"Kau tahu, keputusan ini akan membawa banyak konsekuensi."
Fajar menatap Rendra tajam di ruang tamu rumah besar keluarga Santoso, wajahnya keras tanpa menyembunyikan kemarahan yang telah ia tahan selama beberapa waktu.
Rendra duduk berhadapan dengannya, matanya tajam namun tenang, seolah siap menerima apa pun yang akan disampaikan oleh sepupunya.
"Aku paham, Fajar," jawab Rendra pelan namun tegas. "Aku sudah memilih jalan ini, dan aku siap menanggung semua risikonya."
Fajar menghela napas, menatap Rendra dengan tatapan yang sulit ditebak. "Rendra, ini bukan hanya soal dirimu. Ini soal keluarga, soal harga diri kita. Kau tahu, bukan hanya Paman yang akan merasa kecewa. Seluruh keluarga besar akan merasa dikhianati oleh keputusanmu.”
Rendra hanya menatapnya, mencoba menahan rasa sakit yang terasa menghimpit di dadanya. Meski ia berusaha kuat, kata-kata Fajar tetap terasa menyayat, seperti pisau tajam yang menusuk harga dirinya.
Ia tahu bahwa keputusannya untuk memperjuangkan cinta dengan Arum tak akan mudah diterima oleh keluarganya, namun ia juga tahu bahwa mengikuti rencana pernikahan yang tak diinginkannya akan menghancurkan kebahagiaannya.
"Aku paham, Fajar," ulang Rendra, suaranya lebih berat. "Tapi, jika aku menyerah pada cinta hanya demi kehormatan keluarga, hidupku akan hampa. Aku tak bisa berpura-pura mencintai Intan, dan aku tak bisa menjalani hidup yang dipaksakan kepadaku."
Fajar mendengus, lalu menatap Rendra dengan tatapan tajam yang penuh dengan rasa kecewa. “Kau tak pernah benar-benar paham tanggung jawab, Rendra. Kau tak pernah menghargai semua yang telah diberikan oleh keluarga ini. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri.”
Namun, sebelum Rendra bisa membalas, Fajar mengangkat tangannya, menahannya untuk berbicara lebih lanjut. “Kau tak perlu menjawab. Aku tahu kau tak akan mengubah keputusanmu. Tapi aku hanya ingin kau ingat, bahwa pilihan ini akan memisahkanmu dari semua yang telah kau miliki.”
Rendra terdiam, meskipun hatinya memberontak, ia tahu bahwa Fajar juga tengah mempertaruhkan harga dirinya di depan seluruh keluarga. Tapi Fajar menutup percakapan itu dengan satu kalimat yang membuat Rendra terkejut.
“Aku akan bicara pada Paman,” kata Fajar. “Tapi jangan berharap aku akan mendukung keputusanmu ini.”
Rendra mengangguk, meski hatinya terasa berat. Ia tahu, apapun yang terjadi, Fajar telah memutuskan untuk menentangnya.
**
Beberapa hari kemudian, Arum menerima kabar dari Rendra yang mengatakan bahwa keputusan itu sudah resmi, dan keluarga Santoso tidak lagi mendukungnya. Bahkan, semua akses ke fasilitas keluarga telah dicabut.
Kini, Rendra menjalani hidup mandiri, dan ia siap untuk memulai segalanya dari awal demi cinta mereka.
Di sisi lain, keluarga Arum juga mulai merasa resah dengan keputusan besar yang diambil oleh putrinya. Kakaknya, Bima, yang selama ini berusaha mendukung, merasa bahwa hubungan ini terlalu berisiko bagi adiknya.
Arum mengerti kekhawatiran keluarganya, namun ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan terberat dalam hidupnya, dan ia siap menjalani segala konsekuensi bersama Rendra.
Malam itu, ketika Arum dan Rendra bertemu di taman kota yang menjadi tempat mereka berbicara sejak kepulangan Rendra, mereka duduk di bangku yang sama, merasakan kehangatan dalam kebersamaan yang begitu sederhana namun penuh makna.
“Kita akan mulai dari awal, Rendra,” kata Arum, mencoba menyemangati mereka berdua. “Kita mungkin tak punya dukungan keluarga, tapi kita punya satu sama lain.”
Rendra menggenggam tangan Arum, menatapnya dengan penuh cinta. “Aku bersyukur kamu tetap bersamaku, Arum. Kamu adalah alasan aku memiliki keberanian untuk memilih hidup ini. Bersamamu, aku merasa cukup, apa pun yang terjadi.”
Mereka berdua tersenyum, menikmati momen itu, namun di dalam hati, mereka sadar bahwa keputusan ini akan membawa mereka pada jalan yang penuh tantangan.
**
Di sisi lain, di rumah keluarga Santoso, Fajar duduk bersama Argono dan anggota keluarga lainnya. Suasana ruangan terasa tegang, dengan tatapan tajam yang ditujukan pada Fajar. Argono duduk di depan, wajahnya menunjukkan kemarahan yang belum sepenuhnya reda.
“Kita tak bisa membiarkan Rendra terus begini,” ujar Argono dengan suara berat. “Jika ia memilih untuk meninggalkan kita demi gadis itu, maka kita tak punya kewajiban lagi untuk mendukungnya.”
Fajar mengangguk, meski ada rasa tak nyaman di dalam hatinya. Ia tahu bahwa Rendra adalah sepupunya, saudara yang telah ia kenal sejak kecil. Namun, kesetiaan Fajar terhadap keluarga dan tanggung jawabnya sebagai pewaris membuatnya tak bisa sepenuhnya membela Rendra.
“Aku setuju, Paman,” jawab Fajar akhirnya. “Namun aku harap kita bisa memberinya kesempatan untuk kembali jika suatu saat ia menyadari kesalahannya.”
Argono menghela napas, raut wajahnya keras dan penuh determinasi. “Jika ia memang ingin kembali, ia harus membuktikan kesetiaannya pada keluarga ini. Tapi untuk saat ini, biarkan dia merasakan akibat dari pilihannya sendiri.”
Fajar mengangguk, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah yang terbaik bagi keluarga. Namun, di dalam hatinya, ia masih merasakan kekosongan yang tak bisa ia ungkapkan.
Fajar mungkin tak sepenuhnya setuju dengan keputusan Argono, namun sebagai bagian dari keluarga besar Santoso, ia tahu bahwa ia tak punya pilihan selain mendukungnya.
**
Waktu berlalu, dan Rendra serta Arum menjalani hidup sederhana namun bahagia. Mereka tinggal di sebuah apartemen kecil, jauh dari kemewahan yang dulu dimiliki Rendra. Meski kadang hidup terasa sulit, Rendra merasa bebas, tanpa tekanan keluarga yang mengatur setiap langkahnya.
Bagi Arum, menjalani hidup bersama Rendra adalah kebahagiaan yang tak bisa ia dapatkan dari hal lain.
Namun, di balik kebahagiaan itu, Arum masih merasakan kekhawatiran yang mendalam. Ia tahu bahwa keputusan mereka akan selalu membawa konsekuensi, dan meskipun mereka telah siap menghadapinya, Arum tetap merasa bahwa suatu saat, mereka akan diuji oleh tantangan yang lebih besar.
Suatu sore, ketika mereka tengah menikmati secangkir teh di balkon apartemen, Rendra menerima telepon yang membuatnya terdiam. Itu adalah Fajar.
“Rendra,” suara Fajar terdengar dingin di seberang telepon, “aku ingin bicara.”
Rendra terkejut, meskipun ia berusaha menjaga nada suaranya agar tetap tenang. “Fajar… ada apa?”
“Aku tahu kita telah membuat keputusan yang berbeda, tapi ini bukan berarti aku bisa melupakanmu sebagai saudara,” kata Fajar dengan nada serius.
“Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa keputusanmu ini akan selalu membawa dampak bagi kami semua. Jadi, jangan pernah menganggap ini hanya soal dirimu dan Arum saja.”
Rendra merasakan emosi campur aduk. Ia ingin menjelaskan perasaannya, namun di sisi lain, ia tahu bahwa Fajar hanya akan menganggap semua ini sebagai bentuk egoisme. “Aku mengerti, Fajar. Tapi aku juga tahu, ini adalah jalan yang harus aku ambil. Aku tak ingin menjalani hidup dengan kebohongan.”
Fajar terdiam beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan, “Jika kau memang sudah memutuskan, aku berharap kau siap untuk menanggung semua yang datang setelah ini.”
Rendra mengangguk, meskipun Fajar tak bisa melihatnya. “Aku siap, Fajar. Aku akan menjalani semua ini, dan aku tak akan menyesal.”
Fajar menutup telepon tanpa mengucapkan salam perpisahan, meninggalkan Rendra dalam keheningan yang berat. Arum, yang duduk di sampingnya, memperhatikan ekspresi di wajah Rendra yang tampak gelisah.
“Siapa yang menelepon?” tanyanya pelan.
“Fajar,” jawab Rendra, lalu menghela napas panjang. “Dia hanya ingin mengingatkan bahwa keputusan kita akan membawa dampak bagi semua orang.”
Arum menggenggam tangan Rendra, menatapnya dengan penuh kasih. “Rendra, kita telah memilih jalan ini. Dan apa pun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu.”
Rendra tersenyum, meski ia merasakan kekhawatiran yang tak bisa ia hilangkan. “Terima kasih, Arum. Kamu adalah alasan aku bisa bertahan.”
Dengan hati yang teguh, mereka menatap malam yang mulai turun, merasakan ketenangan yang mereka temukan dalam satu sama lain. Meski mereka tahu bahwa jalan di depan akan penuh tantangan, mereka memilih untuk tetap bersama, untuk memperjuangkan cinta yang telah mengikat hati mereka.
Namun di balik langit malam yang tenang, badai yang lebih besar tengah menanti mereka, sebuah ujian yang akan mengguncang segalanya—dan menguji seberapa kuat cinta mereka dalam menghadapi takdir yang begitu berat.
“Mas, sebenarnya apa yang membuatmu begitu yakin?” Ratna memandangi Rendra dengan tatapan yang sarat emosi. Malam itu, Ratna bertemu Rendra di sebuah galeri kecil tempatnya sering menghabiskan waktu untuk melukis.Ia merasa perlu berbicara, untuk menuntaskan perasaan yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Rendra menatap Ratna, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah lembut sahabatnya. Ia selalu menghargai kehadiran Ratna dalam hidupnya—teman yang setia dan sosok yang selalu ia anggap sebagai adik.Namun ia menyadari, sejak ia memilih Arum dan memutuskan hubungan dengan keluarganya, ada jarak yang mulai terlihat di antara mereka."Ratna," ujar Rendra pelan, berusaha memilih kata dengan hati-hati, "aku tahu ini tak mudah bagi siapa pun. Tapi aku merasa inilah yang benar untukku. Hati ini tak bisa dipaksa, dan aku tak bisa hidup dalam kebohongan."Ratna tersenyum, meski senyumnya mengandung kesedihan yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia merasa sakit, tetapi ia tak bisa
"Apa kabar, Rendra?"Suara lembut dan familiar itu membuat Rendra menghentikan langkahnya di lorong kantor kecil tempat ia mulai bekerja. Rini Kartika Sari berdiri di depannya, sosok yang dulu pernah mengisi hari-harinya dan kini muncul kembali dengan senyum penuh arti.Rendra tertegun sesaat, tak menyangka akan melihat Rini di tempat ini, pada saat yang begitu tak terduga.“Rini…” bisik Rendra, masih tak percaya. “Sudah lama sekali.”Rini tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, ketika mereka masih bersama. “Memang sudah lama. Aku mendengar kau sudah keluar dari keluarga Santoso, dan aku hanya ingin tahu kabarmu.”Rendra mengangguk pelan, mencoba memahami maksud di balik kedatangan Rini. “Aku baik-baik saja, meski hidup sekarang lebih sederhana. Aku merasa lebih damai seperti ini, Rini.”Rini tersenyum tipis, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. “Aku mengerti. Namun aku berharap kesederhanaan itu membuatmu bahagia, Rendra. Karena, dari apa yang kudengar, kau melepaskan begi
"Kita akan baik-baik saja, kan, Rendra?"Arum memandang Rendra di seberang meja makan sederhana mereka, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar yakin. Malam itu terasa berat, ancaman dari keluarga Santoso masih menggantung di atas mereka, sebuah peringatan bahwa cinta mereka tak akan diterima dengan mudah.Namun, meski Arum merasa cemas, ada keteguhan yang terpancar dari tatapannya.Rendra mengulurkan tangan, menggenggam tangan Arum dengan lembut. “Kita pasti bisa melewati ini, Arum. Aku percaya pada cinta kita, dan aku percaya kita cukup kuat untuk melawan semua tantangan.”Arum tersenyum kecil, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran. “Aku tahu, Rendra. Tapi… aku juga tak bisa menyangkal, keluargamu punya pengaruh besar. Mereka pasti punya cara-cara yang tak kita duga.”Rendra mengangguk pelan, menyadari kebenaran dalam kata-kata Arum. Ia tahu bahwa keluarga besar Santoso memiliki jaringan dan kekuasaan yang mampu menggerakkan banyak hal. Namun ia memilih untuk tetap teguh,
"Kenapa kamu jadi sering diam, Rendra?"Arum mengaduk kopi yang sudah mulai dingin di cangkirnya, sesekali memandang pria di hadapannya yang lebih banyak termenung daripada berbicara. Udara di ruangan itu seolah kental dengan ketegangan, menggantung seperti beban yang tak kasatmata. Arum mengerutkan kening, tak mampu menyembunyikan kecemasan yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Rendra, yang duduk bersandar di sofa dengan tangan terlipat di dada, mendongak perlahan. Matanya terlihat sayu, menunjukkan kelelahan yang ia coba sembunyikan sejak awal pertemuan mereka malam ini. “Aku sedang berpikir, Arum… soal kita.” Suaranya pelan, hampir tenggelam di tengah keheningan ruangan, namun terdengar cukup jelas bagi Arum untuk merasakan kegundahan di balik kata-kata itu.Arum menarik napas dalam, seolah mencoba menyerap ketenangan yang tersisa di dirinya. Kata-kata Rendra terasa menusuk, seperti jarum halus yang perlahan menembus hati. Ia meletakkan sendok di samping cangkirnya dengan gemet
“Arum? Kamu di sini juga?”Arum menoleh, terkejut mendengar suara yang familier. Ia baru saja memasuki aula besar hotel mewah tempat acara amal itu diadakan, merasa canggung di antara tamu-tamu berpakaian glamor dan elegan. Senyum kecil muncul di wajahnya saat ia melihat Arga berdiri di sana, tampak berwibawa dengan jas hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya disisir rapi, dan tatapannya hangat seperti biasa."Arga," sapa Arum sambil tersenyum lelah. "Iya, aku diundang salah satu rekan kerjaku. Awalnya sempat ragu datang."Arga tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. “Kamu memang bukan tipe yang suka acara formal begini, ya?” godanya sambil menatap Arum yang mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua, yang meskipun sederhana tetap menonjolkan pesonanya yang anggun dan alami.“Aku merasa seperti ikan kecil yang tersesat di laut luas,” ujar Arum sambil terkekeh, mencoba mencairkan suasana. Namun, di balik senyumnya, ada bayangan lelah dan kesedihan yang tak mampu ia sembunyi
"Arum, kamu belum tidur juga?"Suara lembut Bima, kakak Arum yang tengah mengintip dari ambang pintu, membuat Arum terlonjak. Di meja kamarnya, ia tengah sibuk menata laporan bulanan sekolah tempatnya mengajar. Raut lelahnya tak bisa disembunyikan, namun senyumnya tetap ia paksakan."Sebentar lagi, Mas," jawabnya pelan. Tatapannya kembali tertuju pada tumpukan kertas di hadapannya, tapi pikirannya melayang.Malam itu, Arum tak sekadar bekerja. Ia mencoba melupakan rasa rindu akan kehadiran ibunya, sosok yang selama ini menjadi poros keluarganya.Setelah ibunya meninggal setahun lalu, beban tanggung jawab terasa semakin berat di pundaknya. Bukan hanya sebagai guru di sekolah, tapi juga sebagai penopang keluarganya, menjaga dan merawat semuanya agar tetap utuh.Bima mengangguk pelan, meski raut khawatir tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Kamu juga perlu istirahat, Rum. Jangan sampai sakit," nasihatnya, sebelum beranjak pergi.Setelah Bima menutup pintu kamar, Arum melepaskan napas p
"Apa kau ingat tempat ini, Arum?"Arum menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut taman kota yang dipenuhi bunga-bunga dan pohon rindang. Taman ini tak banyak berubah, masih sama seperti saat mereka kecil dulu. Langit sore memberikan kilauan oranye keemasan pada daun-daun, membuat tempat ini terlihat lebih magis.Di sampingnya, Rendra duduk diam, menatap lurus ke depan, seperti sedang berusaha menangkap setiap detail yang mungkin terlewatkan.Arum tersenyum kecil. "Masih ingat. Dulu kita sering main petak umpet di sini, kan?" Ia tertawa mengingat masa-masa mereka berlari, bermain dengan ceria tanpa beban.Rendra mengangguk. “Dan kamu selalu menang. Kamu selalu tahu tempat bersembunyi yang tak pernah kutemukan.” Suaranya pelan, seperti mengenang sesuatu yang lebih dari sekadar permainan."Ah, mungkin karena aku lebih pintar," Arum menimpali sambil tertawa kecil, tapi senyum itu cepat hilang dari wajahnya ketika ia menyadari Rendra menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yan
"Rendra, jangan lupa bahwa kamu sudah punya tunangan."Pagi itu, di ruang makan besar keluarga Santoso, suara Argono terdengar tegas dan penuh penekanan. Rendra duduk di depannya dengan wajah tertekan, mencoba untuk tetap tenang. Di sampingnya, Fajar duduk dengan tangan terlipat, memperhatikan setiap gerakan sepupunya itu."Pak, aku tahu…" jawab Rendra sambil menunduk, suaranya datar. Namun dalam hatinya, pergulatan tak pernah berhenti. Semalam ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana cara ia bisa mengungkapkan isi hatinya pada keluarganya tanpa harus melukai mereka, terutama ayahnya."Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih menghindar?" Argono melanjutkan, menatap putranya dengan sorot tajam. "Sudah berapa kali kau dan Intan bertemu? Berapa kali kau mencoba mengenal dia lebih dalam? Pernikahan ini bukan hanya tentang dirimu, Rendra. Ini tentang kehormatan keluarga kita."Rendra mengepalkan tangannya di atas meja. Ada bagian dirinya yang ingin meledak, ingin berkata jujur, ingin mengungkapk