"Apa kau ingat tempat ini, Arum?"
Arum menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut taman kota yang dipenuhi bunga-bunga dan pohon rindang. Taman ini tak banyak berubah, masih sama seperti saat mereka kecil dulu. Langit sore memberikan kilauan oranye keemasan pada daun-daun, membuat tempat ini terlihat lebih magis.
Di sampingnya, Rendra duduk diam, menatap lurus ke depan, seperti sedang berusaha menangkap setiap detail yang mungkin terlewatkan.
Arum tersenyum kecil. "Masih ingat. Dulu kita sering main petak umpet di sini, kan?" Ia tertawa mengingat masa-masa mereka berlari, bermain dengan ceria tanpa beban.
Rendra mengangguk. “Dan kamu selalu menang. Kamu selalu tahu tempat bersembunyi yang tak pernah kutemukan.” Suaranya pelan, seperti mengenang sesuatu yang lebih dari sekadar permainan.
"Ah, mungkin karena aku lebih pintar," Arum menimpali sambil tertawa kecil, tapi senyum itu cepat hilang dari wajahnya ketika ia menyadari Rendra menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yang lebih dalam, lebih serius.
"Arum… aku ingin bertanya sesuatu," kata Rendra akhirnya. Ia menatap mata Arum lekat-lekat, seolah mencari sesuatu di sana. Arum merasakan degup jantungnya semakin kencang.
"Apa itu, Rendra?" tanyanya, mencoba terdengar santai, meskipun dalam hatinya ada perasaan asing yang mendesak-desak.
Rendra terdiam sejenak, menghela napas, dan menundukkan pandangan. "Apakah menurutmu… janji yang kita buat dulu masih berlaku?"
Pertanyaan itu membuat Arum terdiam, terpaku. Ia tak menyangka Rendra akan membahas janji masa kecil mereka. Janji bahwa mereka akan selalu ada satu sama lain, bahwa tak peduli apa yang terjadi, mereka akan saling menjaga.
Arum menunduk, mengamati jemari tangannya yang menggenggam sudut rok. “Itu… janji masa kecil, Rendra. Mungkin kita sudah terlalu dewasa untuk terikat pada hal seperti itu.”
Rendra menghela napas panjang, menggeser posisinya agar ia lebih dekat dengan Arum. "Mungkin. Tapi bagianku… masih merasa janji itu penting." Ia menoleh, mengamati wajah Arum, berharap menemukan sesuatu di sana yang bisa meyakinkannya.
Arum mengangkat wajahnya, matanya menatap dalam ke arah Rendra. “Rendra… kamu sudah punya rencana hidupmu sendiri, kan? Apalagi sekarang keluarga kita semakin terikat, dengan keluargamu yang… yang punya rencana pernikahan.”
Mendengar itu, wajah Rendra meredup. “Iya, soal itu… Aku tak pernah merasa benar-benar siap.” Suaranya pelan, seperti tengah mengakui sesuatu yang ia tahan selama ini. “Aku tak pernah benar-benar ingin menikah dengan Intan. Bukan karena dia tak baik, tapi karena…”
Arum menahan napas, menunggu kata-kata yang tak kunjung terucap.
“Karena aku…” Rendra menggantungkan kalimatnya, mencoba memilih kata yang tepat. Namun, saat itu juga, suara ponselnya berbunyi, menghentikan kalimatnya yang hampir ia ucapkan.
Dengan berat hati, Rendra merogoh saku dan melihat nama Fajar yang tertera di layar. Ia menatap Arum sejenak, tampak menyesal, lalu mengangkat telepon tersebut. Arum bisa mendengar suara Fajar dari telepon Rendra, terdengar tegas dan mendesak.
"Rendra, kau dimana? Keluarga sudah menunggu. Ini penting, dan Ayah tidak ingin kau menunda lagi," kata Fajar dengan nada tajam, cukup keras hingga Arum bisa mendengarnya.
Rendra memejamkan mata, menghela napas, lalu menjawab, "Aku akan segera ke sana."
Ia menutup telepon, mengalihkan pandangannya ke arah Arum dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—seperti campuran antara kesedihan dan ketidakberdayaan. "Maaf, Arum. Aku harus pergi."
Arum hanya mengangguk, mencoba tersenyum meski hatinya berat. “Tak apa, Rendra. Aku mengerti. Keluarga memang yang utama.”
Mereka berdua berdiri, dan Arum merasakan keheningan di antara mereka terasa lebih tebal, lebih sarat makna. Rendra menggenggam tangannya sesaat, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan. Namun akhirnya, ia hanya berbisik, “Kita akan bicara lagi, Arum. Aku janji.”
Arum mengangguk pelan, mengamati punggung Rendra yang semakin menjauh. Saat itulah, untuk pertama kalinya, ia merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.
**
Malam itu, di kediaman keluarga Santoso, Rendra duduk di ruang tamu yang megah, dikelilingi oleh sanak keluarganya. Sang ayah, Argono, duduk di ujung meja, menatapnya dengan sorot mata penuh harap.
Di sampingnya, Fajar menatap Rendra dengan sorot yang tak kalah tajam, seolah ingin memastikan Rendra tidak akan mengecewakan keluarga.
"Rendra," kata Argono dengan suara berat, "Sudah saatnya kau mengambil keputusan. Kita sudah sepakat untuk pernikahan ini, bukan?"
Rendra menelan ludah, pandangannya menghindari tatapan tajam ayahnya. "Tapi, Pak…"
Argono mengangkat tangannya, menghentikan Rendra untuk melanjutkan kalimatnya. "Dengar, Rendra. Ini bukan soal perasaanmu. Ini soal keluarga, soal masa depan kita. Pernikahanmu dengan Intan adalah kesempatan besar untuk menguatkan posisi kita."
Di sudut lain ruangan, Intan duduk dengan tenang, pandangannya tertunduk. Meski ia tampak tenang, Arum bisa merasakan ada ketegangan di wajahnya. Ia tahu Intan tidak sepenuhnya bahagia, namun ia memilih untuk diam, membiarkan keluarga besar mengatur kehidupannya.
"Rendra, kami tak ingin ini dianggap enteng," ujar Fajar dengan nada yang lebih tegas. "Kau tahu betapa pentingnya ini bagi kita."
Rendra hanya bisa terdiam, merasa seperti terjebak dalam perangkap yang ia tak pernah ingin berada di dalamnya. Pikirannya melayang pada Arum, pada janji masa kecil yang mereka buat, dan pada perasaan yang selama ini ia pendam.
Namun, di hadapan keluarganya, ia merasa begitu kecil, begitu tak berdaya. Apakah mungkin untuk melawan kehendak keluarga? Apakah ia cukup kuat untuk melepaskan diri dari semua ini dan mengejar apa yang sebenarnya ia inginkan?
**
Sementara itu, di rumahnya, Arum duduk di depan meja belajarnya, memperhatikan foto masa kecilnya bersama Rendra. Dalam foto itu, mereka tersenyum lebar, bahagia tanpa beban. Ia merasa seperti terjebak di antara kenangan masa lalu dan realitas yang semakin menghimpit.
Pikirannya berputar pada Rendra, pada tatapan penuh makna yang ia lihat di taman tadi. Hatinya masih tak menentu, namun ia tahu bahwa rasa yang ia miliki untuk Rendra lebih dalam dari yang ia akui pada dirinya sendiri.
Namun, di balik perasaan itu, Arum sadar bahwa keluarga dan tanggung jawab yang ia emban tak mungkin ia tinggalkan begitu saja. Apalagi, ia tahu bahwa Rendra mungkin akan segera menikah dengan Intan. Itu sudah menjadi keputusan keluarganya, sesuatu yang tak bisa ia ganggu gugat.
Ketika malam semakin larut, Arum memejamkan mata, berharap bahwa mimpi-mimpinya akan memberikan sedikit ketenangan pada hatinya yang gundah.
Namun, di balik kelopak matanya, bayangan wajah Rendra tetap hadir, membuatnya semakin sulit untuk mengabaikan perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
**
Di saat yang sama, di kamarnya yang gelap, Rendra duduk di tepi tempat tidur, menatap keluar jendela. Ia tahu, di lubuk hatinya, bahwa cintanya untuk Arum tak bisa ia lepaskan begitu saja. Namun, bayangan wajah ayahnya dan tekanan dari keluarga membuatnya merasa tersudut.
“Apakah aku hanya alat dalam permainan ini?” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan malam.
Rendra sadar bahwa pilihan yang ada di hadapannya bukanlah pilihan yang mudah. Di satu sisi ada keluarga, kehormatan, dan semua tanggung jawab yang ia pikul. Di sisi lain, ada Arum, sosok yang selama ini ia cintai, yang selalu ada di hatinya.
Dan di tengah kebimbangannya itu, satu pertanyaan tetap menggelayut di benaknya: Apakah ia memiliki keberanian untuk mengejar cintanya, meski itu berarti melawan kehendak keluarganya sendiri?
Dengan pikiran yang semakin kusut, Rendra memejamkan mata, berharap ada jalan keluar yang bisa ia temukan. Namun malam semakin sunyi, dan tak ada jawaban yang datang untuknya.
"Rendra, jangan lupa bahwa kamu sudah punya tunangan."Pagi itu, di ruang makan besar keluarga Santoso, suara Argono terdengar tegas dan penuh penekanan. Rendra duduk di depannya dengan wajah tertekan, mencoba untuk tetap tenang. Di sampingnya, Fajar duduk dengan tangan terlipat, memperhatikan setiap gerakan sepupunya itu."Pak, aku tahu…" jawab Rendra sambil menunduk, suaranya datar. Namun dalam hatinya, pergulatan tak pernah berhenti. Semalam ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana cara ia bisa mengungkapkan isi hatinya pada keluarganya tanpa harus melukai mereka, terutama ayahnya."Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih menghindar?" Argono melanjutkan, menatap putranya dengan sorot tajam. "Sudah berapa kali kau dan Intan bertemu? Berapa kali kau mencoba mengenal dia lebih dalam? Pernikahan ini bukan hanya tentang dirimu, Rendra. Ini tentang kehormatan keluarga kita."Rendra mengepalkan tangannya di atas meja. Ada bagian dirinya yang ingin meledak, ingin berkata jujur, ingin mengungkapk
"Arum… kalau kamu harus memilih, apa kamu akan memilih keluarga atau cinta?"Suara Ratna menggema di ruangan kerja Arum sore itu. Mata Ratna menatap sahabatnya dengan penuh kekhawatiran, namun Arum tak segera menjawab. Ia hanya terdiam, membolak-balik buku catatan di meja, mencoba menghindari tatapan Ratna yang seolah menyelidiki.Mendengar pertanyaan itu, Arum menghela napas pelan. Pertanyaan itu—sesederhana dan seserius apapun—adalah pertanyaan yang menghantui dirinya sejak pertemuan terakhirnya dengan Rendra."Aku… aku belum tahu, Na," jawab Arum akhirnya, mengakui ketidakpastian yang mengusik hatinya. "Aku tahu aku punya tanggung jawab pada keluarga, apalagi setelah Mama tidak ada. Tapi…""Tapi kamu juga mencintainya, kan?" sela Ratna, suaranya pelan namun sarat makna.Arum menunduk, dan Ratna tak perlu mendengar jawabannya untuk tahu apa yang dirasakan sahabatnya. Ratna tahu lebih dari siapa pun bagaimana beratnya posisi Arum, terjebak di antara cinta dan keluarga.Namun, di dala
"Rendra, jangan pikirkan perasaanmu saja. Lihatlah gambaran yang lebih besar!"Suara Argono menggema di ruang keluarga Santoso yang megah, diiringi tatapan penuh tekanan dari sanak keluarganya yang lain. Di sekelilingnya, para sepupu, bibi, dan paman Rendra memperhatikan dengan penuh minat.Bagi mereka, keputusan Rendra tentang pernikahan ini bukanlah urusan pribadi, melainkan bisnis keluarga yang menyangkut kehormatan dan kepentingan ekonomi.Rendra hanya bisa menunduk, mencoba menahan emosi yang terus mendesak di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya terasa seperti belenggu yang semakin membatasi ruangnya untuk memilih.Tatapan Fajar yang tajam di ujung ruangan menambah tekanan, seolah mengingatkan bahwa ia tak punya pilihan.“Rendra,” kata Argono dengan suara yang lebih tenang namun tak kalah tegas, “kamu tahu bahwa keluarga Puspitasari adalah mitra bisnis yang berpengaruh. Pernikahanmu dengan Intan tidak hanya memperkuat posisi kita, tetapi juga menjamin masa d
"Aku sudah di sini, Arum."Arum membuka pintu dan melihat Rendra berdiri di sana, wajahnya serius namun ada kelembutan yang jarang ia perlihatkan. Di belakangnya, malam terasa sunyi, dan cahaya bulan menerangi wajah Rendra, membuat Arum terdiam sejenak.“Masuklah,” kata Arum dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang terasa hingga ke ujung jarinya.Rendra melangkah masuk, dan mereka duduk di ruang tamu kecil Arum yang sederhana namun nyaman. Arum bisa melihat sorot mata Rendra yang seolah menyimpan kegundahan, namun ada tekad kuat di sana."Arum," Rendra mulai, suara berat namun tenang, “Aku baru saja bicara dengan ayahku.”Arum menahan napas, menunggu dengan cemas. Ia tahu betapa sulitnya pembicaraan itu bagi Rendra, dan ia takut mendengar bahwa akhirnya Rendra harus menyerah pada tekanan keluarga.“Ayahku… dia memberiku pilihan. Pilihan yang berarti aku harus melepaskan segala yang selama ini keluargaku persiapkan untukku,” lanjut Rendra, menatap Arum dalam-dalam.“Ak
"Kau tahu, keputusan ini akan membawa banyak konsekuensi."Fajar menatap Rendra tajam di ruang tamu rumah besar keluarga Santoso, wajahnya keras tanpa menyembunyikan kemarahan yang telah ia tahan selama beberapa waktu.Rendra duduk berhadapan dengannya, matanya tajam namun tenang, seolah siap menerima apa pun yang akan disampaikan oleh sepupunya."Aku paham, Fajar," jawab Rendra pelan namun tegas. "Aku sudah memilih jalan ini, dan aku siap menanggung semua risikonya."Fajar menghela napas, menatap Rendra dengan tatapan yang sulit ditebak. "Rendra, ini bukan hanya soal dirimu. Ini soal keluarga, soal harga diri kita. Kau tahu, bukan hanya Paman yang akan merasa kecewa. Seluruh keluarga besar akan merasa dikhianati oleh keputusanmu.”Rendra hanya menatapnya, mencoba menahan rasa sakit yang terasa menghimpit di dadanya. Meski ia berusaha kuat, kata-kata Fajar tetap terasa menyayat, seperti pisau tajam yang menusuk harga dirinya.Ia tahu bahwa keputusannya untuk memperjuangkan cinta denga
“Mas, sebenarnya apa yang membuatmu begitu yakin?” Ratna memandangi Rendra dengan tatapan yang sarat emosi. Malam itu, Ratna bertemu Rendra di sebuah galeri kecil tempatnya sering menghabiskan waktu untuk melukis.Ia merasa perlu berbicara, untuk menuntaskan perasaan yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Rendra menatap Ratna, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah lembut sahabatnya. Ia selalu menghargai kehadiran Ratna dalam hidupnya—teman yang setia dan sosok yang selalu ia anggap sebagai adik.Namun ia menyadari, sejak ia memilih Arum dan memutuskan hubungan dengan keluarganya, ada jarak yang mulai terlihat di antara mereka."Ratna," ujar Rendra pelan, berusaha memilih kata dengan hati-hati, "aku tahu ini tak mudah bagi siapa pun. Tapi aku merasa inilah yang benar untukku. Hati ini tak bisa dipaksa, dan aku tak bisa hidup dalam kebohongan."Ratna tersenyum, meski senyumnya mengandung kesedihan yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia merasa sakit, tetapi ia tak bisa
"Apa kabar, Rendra?"Suara lembut dan familiar itu membuat Rendra menghentikan langkahnya di lorong kantor kecil tempat ia mulai bekerja. Rini Kartika Sari berdiri di depannya, sosok yang dulu pernah mengisi hari-harinya dan kini muncul kembali dengan senyum penuh arti.Rendra tertegun sesaat, tak menyangka akan melihat Rini di tempat ini, pada saat yang begitu tak terduga.“Rini…” bisik Rendra, masih tak percaya. “Sudah lama sekali.”Rini tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, ketika mereka masih bersama. “Memang sudah lama. Aku mendengar kau sudah keluar dari keluarga Santoso, dan aku hanya ingin tahu kabarmu.”Rendra mengangguk pelan, mencoba memahami maksud di balik kedatangan Rini. “Aku baik-baik saja, meski hidup sekarang lebih sederhana. Aku merasa lebih damai seperti ini, Rini.”Rini tersenyum tipis, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. “Aku mengerti. Namun aku berharap kesederhanaan itu membuatmu bahagia, Rendra. Karena, dari apa yang kudengar, kau melepaskan begi
"Kita akan baik-baik saja, kan, Rendra?"Arum memandang Rendra di seberang meja makan sederhana mereka, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar yakin. Malam itu terasa berat, ancaman dari keluarga Santoso masih menggantung di atas mereka, sebuah peringatan bahwa cinta mereka tak akan diterima dengan mudah.Namun, meski Arum merasa cemas, ada keteguhan yang terpancar dari tatapannya.Rendra mengulurkan tangan, menggenggam tangan Arum dengan lembut. “Kita pasti bisa melewati ini, Arum. Aku percaya pada cinta kita, dan aku percaya kita cukup kuat untuk melawan semua tantangan.”Arum tersenyum kecil, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran. “Aku tahu, Rendra. Tapi… aku juga tak bisa menyangkal, keluargamu punya pengaruh besar. Mereka pasti punya cara-cara yang tak kita duga.”Rendra mengangguk pelan, menyadari kebenaran dalam kata-kata Arum. Ia tahu bahwa keluarga besar Santoso memiliki jaringan dan kekuasaan yang mampu menggerakkan banyak hal. Namun ia memilih untuk tetap teguh,