Share

Bab 3 - Rahasia Keluarga Santoso

"Rendra, jangan lupa bahwa kamu sudah punya tunangan."

Pagi itu, di ruang makan besar keluarga Santoso, suara Argono terdengar tegas dan penuh penekanan. Rendra duduk di depannya dengan wajah tertekan, mencoba untuk tetap tenang. Di sampingnya, Fajar duduk dengan tangan terlipat, memperhatikan setiap gerakan sepupunya itu.

"Pak, aku tahu…" jawab Rendra sambil menunduk, suaranya datar. Namun dalam hatinya, pergulatan tak pernah berhenti. Semalam ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana cara ia bisa mengungkapkan isi hatinya pada keluarganya tanpa harus melukai mereka, terutama ayahnya.

"Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih menghindar?" Argono melanjutkan, menatap putranya dengan sorot tajam. "Sudah berapa kali kau dan Intan bertemu? Berapa kali kau mencoba mengenal dia lebih dalam? Pernikahan ini bukan hanya tentang dirimu, Rendra. Ini tentang kehormatan keluarga kita."

Rendra mengepalkan tangannya di atas meja. Ada bagian dirinya yang ingin meledak, ingin berkata jujur, ingin mengungkapkan bahwa hatinya bukan untuk Intan, melainkan untuk seseorang lain. Tapi ia tahu, bagi keluarganya, kata-kata seperti itu hanya akan dianggap tak pantas.

“Aku akan menemui Intan lagi,” katanya akhirnya, mencoba untuk menjaga suaranya tetap stabil. “Tapi beri aku waktu, Pak.”

Fajar menghela napas, menggelengkan kepala pelan. “Rendra, kamu harus paham. Pernikahan ini bukan hanya tentang kamu dan Intan. Ini adalah masa depan keluarga kita.”

**

Setelah pertemuan itu, Rendra keluar dari rumah dengan perasaan kacau. Ia tak bisa menghindari pertemuan dengan Intan lebih lama lagi. Sore itu juga, ia mengatur pertemuan dengan Intan di sebuah kafe di pusat kota. I

a tahu Intan mungkin merasa terjebak sama seperti dirinya, namun kata-kata ayahnya dan Fajar masih terngiang di benaknya, menambah beban di hatinya.

Di kafe yang nyaman dan tenang itu, Intan duduk di hadapannya, anggun seperti biasa, namun ada raut lelah di wajahnya. Mereka berdua saling memandangi dalam keheningan sesaat, seolah tak ada kata-kata yang bisa menjembatani jarak di antara mereka.

"Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidup kita nantinya, Rendra," kata Intan akhirnya, menatap kopinya yang belum tersentuh. “Setiap kali kita bertemu, aku merasa seperti dua orang asing yang dipaksa bersama hanya karena alasan yang… kita tak punya kendali atasnya.”

Rendra mendengarkan dalam diam. Ia mengangguk, setuju dengan setiap kata yang diucapkan Intan. “Aku mengerti, Intan. Kamu tahu, aku tak pernah ingin memaksakan perasaan ini pada dirimu. Jika saja ada cara untuk keluar dari ini…”

Intan tersenyum pahit, menatap Rendra dengan pandangan yang lembut namun putus asa. “Tapi kita tahu itu tak mungkin, bukan? Bagaimana dengan keluargamu? Mereka tak akan menerima jawaban selain ‘iya’ darimu.”

Rendra menghela napas panjang, merasakan beban yang semakin berat. "Mereka hanya melihat ini sebagai kesempatan untuk memperkuat ikatan keluarga, Intan. Tak ada ruang bagi… perasaan pribadi."

Intan mengangguk, matanya berkabut. “Aku tidak tahu bagaimana akhirnya. Tapi aku berharap, jika kita harus menjalani ini, setidaknya kita bisa saling menghormati.”

Rendra menatap Intan dengan tatapan penuh maaf. “Aku juga ingin yang terbaik untukmu, Intan. Meski hatiku…”

Namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Intan tersenyum kecil. “Aku mengerti, Rendra. Kau tak perlu mengatakan apapun lagi.”

Mereka berdua terdiam lagi, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pertemuan itu berakhir dengan perasaan yang menggantung, tanpa jawaban pasti dan tanpa solusi yang memadai.

**

Di sisi lain kota, Arum tengah sibuk memeriksa tugas murid-muridnya di ruang kelas yang kosong. Setiap kali ia mencoba berkonsentrasi, bayangan Rendra muncul di benaknya, mengusik ketenangannya. Janji pertemuan mereka yang belum selesai itu terus mengusik pikirannya, membuatnya merasa tak tenang.

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dan seorang pria masuk. Arum mendongak, terkejut melihat Aldi Saputra, teman lama sekaligus pengacara keluarga Santoso, yang jarang sekali muncul di sekolah. Wajahnya tampak muram, dan ia berjalan mendekat dengan langkah mantap.

"Aldi? Kenapa tiba-tiba ke sini?" tanya Arum, menatapnya dengan bingung.

Aldi tersenyum tipis, namun ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu. “Aku… ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Arum. Ini soal Rendra.”

Arum merasakan debaran di dadanya meningkat. “Ada apa dengan Rendra?”

Aldi terdiam sesaat, tampak ragu. Ia menatap Arum dengan serius, seolah tengah mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting.

“Aku tahu ini mungkin akan membuatmu terkejut, tapi… keluarga Rendra sudah merencanakan pernikahannya dengan Intan sejak lama. Dan Rendra sebenarnya tidak punya pilihan.”

Arum tertegun, merasakan ada sesuatu yang retak di dalam hatinya. Meskipun ia sudah tahu sedikit soal rencana pernikahan itu, mendengar langsung dari mulut Aldi membuat kenyataan itu semakin nyata, semakin menyakitkan.

“Kenapa kau mengatakan ini padaku, Aldi?” tanya Arum dengan suara bergetar.

Aldi menunduk, seolah merasa bersalah. “Karena aku tahu perasaanmu, Arum. Aku melihat bagaimana kamu dan Rendra dulu… aku tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara kalian.”

Arum menghela napas, menatap ke arah jendela kelas yang kini terasa semakin sempit. “Aku… aku tak bisa melakukan apa-apa, Aldi. Keluarga kami terlalu terikat dengan semua ini.”

“Aku hanya ingin kau tahu, Arum,” kata Aldi dengan nada lembut. “Bahwa terkadang, kita harus membuat keputusan yang berat untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Aku tak tahu bagaimana caranya, tapi aku harap kau tidak menyerah begitu saja.”

Arum hanya terdiam, memandang Aldi dengan pandangan penuh rasa bingung dan ragu. Kata-kata Aldi berputar di benaknya, membuat hatinya semakin galau. Ia tahu bahwa mencintai Rendra adalah hal yang sulit, namun di sisi lain, ia merasa tak bisa benar-benar melepaskan perasaannya begitu saja.

Setelah Aldi pergi, Arum duduk sendirian di kelas yang sunyi. Pikirannya melayang, memikirkan kata-kata Aldi dan segala hal yang selama ini ia simpan sendiri. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tak terkatakan, sesuatu yang harus ia lakukan, meski tak tahu apa dan bagaimana caranya.

**

Sementara itu, Rendra duduk di ruangan kantornya yang sepi, mencoba berkonsentrasi pada pekerjaannya. Namun pikirannya terus teralihkan, kembali pada pertemuannya dengan Arum di taman, tatapan lembutnya, dan kenangan masa kecil mereka.

Ia sadar bahwa perasaan itu begitu dalam, begitu kuat, namun ia juga tahu betapa rumitnya situasi mereka.

Ketukan di pintu kantornya mengalihkan perhatiannya. Ia mendongak dan mendapati Fajar berdiri di ambang pintu, dengan wajah serius.

“Kita perlu bicara, Rendra,” kata Fajar, masuk ke dalam tanpa menunggu jawaban. Ia duduk di kursi di depan meja Rendra, matanya menatap lekat.

“Apa lagi, Fajar?” Rendra bertanya dengan nada lelah.

“Aku tahu tentang Arum,” kata Fajar tanpa basa-basi. “Dan aku tahu kau menyimpan perasaan padanya.”

Rendra terkejut, menatap Fajar dengan pandangan terperangah. “Apa maksudmu?”

“Keluarga kita tak akan pernah setuju, Rendra,” kata Fajar dengan nada dingin. “Arum mungkin penting bagimu, tapi dia bukan bagian dari rencana besar keluarga kita. Kau tahu itu.”

Rendra mengepalkan tangannya, menahan emosi yang meledak-ledak dalam dirinya. “Kau tak berhak mengatakan siapa yang penting bagiku, Fajar.”

Fajar mendengus, matanya penuh dengan ketegasan. “Aku hanya ingin kau sadar, Rendra. Jangan sia-siakan waktu dengan perasaan yang tak mungkin terwujud. Arum bukan bagian dari masa depan yang kita rencanakan.”

Kata-kata Fajar meninggalkan luka yang mendalam di hati Rendra. Ia tahu bahwa Fajar benar—keluarganya tak akan pernah menerima Arum, dan perasaannya pada Arum hanya akan menjadi beban di antara mereka.

Namun, saat Fajar meninggalkan ruangan, Rendra tetap duduk, terpaku dalam diam. Ia sadar bahwa semakin lama ia menahan perasaannya, semakin besar luka yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri dan mungkin juga untuk Arum.

Di saat itu, ia tahu satu hal yang pasti: meski takdir mereka tampak terpisah, ia tak akan pernah bisa benar-benar melupakan Arum.

Malam itu, Rendra menyadari bahwa ia hanya memiliki dua pilihan—menjalani takdir yang telah ditentukan keluarganya, atau memperjuangkan perasaannya, meskipun itu berarti melawan keluarganya sendiri.

Namun di balik setiap langkah, ia tahu ada harga yang harus ia bayar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status