"Arum, kamu belum tidur juga?"
Suara lembut Bima, kakak Arum yang tengah mengintip dari ambang pintu, membuat Arum terlonjak. Di meja kamarnya, ia tengah sibuk menata laporan bulanan sekolah tempatnya mengajar. Raut lelahnya tak bisa disembunyikan, namun senyumnya tetap ia paksakan.
"Sebentar lagi, Mas," jawabnya pelan. Tatapannya kembali tertuju pada tumpukan kertas di hadapannya, tapi pikirannya melayang.
Malam itu, Arum tak sekadar bekerja. Ia mencoba melupakan rasa rindu akan kehadiran ibunya, sosok yang selama ini menjadi poros keluarganya.
Setelah ibunya meninggal setahun lalu, beban tanggung jawab terasa semakin berat di pundaknya. Bukan hanya sebagai guru di sekolah, tapi juga sebagai penopang keluarganya, menjaga dan merawat semuanya agar tetap utuh.
Bima mengangguk pelan, meski raut khawatir tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Kamu juga perlu istirahat, Rum. Jangan sampai sakit," nasihatnya, sebelum beranjak pergi.
Setelah Bima menutup pintu kamar, Arum melepaskan napas panjang. Sesaat, ia memejamkan mata, mencoba membendung perasaan yang tak pernah ingin ia ungkapkan—rasa lelah dan kesepian yang kadang-kadang begitu menyesakkan dada.
Keesokan harinya, Arum bangun lebih pagi dari biasanya. Pagi itu cerah, dan aroma kopi memenuhi dapur rumah keluarga Cahyaningtyas yang sederhana namun hangat. Ia duduk sendiri di meja dapur, menyeruput kopi sambil memandangi bunga-bunga yang perlahan mulai bermekaran di halaman.
"Arum!" Terdengar suara ceria dari luar pagar rumah mereka. Arum menoleh dan mendapati Ratna, sahabatnya, berdiri di sana, tersenyum sambil melambaikan tangan.
“Ratna! Sudah lama nggak main ke sini,” balas Arum, berusaha terdengar ceria.
Ratna mendekat, membawa sebuah keranjang kecil berisi kue bolu yang tampak masih hangat. "Buat kamu. Aku tahu kamu pasti sibuk, jadi sekalian bawain cemilan buatmu."
Arum tersenyum hangat. Meskipun Ratna dikenal sebagai sosok pendiam, dia selalu tahu cara membuat Arum merasa dihargai.
Mereka berdua duduk di beranda, mengobrol tentang kehidupan sehari-hari, namun, di sela-sela tawa kecil mereka, Arum tak bisa sepenuhnya mengalihkan pikirannya dari kenangan tentang masa kecilnya yang sering ia habiskan bersama Ratna dan Rendra.
"Aku dengar Rendra sudah kembali dari luar negeri, ya?" tanya Ratna tiba-tiba, membuat Arum tertegun.
Arum hanya mengangguk pelan. "Iya, dia kembali beberapa hari lalu. Tapi aku belum sempat bertemu. Ah, ya, mungkin dia sibuk."
Ratna memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Arum, seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi Ratna hanya tersenyum, paham bahwa ada hal-hal yang tak perlu ia desak dari sahabatnya.
"Kalau dia sudah kembali, mungkin kalian bisa mengulang janji kalian dulu, kan?" goda Ratna setengah bercanda.
Arum tersipu, namun ia menutupi rasa hangat di pipinya dengan menyeruput kopi lebih banyak dari biasanya. "Sudahlah, Ratna. Itu kan cuma janji anak kecil. Mana mungkin kita serius soal itu."
Namun, di dalam hati Arum, ia bertanya-tanya sendiri—apakah benar janji itu hanya janji anak kecil? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar nostalgia masa kecil mereka?
Di penghujung pagi, setelah Ratna pulang, Arum berangkat menuju sekolah. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa-masa di mana ia dan Rendra masih bersama-sama di bawah sinar matahari yang terik, bermain di lapangan belakang sekolah dasar mereka.
Saat itu, mereka sering berjanji untuk selalu saling menjaga, tidak peduli seberapa jauh mereka terpisah.
Tapi sekarang, Rendra telah menjadi sosok yang berbeda. Ia sukses, berwibawa, seorang pria yang memiliki dunianya sendiri. Dunia yang mungkin tak lagi sama dengan dunia yang ditempati Arum.
**
Di sudut kota yang lain, Rendra duduk di balik meja kantornya yang megah, menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan hiruk-pikuk kota. Ia baru kembali dari luar negeri setelah menyelesaikan pendidikannya di London dan kini tengah mengelola perusahaan keluarganya.
Namun, pikirannya tak sepenuhnya berada di tempat kerja; ada satu sosok yang mengusik hatinya sejak ia menjejakkan kaki di Indonesia.
Arum.
Nama itu terngiang di benaknya, mengingatkannya akan janji masa kecil mereka. Ia tahu, perasaannya terhadap Arum telah berubah seiring berjalannya waktu. Ia tak lagi melihat Arum sebagai sekadar teman masa kecil; ada sesuatu yang lebih kuat, sesuatu yang selama ini ia pendam.
Ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk dari sepupunya, Fajar.
Fajar: "Rendra, jangan lupa meeting keluarga malam ini. Ada yang perlu dibahas soal rencana pernikahanmu dengan Intan."
Rendra mendesah, menutup ponselnya dengan rasa berat. Pernikahan. Kata itu terlintas seperti bayangan gelap yang menggantung di atas hidupnya. Sesuatu yang tampaknya tak bisa ia hindari, meskipun hatinya tak pernah sejalan.
Sambil menghela napas, ia meraih jasnya dan beranjak keluar. Dalam benaknya, ia hanya punya satu tujuan sebelum menghadiri pertemuan keluarga malam itu.
Ia ingin bertemu Arum.
**
Ketika sore mulai merayap, Arum tengah beres-beres di ruang kelas setelah para muridnya pulang. Ia merasa sepi dan lelah, namun pada saat bersamaan, hatinya tenang. Mengajar selalu menjadi sumber kebahagiaan baginya.
“Arum.”
Suara yang ia kenal sangat baik itu membuatnya menoleh dengan cepat. Di ambang pintu, berdiri Rendra, dengan senyum yang ia kenal namun terasa lebih dewasa, lebih dalam.
“Rendra…” bisiknya, sedikit kaget namun senang. Ia terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Rendra melangkah mendekat, tatapannya hangat namun penuh makna.
"Sudah lama ya," ujar Rendra pelan, namun sorot matanya tetap tajam, seolah menelusuri wajah Arum, mencoba menemukan jejak masa lalu di balik mata lembutnya.
“Iya, sudah lama,” jawab Arum, mencoba tersenyum.
Mereka terdiam sejenak, hanya berdiri saling memandang. Waktu seakan berhenti, membiarkan keduanya terjebak dalam kenangan yang sama, dalam janji yang pernah mereka buat, dan dalam perasaan yang tak pernah benar-benar pudar.
Namun, tak lama kemudian, ponsel Rendra kembali berbunyi. Ia menghela napas, dan Arum bisa melihat keraguan di wajahnya.
“Maaf, aku harus pergi. Tapi… aku ingin bicara lagi sama kamu. Besok, mungkin?” Rendra berkata dengan nada penuh harap.
Arum mengangguk pelan. “Tentu, aku juga ingin dengar ceritamu.”
Setelah Rendra pergi, Arum hanya bisa berdiri, memandangi sosoknya yang perlahan menghilang di balik pintu kelas. Hatinya berdebar-debar, dan ia tahu, pertemuan ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.
Di dalam hati, ia bertanya-tanya: apakah ini awal dari jawaban atas kerinduan yang selama ini ia simpan?
**
Di sisi lain, Rendra berjalan menjauh dengan perasaan campur aduk. Keluarganya sudah menunggu, rencana pernikahan dengan Intan yang tak diinginkannya semakin dekat, namun bayangan Arum dan perasaan yang ia miliki untuknya terus menghantui.
Ketika ia sampai di mobilnya, ponselnya berdering lagi.
Fajar: "Jangan terlambat, Rendra. Ada hal-hal yang keluarga besar perlu kamu pahami soal masa depan kita."
Malam itu, Rendra sadar, ia berdiri di persimpangan yang tak mudah. Di satu sisi, keluarga dan tanggung jawab yang selama ini ia pikul; di sisi lain, Arum dan janji masa kecil mereka yang begitu kuat mengakar.
Satu hal yang jelas baginya: hatinya terikat oleh takdir yang belum ia pahami sepenuhnya.
"Apa kau ingat tempat ini, Arum?"Arum menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut taman kota yang dipenuhi bunga-bunga dan pohon rindang. Taman ini tak banyak berubah, masih sama seperti saat mereka kecil dulu. Langit sore memberikan kilauan oranye keemasan pada daun-daun, membuat tempat ini terlihat lebih magis.Di sampingnya, Rendra duduk diam, menatap lurus ke depan, seperti sedang berusaha menangkap setiap detail yang mungkin terlewatkan.Arum tersenyum kecil. "Masih ingat. Dulu kita sering main petak umpet di sini, kan?" Ia tertawa mengingat masa-masa mereka berlari, bermain dengan ceria tanpa beban.Rendra mengangguk. “Dan kamu selalu menang. Kamu selalu tahu tempat bersembunyi yang tak pernah kutemukan.” Suaranya pelan, seperti mengenang sesuatu yang lebih dari sekadar permainan."Ah, mungkin karena aku lebih pintar," Arum menimpali sambil tertawa kecil, tapi senyum itu cepat hilang dari wajahnya ketika ia menyadari Rendra menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yan
"Rendra, jangan lupa bahwa kamu sudah punya tunangan."Pagi itu, di ruang makan besar keluarga Santoso, suara Argono terdengar tegas dan penuh penekanan. Rendra duduk di depannya dengan wajah tertekan, mencoba untuk tetap tenang. Di sampingnya, Fajar duduk dengan tangan terlipat, memperhatikan setiap gerakan sepupunya itu."Pak, aku tahu…" jawab Rendra sambil menunduk, suaranya datar. Namun dalam hatinya, pergulatan tak pernah berhenti. Semalam ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana cara ia bisa mengungkapkan isi hatinya pada keluarganya tanpa harus melukai mereka, terutama ayahnya."Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih menghindar?" Argono melanjutkan, menatap putranya dengan sorot tajam. "Sudah berapa kali kau dan Intan bertemu? Berapa kali kau mencoba mengenal dia lebih dalam? Pernikahan ini bukan hanya tentang dirimu, Rendra. Ini tentang kehormatan keluarga kita."Rendra mengepalkan tangannya di atas meja. Ada bagian dirinya yang ingin meledak, ingin berkata jujur, ingin mengungkapk
"Arum… kalau kamu harus memilih, apa kamu akan memilih keluarga atau cinta?"Suara Ratna menggema di ruangan kerja Arum sore itu. Mata Ratna menatap sahabatnya dengan penuh kekhawatiran, namun Arum tak segera menjawab. Ia hanya terdiam, membolak-balik buku catatan di meja, mencoba menghindari tatapan Ratna yang seolah menyelidiki.Mendengar pertanyaan itu, Arum menghela napas pelan. Pertanyaan itu—sesederhana dan seserius apapun—adalah pertanyaan yang menghantui dirinya sejak pertemuan terakhirnya dengan Rendra."Aku… aku belum tahu, Na," jawab Arum akhirnya, mengakui ketidakpastian yang mengusik hatinya. "Aku tahu aku punya tanggung jawab pada keluarga, apalagi setelah Mama tidak ada. Tapi…""Tapi kamu juga mencintainya, kan?" sela Ratna, suaranya pelan namun sarat makna.Arum menunduk, dan Ratna tak perlu mendengar jawabannya untuk tahu apa yang dirasakan sahabatnya. Ratna tahu lebih dari siapa pun bagaimana beratnya posisi Arum, terjebak di antara cinta dan keluarga.Namun, di dala
"Rendra, jangan pikirkan perasaanmu saja. Lihatlah gambaran yang lebih besar!"Suara Argono menggema di ruang keluarga Santoso yang megah, diiringi tatapan penuh tekanan dari sanak keluarganya yang lain. Di sekelilingnya, para sepupu, bibi, dan paman Rendra memperhatikan dengan penuh minat.Bagi mereka, keputusan Rendra tentang pernikahan ini bukanlah urusan pribadi, melainkan bisnis keluarga yang menyangkut kehormatan dan kepentingan ekonomi.Rendra hanya bisa menunduk, mencoba menahan emosi yang terus mendesak di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya terasa seperti belenggu yang semakin membatasi ruangnya untuk memilih.Tatapan Fajar yang tajam di ujung ruangan menambah tekanan, seolah mengingatkan bahwa ia tak punya pilihan.“Rendra,” kata Argono dengan suara yang lebih tenang namun tak kalah tegas, “kamu tahu bahwa keluarga Puspitasari adalah mitra bisnis yang berpengaruh. Pernikahanmu dengan Intan tidak hanya memperkuat posisi kita, tetapi juga menjamin masa d
"Aku sudah di sini, Arum."Arum membuka pintu dan melihat Rendra berdiri di sana, wajahnya serius namun ada kelembutan yang jarang ia perlihatkan. Di belakangnya, malam terasa sunyi, dan cahaya bulan menerangi wajah Rendra, membuat Arum terdiam sejenak.“Masuklah,” kata Arum dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang terasa hingga ke ujung jarinya.Rendra melangkah masuk, dan mereka duduk di ruang tamu kecil Arum yang sederhana namun nyaman. Arum bisa melihat sorot mata Rendra yang seolah menyimpan kegundahan, namun ada tekad kuat di sana."Arum," Rendra mulai, suara berat namun tenang, “Aku baru saja bicara dengan ayahku.”Arum menahan napas, menunggu dengan cemas. Ia tahu betapa sulitnya pembicaraan itu bagi Rendra, dan ia takut mendengar bahwa akhirnya Rendra harus menyerah pada tekanan keluarga.“Ayahku… dia memberiku pilihan. Pilihan yang berarti aku harus melepaskan segala yang selama ini keluargaku persiapkan untukku,” lanjut Rendra, menatap Arum dalam-dalam.“Ak
"Kau tahu, keputusan ini akan membawa banyak konsekuensi."Fajar menatap Rendra tajam di ruang tamu rumah besar keluarga Santoso, wajahnya keras tanpa menyembunyikan kemarahan yang telah ia tahan selama beberapa waktu.Rendra duduk berhadapan dengannya, matanya tajam namun tenang, seolah siap menerima apa pun yang akan disampaikan oleh sepupunya."Aku paham, Fajar," jawab Rendra pelan namun tegas. "Aku sudah memilih jalan ini, dan aku siap menanggung semua risikonya."Fajar menghela napas, menatap Rendra dengan tatapan yang sulit ditebak. "Rendra, ini bukan hanya soal dirimu. Ini soal keluarga, soal harga diri kita. Kau tahu, bukan hanya Paman yang akan merasa kecewa. Seluruh keluarga besar akan merasa dikhianati oleh keputusanmu.”Rendra hanya menatapnya, mencoba menahan rasa sakit yang terasa menghimpit di dadanya. Meski ia berusaha kuat, kata-kata Fajar tetap terasa menyayat, seperti pisau tajam yang menusuk harga dirinya.Ia tahu bahwa keputusannya untuk memperjuangkan cinta denga
“Mas, sebenarnya apa yang membuatmu begitu yakin?” Ratna memandangi Rendra dengan tatapan yang sarat emosi. Malam itu, Ratna bertemu Rendra di sebuah galeri kecil tempatnya sering menghabiskan waktu untuk melukis.Ia merasa perlu berbicara, untuk menuntaskan perasaan yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Rendra menatap Ratna, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah lembut sahabatnya. Ia selalu menghargai kehadiran Ratna dalam hidupnya—teman yang setia dan sosok yang selalu ia anggap sebagai adik.Namun ia menyadari, sejak ia memilih Arum dan memutuskan hubungan dengan keluarganya, ada jarak yang mulai terlihat di antara mereka."Ratna," ujar Rendra pelan, berusaha memilih kata dengan hati-hati, "aku tahu ini tak mudah bagi siapa pun. Tapi aku merasa inilah yang benar untukku. Hati ini tak bisa dipaksa, dan aku tak bisa hidup dalam kebohongan."Ratna tersenyum, meski senyumnya mengandung kesedihan yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia merasa sakit, tetapi ia tak bisa
"Apa kabar, Rendra?"Suara lembut dan familiar itu membuat Rendra menghentikan langkahnya di lorong kantor kecil tempat ia mulai bekerja. Rini Kartika Sari berdiri di depannya, sosok yang dulu pernah mengisi hari-harinya dan kini muncul kembali dengan senyum penuh arti.Rendra tertegun sesaat, tak menyangka akan melihat Rini di tempat ini, pada saat yang begitu tak terduga.“Rini…” bisik Rendra, masih tak percaya. “Sudah lama sekali.”Rini tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, ketika mereka masih bersama. “Memang sudah lama. Aku mendengar kau sudah keluar dari keluarga Santoso, dan aku hanya ingin tahu kabarmu.”Rendra mengangguk pelan, mencoba memahami maksud di balik kedatangan Rini. “Aku baik-baik saja, meski hidup sekarang lebih sederhana. Aku merasa lebih damai seperti ini, Rini.”Rini tersenyum tipis, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. “Aku mengerti. Namun aku berharap kesederhanaan itu membuatmu bahagia, Rendra. Karena, dari apa yang kudengar, kau melepaskan begi