"Arum… kalau kamu harus memilih, apa kamu akan memilih keluarga atau cinta?"
Suara Ratna menggema di ruangan kerja Arum sore itu. Mata Ratna menatap sahabatnya dengan penuh kekhawatiran, namun Arum tak segera menjawab. Ia hanya terdiam, membolak-balik buku catatan di meja, mencoba menghindari tatapan Ratna yang seolah menyelidiki.
Mendengar pertanyaan itu, Arum menghela napas pelan. Pertanyaan itu—sesederhana dan seserius apapun—adalah pertanyaan yang menghantui dirinya sejak pertemuan terakhirnya dengan Rendra.
"Aku… aku belum tahu, Na," jawab Arum akhirnya, mengakui ketidakpastian yang mengusik hatinya. "Aku tahu aku punya tanggung jawab pada keluarga, apalagi setelah Mama tidak ada. Tapi…"
"Tapi kamu juga mencintainya, kan?" sela Ratna, suaranya pelan namun sarat makna.
Arum menunduk, dan Ratna tak perlu mendengar jawabannya untuk tahu apa yang dirasakan sahabatnya. Ratna tahu lebih dari siapa pun bagaimana beratnya posisi Arum, terjebak di antara cinta dan keluarga.
Namun, di dalam hatinya, Ratna menyimpan sesuatu yang tak pernah ia katakan—sesuatu yang selama ini ia jaga erat, tersembunyi di balik senyum hangat dan perhatian yang ia berikan untuk Arum.
Ratna telah mencintai Rendra sejak mereka remaja, namun ia tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Melihat Arum dan Rendra semakin dekat sejak kepulangan Rendra, membuatnya tak berdaya, seolah hatinya sendiri tersayat.
Namun Ratna selalu memilih diam, memilih berada di samping Arum tanpa membiarkan perasaannya diketahui.
Ia tak ingin membuat Arum merasa bersalah, dan terlebih lagi, ia tahu bahwa Rendra tak pernah menatapnya seperti ia menatap Arum. Baginya, cinta itu cukup ia pendam, meski menyakitkan. Ratna hanya ingin melihat sahabatnya bahagia, meski itu berarti ia harus mengorbankan perasaannya sendiri.
"Arum, kalau kamu memang mencintainya, jangan ragu untuk memperjuangkannya," kata Ratna lembut, suaranya penuh keikhlasan yang tulus. "Terkadang, memilih sesuatu yang kita inginkan itu lebih baik daripada mengorbankan semuanya untuk orang lain."
Arum menatap Ratna dengan terkejut, lalu tersenyum penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Ratna. Kamu memang selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."
**
Sementara itu, di rumah Santoso, Rendra duduk di ruang kerja yang sunyi, tatapannya kosong menatap jendela. Pikirannya melayang pada Arum, dan semakin lama ia mencoba melupakan perasaan itu, semakin kuat perasaannya mengikat.
Ia tahu bahwa keputusan untuk mempertahankan hubungannya dengan Arum bukanlah hal yang mudah, namun ia juga tahu bahwa mencintai Intan hanya demi kepentingan keluarga akan menghancurkan keduanya.
Namun, di tengah kegalauannya, tiba-tiba ponsel Rendra berbunyi. Nama Fajar tertera di layar, dan tanpa berpikir panjang, Rendra mengangkatnya.
"Rendra, kau di mana?" suara Fajar terdengar tegas. "Aku butuh bantuanmu. Ini soal Ratna."
Mendengar nama Ratna disebut, Rendra langsung merasa ada sesuatu yang tidak biasa. “Ada apa dengan Ratna?”
“Dia… dia sedang mengalami masa sulit. Kurasa kau perlu berbicara dengannya. Kamu kenal Ratna lebih lama daripada aku, mungkin dia akan lebih terbuka padamu,” kata Fajar. Meski suara Fajar terdengar biasa, ada nada khawatir yang tak bisa disembunyikan.
"Baiklah, aku akan coba bicara dengannya," kata Rendra, lalu mengakhiri panggilan. Pikirannya berputar, tak pernah menyangka bahwa Ratna mungkin juga menyimpan beban yang selama ini tak ia ketahui.
Tak lama kemudian, Rendra menghubungi Ratna dan mengajaknya bertemu. Ratna, meskipun terkejut, setuju. Mereka memilih sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang nyaman dan sepi.
**
Setelah duduk di meja kafe itu, Rendra menatap Ratna yang tampak gelisah. Meski Ratna berusaha menyembunyikan perasaannya, Rendra bisa melihat bahwa ada sesuatu yang membuat sahabatnya itu tertekan.
"Ratna, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut.
Ratna tersenyum kecil, namun senyum itu terlihat rapuh. "Aku baik-baik saja, Rendra. Terima kasih sudah mau bertemu."
Rendra hanya mengangguk, menunggu Ratna melanjutkan. Namun, Ratna tampak ragu, seolah tak tahu bagaimana harus memulai. Suasana hening, hingga akhirnya Ratna menghela napas panjang dan menatap Rendra dengan mata yang penuh keraguan.
“Aku hanya ingin kamu tahu, Rendra… bahwa kadang, ada cinta yang harus rela diam,” katanya akhirnya, suaranya bergetar. “Kadang, cinta itu cukup hanya ada di hati, tanpa harus dimiliki.”
Rendra tertegun, merasakan ada kedalaman yang tak ia mengerti dari kata-kata Ratna. Ia mendengarkan dengan seksama, namun dalam hatinya, ia merasakan kesedihan yang sulit ia jelaskan.
“Aku tahu kamu dan Arum punya perasaan yang kuat,” lanjut Ratna, meski ia berusaha keras agar suaranya tetap stabil.
“Dan meski aku ingin mendukung kalian, aku… aku tak bisa menahan perasaan ini. Bukan berarti aku ingin merusak apapun di antara kalian, tapi aku ingin kamu tahu bahwa… aku pernah mencintaimu, Rendra.”
Kata-kata itu terucap dengan pelan namun jelas. Rendra terdiam, merasakan gelombang emosi yang mendadak melingkupinya. Ia tak pernah menyangka bahwa Ratna—sahabat yang selalu ada untuknya dan Arum—menyimpan perasaan seperti itu.
Ratna menunduk, merasa malu dan gugup. Ia tak pernah berencana untuk mengungkapkan perasaannya, namun saat ini ia tahu bahwa ia perlu melepaskannya agar ia bisa benar-benar merelakan Rendra dan Arum tanpa beban.
"Ratna…" Rendra berkata pelan, mencoba mencari kata yang tepat. "Aku… aku tak pernah tahu."
Ratna tersenyum getir, mengusap matanya yang berkaca-kaca. “Aku tahu. Itu sebabnya aku selalu diam. Aku tak ingin merusak apapun di antara kita.”
Rendra merasa bersalah, tapi ia juga tak ingin membuat Ratna merasa lebih terluka. Ia menatapnya dengan lembut, berusaha memahami bagaimana beratnya menyimpan perasaan seperti itu.
“Terima kasih sudah memberitahuku, Ratna,” kata Rendra dengan penuh ketulusan. “Aku sangat menghargai kejujuranmu. Dan aku… aku sangat menghargai dirimu sebagai sahabat yang selalu ada.”
Ratna tersenyum kecil, mencoba menahan air matanya. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Rendra. Jika bersama Arum bisa membuatmu bahagia, aku… aku akan mendukungmu.”
Keduanya terdiam, membiarkan perasaan itu mengalir di antara mereka tanpa kata. Bagi Ratna, pertemuan ini adalah langkah terakhir untuk benar-benar melepaskan perasaannya. Ia tahu bahwa Rendra mencintai Arum, dan meski hatinya terluka, ia ingin sahabatnya bahagia.
**
Setelah pertemuan itu, Ratna pulang dengan hati yang lebih ringan. Ia telah mengucapkan sesuatu yang selama ini ia simpan sendiri, dan meskipun rasa sakitnya belum sepenuhnya hilang, ia merasa lebih ikhlas.
Ratna tahu bahwa cinta tak harus memiliki, dan ia memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan menerima kenyataan itu.
Di malam yang sunyi itu, Ratna duduk di kamarnya yang penuh dengan lukisan dan kain-kain batik yang ia buat sendiri. Ia mengambil kuas dan mulai melukis, menuangkan perasaannya dalam sapuan warna yang lembut. Baginya, seni adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka yang ada di hatinya.
Namun, ketika ia tengah asyik melukis, pintu kamarnya diketuk. Ia membuka pintu dan menemukan kakaknya, Yudhistira, berdiri di sana, menatapnya dengan penuh perhatian.
"Kamu baik-baik saja, Ratna?" tanya Yudhistira dengan nada lembut.
Ratna tersenyum, meski ada air mata yang menetes di pipinya. “Aku baik-baik saja, Mas. Hanya… akhirnya aku bisa melepaskan sesuatu yang selama ini kutahan.”
Yudhistira mengangguk, lalu merangkul adiknya dengan penuh kasih. “Kamu kuat, Ratna. Apa pun yang kamu pilih, aku akan selalu ada untukmu.”
Di dalam pelukan kakaknya, Ratna merasa ada kehangatan yang ia butuhkan, sebuah dukungan yang membuatnya merasa tak sendirian. Ia tahu, meski hatinya terluka, ia memiliki keluarga dan teman-teman yang peduli padanya.
**
Di tempat lain, Rendra duduk di kamarnya, memikirkan pertemuannya dengan Ratna. Ia merasa bersalah sekaligus berterima kasih pada Ratna. Ia sadar bahwa Ratna adalah sosok yang begitu tulus dan berani, yang rela melepaskan perasaannya demi melihat kebahagiaan orang lain.
Namun, di tengah perasaan itu, Rendra tahu bahwa ia juga harus segera membuat keputusan—apakah ia akan tetap melanjutkan rencana pernikahannya dengan Intan, ataukah ia akan memperjuangkan cintanya pada Arum.
Dan di saat itulah, Rendra menyadari bahwa waktu untuk mengambil keputusan itu semakin dekat. Di tengah perasaan yang campur aduk, ia tahu bahwa hidupnya akan berubah tak lama lagi.
Dan keputusan yang ia ambil akan menentukan jalan hidupnya—dan juga hidup orang-orang yang ia cintai.
"Rendra, jangan pikirkan perasaanmu saja. Lihatlah gambaran yang lebih besar!"Suara Argono menggema di ruang keluarga Santoso yang megah, diiringi tatapan penuh tekanan dari sanak keluarganya yang lain. Di sekelilingnya, para sepupu, bibi, dan paman Rendra memperhatikan dengan penuh minat.Bagi mereka, keputusan Rendra tentang pernikahan ini bukanlah urusan pribadi, melainkan bisnis keluarga yang menyangkut kehormatan dan kepentingan ekonomi.Rendra hanya bisa menunduk, mencoba menahan emosi yang terus mendesak di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya terasa seperti belenggu yang semakin membatasi ruangnya untuk memilih.Tatapan Fajar yang tajam di ujung ruangan menambah tekanan, seolah mengingatkan bahwa ia tak punya pilihan.“Rendra,” kata Argono dengan suara yang lebih tenang namun tak kalah tegas, “kamu tahu bahwa keluarga Puspitasari adalah mitra bisnis yang berpengaruh. Pernikahanmu dengan Intan tidak hanya memperkuat posisi kita, tetapi juga menjamin masa d
"Aku sudah di sini, Arum."Arum membuka pintu dan melihat Rendra berdiri di sana, wajahnya serius namun ada kelembutan yang jarang ia perlihatkan. Di belakangnya, malam terasa sunyi, dan cahaya bulan menerangi wajah Rendra, membuat Arum terdiam sejenak.“Masuklah,” kata Arum dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang terasa hingga ke ujung jarinya.Rendra melangkah masuk, dan mereka duduk di ruang tamu kecil Arum yang sederhana namun nyaman. Arum bisa melihat sorot mata Rendra yang seolah menyimpan kegundahan, namun ada tekad kuat di sana."Arum," Rendra mulai, suara berat namun tenang, “Aku baru saja bicara dengan ayahku.”Arum menahan napas, menunggu dengan cemas. Ia tahu betapa sulitnya pembicaraan itu bagi Rendra, dan ia takut mendengar bahwa akhirnya Rendra harus menyerah pada tekanan keluarga.“Ayahku… dia memberiku pilihan. Pilihan yang berarti aku harus melepaskan segala yang selama ini keluargaku persiapkan untukku,” lanjut Rendra, menatap Arum dalam-dalam.“Ak
"Kau tahu, keputusan ini akan membawa banyak konsekuensi."Fajar menatap Rendra tajam di ruang tamu rumah besar keluarga Santoso, wajahnya keras tanpa menyembunyikan kemarahan yang telah ia tahan selama beberapa waktu.Rendra duduk berhadapan dengannya, matanya tajam namun tenang, seolah siap menerima apa pun yang akan disampaikan oleh sepupunya."Aku paham, Fajar," jawab Rendra pelan namun tegas. "Aku sudah memilih jalan ini, dan aku siap menanggung semua risikonya."Fajar menghela napas, menatap Rendra dengan tatapan yang sulit ditebak. "Rendra, ini bukan hanya soal dirimu. Ini soal keluarga, soal harga diri kita. Kau tahu, bukan hanya Paman yang akan merasa kecewa. Seluruh keluarga besar akan merasa dikhianati oleh keputusanmu.”Rendra hanya menatapnya, mencoba menahan rasa sakit yang terasa menghimpit di dadanya. Meski ia berusaha kuat, kata-kata Fajar tetap terasa menyayat, seperti pisau tajam yang menusuk harga dirinya.Ia tahu bahwa keputusannya untuk memperjuangkan cinta denga
“Mas, sebenarnya apa yang membuatmu begitu yakin?” Ratna memandangi Rendra dengan tatapan yang sarat emosi. Malam itu, Ratna bertemu Rendra di sebuah galeri kecil tempatnya sering menghabiskan waktu untuk melukis.Ia merasa perlu berbicara, untuk menuntaskan perasaan yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Rendra menatap Ratna, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah lembut sahabatnya. Ia selalu menghargai kehadiran Ratna dalam hidupnya—teman yang setia dan sosok yang selalu ia anggap sebagai adik.Namun ia menyadari, sejak ia memilih Arum dan memutuskan hubungan dengan keluarganya, ada jarak yang mulai terlihat di antara mereka."Ratna," ujar Rendra pelan, berusaha memilih kata dengan hati-hati, "aku tahu ini tak mudah bagi siapa pun. Tapi aku merasa inilah yang benar untukku. Hati ini tak bisa dipaksa, dan aku tak bisa hidup dalam kebohongan."Ratna tersenyum, meski senyumnya mengandung kesedihan yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia merasa sakit, tetapi ia tak bisa
"Apa kabar, Rendra?"Suara lembut dan familiar itu membuat Rendra menghentikan langkahnya di lorong kantor kecil tempat ia mulai bekerja. Rini Kartika Sari berdiri di depannya, sosok yang dulu pernah mengisi hari-harinya dan kini muncul kembali dengan senyum penuh arti.Rendra tertegun sesaat, tak menyangka akan melihat Rini di tempat ini, pada saat yang begitu tak terduga.“Rini…” bisik Rendra, masih tak percaya. “Sudah lama sekali.”Rini tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, ketika mereka masih bersama. “Memang sudah lama. Aku mendengar kau sudah keluar dari keluarga Santoso, dan aku hanya ingin tahu kabarmu.”Rendra mengangguk pelan, mencoba memahami maksud di balik kedatangan Rini. “Aku baik-baik saja, meski hidup sekarang lebih sederhana. Aku merasa lebih damai seperti ini, Rini.”Rini tersenyum tipis, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. “Aku mengerti. Namun aku berharap kesederhanaan itu membuatmu bahagia, Rendra. Karena, dari apa yang kudengar, kau melepaskan begi
"Kita akan baik-baik saja, kan, Rendra?"Arum memandang Rendra di seberang meja makan sederhana mereka, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar yakin. Malam itu terasa berat, ancaman dari keluarga Santoso masih menggantung di atas mereka, sebuah peringatan bahwa cinta mereka tak akan diterima dengan mudah.Namun, meski Arum merasa cemas, ada keteguhan yang terpancar dari tatapannya.Rendra mengulurkan tangan, menggenggam tangan Arum dengan lembut. “Kita pasti bisa melewati ini, Arum. Aku percaya pada cinta kita, dan aku percaya kita cukup kuat untuk melawan semua tantangan.”Arum tersenyum kecil, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran. “Aku tahu, Rendra. Tapi… aku juga tak bisa menyangkal, keluargamu punya pengaruh besar. Mereka pasti punya cara-cara yang tak kita duga.”Rendra mengangguk pelan, menyadari kebenaran dalam kata-kata Arum. Ia tahu bahwa keluarga besar Santoso memiliki jaringan dan kekuasaan yang mampu menggerakkan banyak hal. Namun ia memilih untuk tetap teguh,
"Kenapa kamu jadi sering diam, Rendra?"Arum mengaduk kopi yang sudah mulai dingin di cangkirnya, sesekali memandang pria di hadapannya yang lebih banyak termenung daripada berbicara. Udara di ruangan itu seolah kental dengan ketegangan, menggantung seperti beban yang tak kasatmata. Arum mengerutkan kening, tak mampu menyembunyikan kecemasan yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Rendra, yang duduk bersandar di sofa dengan tangan terlipat di dada, mendongak perlahan. Matanya terlihat sayu, menunjukkan kelelahan yang ia coba sembunyikan sejak awal pertemuan mereka malam ini. “Aku sedang berpikir, Arum… soal kita.” Suaranya pelan, hampir tenggelam di tengah keheningan ruangan, namun terdengar cukup jelas bagi Arum untuk merasakan kegundahan di balik kata-kata itu.Arum menarik napas dalam, seolah mencoba menyerap ketenangan yang tersisa di dirinya. Kata-kata Rendra terasa menusuk, seperti jarum halus yang perlahan menembus hati. Ia meletakkan sendok di samping cangkirnya dengan gemet
“Arum? Kamu di sini juga?”Arum menoleh, terkejut mendengar suara yang familier. Ia baru saja memasuki aula besar hotel mewah tempat acara amal itu diadakan, merasa canggung di antara tamu-tamu berpakaian glamor dan elegan. Senyum kecil muncul di wajahnya saat ia melihat Arga berdiri di sana, tampak berwibawa dengan jas hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya disisir rapi, dan tatapannya hangat seperti biasa."Arga," sapa Arum sambil tersenyum lelah. "Iya, aku diundang salah satu rekan kerjaku. Awalnya sempat ragu datang."Arga tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. “Kamu memang bukan tipe yang suka acara formal begini, ya?” godanya sambil menatap Arum yang mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua, yang meskipun sederhana tetap menonjolkan pesonanya yang anggun dan alami.“Aku merasa seperti ikan kecil yang tersesat di laut luas,” ujar Arum sambil terkekeh, mencoba mencairkan suasana. Namun, di balik senyumnya, ada bayangan lelah dan kesedihan yang tak mampu ia sembunyi