ingin berhubungan dengan Aldo lagi walaupun tidak menutup kemungkinan mereka akan sering bertemu di kampus mengingat Aldo kuliah di tempat yang sama dengan dirinya. Biarlah, Alia tidak peduli jika ia harus bertemu lagi dengan si mantan bangke asalkan Aldo tidak bisa menerornya lagi lewat panggilan telepon.

Alia mencoba memejamkan matanya lagi berkali-kali, namun dirinya masih juga terjaga saat jarum jam sudah menunjuk angka dua belas. Sudah tengah malam, namun dirinya belum juga bisa menggapai alam mimpi. Sekilas, bayangan wajah tampan Reyvan menari-nari di dalam pikirannya. Ia memikirkan bagaimana sikapnya nanti jika ia harus bertemu lagi dengan calon suaminya itu? Bagaimana jika dirinya nanti diajar oleh Reyvan? Dia harus bersikap seperti apa? Dia harus memanggil calon suaminya apa jika di kampus? Om, pak, atau mas mungkin …. Ah, Alia jadi pusing sendiri memikirkan hal itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status