"Rendra, jangan pikirkan perasaanmu saja. Lihatlah gambaran yang lebih besar!"
Suara Argono menggema di ruang keluarga Santoso yang megah, diiringi tatapan penuh tekanan dari sanak keluarganya yang lain. Di sekelilingnya, para sepupu, bibi, dan paman Rendra memperhatikan dengan penuh minat.
Bagi mereka, keputusan Rendra tentang pernikahan ini bukanlah urusan pribadi, melainkan bisnis keluarga yang menyangkut kehormatan dan kepentingan ekonomi.
Rendra hanya bisa menunduk, mencoba menahan emosi yang terus mendesak di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya terasa seperti belenggu yang semakin membatasi ruangnya untuk memilih.
Tatapan Fajar yang tajam di ujung ruangan menambah tekanan, seolah mengingatkan bahwa ia tak punya pilihan.
“Rendra,” kata Argono dengan suara yang lebih tenang namun tak kalah tegas, “kamu tahu bahwa keluarga Puspitasari adalah mitra bisnis yang berpengaruh. Pernikahanmu dengan Intan tidak hanya memperkuat posisi kita, tetapi juga menjamin masa depan yang lebih baik.”
Rendra menghela napas dalam, mencoba mencari kata-kata yang bisa mengungkapkan keberatannya tanpa menimbulkan pertentangan lebih jauh. “Pak, aku mengerti pentingnya aliansi bisnis ini, tapi… apakah ini satu-satunya jalan?”
“Kamu tahu ini bukan hanya tentang bisnis,” sela Fajar. “Ini juga soal kehormatan keluarga kita, Rendra. Jangan egois.”
Rendra menoleh, menatap sepupunya yang selama ini tak pernah henti mempengaruhi keputusan keluarga. “Aku hanya ingin memastikan aku bisa memilih jalan hidupku sendiri, Fajar. Bukankah kita berhak untuk itu?”
Fajar tersenyum sinis, lalu menatapnya dengan tajam. “Ketika kau lahir sebagai bagian dari keluarga Santoso, kau harus tahu bahwa pilihanmu akan selalu mempertimbangkan kepentingan keluarga. Kau adalah pewaris keluarga ini, Rendra. Jangan membuat keputusan yang akan mengecewakan kita semua.”
Rendra menahan napas, merasa terpojok. Setiap kata yang diucapkan Fajar adalah pengingat bahwa ia tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri. Setiap keputusan yang ia buat membawa dampak besar bagi keluarga besar Santoso.
Namun, hatinya masih tertambat pada Arum, janji masa kecil mereka, dan cinta yang ia tahu tak akan pernah bisa ia tinggalkan begitu saja.
Dalam kebisuan yang penuh tekanan itu, ponselnya bergetar. Ia mengambilnya, dan sebuah pesan muncul di layarnya—dari Intan.
Intan: “Rendra, bisakah kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan.”
Rendra terdiam sesaat, lalu menjawab dengan cepat, setuju untuk bertemu. Barangkali, Intan juga merasakan tekanan yang sama. Barangkali, ia juga merasa tak memiliki kendali atas hidupnya.
**
Sore itu, Rendra bertemu Intan di sebuah taman kecil yang sepi. Mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang, membiarkan angin sore menyapu wajah mereka. Tak ada yang berbicara selama beberapa saat, hingga akhirnya Intan memecah keheningan.
"Rendra, aku… aku tak ingin kita melanjutkan ini," kata Intan, suaranya bergetar. Wajahnya tampak penuh kegelisahan, namun ada keberanian yang terpancar dalam tatapannya.
Rendra terkejut, meskipun bagian dirinya merasa lega mendengar itu. "Intan… maksudmu, kamu juga merasa ini tak seharusnya diteruskan?"
Intan mengangguk, menatap Rendra dengan mata yang penuh kesedihan. “Aku tahu ini tak mudah, Rendra. Dan aku tahu pernikahan ini bukan keinginanmu, sama seperti ini bukan keinginanku. Aku ingin hidup yang lebih dari sekadar bisnis keluarga.”
Rendra merasakan kelegaan yang sulit ia ungkapkan. Selama ini, ia merasa bersalah karena tak bisa memberikan perasaannya secara tulus pada Intan. Namun, mengetahui bahwa Intan juga merasa terjebak membuatnya merasa lebih terbebas.
“Kita perlu berbicara pada keluarga, Intan. Tentang ini. Mungkin ada cara untuk… melepaskan diri dari rencana ini,” kata Rendra, menatap Intan dengan penuh harapan.
Namun Intan tersenyum pahit, menunduk sejenak sebelum menjawab. “Kau tahu mereka tak akan menerima begitu saja, Rendra. Ayahku, keluargamu… mereka sudah membuat rencana ini terlalu lama.”
Rendra terdiam, merasakan ketidakberdayaan yang selama ini menghantuinya kembali menyerang. Ia tahu, keluarga mereka melihat pernikahan ini sebagai langkah strategis yang tak bisa diubah begitu saja. Setiap penolakan akan membawa konsekuensi.
“Rendra,” Intan melanjutkan, suaranya penuh dengan ketegaran yang tak ia duga. “Aku sudah siap menanggung konsekuensinya. Aku akan bicara dengan keluargaku. Kamu juga harus bicara dengan ayahmu.”
Mendengar itu, Rendra merasa dorongan untuk melakukan hal yang sama. Ia tak ingin hidup dalam bayang-bayang keputusan orang lain, tak ingin melepaskan Arum hanya karena aturan yang tak pernah ia setujui. Untuk pertama kalinya, ia merasa menemukan keberanian untuk melawan.
**
Malam itu, Rendra memutuskan untuk menghadapi ayahnya. Dengan langkah mantap, ia masuk ke ruang kerja Argono, yang tampak terkejut melihat kedatangan putranya dengan ekspresi tegas dan berani.
“Ada apa, Rendra?” tanya Argono, mengangkat alis.
Rendra menarik napas dalam, menenangkan dirinya. “Pak, aku… aku tak ingin melanjutkan rencana pernikahan dengan Intan.”
Argono menatap Rendra dengan tatapan yang sulit ditebak, lalu tertawa kecil, seolah tak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Rendra, ini bukan keputusan yang bisa kau buat begitu saja. Kau tahu betapa pentingnya ini.”
“Aku tahu, Pak. Tapi aku juga tahu bahwa aku tak bisa hidup dengan kebohongan. Aku tak bisa menikahi seseorang hanya karena itu baik untuk bisnis keluarga. Aku ingin hidup yang berbeda,” kata Rendra dengan tegas, tatapannya penuh dengan keteguhan hati.
Wajah Argono berubah, ekspresi kebanggaannya berganti dengan kekecewaan yang dalam. “Apakah ini karena gadis itu? Arum?”
Rendra tertegun, tak menyangka ayahnya bisa mengetahui perasaannya dengan begitu jelas. Namun, ia memilih untuk jujur. “Ya, Pak. Aku mencintainya. Dan aku tak bisa mengabaikan perasaanku hanya untuk menjalani hidup yang tak pernah kuinginkan.”
Argono menatap Rendra dalam-dalam, matanya memancarkan kemarahan sekaligus rasa tak percaya. “Rendra, kau tahu apa artinya ini bagi keluarga kita? Kau tahu berapa banyak yang sudah kami persiapkan untuk masa depanmu?”
Rendra menelan ludah, berusaha menahan emosi. “Aku tahu, Pak. Tapi aku tak bisa hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Aku ingin hidup dengan cinta, bukan dengan rasa hampa.”
Kata-kata Rendra menggema di ruang kerja itu, membawa keheningan yang berat. Argono terdiam, menatap putranya dengan sorot penuh kekecewaan. Bagi Argono, kata-kata Rendra adalah tanda pembangkangan, sebuah ancaman bagi kehormatan keluarga yang selama ini ia banggakan.
“Baik,” kata Argono akhirnya, suaranya rendah namun dingin. “Kalau itu yang kau inginkan, aku takkan menghalangimu. Tapi ingat ini, Rendra. Jika kau memilih hidup di luar kehendak keluarga, kau akan kehilangan segala yang telah kami berikan.”
Rendra terdiam, merasakan kata-kata itu menohok hatinya. Ia tahu bahwa pilihan ini tidak akan mudah, dan konsekuensinya akan berat. Namun, ia juga tahu bahwa untuk hidup yang diinginkannya, ia harus berani menghadapi segalanya.
“Terima kasih, Pak,” katanya pelan, sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Langkahnya mantap, namun dalam hati ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjuangannya.
**
Di rumahnya, Arum menunggu kabar dari Rendra dengan hati yang gelisah. Mereka sempat bertukar pesan sebelumnya, dan Rendra mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan keluarganya. Arum tahu bahwa keputusan ini tidak akan mudah bagi Rendra, dan hatinya penuh kekhawatiran.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menandakan pesan masuk. Ia meraihnya dengan cepat, dan sebuah pesan dari Rendra muncul di layar.
Rendra: “Arum, aku telah bicara dengan ayahku. Aku akan datang malam ini. Aku punya keputusan untuk kita.”
Arum menatap pesan itu dengan perasaan tak menentu, perasaannya bercampur antara cemas dan harap. Ia tak tahu apa yang akan terjadi, namun ia tahu bahwa malam ini akan menjadi penentu jalan hidup mereka.
Di luar jendela, malam perlahan turun, membawa keheningan yang mendalam. Di dalam hatinya, Arum berharap bahwa cinta yang ia miliki akan cukup kuat untuk melawan semua rintangan yang akan mereka hadapi.
Namun, dalam kegelisahan itu, ada sesuatu yang ia sadari dengan pasti—bahwa perasaannya pada Rendra adalah sesuatu yang tak pernah bisa ia lepaskan, tak peduli seberapa sulit jalannya.
Dan malam itu, dengan hati yang penuh harapan dan ketakutan, ia menunggu kedatangan Rendra, menunggu jawaban atas cinta yang selama ini terikat oleh takdir yang tak terduga.
"Aku sudah di sini, Arum."Arum membuka pintu dan melihat Rendra berdiri di sana, wajahnya serius namun ada kelembutan yang jarang ia perlihatkan. Di belakangnya, malam terasa sunyi, dan cahaya bulan menerangi wajah Rendra, membuat Arum terdiam sejenak.“Masuklah,” kata Arum dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang terasa hingga ke ujung jarinya.Rendra melangkah masuk, dan mereka duduk di ruang tamu kecil Arum yang sederhana namun nyaman. Arum bisa melihat sorot mata Rendra yang seolah menyimpan kegundahan, namun ada tekad kuat di sana."Arum," Rendra mulai, suara berat namun tenang, “Aku baru saja bicara dengan ayahku.”Arum menahan napas, menunggu dengan cemas. Ia tahu betapa sulitnya pembicaraan itu bagi Rendra, dan ia takut mendengar bahwa akhirnya Rendra harus menyerah pada tekanan keluarga.“Ayahku… dia memberiku pilihan. Pilihan yang berarti aku harus melepaskan segala yang selama ini keluargaku persiapkan untukku,” lanjut Rendra, menatap Arum dalam-dalam.“Ak
"Kau tahu, keputusan ini akan membawa banyak konsekuensi."Fajar menatap Rendra tajam di ruang tamu rumah besar keluarga Santoso, wajahnya keras tanpa menyembunyikan kemarahan yang telah ia tahan selama beberapa waktu.Rendra duduk berhadapan dengannya, matanya tajam namun tenang, seolah siap menerima apa pun yang akan disampaikan oleh sepupunya."Aku paham, Fajar," jawab Rendra pelan namun tegas. "Aku sudah memilih jalan ini, dan aku siap menanggung semua risikonya."Fajar menghela napas, menatap Rendra dengan tatapan yang sulit ditebak. "Rendra, ini bukan hanya soal dirimu. Ini soal keluarga, soal harga diri kita. Kau tahu, bukan hanya Paman yang akan merasa kecewa. Seluruh keluarga besar akan merasa dikhianati oleh keputusanmu.”Rendra hanya menatapnya, mencoba menahan rasa sakit yang terasa menghimpit di dadanya. Meski ia berusaha kuat, kata-kata Fajar tetap terasa menyayat, seperti pisau tajam yang menusuk harga dirinya.Ia tahu bahwa keputusannya untuk memperjuangkan cinta denga
“Mas, sebenarnya apa yang membuatmu begitu yakin?” Ratna memandangi Rendra dengan tatapan yang sarat emosi. Malam itu, Ratna bertemu Rendra di sebuah galeri kecil tempatnya sering menghabiskan waktu untuk melukis.Ia merasa perlu berbicara, untuk menuntaskan perasaan yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Rendra menatap Ratna, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah lembut sahabatnya. Ia selalu menghargai kehadiran Ratna dalam hidupnya—teman yang setia dan sosok yang selalu ia anggap sebagai adik.Namun ia menyadari, sejak ia memilih Arum dan memutuskan hubungan dengan keluarganya, ada jarak yang mulai terlihat di antara mereka."Ratna," ujar Rendra pelan, berusaha memilih kata dengan hati-hati, "aku tahu ini tak mudah bagi siapa pun. Tapi aku merasa inilah yang benar untukku. Hati ini tak bisa dipaksa, dan aku tak bisa hidup dalam kebohongan."Ratna tersenyum, meski senyumnya mengandung kesedihan yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia merasa sakit, tetapi ia tak bisa
"Apa kabar, Rendra?"Suara lembut dan familiar itu membuat Rendra menghentikan langkahnya di lorong kantor kecil tempat ia mulai bekerja. Rini Kartika Sari berdiri di depannya, sosok yang dulu pernah mengisi hari-harinya dan kini muncul kembali dengan senyum penuh arti.Rendra tertegun sesaat, tak menyangka akan melihat Rini di tempat ini, pada saat yang begitu tak terduga.“Rini…” bisik Rendra, masih tak percaya. “Sudah lama sekali.”Rini tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, ketika mereka masih bersama. “Memang sudah lama. Aku mendengar kau sudah keluar dari keluarga Santoso, dan aku hanya ingin tahu kabarmu.”Rendra mengangguk pelan, mencoba memahami maksud di balik kedatangan Rini. “Aku baik-baik saja, meski hidup sekarang lebih sederhana. Aku merasa lebih damai seperti ini, Rini.”Rini tersenyum tipis, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. “Aku mengerti. Namun aku berharap kesederhanaan itu membuatmu bahagia, Rendra. Karena, dari apa yang kudengar, kau melepaskan begi
"Kita akan baik-baik saja, kan, Rendra?"Arum memandang Rendra di seberang meja makan sederhana mereka, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar yakin. Malam itu terasa berat, ancaman dari keluarga Santoso masih menggantung di atas mereka, sebuah peringatan bahwa cinta mereka tak akan diterima dengan mudah.Namun, meski Arum merasa cemas, ada keteguhan yang terpancar dari tatapannya.Rendra mengulurkan tangan, menggenggam tangan Arum dengan lembut. “Kita pasti bisa melewati ini, Arum. Aku percaya pada cinta kita, dan aku percaya kita cukup kuat untuk melawan semua tantangan.”Arum tersenyum kecil, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran. “Aku tahu, Rendra. Tapi… aku juga tak bisa menyangkal, keluargamu punya pengaruh besar. Mereka pasti punya cara-cara yang tak kita duga.”Rendra mengangguk pelan, menyadari kebenaran dalam kata-kata Arum. Ia tahu bahwa keluarga besar Santoso memiliki jaringan dan kekuasaan yang mampu menggerakkan banyak hal. Namun ia memilih untuk tetap teguh,
"Kenapa kamu jadi sering diam, Rendra?"Arum mengaduk kopi yang sudah mulai dingin di cangkirnya, sesekali memandang pria di hadapannya yang lebih banyak termenung daripada berbicara. Udara di ruangan itu seolah kental dengan ketegangan, menggantung seperti beban yang tak kasatmata. Arum mengerutkan kening, tak mampu menyembunyikan kecemasan yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Rendra, yang duduk bersandar di sofa dengan tangan terlipat di dada, mendongak perlahan. Matanya terlihat sayu, menunjukkan kelelahan yang ia coba sembunyikan sejak awal pertemuan mereka malam ini. “Aku sedang berpikir, Arum… soal kita.” Suaranya pelan, hampir tenggelam di tengah keheningan ruangan, namun terdengar cukup jelas bagi Arum untuk merasakan kegundahan di balik kata-kata itu.Arum menarik napas dalam, seolah mencoba menyerap ketenangan yang tersisa di dirinya. Kata-kata Rendra terasa menusuk, seperti jarum halus yang perlahan menembus hati. Ia meletakkan sendok di samping cangkirnya dengan gemet
“Arum? Kamu di sini juga?”Arum menoleh, terkejut mendengar suara yang familier. Ia baru saja memasuki aula besar hotel mewah tempat acara amal itu diadakan, merasa canggung di antara tamu-tamu berpakaian glamor dan elegan. Senyum kecil muncul di wajahnya saat ia melihat Arga berdiri di sana, tampak berwibawa dengan jas hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya disisir rapi, dan tatapannya hangat seperti biasa."Arga," sapa Arum sambil tersenyum lelah. "Iya, aku diundang salah satu rekan kerjaku. Awalnya sempat ragu datang."Arga tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. “Kamu memang bukan tipe yang suka acara formal begini, ya?” godanya sambil menatap Arum yang mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua, yang meskipun sederhana tetap menonjolkan pesonanya yang anggun dan alami.“Aku merasa seperti ikan kecil yang tersesat di laut luas,” ujar Arum sambil terkekeh, mencoba mencairkan suasana. Namun, di balik senyumnya, ada bayangan lelah dan kesedihan yang tak mampu ia sembunyi
"Arum, kamu belum tidur juga?"Suara lembut Bima, kakak Arum yang tengah mengintip dari ambang pintu, membuat Arum terlonjak. Di meja kamarnya, ia tengah sibuk menata laporan bulanan sekolah tempatnya mengajar. Raut lelahnya tak bisa disembunyikan, namun senyumnya tetap ia paksakan."Sebentar lagi, Mas," jawabnya pelan. Tatapannya kembali tertuju pada tumpukan kertas di hadapannya, tapi pikirannya melayang.Malam itu, Arum tak sekadar bekerja. Ia mencoba melupakan rasa rindu akan kehadiran ibunya, sosok yang selama ini menjadi poros keluarganya.Setelah ibunya meninggal setahun lalu, beban tanggung jawab terasa semakin berat di pundaknya. Bukan hanya sebagai guru di sekolah, tapi juga sebagai penopang keluarganya, menjaga dan merawat semuanya agar tetap utuh.Bima mengangguk pelan, meski raut khawatir tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Kamu juga perlu istirahat, Rum. Jangan sampai sakit," nasihatnya, sebelum beranjak pergi.Setelah Bima menutup pintu kamar, Arum melepaskan napas p