"Rendra, jangan lupa bahwa kamu sudah punya tunangan."
Pagi itu, di ruang makan besar keluarga Santoso, suara Argono terdengar tegas dan penuh penekanan. Rendra duduk di depannya dengan wajah tertekan, mencoba untuk tetap tenang. Di sampingnya, Fajar duduk dengan tangan terlipat, memperhatikan setiap gerakan sepupunya itu.
"Pak, aku tahu…" jawab Rendra sambil menunduk, suaranya datar. Namun dalam hatinya, pergulatan tak pernah berhenti. Semalam ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana cara ia bisa mengungkapkan isi hatinya pada keluarganya tanpa harus melukai mereka, terutama ayahnya.
"Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih menghindar?" Argono melanjutkan, menatap putranya dengan sorot tajam. "Sudah berapa kali kau dan Intan bertemu? Berapa kali kau mencoba mengenal dia lebih dalam? Pernikahan ini bukan hanya tentang dirimu, Rendra. Ini tentang kehormatan keluarga kita."
Rendra mengepalkan tangannya di atas meja. Ada bagian dirinya yang ingin meledak, ingin berkata jujur, ingin mengungkapkan bahwa hatinya bukan untuk Intan, melainkan untuk seseorang lain. Tapi ia tahu, bagi keluarganya, kata-kata seperti itu hanya akan dianggap tak pantas.
“Aku akan menemui Intan lagi,” katanya akhirnya, mencoba untuk menjaga suaranya tetap stabil. “Tapi beri aku waktu, Pak.”
Fajar menghela napas, menggelengkan kepala pelan. “Rendra, kamu harus paham. Pernikahan ini bukan hanya tentang kamu dan Intan. Ini adalah masa depan keluarga kita.”
**
Setelah pertemuan itu, Rendra keluar dari rumah dengan perasaan kacau. Ia tak bisa menghindari pertemuan dengan Intan lebih lama lagi. Sore itu juga, ia mengatur pertemuan dengan Intan di sebuah kafe di pusat kota. I
a tahu Intan mungkin merasa terjebak sama seperti dirinya, namun kata-kata ayahnya dan Fajar masih terngiang di benaknya, menambah beban di hatinya.
Di kafe yang nyaman dan tenang itu, Intan duduk di hadapannya, anggun seperti biasa, namun ada raut lelah di wajahnya. Mereka berdua saling memandangi dalam keheningan sesaat, seolah tak ada kata-kata yang bisa menjembatani jarak di antara mereka.
"Aku tak bisa membayangkan bagaimana hidup kita nantinya, Rendra," kata Intan akhirnya, menatap kopinya yang belum tersentuh. “Setiap kali kita bertemu, aku merasa seperti dua orang asing yang dipaksa bersama hanya karena alasan yang… kita tak punya kendali atasnya.”
Rendra mendengarkan dalam diam. Ia mengangguk, setuju dengan setiap kata yang diucapkan Intan. “Aku mengerti, Intan. Kamu tahu, aku tak pernah ingin memaksakan perasaan ini pada dirimu. Jika saja ada cara untuk keluar dari ini…”
Intan tersenyum pahit, menatap Rendra dengan pandangan yang lembut namun putus asa. “Tapi kita tahu itu tak mungkin, bukan? Bagaimana dengan keluargamu? Mereka tak akan menerima jawaban selain ‘iya’ darimu.”
Rendra menghela napas panjang, merasakan beban yang semakin berat. "Mereka hanya melihat ini sebagai kesempatan untuk memperkuat ikatan keluarga, Intan. Tak ada ruang bagi… perasaan pribadi."
Intan mengangguk, matanya berkabut. “Aku tidak tahu bagaimana akhirnya. Tapi aku berharap, jika kita harus menjalani ini, setidaknya kita bisa saling menghormati.”
Rendra menatap Intan dengan tatapan penuh maaf. “Aku juga ingin yang terbaik untukmu, Intan. Meski hatiku…”
Namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Intan tersenyum kecil. “Aku mengerti, Rendra. Kau tak perlu mengatakan apapun lagi.”
Mereka berdua terdiam lagi, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pertemuan itu berakhir dengan perasaan yang menggantung, tanpa jawaban pasti dan tanpa solusi yang memadai.
**
Di sisi lain kota, Arum tengah sibuk memeriksa tugas murid-muridnya di ruang kelas yang kosong. Setiap kali ia mencoba berkonsentrasi, bayangan Rendra muncul di benaknya, mengusik ketenangannya. Janji pertemuan mereka yang belum selesai itu terus mengusik pikirannya, membuatnya merasa tak tenang.
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dan seorang pria masuk. Arum mendongak, terkejut melihat Aldi Saputra, teman lama sekaligus pengacara keluarga Santoso, yang jarang sekali muncul di sekolah. Wajahnya tampak muram, dan ia berjalan mendekat dengan langkah mantap.
"Aldi? Kenapa tiba-tiba ke sini?" tanya Arum, menatapnya dengan bingung.
Aldi tersenyum tipis, namun ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum itu. “Aku… ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Arum. Ini soal Rendra.”
Arum merasakan debaran di dadanya meningkat. “Ada apa dengan Rendra?”
Aldi terdiam sesaat, tampak ragu. Ia menatap Arum dengan serius, seolah tengah mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting.
“Aku tahu ini mungkin akan membuatmu terkejut, tapi… keluarga Rendra sudah merencanakan pernikahannya dengan Intan sejak lama. Dan Rendra sebenarnya tidak punya pilihan.”
Arum tertegun, merasakan ada sesuatu yang retak di dalam hatinya. Meskipun ia sudah tahu sedikit soal rencana pernikahan itu, mendengar langsung dari mulut Aldi membuat kenyataan itu semakin nyata, semakin menyakitkan.
“Kenapa kau mengatakan ini padaku, Aldi?” tanya Arum dengan suara bergetar.
Aldi menunduk, seolah merasa bersalah. “Karena aku tahu perasaanmu, Arum. Aku melihat bagaimana kamu dan Rendra dulu… aku tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara kalian.”
Arum menghela napas, menatap ke arah jendela kelas yang kini terasa semakin sempit. “Aku… aku tak bisa melakukan apa-apa, Aldi. Keluarga kami terlalu terikat dengan semua ini.”
“Aku hanya ingin kau tahu, Arum,” kata Aldi dengan nada lembut. “Bahwa terkadang, kita harus membuat keputusan yang berat untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Aku tak tahu bagaimana caranya, tapi aku harap kau tidak menyerah begitu saja.”
Arum hanya terdiam, memandang Aldi dengan pandangan penuh rasa bingung dan ragu. Kata-kata Aldi berputar di benaknya, membuat hatinya semakin galau. Ia tahu bahwa mencintai Rendra adalah hal yang sulit, namun di sisi lain, ia merasa tak bisa benar-benar melepaskan perasaannya begitu saja.
Setelah Aldi pergi, Arum duduk sendirian di kelas yang sunyi. Pikirannya melayang, memikirkan kata-kata Aldi dan segala hal yang selama ini ia simpan sendiri. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tak terkatakan, sesuatu yang harus ia lakukan, meski tak tahu apa dan bagaimana caranya.
**
Sementara itu, Rendra duduk di ruangan kantornya yang sepi, mencoba berkonsentrasi pada pekerjaannya. Namun pikirannya terus teralihkan, kembali pada pertemuannya dengan Arum di taman, tatapan lembutnya, dan kenangan masa kecil mereka.
Ia sadar bahwa perasaan itu begitu dalam, begitu kuat, namun ia juga tahu betapa rumitnya situasi mereka.
Ketukan di pintu kantornya mengalihkan perhatiannya. Ia mendongak dan mendapati Fajar berdiri di ambang pintu, dengan wajah serius.
“Kita perlu bicara, Rendra,” kata Fajar, masuk ke dalam tanpa menunggu jawaban. Ia duduk di kursi di depan meja Rendra, matanya menatap lekat.
“Apa lagi, Fajar?” Rendra bertanya dengan nada lelah.
“Aku tahu tentang Arum,” kata Fajar tanpa basa-basi. “Dan aku tahu kau menyimpan perasaan padanya.”
Rendra terkejut, menatap Fajar dengan pandangan terperangah. “Apa maksudmu?”
“Keluarga kita tak akan pernah setuju, Rendra,” kata Fajar dengan nada dingin. “Arum mungkin penting bagimu, tapi dia bukan bagian dari rencana besar keluarga kita. Kau tahu itu.”
Rendra mengepalkan tangannya, menahan emosi yang meledak-ledak dalam dirinya. “Kau tak berhak mengatakan siapa yang penting bagiku, Fajar.”
Fajar mendengus, matanya penuh dengan ketegasan. “Aku hanya ingin kau sadar, Rendra. Jangan sia-siakan waktu dengan perasaan yang tak mungkin terwujud. Arum bukan bagian dari masa depan yang kita rencanakan.”
Kata-kata Fajar meninggalkan luka yang mendalam di hati Rendra. Ia tahu bahwa Fajar benar—keluarganya tak akan pernah menerima Arum, dan perasaannya pada Arum hanya akan menjadi beban di antara mereka.
Namun, saat Fajar meninggalkan ruangan, Rendra tetap duduk, terpaku dalam diam. Ia sadar bahwa semakin lama ia menahan perasaannya, semakin besar luka yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri dan mungkin juga untuk Arum.
Di saat itu, ia tahu satu hal yang pasti: meski takdir mereka tampak terpisah, ia tak akan pernah bisa benar-benar melupakan Arum.
Malam itu, Rendra menyadari bahwa ia hanya memiliki dua pilihan—menjalani takdir yang telah ditentukan keluarganya, atau memperjuangkan perasaannya, meskipun itu berarti melawan keluarganya sendiri.
Namun di balik setiap langkah, ia tahu ada harga yang harus ia bayar.
"Arum… kalau kamu harus memilih, apa kamu akan memilih keluarga atau cinta?"Suara Ratna menggema di ruangan kerja Arum sore itu. Mata Ratna menatap sahabatnya dengan penuh kekhawatiran, namun Arum tak segera menjawab. Ia hanya terdiam, membolak-balik buku catatan di meja, mencoba menghindari tatapan Ratna yang seolah menyelidiki.Mendengar pertanyaan itu, Arum menghela napas pelan. Pertanyaan itu—sesederhana dan seserius apapun—adalah pertanyaan yang menghantui dirinya sejak pertemuan terakhirnya dengan Rendra."Aku… aku belum tahu, Na," jawab Arum akhirnya, mengakui ketidakpastian yang mengusik hatinya. "Aku tahu aku punya tanggung jawab pada keluarga, apalagi setelah Mama tidak ada. Tapi…""Tapi kamu juga mencintainya, kan?" sela Ratna, suaranya pelan namun sarat makna.Arum menunduk, dan Ratna tak perlu mendengar jawabannya untuk tahu apa yang dirasakan sahabatnya. Ratna tahu lebih dari siapa pun bagaimana beratnya posisi Arum, terjebak di antara cinta dan keluarga.Namun, di dala
"Rendra, jangan pikirkan perasaanmu saja. Lihatlah gambaran yang lebih besar!"Suara Argono menggema di ruang keluarga Santoso yang megah, diiringi tatapan penuh tekanan dari sanak keluarganya yang lain. Di sekelilingnya, para sepupu, bibi, dan paman Rendra memperhatikan dengan penuh minat.Bagi mereka, keputusan Rendra tentang pernikahan ini bukanlah urusan pribadi, melainkan bisnis keluarga yang menyangkut kehormatan dan kepentingan ekonomi.Rendra hanya bisa menunduk, mencoba menahan emosi yang terus mendesak di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya terasa seperti belenggu yang semakin membatasi ruangnya untuk memilih.Tatapan Fajar yang tajam di ujung ruangan menambah tekanan, seolah mengingatkan bahwa ia tak punya pilihan.“Rendra,” kata Argono dengan suara yang lebih tenang namun tak kalah tegas, “kamu tahu bahwa keluarga Puspitasari adalah mitra bisnis yang berpengaruh. Pernikahanmu dengan Intan tidak hanya memperkuat posisi kita, tetapi juga menjamin masa d
"Aku sudah di sini, Arum."Arum membuka pintu dan melihat Rendra berdiri di sana, wajahnya serius namun ada kelembutan yang jarang ia perlihatkan. Di belakangnya, malam terasa sunyi, dan cahaya bulan menerangi wajah Rendra, membuat Arum terdiam sejenak.“Masuklah,” kata Arum dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang terasa hingga ke ujung jarinya.Rendra melangkah masuk, dan mereka duduk di ruang tamu kecil Arum yang sederhana namun nyaman. Arum bisa melihat sorot mata Rendra yang seolah menyimpan kegundahan, namun ada tekad kuat di sana."Arum," Rendra mulai, suara berat namun tenang, “Aku baru saja bicara dengan ayahku.”Arum menahan napas, menunggu dengan cemas. Ia tahu betapa sulitnya pembicaraan itu bagi Rendra, dan ia takut mendengar bahwa akhirnya Rendra harus menyerah pada tekanan keluarga.“Ayahku… dia memberiku pilihan. Pilihan yang berarti aku harus melepaskan segala yang selama ini keluargaku persiapkan untukku,” lanjut Rendra, menatap Arum dalam-dalam.“Ak
"Kau tahu, keputusan ini akan membawa banyak konsekuensi."Fajar menatap Rendra tajam di ruang tamu rumah besar keluarga Santoso, wajahnya keras tanpa menyembunyikan kemarahan yang telah ia tahan selama beberapa waktu.Rendra duduk berhadapan dengannya, matanya tajam namun tenang, seolah siap menerima apa pun yang akan disampaikan oleh sepupunya."Aku paham, Fajar," jawab Rendra pelan namun tegas. "Aku sudah memilih jalan ini, dan aku siap menanggung semua risikonya."Fajar menghela napas, menatap Rendra dengan tatapan yang sulit ditebak. "Rendra, ini bukan hanya soal dirimu. Ini soal keluarga, soal harga diri kita. Kau tahu, bukan hanya Paman yang akan merasa kecewa. Seluruh keluarga besar akan merasa dikhianati oleh keputusanmu.”Rendra hanya menatapnya, mencoba menahan rasa sakit yang terasa menghimpit di dadanya. Meski ia berusaha kuat, kata-kata Fajar tetap terasa menyayat, seperti pisau tajam yang menusuk harga dirinya.Ia tahu bahwa keputusannya untuk memperjuangkan cinta denga
“Mas, sebenarnya apa yang membuatmu begitu yakin?” Ratna memandangi Rendra dengan tatapan yang sarat emosi. Malam itu, Ratna bertemu Rendra di sebuah galeri kecil tempatnya sering menghabiskan waktu untuk melukis.Ia merasa perlu berbicara, untuk menuntaskan perasaan yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Rendra menatap Ratna, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah lembut sahabatnya. Ia selalu menghargai kehadiran Ratna dalam hidupnya—teman yang setia dan sosok yang selalu ia anggap sebagai adik.Namun ia menyadari, sejak ia memilih Arum dan memutuskan hubungan dengan keluarganya, ada jarak yang mulai terlihat di antara mereka."Ratna," ujar Rendra pelan, berusaha memilih kata dengan hati-hati, "aku tahu ini tak mudah bagi siapa pun. Tapi aku merasa inilah yang benar untukku. Hati ini tak bisa dipaksa, dan aku tak bisa hidup dalam kebohongan."Ratna tersenyum, meski senyumnya mengandung kesedihan yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia merasa sakit, tetapi ia tak bisa
"Apa kabar, Rendra?"Suara lembut dan familiar itu membuat Rendra menghentikan langkahnya di lorong kantor kecil tempat ia mulai bekerja. Rini Kartika Sari berdiri di depannya, sosok yang dulu pernah mengisi hari-harinya dan kini muncul kembali dengan senyum penuh arti.Rendra tertegun sesaat, tak menyangka akan melihat Rini di tempat ini, pada saat yang begitu tak terduga.“Rini…” bisik Rendra, masih tak percaya. “Sudah lama sekali.”Rini tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, ketika mereka masih bersama. “Memang sudah lama. Aku mendengar kau sudah keluar dari keluarga Santoso, dan aku hanya ingin tahu kabarmu.”Rendra mengangguk pelan, mencoba memahami maksud di balik kedatangan Rini. “Aku baik-baik saja, meski hidup sekarang lebih sederhana. Aku merasa lebih damai seperti ini, Rini.”Rini tersenyum tipis, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. “Aku mengerti. Namun aku berharap kesederhanaan itu membuatmu bahagia, Rendra. Karena, dari apa yang kudengar, kau melepaskan begi
"Kita akan baik-baik saja, kan, Rendra?"Arum memandang Rendra di seberang meja makan sederhana mereka, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar yakin. Malam itu terasa berat, ancaman dari keluarga Santoso masih menggantung di atas mereka, sebuah peringatan bahwa cinta mereka tak akan diterima dengan mudah.Namun, meski Arum merasa cemas, ada keteguhan yang terpancar dari tatapannya.Rendra mengulurkan tangan, menggenggam tangan Arum dengan lembut. “Kita pasti bisa melewati ini, Arum. Aku percaya pada cinta kita, dan aku percaya kita cukup kuat untuk melawan semua tantangan.”Arum tersenyum kecil, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran. “Aku tahu, Rendra. Tapi… aku juga tak bisa menyangkal, keluargamu punya pengaruh besar. Mereka pasti punya cara-cara yang tak kita duga.”Rendra mengangguk pelan, menyadari kebenaran dalam kata-kata Arum. Ia tahu bahwa keluarga besar Santoso memiliki jaringan dan kekuasaan yang mampu menggerakkan banyak hal. Namun ia memilih untuk tetap teguh,
"Kenapa kamu jadi sering diam, Rendra?"Arum mengaduk kopi yang sudah mulai dingin di cangkirnya, sesekali memandang pria di hadapannya yang lebih banyak termenung daripada berbicara. Udara di ruangan itu seolah kental dengan ketegangan, menggantung seperti beban yang tak kasatmata. Arum mengerutkan kening, tak mampu menyembunyikan kecemasan yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Rendra, yang duduk bersandar di sofa dengan tangan terlipat di dada, mendongak perlahan. Matanya terlihat sayu, menunjukkan kelelahan yang ia coba sembunyikan sejak awal pertemuan mereka malam ini. “Aku sedang berpikir, Arum… soal kita.” Suaranya pelan, hampir tenggelam di tengah keheningan ruangan, namun terdengar cukup jelas bagi Arum untuk merasakan kegundahan di balik kata-kata itu.Arum menarik napas dalam, seolah mencoba menyerap ketenangan yang tersisa di dirinya. Kata-kata Rendra terasa menusuk, seperti jarum halus yang perlahan menembus hati. Ia meletakkan sendok di samping cangkirnya dengan gemet