Arum memandangi secarik kertas berwarna putih kusam yang tergeletak di meja ruang tamu. Huruf-huruf tegas dan resmi yang tertera di surat itu membuat dadanya terasa berat, seolah ada batu yang mengganjal di tenggorokannya.
Surat itu berasal dari firma hukum yang tak pernah ia dengar namanya sebelumnya, namun isinya jelas—sebuah tagihan lama yang harus dilunasi, yang konon ditandatangani oleh almarhum ayahnya bertahun-tahun lalu.
Tangannya sedikit bergetar saat ia membaca kembali angka-angka itu, memastikan dirinya tidak salah lihat. Jumlahnya besar, jauh melebihi apa yang bisa ia kumpulkan dalam waktu dekat.
Utang ini adalah sesuatu yang ia sama sekali tak pernah ketahui, sebuah masalah yang tersimpan rapi di masa lalu, namun kini muncul di permukaan, siap menenggelamkan keluarganya dalam aib dan kesulitan.
Pikirannya langsung tertuju pada almarhum ayahnya, seorang pria sederhana yang selalu menekankan pentingnya kehormatan keluarga.
Ayahnya
"Rendra... apakah semua ini layak untuk diperjuangkan?"Suara Arum terdengar serak, bergema di tengah keheningan taman kecil yang mereka pilih sebagai tempat pelarian sementara. Malam itu, mereka berada di pinggir kota, duduk di bawah naungan pepohonan rimbun yang hampir menutup seluruh langit.Lampu-lampu jalan bersinar temaram, memperkuat suasana hening dan pribadi antara mereka.Rendra menatapnya lama, merasakan sakit yang tak terucapkan di balik pertanyaan sederhana itu. Ia tahu bahwa Arum bukan seseorang yang mudah menyerah, dan jika sampai terucap keraguan dari bibirnya, itu berarti ia telah menanggung beban yang luar biasa.Rendra mengulurkan tangan, menyentuh jemari Arum yang terasa dingin."Arum... aku selalu percaya bahwa cinta kita layak diperjuangkan," jawab Rendra dengan nada rendah namun penuh ketulusan. "Tapi aku tahu betapa sulitnya ini untukmu. Maaf jika aku telah membuatmu merasakan beban ini sendirian."Arum menunduk, mema
"Pak, aku tak bisa melanjutkan perjodohan ini," suara Rendra terdengar tenang namun tegas saat ia menatap ayahnya, Argono, yang duduk di kursi besar di ruang kerjanya. Mata Argono menatap Rendra tajam, seolah hendak mencari celah dari ketetapan hati putranya.Rendra telah menimbang segala risiko, segala konsekuensi yang mungkin akan ia tanggung, namun hatinya sudah mantap. Ia ingin mengakhiri perjodohan dengan Intan, meski sadar bahwa langkah ini akan memicu kemarahan besar dalam keluarga mereka.Argono, ayahnya yang tak kenal kompromi dalam urusan keluarga, mungkin tidak akan menerima keputusan ini dengan mudah, tapi Rendra tahu ia harus jujur pada dirinya sendiri."Apa yang kau katakan, Rendra?" Argono bersandar, tangannya menyilang di depan dada. Ekspresinya yang penuh wibawa tak menunjukkan tanda-tanda memahami alasan putranya.Rendra menghela napas, memilih kata-kata dengan hati-hati. “Pak, aku sangat menghormati keputusan keluarga. Tapi&hellip
“Rendra, kamu pikir semua ini hanya lelucon?”Suara Argono bergetar, mengisi ruangan besar dengan nada dingin yang menakutkan. Ruang kerja keluarga Santoso itu seketika terasa lebih sempit, seolah-olah tiap inci dinding menyerap ketegangan yang merambat di udara.Rendra berdiri di depan ayahnya, wajahnya berusaha tetap tenang meskipun jantungnya berdetak kencang.Rendra tahu bahwa pembicaraan ini tidak akan mudah.Setelah penolakan terhadap perjodohan dengan Intan, ia telah siap menerima segala kemungkinan, tapi ia tak pernah menyangka bahwa ayahnya akan memanggilnya di pagi hari yang begitu hening ini, hanya mereka berdua, tanpa seorang pun di sekitar mereka.“Pak,” jawab Rendra dengan suara yang bergetar namun tegas, mencoba meredam perasaannya yang kalut. “Aku menghormati semua keputusan keluarga, tapi kali ini aku… aku ingin memilih jalan hidupku sendiri.”Argono menatapnya dengan tatapan yang t
“Arum, apa kau benar-benar tidak memikirkan konsekuensi dari hubunganmu dengan Rendra?”Suara Raffi terdengar tegas dan penuh tekanan, membuat Arum terdiam. Ia menatap Raffi dengan perasaan tak nyaman, merasa bahwa kata-kata lelaki itu lebih dari sekadar peringatan biasa.Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang biasanya tenang, namun percakapan mereka membuat Arum merasa jantungnya berdetak keras.“Aku tidak mengerti maksudmu, Raffi,” ujar Arum dengan suara bergetar, mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah penuh dengan kecemasan.Raffi menghela napas panjang, menatapnya dengan sorot mata penuh keseriusan. “Arum, aku tahu kau wanita yang baik, dan aku tahu kau peduli pada keluargamu. Tapi apa kau sadar, hubunganmu dengan Rendra hanya akan membawa kehancuran?”Arum merasakan dadanya semakin sesak. Ia mencoba mempertahankan wajah tenangnya, meski setiap kata Raffi membuat hatinya semakin b
"Arum, aku akan merindukanmu."Suara Ratna nyaris berbisik, namun penuh kehangatan yang meluluhkan hati. Di depan Arum, sahabatnya sejak lama, Ratna berdiri dengan wajah penuh keteguhan, meskipun sorot matanya mengandung kesedihan yang tak mampu sepenuhnya ia sembunyikan.Di dalam kamar kecil Ratna yang penuh dengan karya-karya seni, kanvas-kanvas penuh warna, dan kain-kain batik yang ia buat sendiri, kedua sahabat itu berdiri saling menatap.Arum baru saja mendengar keputusan Ratna yang tiba-tiba—keputusannya untuk meninggalkan kota, memulai hidup baru di luar sana. Hati Arum terasa hampa, seakan separuh dirinya ikut pergi bersama sahabat yang selama ini menjadi bagian besar dalam hidupnya.“Kenapa, Ratna?” tanya Arum, suaranya serak. “Kenapa kau harus pergi sejauh ini?”Ratna tersenyum lembut, senyum yang selalu menenangkan, namun kali ini ada kilatan perpisahan yang menyakitkan di baliknya. “Arum, aku sudah la
"Arum, kau tahu apa yang sedang terjadi di luar sana?"Dimas menatap Arum dengan tatapan penuh tekanan di wajahnya. Keduanya duduk di ruang tamu rumah Arum yang mulai tampak lusuh. Rumah itu, yang selama ini menjadi simbol kebanggaan keluarganya, kini seakan menyimpan bayangan gelap dari berbagai masalah yang kian membelenggu.Arum hanya bisa menunduk, memainkan ujung kain yang tergulung di pangkuannya. Dia tahu, pertanyaan Dimas tak membutuhkan jawaban. Rumor tentang keluarganya, dan hubungannya dengan Rendra, semakin meluas di masyarakat.Tetangga-tetangga mereka mulai berbisik-bisik, orang-orang yang dulu menyapanya dengan hangat kini seolah menghindari tatapan langsung dengannya. Seolah-olah nama Cahyaningtyas telah menjadi simbol kehancuran yang tak terhindarkan."Aku... aku tak tahu apa yang harus kulakukan lagi, Pak Dimas," ucap Arum pelan, mencoba menahan suara bergetar yang hampir pecah. "Aku sudah mencoba menjauh dari Rendra. Aku benar-benar ber
“Dewi, aku… aku tak tahu harus bagaimana lagi.”Intan menghela napas panjang, menatap cangkir teh yang tergeletak di hadapannya tanpa minat. Tatapannya kosong, seakan pikirannya melayang jauh ke suatu tempat yang tak bisa disentuh.Di sisi lain meja, Dewi menatap sahabat lamanya itu dengan alis terangkat, matanya penuh dengan perhatian dan sedikit rasa penasaran.Dewi menyentuh lembut tangan Intan, menuntunnya untuk melihatnya. “Hei, kamu bisa bicara padaku, Tan. Apa yang sebenarnya terjadi?”Intan menggigit bibirnya, mencoba menyusun kata-kata. “Dewi, ini tentang perasaanku… perasaanku pada seseorang yang bukan Rendra.”Dewi terdiam, matanya membelalak sejenak sebelum kemudian menyunggingkan senyum kecil. “Aku sudah menduga,” ucapnya santai, namun tatapannya tetap penuh empati. “Kamu tidak mencintai Rendra, kan?”Intan tertawa pelan, namun tawa itu terdengar getir, pe
“Hujan turun deras, ya?”Arum menatap ke langit yang mendung, bulir-bulir air mulai jatuh deras, membasahi jalan kecil tempat ia berdiri. Rendra, yang berdiri di sampingnya, mengangguk sambil tersenyum, tatapan matanya tertuju pada Arum dengan sorot yang tak bisa ia sembunyikan.Di tengah hujan yang semakin deras, keduanya berteduh di bawah naungan pohon besar, namun cipratan air hujan tetap membasahi pakaian mereka. Arum bisa merasakan dinginnya hujan yang menyentuh kulitnya, namun ada kehangatan yang berbeda di hadapan Rendra.“Sepertinya kita tidak bisa pulang sekarang,” ucap Rendra, mencoba mengusir rasa canggung yang tiba-tiba terasa di antara mereka.Arum tersenyum kecil, jantungnya berdegup kencang. “Mungkin hujan akan segera reda…”Namun, dalam hati, Arum tahu bahwa hujan ini bukan sekadar hujan biasa. Ada sesuatu dalam keheningan di antara mereka, dalam tatapan yang terjalin tanpa kata.Per
“Arum, apakah kamu yakin sudah siap?” suara lembut Rendra terdengar, suaranya mengandung keraguan sekaligus harapan. Mereka berdiri di sebuah taman kecil yang dikelilingi pohon-pohon berbunga, diapit oleh senja yang memancarkan cahaya keemasan.Arum mengangguk pelan, memandang Rendra dengan tatapan yang tenang namun sarat makna. “Aku siap, Rendra,” jawabnya dengan suara mantap. “Untuk segala hal yang telah kita lalui, dan apa pun yang akan datang.”Senja di taman itu menjadi saksi kehangatan dan kedamaian yang akhirnya bisa mereka raih. Hanya dihadiri keluarga terdekat dan sahabat-sahabat terbaik, mereka memutuskan untuk memperbarui janji pernikahan mereka dalam keheningan, jauh dari keramaian dan drama yang dulu pernah membayangi hubungan mereka.Di sudut taman, Ratna, yang hadir bersama Aldi, menatap Arum dengan senyum bangga di wajahnya. Aldi, yang berdiri di sebelahnya, menganggukkan kepala seolah ikut merasakan kebahagiaa
"Arum, kamu datang juga akhirnya!" Suara Ratna terdengar penuh semangat saat melihat sahabatnya melangkah masuk ke galeri tempat pameran terbarunya. Ratna segera menghampiri Arum, memeluknya dengan erat."Aku kan sudah janji, Na. Aku ingin lihat langsung semua karya hebatmu ini," jawab Arum sambil tersenyum hangat, matanya penuh kekaguman melihat ruangan galeri yang dipenuhi karya-karya Ratna.Dinding-dinding galeri dihiasi dengan lukisan-lukisan batik kontemporer yang unik, setiap goresannya memancarkan ekspresi hati dan jiwa Ratna.Ratna tertawa kecil sambil memandangi Arum. “Akhirnya, aku bisa berdiri di sini, Arum. Setelah semua yang terjadi…,” suara Ratna melirih, mengingat perjalanan panjang dan penuh rintangan yang telah ia lalui.Arum menepuk lengan Ratna pelan, seolah ingin menguatkannya. “Kamu pantas mendapatkan ini semua, Na. Setiap kerja keras, setiap air mata. Aku bangga padamu,” kata Arum dengan tatapan yang tu
"Apakah kita benar-benar siap untuk ini, Ren?" Arum bertanya sambil menatap mata Rendra yang penuh keyakinan.Rendra menggenggam tangan Arum erat. “Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu, kan?”Mereka berdiri di depan rumah kecil yang baru saja mereka sewa. Rumah itu sederhana, jauh dari kemewahan yang pernah mereka bayangkan, tetapi terasa hangat.Hawa sore yang sejuk menyusup di antara dedaunan pohon mangga di halaman, membawa aroma tanah yang khas dan memberi suasana damai.Arum memandang rumah itu dengan senyum tipis. “Aku suka rumah ini, Ren. Sederhana, tapi terasa seperti rumah sungguhan.”Rendra tersenyum, menyadari bahwa itulah yang ia inginkan selama ini. Rumah kecil dengan Arum, bukan istana megah yang dipenuhi intrik dan beban masa lalu.“Kamu tahu, Arum, ini mungkin pertama kalinya dalam hidupku aku merasa benar-benar tenang. Tidak ada tekanan dari keluarga, tidak ada skandal, hanya...
“Apakah kamu sungguh yakin, Arum?” Rendra menatap dalam mata Arum, seolah berusaha menemukan keyakinan di sana.Arum tersenyum lembut, menggenggam tangan Rendra. “Aku yakin, Rendra. Aku juga sudah lelah berlarut-larut dalam keraguan. Mungkin kita memang harus melalui semua ini untuk benar-benar mengerti apa artinya kebersamaan.”Rendra mengangguk pelan, mata cokelatnya berkedip-kedip menahan emosi. Mereka duduk berhadapan di taman kecil yang penuh kenangan, di mana mereka berkali-kali bertemu dan berkali-kali pula bertengkar.Namun, sore ini terasa berbeda. Udara sore terasa hangat, dan aroma bunga melati yang lembut memenuhi suasana.“Aku ingin kita mulai dari awal,” ucap Rendra dengan nada mantap. “Tanpa janji-janji besar. Cukup kita saling percaya dan berjalan bersama.”Arum merasakan haru mengalir di hatinya. Semua luka yang pernah ada, semua pertengkaran dan air mata, perlahan-lahan terasa memuda
“Kamu yakin, Arum?” Suara Dimas terdengar lembut, penuh perhatian. Mereka duduk di beranda rumah keluarga Arum, ditemani angin malam yang sejuk dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing.Arum menatap secangkir teh di pangkuannya, jari-jarinya membelai pinggiran cangkir dengan gerakan pelan. “Aku... mungkin ini aneh, Om, tapi aku tetap merasa ada sesuatu di antara aku dan Rendra yang sulit aku lepaskan. Meskipun... semua hal yang terjadi membuatku bertanya-tanya.”Dimas mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kadang cinta memang tidak mudah, Arum. Hubungan yang paling berarti sering kali yang paling sulit dipertahankan. Tapi, yang penting, kamu tahu kenapa kamu memilih untuk bertahan.”Arum menatap jauh ke depan, pandangannya melewati taman kecil di halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Keindahan itu, sekilas, mengingatkan dirinya pada momen-momen indah yang pernah ia alami bersama Rendra.
“Aldi,” suara Ratna terdengar lembut, tapi tegas. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe kecil yang tenang, dikelilingi oleh keramaian orang-orang yang tenggelam dalam percakapan mereka masing-masing. Namun, di antara mereka berdua, suasana terasa begitu hening, hampir seolah waktu berhenti.Aldi menatap Ratna dengan cermat, wajahnya sedikit bingung. "Ada apa, Ratna? Kamu kelihatan... serius hari ini."Ratna tersenyum kecil, namun ada sedikit kesedihan dalam tatapannya. “Aku rasa kita perlu bicara. Tentang kita.”Mata Aldi memancarkan keterkejutan. "Maksudmu... hubungan kita?"Ratna mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Selama ini, kamu selalu ada untukku, bahkan di saat aku merasa paling jatuh. Kamu memberi dukungan yang luar biasa, dan aku sangat menghargainya. Tapi...”Aldi meraih tangan Ratna, menggenggamnya dengan lembut. “Tapi apa, Ratna? Apa yang kamu rasakan?”Ratna menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberania
"Jadi... ini keputusanmu?" Suara Arga terdengar pelan namun penuh kepastian. Mereka berdua duduk di sebuah bangku di taman kota yang sepi, tempat di mana mereka sering berbincang saat masih remaja, ketika dunia terasa lebih sederhana.Arum menundukkan wajahnya, merasa berat hati untuk mengucapkan kata-kata itu, namun ia tahu bahwa ia harus jujur. "Iya, Ga. Aku... aku nggak bisa berpura-pura lagi. Aku sangat menghargai kamu, semua yang sudah kamu lakukan buat aku, tapi..."Arga tersenyum kecil, meski sorot matanya menyimpan luka yang dalam. "Tapi hatimu tetap untuk Rendra," potongnya, menyelesaikan kalimat yang mungkin sulit bagi Arum untuk diucapkan.Arum mengangguk perlahan. "Maaf... aku merasa begitu bersalah sama kamu. Kamu selalu ada, selalu mendukungku saat aku terpuruk, saat aku sendiri.""Arum," Arga memotong, suaranya terdengar lembut, namun tegas. "Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu bagaimana perasaanmu dari awal, tapi aku selalu berharap bahw
"Arum..." Rendra menghela napas dalam, suara lembutnya nyaris tenggelam dalam keheningan sore yang menenangkan di taman kota. Ia menatap Arum dengan penuh harap, sementara gadis itu duduk di sebelahnya, tangan tertaut di pangkuannya, jelas menunjukkan kegugupan yang berusaha ia sembunyikan.Arum menunduk, melihat rerumputan yang bergoyang ditiup angin, mencoba menghindari tatapan Rendra. Ia tahu apa yang mungkin akan dikatakan Rendra. Di satu sisi, ada bagian dari hatinya yang ingin mendengarnya. Namun di sisi lain, ketakutan akan sakit yang sama terulang lagi membuatnya waspada."Aku tahu ini sulit bagimu," Rendra memulai lagi, nada suaranya penuh dengan kerendahan hati dan rasa bersalah yang selama ini tertahan. "Setiap kali melihatmu, aku sadar bahwa luka yang kuberikan masih membekas. Dan aku tahu, mungkin aku tak layak mendapatkan kesempatan kedua."Arum mengangkat wajahnya perlahan, menatap mata Rendra yang kini menunjukkan ketulusan yang dalam, jauh lebih
Arum duduk di teras rumahnya, memandangi langit sore yang mulai meredup. Di tangannya, secangkir teh hangat menemani keheningan pikirannya yang bimbang. Pesan dari Rendra semalam masih terngiang di kepalanya.Ia merasa bahwa setiap kata dalam pesan itu memancarkan ketulusan dan penyesalan yang dalam.Di sisi lain kota, Rendra memandang pantulan dirinya di cermin. Matanya menunjukkan kelelahan yang telah bersembunyi di balik ketenangannya selama ini. Kini, ia sadar bahwa tidak ada yang lebih penting daripada memulihkan kepercayaan Arum dan memperbaiki dirinya sendiri.Dengan tekad yang baru, Rendra turun ke ruang kerja kecilnya. Di sana, di tengah dokumen-dokumen dan berkas yang telah ia susun, ia memulai langkah pertama dalam menebus semua yang pernah ia rusakkan.Ia memutuskan untuk menyusun laporan penuh tentang setiap proyek keluarganya yang mencurigakan dan menyerahkannya ke pihak berwenang. Rendra sadar bahwa inilah satu-satunya cara untuk membuktika