Share

Hati yang Terikat Takdir
Hati yang Terikat Takdir
Author: Rizki Adinda

Bab 1 - Tanggung Jawab Keluarga

"Arum, kamu belum tidur juga?"

Suara lembut Bima, kakak Arum yang tengah mengintip dari ambang pintu, membuat Arum terlonjak. Di meja kamarnya, ia tengah sibuk menata laporan bulanan sekolah tempatnya mengajar. Raut lelahnya tak bisa disembunyikan, namun senyumnya tetap ia paksakan.

"Sebentar lagi, Mas," jawabnya pelan. Tatapannya kembali tertuju pada tumpukan kertas di hadapannya, tapi pikirannya melayang.

Malam itu, Arum tak sekadar bekerja. Ia mencoba melupakan rasa rindu akan kehadiran ibunya, sosok yang selama ini menjadi poros keluarganya.

Setelah ibunya meninggal setahun lalu, beban tanggung jawab terasa semakin berat di pundaknya. Bukan hanya sebagai guru di sekolah, tapi juga sebagai penopang keluarganya, menjaga dan merawat semuanya agar tetap utuh.

Bima mengangguk pelan, meski raut khawatir tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Kamu juga perlu istirahat, Rum. Jangan sampai sakit," nasihatnya, sebelum beranjak pergi.

Setelah Bima menutup pintu kamar, Arum melepaskan napas panjang. Sesaat, ia memejamkan mata, mencoba membendung perasaan yang tak pernah ingin ia ungkapkan—rasa lelah dan kesepian yang kadang-kadang begitu menyesakkan dada.


Keesokan harinya, Arum bangun lebih pagi dari biasanya. Pagi itu cerah, dan aroma kopi memenuhi dapur rumah keluarga Cahyaningtyas yang sederhana namun hangat. Ia duduk sendiri di meja dapur, menyeruput kopi sambil memandangi bunga-bunga yang perlahan mulai bermekaran di halaman.

"Arum!" Terdengar suara ceria dari luar pagar rumah mereka. Arum menoleh dan mendapati Ratna, sahabatnya, berdiri di sana, tersenyum sambil melambaikan tangan.

“Ratna! Sudah lama nggak main ke sini,” balas Arum, berusaha terdengar ceria.

Ratna mendekat, membawa sebuah keranjang kecil berisi kue bolu yang tampak masih hangat. "Buat kamu. Aku tahu kamu pasti sibuk, jadi sekalian bawain cemilan buatmu."

Arum tersenyum hangat. Meskipun Ratna dikenal sebagai sosok pendiam, dia selalu tahu cara membuat Arum merasa dihargai.

Mereka berdua duduk di beranda, mengobrol tentang kehidupan sehari-hari, namun, di sela-sela tawa kecil mereka, Arum tak bisa sepenuhnya mengalihkan pikirannya dari kenangan tentang masa kecilnya yang sering ia habiskan bersama Ratna dan Rendra.

"Aku dengar Rendra sudah kembali dari luar negeri, ya?" tanya Ratna tiba-tiba, membuat Arum tertegun.

Arum hanya mengangguk pelan. "Iya, dia kembali beberapa hari lalu. Tapi aku belum sempat bertemu. Ah, ya, mungkin dia sibuk."

Ratna memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Arum, seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi Ratna hanya tersenyum, paham bahwa ada hal-hal yang tak perlu ia desak dari sahabatnya.

"Kalau dia sudah kembali, mungkin kalian bisa mengulang janji kalian dulu, kan?" goda Ratna setengah bercanda.

Arum tersipu, namun ia menutupi rasa hangat di pipinya dengan menyeruput kopi lebih banyak dari biasanya. "Sudahlah, Ratna. Itu kan cuma janji anak kecil. Mana mungkin kita serius soal itu."

Namun, di dalam hati Arum, ia bertanya-tanya sendiri—apakah benar janji itu hanya janji anak kecil? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar nostalgia masa kecil mereka?

Di penghujung pagi, setelah Ratna pulang, Arum berangkat menuju sekolah. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa-masa di mana ia dan Rendra masih bersama-sama di bawah sinar matahari yang terik, bermain di lapangan belakang sekolah dasar mereka.

Saat itu, mereka sering berjanji untuk selalu saling menjaga, tidak peduli seberapa jauh mereka terpisah.

Tapi sekarang, Rendra telah menjadi sosok yang berbeda. Ia sukses, berwibawa, seorang pria yang memiliki dunianya sendiri. Dunia yang mungkin tak lagi sama dengan dunia yang ditempati Arum.

**

Di sudut kota yang lain, Rendra duduk di balik meja kantornya yang megah, menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan hiruk-pikuk kota. Ia baru kembali dari luar negeri setelah menyelesaikan pendidikannya di London dan kini tengah mengelola perusahaan keluarganya.

Namun, pikirannya tak sepenuhnya berada di tempat kerja; ada satu sosok yang mengusik hatinya sejak ia menjejakkan kaki di Indonesia.

Arum.

Nama itu terngiang di benaknya, mengingatkannya akan janji masa kecil mereka. Ia tahu, perasaannya terhadap Arum telah berubah seiring berjalannya waktu. Ia tak lagi melihat Arum sebagai sekadar teman masa kecil; ada sesuatu yang lebih kuat, sesuatu yang selama ini ia pendam.

Ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk dari sepupunya, Fajar.

Fajar: "Rendra, jangan lupa meeting keluarga malam ini. Ada yang perlu dibahas soal rencana pernikahanmu dengan Intan."

Rendra mendesah, menutup ponselnya dengan rasa berat. Pernikahan. Kata itu terlintas seperti bayangan gelap yang menggantung di atas hidupnya. Sesuatu yang tampaknya tak bisa ia hindari, meskipun hatinya tak pernah sejalan.

Sambil menghela napas, ia meraih jasnya dan beranjak keluar. Dalam benaknya, ia hanya punya satu tujuan sebelum menghadiri pertemuan keluarga malam itu.

Ia ingin bertemu Arum.

**

Ketika sore mulai merayap, Arum tengah beres-beres di ruang kelas setelah para muridnya pulang. Ia merasa sepi dan lelah, namun pada saat bersamaan, hatinya tenang. Mengajar selalu menjadi sumber kebahagiaan baginya.

“Arum.”

Suara yang ia kenal sangat baik itu membuatnya menoleh dengan cepat. Di ambang pintu, berdiri Rendra, dengan senyum yang ia kenal namun terasa lebih dewasa, lebih dalam.

“Rendra…” bisiknya, sedikit kaget namun senang. Ia terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Rendra melangkah mendekat, tatapannya hangat namun penuh makna.

"Sudah lama ya," ujar Rendra pelan, namun sorot matanya tetap tajam, seolah menelusuri wajah Arum, mencoba menemukan jejak masa lalu di balik mata lembutnya.

“Iya, sudah lama,” jawab Arum, mencoba tersenyum.

Mereka terdiam sejenak, hanya berdiri saling memandang. Waktu seakan berhenti, membiarkan keduanya terjebak dalam kenangan yang sama, dalam janji yang pernah mereka buat, dan dalam perasaan yang tak pernah benar-benar pudar.

Namun, tak lama kemudian, ponsel Rendra kembali berbunyi. Ia menghela napas, dan Arum bisa melihat keraguan di wajahnya.

“Maaf, aku harus pergi. Tapi… aku ingin bicara lagi sama kamu. Besok, mungkin?” Rendra berkata dengan nada penuh harap.

Arum mengangguk pelan. “Tentu, aku juga ingin dengar ceritamu.”

Setelah Rendra pergi, Arum hanya bisa berdiri, memandangi sosoknya yang perlahan menghilang di balik pintu kelas. Hatinya berdebar-debar, dan ia tahu, pertemuan ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.

Di dalam hati, ia bertanya-tanya: apakah ini awal dari jawaban atas kerinduan yang selama ini ia simpan?

**

Di sisi lain, Rendra berjalan menjauh dengan perasaan campur aduk. Keluarganya sudah menunggu, rencana pernikahan dengan Intan yang tak diinginkannya semakin dekat, namun bayangan Arum dan perasaan yang ia miliki untuknya terus menghantui.

Ketika ia sampai di mobilnya, ponselnya berdering lagi.

Fajar: "Jangan terlambat, Rendra. Ada hal-hal yang keluarga besar perlu kamu pahami soal masa depan kita."

Malam itu, Rendra sadar, ia berdiri di persimpangan yang tak mudah. Di satu sisi, keluarga dan tanggung jawab yang selama ini ia pikul; di sisi lain, Arum dan janji masa kecil mereka yang begitu kuat mengakar.

Satu hal yang jelas baginya: hatinya terikat oleh takdir yang belum ia pahami sepenuhnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status