Sebagai manusia yang normal, tentunya kita menginginkan menikah dengan seseorang yang dicintai.
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial.
Ketika dua orang sudah memantapkan hati utnuk melangkah ke jenjang pernikahan, keduanya berarti sudah yakin satu dengan yang lainnya.
Menjalani pernikahan bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Hal tersebut memerlukan banyak persiapan, baik secara fisik maupun mental. Baik secara materi atau pikiran. Semuanya diperlukan untuk menghasilkan rumah tangga yang baik dan dapat berjalan dengan sangat lancar.
Saling percaya dan saling cinta menjadi satu di antara kunci yang akan menyatukan pasangan selamanya. Perasaan cinta akan benar-benar dapat dibuktikan melalui sebuah pernikahan.
Menikah adalah proses menyatukan dua insan dalam mahligai rumah tangga, dimana pernikahan itu akan menjadi hari paling membahagiakan bagi pasangan pengantin yang akan melangsungkan pernikahan.
Namun bagaimana jadinya jika menjalani sebuah pernikahan akibat suatu perjodohan? Inilah yang dialami oleh Alia. Hari ini dirinya akan menikah dengan si dosen killer. Bagaimana biduk rumah tangga mereka nantinya?
Alia berada di dalam kamarnya yang sudah disulap menjadi kamar pengantin. Ia mematut dirinya di depan meja rias, matanya menatap lurus dan datar pada bayangan dirinya yang tengah mengenakan baju kebaya berwarna putih dengan model yang sudah ia pilih beberapa hari lalu saat sang mamih mengajaknya untuk fitting baju ke butik langganannya. Ia terlihat sangat cantik dengan make up yang dibuat natural agar tidak nampak seperti emak-emak. Ia tampak terlihat lebih dewasa dari umurnya yang sebentar lagi genap dua puluh tahun. Kebaya berwarna putih yang mengekspos pundaknya yang putih dengan belahan dadanya yang rendah. Kebaya tersebut tampak begitu pas dan cantik membalut tubuhnya yang tinggi ramping namun berisi dengan sempurna. Alia tampak begitu cantik dan elegan.
Lagi-lagi suara helaan napas berat terdengar dari mulut Alia, yang sebentar lagi akan menikah dengan seorang laki-laki yang usianya jauh beda dengan dirinya, yang lebih cocok menjadi om-nya daripada menjadi suaminya. Sedikit pun tidak terpikir di benak Alia bahwa ia akan menikah secepat itu, di saat ia baru saja merasakan menjadi mahasiswa baru. Ia sudah pasrah dengan takdir yang akan membawanya nanti.
Yang ia pikirkan bagaimana tanggapan teman-temannya jika mereka tahu dirinya telah menikah dengan om-om? Oh, tidak! Pernikahannya tidak boleh diketahui oleh siapa pun apalagi teman-temannya. Apalagi pernikahan dosen dengan mahasiswanya akan menimbulkan skandal di kampus. Ia tidak ingin dianggap memanfaatkan suaminya demi mendapatkan nilai tinggi di mata kuliah yang diempunya.
Ceklek ….
Suara pintu terbuka berhasil membuat Alia menoleh.
Melati berdiri di ambang pintu dengan kebaya yang senada dengan kebaya putrinya. Di sampingnya berdiri suaminya yang dengan gagah memakai tuxedo berwarna hitam. Mereka menghampiri Alia dengan senyuman yang merekah.
"Liat Pih, hari ini putri semata wayang kita sangat cantik, ya. Mamih nggak nyangka Alia akan menikah secepat ini," kata Melati pada suaminya. Ia berjalan mendekat dan memeluk Alia dengan erat dari belakang.
“Iya, anak Papih cantik sekali hari ini,” sahut Bagas kagum, melihat dari pantulan cermin.
Alia mendekap tangan sang mamih yang berada di dadanya erat. Sebentar lagi pelukan ini yang akan sangat ia rindukan nantinya.
“Makasih ya Mih, Pih, udah ngerawat Alia sampai sebesar ini,” ucap Alia dengan air mata yang mulai menggenang.
Bagas mendekat dan mengusap kepala Alia dengan sayang. “Kamu adalah anugrah terindah untuk kami,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Alia melepaskan pelukan mamihnya, berdiri dan bergantian memeluk papihnya. Ia sandarkan kepalanya pada dada sang papih. Walaupun sudah berusia kepala lima, namun tubuh papihnya masih terlihat kekar karena selalu rajin nge-gym.
"Maafin Papih ya, Al, karena udah menjodohkan kamu dengan anak bisnis Papih. Papih hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Al." Bagas mengusap punggung putrinya lembut. "Papih yakin Reyvan bisa membimbing kamu menjadi istri yang baik. Walaupun sebentar lagi kamu bakal jadi istri orang, tapi kamu akan tetap jadi putri kecil kami tersayang," lanjutnya sambil mencium puncak kepala Alia.
"Alia juga minta maaf kalau belum bisa jadi anak yang berbakti buat Mamih dan Papih." Alia ikut terhanyut dalam pelukan hangat papihnya yang sangat ia sayangi.
Alia mengulurkan tangannya ke arah sang mamih agar ikut bergabung memeluknya.
"Mamih berdoa semoga kamu bahagia bersama Reyvan," ucap Melati.
“Aamiin,” ucap Alia sungguh-sungguh. Ia tetap berharap agar pernikahannya akan bahagia walaupun dirinya tau kalau ia menikah bukan atas dasar cinta, akan tetapi atas sebuah keharusan yang tidak bisa di tolaknya.
Tok
Tok
Tok
Pintu kamar Alia diketuk.
“Non Alia.” Seseorang memanggil namanya dari balik pintu. Bi Ijah ternyata.
“Masuk, Bi ...” sahut Alia dari dalam kamar.
Bi Ijah membuka pintu kamar sedikit dan menyembulkan kepalanya dari balik pintu. “Maaf Pak, Bu, keluarga pengantin laki-laki sudah datang,” katanya memberitahu.
“Iya, Bi, sebentar lagi kita keluar,” ujar Melati.
“Sekarang kita keluar yuk, Reyvan dan keluarganya udah datang," kata Bagas sambil menggenggam tangan Alia yang terasa dingin karena kegugupannya.
Sebelum keluar dari kamar, Alia melihat wajahnya lagi di pantulan cermin. Ia touch up lagi wajahnya yang tadi ada bekas jejak air mata yang masih menempel di pipinya.
Dengan ragu Alia melangkah keluar dari kamarnya dengan digandeng papihnya di sebelah kiri dan mamihnya di sebelah kanan.
Melati menyuruh Alia untuk menunggu di taman belakang sampai proses ijab kabul selesai dilaksanakan.
Kemudian Melati dan Bagas menghampiri keluarga Reyvan yang duduk di tempat yang sudah ditentukan.
“Akhirnya, jadi juga kita besanan ya Pak Bagas,” ucap Reza sambil memeluk calon besannya hangat.
“Iya, Pak Reza. Semoga rumah tangga anak-anak kita langgeng sampai maut memisahkan,” sahut Bagas, menepuk punggung teman bisnis yang sebentar lagi akan menjadi besannya juga.
“Insyallah, kita doakan saja,” kata Reza sambil melepaskan pelukan mereka karena prosesi ijab kabul akan segera dilaksanakan.
Bagas duduk berhadapan dengan Reyvan di kursi tempat akan berlangsungnya ijab kabul. Bagas mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Reyvan.
“Saudara Reyvan Anggara, saya nikahkan dan saya kawinkan kamu dengan putri saya yang bernama Aliandra Cessa binti Bagas Pradipta dengan mas kawin berupa perhiasan emas seberat 25 gram dibayar tunai.”
Dengan tanpa keraguan, Reyvan menjawab ijab yang telah diucapkan oleh Bagas. “Saya terima nikah dan kawinnya Aliandra Cessa binti Bagas Pradipta dengan mas kawin tersebut tunai.”
“Bagaimana, sah?” tanya penghulu kepada para hadirin yang menyaksikan prosesi ijab kabul mereka.
“Saaaahhh!” teriak para hadirin kompak.
"Alhamdulillah!"
Setelah mereka dinyatakan telah resmi menyandang sebagai sepasang suami istri, Melati segera membawa Alia yang sudah menunggu di halaman belakang.
Setibanya di tempat ijab kabul, jantung Alia berdetak semakin cepat ketika melihat Reyvan dengan gagahnya memakai tuxedo hitamnya, telah mengucapkan ijab kabul dengan tegas dan lantang seolah tidak ada keraguan di hatinya.
Setelah ijab kabul, acara selanjutnya adalah prosesi tukar cincin. Reyvan memasangkan cincin di jari manis Alia sebelah kanan dan Alia pun melakukan hal yang sama pada Reyvan. Setelah itu, Alia mencium punggung tangan Reyvan yang kini telah resmi menjadi suaminya, dan Reyvan mencium keningnya sesaat.
Bagian yang paling mengharukan dari prosesi sebuah pernikahan adalah ketika kedua mempelai berlutut untuk memberi sungkem pada orangtua mereka. Seperti ungkapan terima kasih karena sudah merawat sejak kecil hingga saat ini. Alia tidak bisa membendung air matanya ketika memeluk orang tuanya, tiba-tiba air matanya lolos begitu saja mengalir di pipinya.
Alia sesegukan di pelukan Melati. Dirinya masih belum rela kalau nanti ia sudah tidak tinggal bersama orang tuanya lagi.
"Kamu harus nurut sama suamimu ya, Al. Sekarang tanggung jawab Papih sudah pindah pada suamimu. Jangan membantah ucapan suamimu. Kamu harus berbakti sama Reyvan karena dia sekarang sudah sah menjadi suamimu." Wejangan dari Bagas makin membuat Alia terisak. Bagaimana ia akan menjadi istri yang baik kalau mengurus dirinya sendiri pun ia merasa belum becus.
Bagas mengusap pipi putri semata wayangnya yang basah oleh air mata lalu mencium kedua mata Alia bergantian.
Pernikahan yang berlangsung tidak terlalu mewah karena hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat saja serta beberapa kolega dari kedua belah pihak itu berjalan dengan sangat khidmat. Mengingat Alia baru saja lulus dari bangku SMA sehingga keluarganya memutuskan untuk mengadakan acara ijab kabul sesederhana mungkin. Soal resepsi pernikahan bisa dilaksanakan kapan pun mereka mau. Itu pun jika Alia sudah kuliah di akhir semester.
***
Di dalam kamarnya, Alia terlihat duduk termenung. Ia sudah membersihkan make up yang menempel di wajahnya. Tapi ia masih mengenakan kebaya yang ia kenakan tadi di acara pernikahannya. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan sepasang suami istri di malam pertamanya, akhirnya Alia berjalan mondar mandir di depan pintu kamar sambil menggigiti kuku-kuku tangannya. Acara pernikahan telah selesai dilaksanakan, dan para kerabatnya pun sudah pulang meninggalkan rumahnya.
Acara pernikahan memang dilaksanakan di rumahnya. Mengingat pernikahan mereka hanya berjarak dua bulan setelah diputuskan oleh Bagas dan Reza.
Mengingat malam pertama, malah membuat Alia semakin gugup dan menggigiti bibir bawahnya tanpa sadar. Walaupun umurnya belum genap 20 tahun, namun ia sudah tahu apa saja yang dilakukan sepasang suami istri pada malam pengantin.
Alia merasa takut jika suaminya meminta haknya malam ini juga. Dia belum siap! Ia terus berpikir bagaimana bisa kabur di malam pengantinnya. Seperti ada lampu hijau yang menyala di samping kepalanya, ia menemukan ide agar mala mini dirinya tidak harus tidur sekamar dengan dosen killer yang kini sudah resmi menjadi suaminya.
Alia buru-buru masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Ia keluar dari dengan piyama tidurnya dan segera keluar dari kamarnya. Ia melangkah menuju kamar kedua orang tuanya yang tidak jauh dari kamarnya.
Alia mengetuk pintu itu beberapa kali.
“Masuk!” Melati menyahut dari dalam kamar.
Alia menyembulkan kepalanya dari balik pintu. “Mih, papih mana?” tanyanya ketika hanya ada sang mamih di dalam kamar itu.
“Ada di bawah, masih ngobrol sama Reyvan dan papahnya,” jawab Melati, tangannya sedang sibuk membersihkan sisa-sisa make up yang menempel di wajahnya menggunakan kapas.
Alia masuk ke dalam kamar dan mendekati mamihnya. Ia mendudukkan tubuhnya di tepi tempat tidur samping meja rias tempat mamihnya duduk.
“Mih, Alia boleh nggak malam ini tidur sama Mamih?” tanya Alia ragu.
Melati mendelik ke arah putrinya. “Kenapa?” tanyanya heran.
“Hmmm … Alia cuma kangen aja sama Mamih. Sebentar lagi Alia akan keluar dari rumah ini, nggak tinggal sama Mamih dan papih lagi,” jawab Alia dengan suara yang ia buat sesedih mungkin. Padahal niat awalnya tidur di kamar kedua orang tuanya hanya untuk menghindari malam pertama bersama Reyvan.
Melati berpikir sejenak. “Nanti papih tidur dimana?” tanyanya.
“Papih bisa tidur di kamar aku, bareng Reyvan,” jawab Alia sekenanya.
“Masa papih suruh tidur bareng sama menantunya?” Melati menggelengkan kepalanya. “Oh iya, karena Reyvan udah resmi jadi suami kamu, kamu harus manggil Reyvan dengan sopan ya, Al,” katanya lagi.
“Iya, Mih. Aku akan manggil dia om,” jawab Alia cuek, ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Melati melotot dan Alia hanya nyengir.
“Panggil mas, mas Reyvan. Itu lebih baik,” ujar Melati memberi saran.
Alia memutar kedua bola matanya malas. Dia malas memanggil suaminya dengan sebutan ‘mas’ sesuai perintah sang mamih.
Alia sudah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur orang tuanya ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia melihat layar benda pipih itu yang menampilkan nama Kinanti.
Alia langsung menggeser tanda hijau di layar ponselnya.
“Halo, Nan.”
“Halo, Al. seminggu ini kamu kemana aja? Kok nggak ke kampus?” tanya Kinanti.
“Iya, Nan. Aku lagi ada urusan keluarga soalnya,” jawab Alia berbohong. Ia tidak ingin siapa pun tahu kalau dia sudah menikah. Seminggu ini memang dirinya tidak pergi ke kampus, padahal perkuliahan baru saja mulai. Alia melakukan serangkaian treatment oleh sebuah salon yang dipanggil ke rumahnya.
“Urusan apa sampai seminggu nggak masuk?” cecar Kinanti.
“Ada lah, nanti aku ceritain kalau kita ketemu ya.”
“Jadi besok kamu masuk kampus, kan?”
“Kayanya lusa deh aku ke kampusnya. Soalnya urusan keluarga aku belum kelar.”
“Kasian tuh si Aldo nyariin kamu terus ke kelas, udah kaya orang gila!” seru Kinanti sambil cekikikan.
“Hmmm …” sahut Alia malas. Ia malas kalau harus membahas mantan bangkenya itu.
“Eh … udah beberapa hari juga pak Reyvan nggak ngasih kuliah, lho. Dari gosip yang beredar kalau dia nggak ngampus karena nikah.”
Terdengar Kinanti antusias menceritakan dosen ganteng favorite-nya itu.
“Yaaah gagal deh aku ngecengin dosen ganteng itu,” sambung Kinanti lirih.
‘Asal lo tau Kin, dosen killer itu nikahnya sama gue!’ batin Alia menangis.
“Oh ya, bagus dong kalau dosen killer itu udah nikah. Siapa tau setelah nikah dia tobat dan nggak suka marah-marahin mahasiswanya lagi,” ujar Alia pura-pura antusias dengan berita pernikahan Reyvan.
“Tapi ‘kan stok dosen ganteng plus single jadi berkurang di kampus.”
“Eh Kin, udah dulu ya. Mamih manggil, nih. Salam untuk Satria ya. Bye!” Alia mematikan sambungan teleponnya sepihak tanpa menunggu jawaban dari temannya itu.
‘Ternyata si mantan bangke masih belum nyerah juga.’ decak Alia kesal. Trus apa itu tadi? Kinanti bilang gosip pernikahan mereka udah beredar di kampus? Eh ralat, bukan pernikahan mereka tapi pernikahan Reyvan. Semoga saja pihak kampus tidak tahu wanita mana yang jadi istrinya. Ya, semoga saja!
***
“Lho, kenapa Alia tidur di kamar kita, Mih?” tanya Bagas saat mendapati putrinya itu sudah mendengkur di atas tempat tidur mereka.
“Iya, Pih. Tadi Alia minta malam ini tidur sama Mamih,” jawab Melati, saat dirinya baru saja keluar kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan mendapati suaminya sedang menatap ke arah putrinya yang tertidur.
“Kenapa memangnya?” tanya Bagas heran. Tumben sekali putrinya ingin tidur bersama mamihnya.
“Biasalah, Pih. Alasan lama. Mungkin Alia takut Reyvan meminta haknya di malam pertama mereka,” sahut Melati sambil terkikik, ia hendak merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur samping Alia.
“Trus, Papih tidur dimana?” tanya Bagas. Kalau harus tidur bertiga di ranjang itu, bisa-bisa keesokan harinya badan dirinya pegal-pegal.
“Kata Alia, Papih suruh tidur sama Reyvan,” jawab Melati, lagi-lagi ia terkikik geli.
Kelopak mata Bagas terkulai, mana mungkin ia tidur dengan menantunya. Ia menepuk jidatnya.
Matahari masih malu-malu menampakkan sebagian sinarnya. Alia terbangun dari tidur nyenyaknya pagi ini. Ia merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi yang terasa sangat segar. Sesaat ia tersentak saat terbangun dan menyadari berada di dalam kamar kedua orang tuanya. Tapi ia segera sadar bahwa tadi malam dirinya memang tidur bersama sang mamih guna menghindari malam pertamanya bersama si om. Entah tidur di mana sang papih semalam. Alia terkikik mengingat kejadian itu. ‘Maafkan anakmu yang durhaka ini, Pih,’ gumam Alia. Alia mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut kamar, tidak ada siapa-siapa di kamar itu selain dirinya. Mungkin sang mamih sudah turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Memang di rumah itu yang menyiapkan sarapan selalu sang mamih, bukan asisten rumah tangganya. Kemudian Alia bergegas keluar kamar dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Ia berjalan mengendap-endap seperti maling yang ketakutan jika tertangkap basah. Dibukanya
Pagi setelah hari pernikahan, Alia tengah bersiap menurunkan koper yang berisi pakaiannya. Hari ini ia akan mulai tinggal di apartemen suaminya. Dengan langkah gontai, ia mulai menuruni anak tangga dengan membawa koper besarnya.“Kamu hati-hati di sana ya, Al,” ucap Melati saat Alia berpamitan, “yang nurut sama Reyvan, ya,” lanjutnya menasihati.“Rey, Papih titip Alia ya. Tolong jaga Alia.” Sang ayah mertua berpesan pada menantunya.“Iya, Pih. Rey akan jaga Alia baik-baik,” jawab Reyvan, ia mencium punggung tangan kedua mertuanya bergantian.“Mih, Pih, Alia pergi ya,” ujar Alia, ia menatap orang tuanya lalu memeluk mereka bergantian. Rasanya ia memang berat berpisah dengan orang tuanya. Ia juga berat meninggalkan bi Ijah yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya.“Sering-sering mampir ke sini ya, Non,” kata Bi Ijah. Terlihat raut kesedihan tercetak di wajah wanita yang su
Pagi ini langit sangat cerah. Alia mengerjap-ngerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui matanya. Ia terbangun saat matahari sudah cukup tinggi. Semalaman ia susah memejamkan matanya. Mungkin ia masih harus menyesuaikan diri tinggal di apartement Reyvan dan mungkin juga karena ada seorang laki-laki yang statusnya sudah menjadi suaminya berbaring di sampingnya. Ia merasa takut, takut suaminya melakukan hal yang tidak-tidak terhadap dirinya.‘Astaga!’ Alia terlonjak saat melihat jam yang terpasang di kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 dan itu berarti hanya tinggal 30 menit lagi sebelum perkuliahannya dimulai. Ia melihat di sampingnya sudah tidak ada suaminya.Alia beranjak dari tempat tidurnya lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Ia menggosok gigi dan mencuci mukanya. Setelah itu ia keluar dari kamar menuju lemari pakaian dan mengambil asal pakaian yang akan dipakainy
Siang itu setelah jadwal perkuliahannya selesai, Alia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Kinanti dan Satria sudah pamit pulang duluan karena mereka ada urusan nanti sore. Sebelum pulang ke rumah orang tuannya, Alia akan meminta izin dulu kepada suaminya. Ia membelokkan kakinya menuju ruangan Reyvan. Setelah berada di depan pintu, diketuknya pintu itu. Ia membuka kenop pintu setelah ada sahutan dari dalam yang mempersilahkannya masuk. “Al, ada apa?” tanya Reyvan saat istrinya sudah menutup pintu itu kembali.
Hingga malam menjelang, ternyata Melati belum juga tersadar dari pingsannya padahal dokter sudah memastikan keadaannya baik-baik saja. Entah apa yang membuatnya betah memejamkan mata. Karena sang mamih belum sadar juga, akhirnya Alia memutuskan untuk menunggui mamihnya di samping ranjangnya.Tadi malam sekitar pukul tujuh, Bagas datang ke Rumah Sakit langsung dari Bandara. Setelah dikabari oleh asisten rumah tangganya, Bagas segera mengambil jadwal penerbangan dari Balikpapan menuju Jakarta, setelah itu melanjutkan perjalanan darat menuju Bandung. Pagi tadi sebelum istrinya jatuh pingsan, Bagas berpamitan untuk meninjau proyeknya yang berada di Balikpapan. Padahal pekerjaannya di sana belum selesai, namun ia tinggalkan setelah tahu istrinya tiba-tiba pingsan.Reyvan melirik jam yang melingkar ditangannya, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. “Pih … Papih pulang aja untuk istirahat. Biar Reyvan yang jaga mamih,” ujarnya pada sang ayah mertua saat mel
Satria mengendarai kuda besi berwarna hitam miliknya dengan kecepatan sedang. Jarak dari kampus ke Rumah Sakit akan memakan waktu kurang lebih 30 menit.“Al,” panggil Satria.Alia yang sedang menikmati jalanan lewat kaca mobil di sampingnya, menoleh ke arah temannya itu.“Bukannya tadi kamu disuruh datang ke ruangan pak Reyvan, ya?” tanya Satria sambal tetap fokus menatap jalanan—mengemudikan mobilnya.“Biarin aja, aku nggak peduli. Keadaan mamih lebih penting,” jawab Alia, ia membuka sedikit kaca mobil untuk menikmati udara siang itu. Angin menerbangkan sebagian rambutnya yang ia biarkan tergerai.“Emangnya kamu nggak takut kena hukuman dari pak Reyvan?” goda Satria.Alia mengendikkan bahu. “I really don’t care,” sahutnya yakin. Ia memang tidak peduli jika nanti suaminya itu akan memarahinya ketika tiba di rumah. Ia tidak peduli sama sekali!“Lagia
Di saat Alia sedang menikmati buburnya di ruang makan, tiba-tiba pintu apartemen berbunyi. Reyvan yang sedang berada di dapur, segera beranjak untuk membukakan pintu.“Kamu lanjutin makan aja, biar saya yang buka,” kata Reyvan saat melihat Alia beranjak hendak membukakan pintunya. “Mungkin itu tukang servis AC, soalnya tadi saya hubungi suruh datang.”“Oh, yaudah ….” Alia melangkah kembali ke ruang makan untuk melanjutkan sarapan plus makan siangnya.Di saat Reyvan membuka pintu, di sana ada Satria dan Kinanti.“Lho, kok Pak Reyvan ada di sini?” tanya Satri kaget. Kinanti pun melongo—tidak kalah kaget.“Ini ‘kan memang apartemen saya,” jawab Reyvan cuek.Satria buru-buru mengeluarkan kembali ponselnya. Ia membaca deretan huruf yang bertuliskan alamat tempat tinggal Alia yang tadi ia dapat dari mamih Alia sendiri.“Ini apartemen Gardenia lanta
Setelah perkuliahannya selesai, Alia berjalan dengan cepat menelusuri koridor kampus dan sambil menyibakkan rambutnya yang sedikit menutupi wajahnya yang diterpa angin. Lalu dengan langkah ringan ia menuruni anak tangga satu per satu.“Alia!”Sebuah suara dari arah belakang terdengar memanggil namanya. Alia segera menghentikan langkah dan menoleh mencari asal suara itu. Dilihatnya Aldo tersenyum menghampirinya. Sejak Aldo menolong dirinya membawa Mamihnya ke Rumah Sakit, Alia mencoba bersikap ramah dan wajar terhadap dirinya lagi. Bagaimana pun juga Aldo adalah mantan kekasihnya dan pernah menolong sang mamih.“Ada apa, Do?” tanya Alia, ia kembali melangkahkan kakinya.“Aku denger kemarin kamu sakit ya, makanya nggak masuk kuliah?” tanya Aldo sambil menyejajarkan langkahnya dengan langkah Alia.Alia mengangguk sekilas. “Iya. Cuma demam biasa aja, kok.”“Kemarin aku nyariin kamu.”