“Arum? Kamu di sini juga?”Arum menoleh, terkejut mendengar suara yang familier. Ia baru saja memasuki aula besar hotel mewah tempat acara amal itu diadakan, merasa canggung di antara tamu-tamu berpakaian glamor dan elegan. Senyum kecil muncul di wajahnya saat ia melihat Arga berdiri di sana, tampak berwibawa dengan jas hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya disisir rapi, dan tatapannya hangat seperti biasa."Arga," sapa Arum sambil tersenyum lelah. "Iya, aku diundang salah satu rekan kerjaku. Awalnya sempat ragu datang."Arga tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. “Kamu memang bukan tipe yang suka acara formal begini, ya?” godanya sambil menatap Arum yang mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua, yang meskipun sederhana tetap menonjolkan pesonanya yang anggun dan alami.“Aku merasa seperti ikan kecil yang tersesat di laut luas,” ujar Arum sambil terkekeh, mencoba mencairkan suasana. Namun, di balik senyumnya, ada bayangan lelah dan kesedihan yang tak mampu ia sembunyi
"Arum, kamu belum tidur juga?"Suara lembut Bima, kakak Arum yang tengah mengintip dari ambang pintu, membuat Arum terlonjak. Di meja kamarnya, ia tengah sibuk menata laporan bulanan sekolah tempatnya mengajar. Raut lelahnya tak bisa disembunyikan, namun senyumnya tetap ia paksakan."Sebentar lagi, Mas," jawabnya pelan. Tatapannya kembali tertuju pada tumpukan kertas di hadapannya, tapi pikirannya melayang.Malam itu, Arum tak sekadar bekerja. Ia mencoba melupakan rasa rindu akan kehadiran ibunya, sosok yang selama ini menjadi poros keluarganya.Setelah ibunya meninggal setahun lalu, beban tanggung jawab terasa semakin berat di pundaknya. Bukan hanya sebagai guru di sekolah, tapi juga sebagai penopang keluarganya, menjaga dan merawat semuanya agar tetap utuh.Bima mengangguk pelan, meski raut khawatir tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Kamu juga perlu istirahat, Rum. Jangan sampai sakit," nasihatnya, sebelum beranjak pergi.Setelah Bima menutup pintu kamar, Arum melepaskan napas p
"Apa kau ingat tempat ini, Arum?"Arum menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut taman kota yang dipenuhi bunga-bunga dan pohon rindang. Taman ini tak banyak berubah, masih sama seperti saat mereka kecil dulu. Langit sore memberikan kilauan oranye keemasan pada daun-daun, membuat tempat ini terlihat lebih magis.Di sampingnya, Rendra duduk diam, menatap lurus ke depan, seperti sedang berusaha menangkap setiap detail yang mungkin terlewatkan.Arum tersenyum kecil. "Masih ingat. Dulu kita sering main petak umpet di sini, kan?" Ia tertawa mengingat masa-masa mereka berlari, bermain dengan ceria tanpa beban.Rendra mengangguk. “Dan kamu selalu menang. Kamu selalu tahu tempat bersembunyi yang tak pernah kutemukan.” Suaranya pelan, seperti mengenang sesuatu yang lebih dari sekadar permainan."Ah, mungkin karena aku lebih pintar," Arum menimpali sambil tertawa kecil, tapi senyum itu cepat hilang dari wajahnya ketika ia menyadari Rendra menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yan
"Rendra, jangan lupa bahwa kamu sudah punya tunangan."Pagi itu, di ruang makan besar keluarga Santoso, suara Argono terdengar tegas dan penuh penekanan. Rendra duduk di depannya dengan wajah tertekan, mencoba untuk tetap tenang. Di sampingnya, Fajar duduk dengan tangan terlipat, memperhatikan setiap gerakan sepupunya itu."Pak, aku tahu…" jawab Rendra sambil menunduk, suaranya datar. Namun dalam hatinya, pergulatan tak pernah berhenti. Semalam ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana cara ia bisa mengungkapkan isi hatinya pada keluarganya tanpa harus melukai mereka, terutama ayahnya."Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih menghindar?" Argono melanjutkan, menatap putranya dengan sorot tajam. "Sudah berapa kali kau dan Intan bertemu? Berapa kali kau mencoba mengenal dia lebih dalam? Pernikahan ini bukan hanya tentang dirimu, Rendra. Ini tentang kehormatan keluarga kita."Rendra mengepalkan tangannya di atas meja. Ada bagian dirinya yang ingin meledak, ingin berkata jujur, ingin mengungkapk
"Arum… kalau kamu harus memilih, apa kamu akan memilih keluarga atau cinta?"Suara Ratna menggema di ruangan kerja Arum sore itu. Mata Ratna menatap sahabatnya dengan penuh kekhawatiran, namun Arum tak segera menjawab. Ia hanya terdiam, membolak-balik buku catatan di meja, mencoba menghindari tatapan Ratna yang seolah menyelidiki.Mendengar pertanyaan itu, Arum menghela napas pelan. Pertanyaan itu—sesederhana dan seserius apapun—adalah pertanyaan yang menghantui dirinya sejak pertemuan terakhirnya dengan Rendra."Aku… aku belum tahu, Na," jawab Arum akhirnya, mengakui ketidakpastian yang mengusik hatinya. "Aku tahu aku punya tanggung jawab pada keluarga, apalagi setelah Mama tidak ada. Tapi…""Tapi kamu juga mencintainya, kan?" sela Ratna, suaranya pelan namun sarat makna.Arum menunduk, dan Ratna tak perlu mendengar jawabannya untuk tahu apa yang dirasakan sahabatnya. Ratna tahu lebih dari siapa pun bagaimana beratnya posisi Arum, terjebak di antara cinta dan keluarga.Namun, di dala
"Rendra, jangan pikirkan perasaanmu saja. Lihatlah gambaran yang lebih besar!"Suara Argono menggema di ruang keluarga Santoso yang megah, diiringi tatapan penuh tekanan dari sanak keluarganya yang lain. Di sekelilingnya, para sepupu, bibi, dan paman Rendra memperhatikan dengan penuh minat.Bagi mereka, keputusan Rendra tentang pernikahan ini bukanlah urusan pribadi, melainkan bisnis keluarga yang menyangkut kehormatan dan kepentingan ekonomi.Rendra hanya bisa menunduk, mencoba menahan emosi yang terus mendesak di dalam dirinya. Setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya terasa seperti belenggu yang semakin membatasi ruangnya untuk memilih.Tatapan Fajar yang tajam di ujung ruangan menambah tekanan, seolah mengingatkan bahwa ia tak punya pilihan.“Rendra,” kata Argono dengan suara yang lebih tenang namun tak kalah tegas, “kamu tahu bahwa keluarga Puspitasari adalah mitra bisnis yang berpengaruh. Pernikahanmu dengan Intan tidak hanya memperkuat posisi kita, tetapi juga menjamin masa d
"Aku sudah di sini, Arum."Arum membuka pintu dan melihat Rendra berdiri di sana, wajahnya serius namun ada kelembutan yang jarang ia perlihatkan. Di belakangnya, malam terasa sunyi, dan cahaya bulan menerangi wajah Rendra, membuat Arum terdiam sejenak.“Masuklah,” kata Arum dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang terasa hingga ke ujung jarinya.Rendra melangkah masuk, dan mereka duduk di ruang tamu kecil Arum yang sederhana namun nyaman. Arum bisa melihat sorot mata Rendra yang seolah menyimpan kegundahan, namun ada tekad kuat di sana."Arum," Rendra mulai, suara berat namun tenang, “Aku baru saja bicara dengan ayahku.”Arum menahan napas, menunggu dengan cemas. Ia tahu betapa sulitnya pembicaraan itu bagi Rendra, dan ia takut mendengar bahwa akhirnya Rendra harus menyerah pada tekanan keluarga.“Ayahku… dia memberiku pilihan. Pilihan yang berarti aku harus melepaskan segala yang selama ini keluargaku persiapkan untukku,” lanjut Rendra, menatap Arum dalam-dalam.“Ak
"Kau tahu, keputusan ini akan membawa banyak konsekuensi."Fajar menatap Rendra tajam di ruang tamu rumah besar keluarga Santoso, wajahnya keras tanpa menyembunyikan kemarahan yang telah ia tahan selama beberapa waktu.Rendra duduk berhadapan dengannya, matanya tajam namun tenang, seolah siap menerima apa pun yang akan disampaikan oleh sepupunya."Aku paham, Fajar," jawab Rendra pelan namun tegas. "Aku sudah memilih jalan ini, dan aku siap menanggung semua risikonya."Fajar menghela napas, menatap Rendra dengan tatapan yang sulit ditebak. "Rendra, ini bukan hanya soal dirimu. Ini soal keluarga, soal harga diri kita. Kau tahu, bukan hanya Paman yang akan merasa kecewa. Seluruh keluarga besar akan merasa dikhianati oleh keputusanmu.”Rendra hanya menatapnya, mencoba menahan rasa sakit yang terasa menghimpit di dadanya. Meski ia berusaha kuat, kata-kata Fajar tetap terasa menyayat, seperti pisau tajam yang menusuk harga dirinya.Ia tahu bahwa keputusannya untuk memperjuangkan cinta denga