“Pagi, Mih, Pih.” Alia menghampiri kedua orang tuanya yang sudah berada di ruang makan dan mencium pipi orang tuanya bergantian. Semalam ia tidur larut karena menyiapkan perlengkapan untuk ke kampus pagi ini. Belum lagi bayangan Reyvan yang terus menari-nari di pikirannya.
Walaupun tadi malam Alia tidur hanya beberapa jam saja, namun ia sangat bersemangat menjalani hari-harinya menjadi seorang mahasiswa. Ia tidur menjelang pukul dua dini hari. Ia bangun kesiangan karena jam beker yang sudah ia setting untuk membangunkannya pukul enam tidak berdering karena kehabisan baterai. Dan tumben sekali mamihnya tidak cerewet membangunkannya. Mungkin sang mamih berpikir dirinya kuliah di siang hari.
“Ayo sarapan, Al,” ajak sang mamih. Di meja makan sudah tersedia segelas susu murni rasa coklat hangat dan roti isi selai coklat kesukaannya. Walaupun sudah besar, Melati memang selalu menyediakan susu untuk Alia agar putrinya itu tumbuh besar dan tinggi. Walaupun tinggi Alia sudah melampaui batas tinggi perempuan pada umumnya—167 cm.
“Maaf, Mih. Alia udah telat,” kata Alia sambil meneguk sedikit saja susu di atas meja dan mencomot roti dengan tangan kanannya dan tangan kirinya memegang beberapa buku kuliah.
“Sarapan dulu, Al. nanti kamu masuk angin kalau nggak sarapan,” ujar Bagas.
“Beneran udah telat nih, Pih.” Alia melirik jam yang melingkar di tangan sebelah kiri. “Alia berangkat duluan ya. Bye, Mih, Pih ….”
“Hati-hati, Sayang!” seru Melati saat putrinya sudah berlari keluar rumah dengan tergesa-gesa.
“Anak kita, Mih. Nggak terasa udah besar dan udah mau jadi istri orang," tutur Bagas, menatap wajah istrinya sendu.
“Iya, Pih. Nggak nyangka secepat ini ya, padahal Mamih masih ingat gimana usaha kita untuk dapatin anak.” Pikiran Melati menerawang ke kejadian 30 tahun yang lalu saat dirinya dan sang suami yang sudah hampir 1 tahun menikah namun belum juga diberikan kepercayaan oleh Tuhan untuk menimang momongan. Belum lagi para tetangga dekat rumah yang terus-terusan menanyakan kapan punya anak yang membuat dirinya stres. Setelah usia pernikahan 10 tahun, barulah mereka berhasil mendapatkan bayi lewat program bayi tabung. Itu pun setelah melakukan program bayi tabung beberapa kali.
“Karena sebentar lagi Alia akan diambil orang,” kata Bagas menggantung kalimatnya, “ayo kita bikin lagi adik buat Alia, Mih,” lanjutnya sambil menaik turunkan alisnya menggoda sang istri.
“Papiiiiih!!!” teriak Melati kesal. Ia tidak menyangka suaminya bisa semesum ini.
***
Sepasang kaki berbalut sepatu fantovel yang hitam berkilat baru saja memasuki pelataran kampus. Reyvan baru saja menjejakkan kakinya ketika tiba-tiba tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.
Brukkk
Seorang gadis menabraknya sehingga buku-buku yang dipegang gadis itu berjatuhan.
“Maaf, Pak,” kata gadis itu sambil memunguti buku-bukunya yang terjatuh di atas lantai.
Reyvan memperhatikan gadis itu, “Alia,” panggilnya ketika menyadari siapa gadis yang menabraknya.
Alia mendongak seketika. “Om ...” katanya. Setelah buku-buku yang berserakan di lantai sudah berada di tangannya lagi, ia beranjak berdiri, masih menunduk, dan membiarkan sebagian rambut hitam panjangnya berhamburan membingkai wajahnya yang memucat.
‘Ya Tuhan, kenapa aku harus ketemu si Om dalam keadaan kaya gini terus sih?’ keluh Alia dalam hati.
“Kamu lagi ... kamu lagi,” ucap Reyvan, “kenapa kamu terus-terusan menabrak saya, sih?” sarkasnya. Sudah dua kali bertemu dengan calon istrinya di kampus, dan sudah dua kali juga Alia menabrak dirinya.
“Ma—maaf, Om.” Alia sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya untuk melihat laki-laki yang ada di hadapannya.
“Cepetan masuk kelas! Sekarang saya masuk di kelas kamu,” ucap Reyvan karena hari ini dirinya akan mengajar di kelas Alia untuk pertama kalinya. “Oh iya, jangan panggil saya Om, apalagi di kampus. Dan jangan cerita ke siapa-siapa kalau saya ini calon suami kamu,” lanjutnya mengingatkan. Ia melarang Alia untuk menceritakan perihal pernikahan mereka agar tidak membuat heboh penghuni kampus.
“I—iya, Om. Eh, Pa—Pak,” kata Alia terbata.
Kedua tangannya saling meremas satu sama lain dengan buku-bukunya yang ia peluk dalam dada, untuk mengurangi kegugupan yang tiba-tiba menyergapnya.
Setelah Reyvan berlalu dari hadapannya, Alia segera mengekorinya untuk masuk ke kelas.
“Selamat pagi anak-anak,” seru Reyvan memulai perkuliahannya pagi ini.
“Pagi, Pak,” balas para mahasiswa berbarengan.
Alia masuk ke kelas dan segera mendudukkan tubuhnya di kursi yang masih kosong. Ia mengambil buku catatan beserta alat tulisnya dan menyimpan tas ranselnya di bawah meja.
“Hei,” panggil seseorang yang duduk di sebelah kiri Alia.
Alia melirik ke arah laki-laki di sampingnya sekilas, seorang laki-laki tampan tengah menatap ke arahnya.
“Kenalin, nama aku Satria. Kamu siapa?” Laki-laki yang bernama Satria itu mengulurkan tangannya sambil berbisik.
“Nama aku Aliandra, panggil aja Alia,” sahut Alia setengah berbisik sambil menjabat tangan Satria.
“Nice to meet you,” ujar Satria.
“Me too,” sahut Alia singkat.
“Kenalin ... ini Kinanti. Panggil aja Kinan.” Satria memperkenalkan gadis yang duduk di sebelah kirinya itu pada Alia.
Alia melirik lalu melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah Kinan karena tangannya tidak sampai untuk menjabat tangan Kinan.
“Hai, Kinan. Aku Alia,” bisik Alia.
“Hai, Alia.” Kinan pun melambaikan tangannya ke arah Alia.
“Hey, kalian bertiga!” Reyvan menatap tajam ke arah ketiga mahasiswanya yang sedang saling berkenalan itu. “Saya tidak suka ada mahasiswa yang mengobrol ketika saya sedang memberikan pelajaran!” hardiknya.
‘Aduh, sial!’ Alia yang duduk di baris ketiga dari depan menunduk malu ketika semua mata menatap ke arahnya.
“Silahkan kalian bertiga keluar dari kelas saya!” perintah Reyvan pada Alia, Kinan dan Satria. Ia tidak bisa mentolerir mahasiswanya yang tidak mematuhi aturan di kelasnya. Para mahasiswa lamanya sudah tau akan hal itu.
“Tapi, Pak,” protes Satria. Ia tidak ingin keluar kelas di hari pertama mereka belajar di kampus.
“Tidak ada tapi-tapian. Silahkan kalian keluar sekarang!” usir Reyvan lagi memerintah.
Mau tidak mau, dengan terpaksa Alia memasukkan kembali buku dan alat tulisnya ke dalam tas dan membawa tasnya yang ia gendong di punggung. Ia berjalan melewati Reyvan sambil mengumpat kesal mengeluarkan sumpah serapah. Ia melangkah keluar dari kelas itu dengan segera disusul oleh Satria dan juga Kinan.
Hari ini adalah hari pertama perkuliahan dimulai, tapi sudah diusir dari kelas. Dan yang lebih heran lagi, Alia diusir dari kelas calon suaminya sendiri.
‘Dasar dosen killer! Sialan! Sama calon istrinya sendiri begitu! Dasar Om-Om!’ runtuk Alia dalam hati. Ia mengepalkan tangannya menahan kesal. Ia melangkahkan kakinya menuju kantin. Lebih baik ia mengisi perutnya yang sedang lapar karena tadi tidak sempat sarapan di rumah.
“Alia, tunggu,” panggil Satria saat Alia sudah berbelok menuju kantin. Kinan mengekori dari belakang.
Tanpa menoleh, Alia langsung mendudukkan tubuhnya di pojokan kantin.
“Alia,” ujar Satria sambil duduk di hadapannya, “maaf ya gara-gara aku, kamu jadi ikut dikeluarin dari kelas,” lanjutnya dengan rasa bersalah.
Alia menyunggingkan sebuah senyuman. “Nggak apa-apa kok, Sat,” ujar Alia, “emang dasar tuh dosen killer!” umpatnya kesal, ia mengeluarkan smartphone-nya dari dalam tas lalu memainkan aplikasi yang ada di ponsel itu untuk mengusir rasa kesal yang masih bercokol di hatinya. Nanti sepulang kuliah, ia akan mampir dulu ke Mal untuk membeli handphone baru. Sebelum itu seperti biasa, dia akan menelpon sang papih untuk mentransfer uangnya. Anak sultan, mau beli apa saja bebas!
“Nggak boleh ngatain lho, Al. Takut kualat. Nanti malah jadi karma kamu nikah sama pak Reyvan,” celetuk Kinan tepat sasaran. Setelah mengatakan hal itu, ia cekikikan geli.
‘Hal itu sebentar lagi terjadi, Nan. Asal lo tau aza!’ raung Alia dalam hati.
“Iya, nggak boleh benci sama dosen sendiri. Ntar malah jadi cinta.” Satria menimpali sambil terkekeh.
“Kalian tuh ya … bikin mood aku makin ancur!” desah Alia, ia meletakkan ponselnya di atas meja lalu menelungkupkan kepalanya di atas tangannya yang sudah berada di atas meja.
“Sorry, deh …” ujar Satria dan Kinan kompak.
“Kamu mau sarapan nggak, Al?” tanya Satria karena dari tadi tidak ada apapun di atas meja.
Alia mengangkat kepalanya dan melirik ke arah Satria dan Kinan yang duduk di depannya, ada sebuah meja yang menghalangi mereka. “Boleh, aku lapar.” ujar Alia.
“Aku juga lapar.” Kinan menimpali.
“Kalian mau makan apa? Biar aku pesenin, sebagai tanda permintaan maaf aku,” tanya Satria menawarkan.
Alia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin untuk melihat jajanan apa saja yang disediakan oleh kantin. Pupil matanya membesar saat melihat makanan favorite-nya berada di sana. Kemudian ia menunjuk ke arah sebuah gerobak bertuliskan ‘Soto Mie Bogor’, yang diikuti oleh pandangan Satria dan Kinan.
“Soto mie Bogor?” tanya Satria memastikan.
Alia mengangguk dengan puppy eyes.
“Iya tuh enak pagi-pagi makan soto. Seger!” seru Kinan, dirinya setuju dengan Alia.
“Yaudah … kalian tunggu sebentar, ya.” Satria beranjak dari kursi dan melangkahkan kaki menuju gerobak yang menjual makanan itu.
“Kamu udah lama kenal Satria?” tanya Alia basa-basi.
“Hmmm … dari masih bayi.” jawab Kinan.
“Wow, jadi kalian temenan udah lama juga ya. Bisa betah gitu temenan tanpa skandal.”
“Maksudnya?” tanya Kinan tidak mengerti.
“Ya biasanya ‘kan kalau cewek sama cowok sahabatan pasti ujung-ujungnya cinlok.”
Kinan tertawa pelan. “Satria itu udah kaya kakak aku, Al. Dia anak dari sahabat ibuku. Umurnya juga dua tahun di atas aku. Jadi nggak mungkinlah kita pacaran,” ungkapnya.
“Ya ... siapa tau aja, kan.” Alia terkekeh.
Alia kembali memainkan ponselnya sambil menunggu Satria membawa makanan pesanan mereka.
Sedang asik-asiknya men-stalking akun sosmed artis favorite-nya, tiba-tiba pendengarannya menangkap suara yang amat sangat ia benci untuk di dengar.
“Al …” panggil sang mantan bangke. Siapa lagi kalau bukan Aldo.
‘Ya Tuhan … Kenapa harus ketemu dia lagi, sih?’ gerutu Alia kesal. Ia memalingkan muka ketika tahu siapa yang menyapanya.
Tanpa meminta ijin, Aldo langsung mendudukkan dirinya di kursi depan Alia dan di samping Kinan, memandangi mantan kekasihnya tanpa kedip.
Alia menatap tajam ke arah Aldo. “Ngapain duduk di sini? Tuh, masih banyak kursi kosong!” geramnya sambil menunjuk deretan kursi yang masih kosong. Keadaan yang memang masih terbilang pagi membuat kantin pagi ini cukup lengang.
“Al, aku pengen kita balikan kaya dulu," kata Aldo tanpa menghiraukan rasa tidak nyaman dari Alia saat berada di dekatnya dan keterkejutan Kinanti.
‘Laki-laki ini siapa? Datang-datang ‘kok langsung minta balikan sama Alia?’ pikir Kinan.
“WHAT???” Alia membulatkan matanya tidak percaya. Sang mantan bangke ingin kembali menjalin hubungan yang sudah porak-poranda akibat ulahnya sendiri.
Aldo mencoba memegang tangan Alia namun segera ditepis oleh gadis itu.
“Nggak usah pegang-pegang aku!” berang Alia. Matanya berkilat. Ia tidak sudi di pegang-pegang lagi oleh Aldo.
“Aku serius, Al. Aku akan memperbaiki semuanya,” ucap Aldo lirih dengan sungguh-sungguh.
“Jangan mimpi!” sungut Alia kesal. Hari masih pagi dan dirinya ada kuliah sampai sore, namun mood-nya sudah buruk. Gara-gara si mantan bangke!
“Tapi—” ucapan Aldo terpotong karena Satria datang dengan sebuah nampan yang berisi tiga mangkuk soto mie Bogor pesanannya.
“Ada apa, Al?” tanya Satria saat melihat raut kekesalan yang terpancar dari wajah Alia. Ia menaruh mangkuk soto di atas meja dengan hati-hati, lalu mendudukkan tubuhnya di depan Alia, tepat di samping kanan Aldo. Kini Aldo diapit oleh Kinanti dan Satria.
“Lo siapa?” tanya Aldo. Ia tidak suka Alia dekat dengan laki-laki lain.
“Gue Satria. Gue—”
“Dia pacar aku!” ujar Alia cepat sebelum Satria menyelesaikan ucaapannya. Ia mengedip-ngedipkan matanya sebagai kode saat Satria menatapnya dengan tatapan bingung.
Kinan lebih bingung lagi melihat adegan di depannya.
“Oh, iya. Kenalin, gue pacarnya Alia.” Satria mengulurkan tangannya ke arah Aldo yang memang duduk di sebelahnya.
Aldo menepis uluran tangan Satria. Dirinya tidak percaya kalau Alia sudah secepat itu move on darinya.
“Aku nggak percaya kalau kalian pacaran, Al,” ujar Aldo tidak percaya.
“Whatever!” pekik Alia, “terserah kamu percaya atau nggak. Tapi emang kaya gitu kenyataannya. Iya kan, Sayang?” Alia mengulurkan tangannya ke arah Satria yang langsung disambut Satria dengan senang hati. Ia tersenyum sangat manis ke arah pacar pura-puranya itu.
“Aldo!” panggil seseorang dari arah belakang Alia.
Alia, Satria, Kinanti dan Aldo serempak menengok ke arah suara.
“Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Kenapa orang-orang yang menyebalkan ini harus ketemu sama aku lagi di sini?” decak Alia kesal. Matanya melebar melihat siapa perempuan yang sedang berjalan ke arah tempat duduknya. Jangan-jangan Amanda pun kuliah di kampusnya? Oh, My God!
“Hai, Al ...” sapa Amanda—selingkuhan Aldo yang juga mantan sahabat Alia.
Ya … sejak perselingkuhan mereka tercium, Alia sudah membuat para mantannya—mantan pacar dan juga mantan sahabatnya, ke tempat sampah.
Alia memutar bola matanya malas. Ia sudah tidak ingin melihat mantan sahabat bangkenya, apalagi berurusan dengannya lagi.
“Aldo, aku mau bicara sama kamu,” ujar Amanda sambil memegang tangan Aldo.
Aldo menepis tangan Amanda dengan kasar. “Mau ngomong apa lagi, sih?” tanyanya kesal.
“Ak—aku nggak mau kita putus,” ujar Amanda lirih. Sebenarnya ia malu pada Alia. Setelah menikung sahabatnya, dirinya pun diputuskan oleh Aldo secara sepihak.
“Helo!” seru Alia kesal, “tolong ya urus urusan kalian di tempat lain. Jangan di sini, ganggu aku mau makan aja!” sungutnya kesal. Tadi ia sangat ingin makan soto mie Bogor, namun setelah melihat dua makhluk yang tidak ingin dijumpainya itu, selera makannya jadi hilang.
Aldo bangkit dari duduknya dan melangkah pergi dari kantin.
Amanda masih mematung dari tempatnya berdiri. “Al, aku bener-bener minta maaf ya. Aku nggak ada maksud untuk ngekhianatin kamu.” ujarnya sambil menunduk.
“Kejar tuh pacar kamu. Jangan sampai dia lolos!” seru Alia tanpa mempedulikan permintaan maaf Amanda.
Menyadari Aldo telah pergi menjauh, Amanda langsung mengejar dirinya keluar kantin.
“Oh, jadi sang pacar berselingkuh dengan sahabat sendiri ya?” tanya Satria setelah kepergian Aldo dan Amanda. Hanya melihat interaksi mereka saja, Satria sudah bisa menyimpulkan kalau Alia ditikung oleh sahabatnya sendiri. Miris!
Alia tersenyum kecut sambil menyeruput teh manis hangatnya yang tadi sebelum kedatangan mantan sahabatnya masih mengeluarkan asap panas.
“Yaudah … nggak usah dipikirinlah, Al,” kata Satria sambil meneguk teh manis miliknya, “buanglah mantan pada tempatnya!” lanjutnya lagi sambil terkekeh kecil.
Alia mengangguk-anggukkan kepalanya setuju dengan kata kiasan yang diucapkan oleh teman barunya barusan.
“BUANGLAH MANTAN PADA TEMPATNYA!!!” seru Alia dan Kinanti kompak, mengulang ucapan Satria.
Kemudian, mereka bertiga tertawa.
Tinggalkan komentarnya setelah membaca.. jangan lupa review cerita ini ya, biar aku semakin semangat update ceritanya...
“Al, setelah selesai kuliah kamu mau kemana?” tanya Satria yang duduk di samping bangku Alia. Mereka sudah menyelesaikan jadwal perkuliahan terakhir hari ini. Terlihat Kinanti dengan tergesa-gesa merapihkan peralatan kuliahnya. “Al, maaf aku duluan ya. udah dijemput soalnya,” ujarnya, “Bang Sat, aku duluan ya,” pamitnya lagi pada Satria. Ia tertawa keras saat Satria memelototinya. Satria memang paling tidak suka kalau anak dari sahabat ibunya dan juga sahabatnya sendiri memanggilnya Bang Sat (singkatan dari Abang Satria). Panggilan itu tidak enak didengar. “Iya … hati-hati ya, Nan,” kata Alia. “Sampai ketemu besok,” ujar Kinanti sambil berlari keluar kelas. “Al, setelah selesai kuliah kamu mau kemana?” Satri mengulang pertanyaannya lagi karena tadi Alia belum menjawab pertanyaannya. Alia membereskan peralatan kuliahnya ke dalam tas, lalu melirik Satria. “Kayaknya langsung pulang deh, Sat. kenapa emang?” tanyanya. Ia melirik jam tangannya, suda
Sebagai manusia yang normal, tentunya kita menginginkan menikah dengan seseorang yang dicintai.Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial.Ketika dua orang sudah memantapkan hati utnuk melangkah ke jenjang pernikahan, keduanya berarti sudah yakin satu dengan yang lainnya.Menjalani pernikahan bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Hal tersebut memerlukan banyak persiapan, baik secara fisik maupun mental. Baik secara materi atau pikiran. Semuanya diperlukan untuk menghasilkan rumah tangga yang baik dan dapat berjalan dengan sangat lancar.Saling percaya dan saling cinta menjadi satu di antara kunci yang akan menyatukan pasangan selamanya. Perasaan cinta akan benar-benar dapat dibuktikan melalui sebuah pernikahan.Menikah adalah proses menyatukan dua insan dalam mahligai rumah tangga, dimana pernikahan itu
Matahari masih malu-malu menampakkan sebagian sinarnya. Alia terbangun dari tidur nyenyaknya pagi ini. Ia merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi yang terasa sangat segar. Sesaat ia tersentak saat terbangun dan menyadari berada di dalam kamar kedua orang tuanya. Tapi ia segera sadar bahwa tadi malam dirinya memang tidur bersama sang mamih guna menghindari malam pertamanya bersama si om. Entah tidur di mana sang papih semalam. Alia terkikik mengingat kejadian itu. ‘Maafkan anakmu yang durhaka ini, Pih,’ gumam Alia. Alia mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut kamar, tidak ada siapa-siapa di kamar itu selain dirinya. Mungkin sang mamih sudah turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Memang di rumah itu yang menyiapkan sarapan selalu sang mamih, bukan asisten rumah tangganya. Kemudian Alia bergegas keluar kamar dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Ia berjalan mengendap-endap seperti maling yang ketakutan jika tertangkap basah. Dibukanya
Pagi setelah hari pernikahan, Alia tengah bersiap menurunkan koper yang berisi pakaiannya. Hari ini ia akan mulai tinggal di apartemen suaminya. Dengan langkah gontai, ia mulai menuruni anak tangga dengan membawa koper besarnya.“Kamu hati-hati di sana ya, Al,” ucap Melati saat Alia berpamitan, “yang nurut sama Reyvan, ya,” lanjutnya menasihati.“Rey, Papih titip Alia ya. Tolong jaga Alia.” Sang ayah mertua berpesan pada menantunya.“Iya, Pih. Rey akan jaga Alia baik-baik,” jawab Reyvan, ia mencium punggung tangan kedua mertuanya bergantian.“Mih, Pih, Alia pergi ya,” ujar Alia, ia menatap orang tuanya lalu memeluk mereka bergantian. Rasanya ia memang berat berpisah dengan orang tuanya. Ia juga berat meninggalkan bi Ijah yang sudah ia anggap sebagai ibu keduanya.“Sering-sering mampir ke sini ya, Non,” kata Bi Ijah. Terlihat raut kesedihan tercetak di wajah wanita yang su
Pagi ini langit sangat cerah. Alia mengerjap-ngerjapkan matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui matanya. Ia terbangun saat matahari sudah cukup tinggi. Semalaman ia susah memejamkan matanya. Mungkin ia masih harus menyesuaikan diri tinggal di apartement Reyvan dan mungkin juga karena ada seorang laki-laki yang statusnya sudah menjadi suaminya berbaring di sampingnya. Ia merasa takut, takut suaminya melakukan hal yang tidak-tidak terhadap dirinya.‘Astaga!’ Alia terlonjak saat melihat jam yang terpasang di kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 dan itu berarti hanya tinggal 30 menit lagi sebelum perkuliahannya dimulai. Ia melihat di sampingnya sudah tidak ada suaminya.Alia beranjak dari tempat tidurnya lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Ia menggosok gigi dan mencuci mukanya. Setelah itu ia keluar dari kamar menuju lemari pakaian dan mengambil asal pakaian yang akan dipakainy
Siang itu setelah jadwal perkuliahannya selesai, Alia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Kinanti dan Satria sudah pamit pulang duluan karena mereka ada urusan nanti sore. Sebelum pulang ke rumah orang tuannya, Alia akan meminta izin dulu kepada suaminya. Ia membelokkan kakinya menuju ruangan Reyvan. Setelah berada di depan pintu, diketuknya pintu itu. Ia membuka kenop pintu setelah ada sahutan dari dalam yang mempersilahkannya masuk. “Al, ada apa?” tanya Reyvan saat istrinya sudah menutup pintu itu kembali.
Hingga malam menjelang, ternyata Melati belum juga tersadar dari pingsannya padahal dokter sudah memastikan keadaannya baik-baik saja. Entah apa yang membuatnya betah memejamkan mata. Karena sang mamih belum sadar juga, akhirnya Alia memutuskan untuk menunggui mamihnya di samping ranjangnya.Tadi malam sekitar pukul tujuh, Bagas datang ke Rumah Sakit langsung dari Bandara. Setelah dikabari oleh asisten rumah tangganya, Bagas segera mengambil jadwal penerbangan dari Balikpapan menuju Jakarta, setelah itu melanjutkan perjalanan darat menuju Bandung. Pagi tadi sebelum istrinya jatuh pingsan, Bagas berpamitan untuk meninjau proyeknya yang berada di Balikpapan. Padahal pekerjaannya di sana belum selesai, namun ia tinggalkan setelah tahu istrinya tiba-tiba pingsan.Reyvan melirik jam yang melingkar ditangannya, jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. “Pih … Papih pulang aja untuk istirahat. Biar Reyvan yang jaga mamih,” ujarnya pada sang ayah mertua saat mel
Satria mengendarai kuda besi berwarna hitam miliknya dengan kecepatan sedang. Jarak dari kampus ke Rumah Sakit akan memakan waktu kurang lebih 30 menit.“Al,” panggil Satria.Alia yang sedang menikmati jalanan lewat kaca mobil di sampingnya, menoleh ke arah temannya itu.“Bukannya tadi kamu disuruh datang ke ruangan pak Reyvan, ya?” tanya Satria sambal tetap fokus menatap jalanan—mengemudikan mobilnya.“Biarin aja, aku nggak peduli. Keadaan mamih lebih penting,” jawab Alia, ia membuka sedikit kaca mobil untuk menikmati udara siang itu. Angin menerbangkan sebagian rambutnya yang ia biarkan tergerai.“Emangnya kamu nggak takut kena hukuman dari pak Reyvan?” goda Satria.Alia mengendikkan bahu. “I really don’t care,” sahutnya yakin. Ia memang tidak peduli jika nanti suaminya itu akan memarahinya ketika tiba di rumah. Ia tidak peduli sama sekali!“Lagia