"Aku sudah di sini, Arum."
Arum membuka pintu dan melihat Rendra berdiri di sana, wajahnya serius namun ada kelembutan yang jarang ia perlihatkan. Di belakangnya, malam terasa sunyi, dan cahaya bulan menerangi wajah Rendra, membuat Arum terdiam sejenak.
“Masuklah,” kata Arum dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang terasa hingga ke ujung jarinya.
Rendra melangkah masuk, dan mereka duduk di ruang tamu kecil Arum yang sederhana namun nyaman. Arum bisa melihat sorot mata Rendra yang seolah menyimpan kegundahan, namun ada tekad kuat di sana.
"Arum," Rendra mulai, suara berat namun tenang, “Aku baru saja bicara dengan ayahku.”
Arum menahan napas, menunggu dengan cemas. Ia tahu betapa sulitnya pembicaraan itu bagi Rendra, dan ia takut mendengar bahwa akhirnya Rendra harus menyerah pada tekanan keluarga.
“Ayahku… dia memberiku pilihan. Pilihan yang berarti aku harus melepaskan segala yang selama ini keluargaku persiapkan untukku,” lanjut Rendra, menatap Arum dalam-dalam.
“Aku akan kehilangan semua fasilitas dan hak waris yang sudah disiapkan. Tapi…” ia terdiam sejenak, seolah berusaha menenangkan dirinya, “aku siap melepaskan itu semua, kalau itu artinya aku bisa menjalani hidup yang kuinginkan—bersama kamu.”
Arum tertegun, matanya tak mampu lepas dari tatapan Rendra. Kata-kata Rendra terasa begitu berat, namun di balik ketegasannya, Arum bisa merasakan ketulusan yang menggetarkan hati.
Ia tahu, keputusan ini bukanlah keputusan yang mudah, dan jika Rendra benar-benar melepaskan keluarganya, konsekuensinya akan sangat besar.
"Rendra… kamu yakin dengan keputusan ini?" Arum berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Hatinya bimbang, di antara kebahagiaan dan ketakutan.
Ia tahu bahwa cinta mereka harus diperjuangkan, namun ia juga sadar betapa sulitnya hidup tanpa dukungan keluarga, terutama bagi seseorang seperti Rendra yang selama ini hidup dalam lingkungan yang penuh kemewahan.
Rendra mengangguk pelan, tanpa ragu. “Aku yakin, Arum. Mungkin ini akan jadi jalan yang sulit, tapi aku tak bisa terus hidup dalam kebohongan. Aku tak bisa berpura-pura mencintai seseorang lain ketika hatiku hanya untukmu.”
Arum merasakan matanya mulai memanas. Ia begitu tersentuh oleh keteguhan hati Rendra, namun di saat yang sama, ia merasa takut akan kenyataan yang harus mereka hadapi. “Tapi, Rendra… bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana kalau mereka benar-benar memutuskan hubungan denganmu?”
Rendra tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan yang jelas di wajahnya. “Kalau itu yang mereka inginkan, aku akan menerimanya. Aku tak bisa hidup tanpa dirimu, Arum. Dan aku tak ingin menghabiskan hidupku untuk sesuatu yang tak pernah kuinginkan.”
Di saat itu, Arum menyadari bahwa cinta yang ia miliki untuk Rendra bukanlah cinta yang bisa ia abaikan. Meski hatinya diliputi keraguan, ia tahu bahwa Rendra adalah bagian dari hidupnya yang tak pernah bisa tergantikan.
Dengan air mata yang menggantung di pelupuk mata, Arum meraih tangan Rendra, menggenggamnya erat.
“Aku… aku akan bersamamu, Rendra. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sampingmu,” kata Arum dengan suara bergetar.
Ia tahu ini mungkin adalah keputusan yang paling berani dan berisiko dalam hidupnya, namun hatinya telah memutuskan untuk memperjuangkan cinta yang mereka miliki, meski itu berarti harus menghadapi dunia bersama-sama.
**
Namun, malam itu belum berakhir. Di tempat lain, keluarga Santoso tengah dilanda keresahan yang tak tertahankan. Argono dan Fajar duduk bersama di ruang tamu rumah besar mereka, wajah mereka tegang dan penuh kemarahan.
“Anak itu benar-benar tidak tahu diuntung,” gumam Argono dengan suara berat, menatap Fajar dengan kekecewaan yang mendalam. “Setelah semua yang telah kita lakukan untuknya, dia memilih meninggalkan keluarganya demi seorang gadis.”
Fajar mengangguk, wajahnya menunjukkan keseriusan. “Paman, mungkin kita perlu mengambil tindakan lebih tegas. Kita tak bisa membiarkan Rendra berpikir bahwa ia bisa memilih jalan hidupnya sesuka hati.”
Argono mengangguk, sorot matanya menunjukkan ketegasan.
“Aku tak akan membiarkan kehormatan keluarga ini ternoda oleh keputusan ceroboh Rendra. Aku akan menghubungi orang tua Intan dan menjelaskan situasinya. Dan jika perlu… kita akan membuat Rendra mengerti apa arti sebenarnya dari tanggung jawab.”
Di dalam hatinya, Argono merasa marah sekaligus terluka. Bagi Argono, keluarga adalah segalanya, dan Rendra adalah pewaris yang ia banggakan. Namun, melihat anaknya memilih jalan yang ia anggap tak masuk akal demi cinta, adalah penghinaan yang tak bisa ia terima.
**
Keesokan harinya, Arum dan Rendra bertemu lagi di taman kota tempat mereka sering bermain semasa kecil. Mereka duduk di bangku yang sama, berdekatan, membiarkan keheningan mengalir di antara mereka, menikmati momen tenang sebelum badai yang mungkin datang.
"Apakah kamu benar-benar siap untuk ini?" tanya Arum, menatap Rendra dengan kekhawatiran yang masih tersisa.
Rendra tersenyum dan mengangguk. “Aku tahu jalan ini akan sulit, tapi aku tahu aku tak akan pernah menyesal. Aku lebih baik hidup sederhana denganmu daripada hidup dalam kemewahan tanpa cinta.”
Arum tersenyum kecil, merasa hatinya penuh dengan cinta dan kepercayaan pada Rendra. Meski keraguan masih ada, ia memilih untuk percaya pada cinta mereka, dan pada keberanian yang kini ada dalam diri mereka.
Namun, ketika mereka tengah menikmati momen itu, sebuah suara terdengar dari belakang mereka.
“Rendra.”
Keduanya menoleh dan mendapati Fajar berdiri di sana, wajahnya tegang dan penuh amarah. Ia mendekat dengan langkah cepat, menatap Rendra dengan tatapan yang sulit dijelaskan, penuh kecewa dan marah.
“Kamu benar-benar memilih ini, Rendra?” tanya Fajar, suaranya hampir berbisik namun terdengar jelas di telinga mereka. “Memilih meninggalkan keluargamu demi sesuatu yang tak masuk akal ini?”
Rendra mengangkat wajahnya, menatap sepupunya tanpa gentar. “Fajar, aku tahu ini sulit dipahami, tapi aku tak bisa melanjutkan hidup tanpa mengikut hati nuraniku.”
Fajar mendengus, menatap Arum sekilas dengan pandangan penuh rasa sinis. “Dan kamu, Arum. Apa kamu benar-benar berpikir bahwa kamu bisa menjadi bagian dari hidupnya? Apa kamu tak sadar, keputusan ini akan menghancurkan semuanya?”
Arum merasa terpojok, namun ia menguatkan dirinya. “Aku tahu, Fajar. Tapi aku mencintainya, dan aku yakin bahwa cinta kami layak diperjuangkan.”
Fajar hanya menggelengkan kepala, seolah tak percaya pada apa yang ia dengar. Ia menatap Rendra sekali lagi, sorot matanya menunjukkan rasa sakit yang tak bisa ia sembunyikan.
“Kau benar-benar mengkhianati keluarga ini, Rendra. Apa yang kau lakukan ini adalah penghinaan bagi semua yang selama ini kita perjuangkan,” kata Fajar, suaranya mulai bergetar oleh emosi. “Aku berharap kau sadar, tapi kalau kau tetap ingin menjalani jalan ini, jangan harap kau bisa kembali.”
Rendra hanya diam, namun tatapannya tak berubah. Ia tahu bahwa keputusan ini mungkin akan mengubah hidupnya selamanya, tapi ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk meraih kebahagiaan yang sejati.
Ketika Fajar berbalik dan meninggalkan mereka, Arum meraih tangan Rendra dengan lembut, menggenggamnya erat. “Aku akan ada di sini, Rendra. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu bersamamu.”
Rendra tersenyum, merasa bahwa cinta mereka adalah satu-satunya hal yang pasti di tengah ketidakpastian yang mereka hadapi. Dengan hati yang teguh, mereka tahu bahwa jalan yang akan mereka tempuh tidak akan mudah.
Namun, dengan cinta dan keberanian, mereka siap melawan segalanya—bersama-sama.
**
Malam itu, di tengah ketenangan yang penuh dengan ketegangan, Arum dan Rendra duduk berdua, memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang harapan, dan tentang keberanian untuk terus maju meski takdir terasa begitu berat.
Di dalam hati mereka, ada keyakinan bahwa cinta mereka akan cukup kuat untuk menghadapi apa pun. Meski keluarga, tradisi, dan dunia di sekitar mereka tampak menentang, mereka memilih untuk percaya bahwa cinta sejati akan menemukan jalannya.
Dan malam itu, di bawah sinar bintang yang berkilauan, mereka membuat janji baru. Janji bahwa apa pun yang terjadi, mereka akan tetap bertahan, saling mendukung, dan tak pernah menyerah pada cinta yang telah mengikat hati mereka.
"Kau tahu, keputusan ini akan membawa banyak konsekuensi."Fajar menatap Rendra tajam di ruang tamu rumah besar keluarga Santoso, wajahnya keras tanpa menyembunyikan kemarahan yang telah ia tahan selama beberapa waktu.Rendra duduk berhadapan dengannya, matanya tajam namun tenang, seolah siap menerima apa pun yang akan disampaikan oleh sepupunya."Aku paham, Fajar," jawab Rendra pelan namun tegas. "Aku sudah memilih jalan ini, dan aku siap menanggung semua risikonya."Fajar menghela napas, menatap Rendra dengan tatapan yang sulit ditebak. "Rendra, ini bukan hanya soal dirimu. Ini soal keluarga, soal harga diri kita. Kau tahu, bukan hanya Paman yang akan merasa kecewa. Seluruh keluarga besar akan merasa dikhianati oleh keputusanmu.”Rendra hanya menatapnya, mencoba menahan rasa sakit yang terasa menghimpit di dadanya. Meski ia berusaha kuat, kata-kata Fajar tetap terasa menyayat, seperti pisau tajam yang menusuk harga dirinya.Ia tahu bahwa keputusannya untuk memperjuangkan cinta denga
“Mas, sebenarnya apa yang membuatmu begitu yakin?” Ratna memandangi Rendra dengan tatapan yang sarat emosi. Malam itu, Ratna bertemu Rendra di sebuah galeri kecil tempatnya sering menghabiskan waktu untuk melukis.Ia merasa perlu berbicara, untuk menuntaskan perasaan yang selama ini hanya ia simpan sendiri.Rendra menatap Ratna, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah lembut sahabatnya. Ia selalu menghargai kehadiran Ratna dalam hidupnya—teman yang setia dan sosok yang selalu ia anggap sebagai adik.Namun ia menyadari, sejak ia memilih Arum dan memutuskan hubungan dengan keluarganya, ada jarak yang mulai terlihat di antara mereka."Ratna," ujar Rendra pelan, berusaha memilih kata dengan hati-hati, "aku tahu ini tak mudah bagi siapa pun. Tapi aku merasa inilah yang benar untukku. Hati ini tak bisa dipaksa, dan aku tak bisa hidup dalam kebohongan."Ratna tersenyum, meski senyumnya mengandung kesedihan yang hanya ia sendiri yang tahu. Ia merasa sakit, tetapi ia tak bisa
"Apa kabar, Rendra?"Suara lembut dan familiar itu membuat Rendra menghentikan langkahnya di lorong kantor kecil tempat ia mulai bekerja. Rini Kartika Sari berdiri di depannya, sosok yang dulu pernah mengisi hari-harinya dan kini muncul kembali dengan senyum penuh arti.Rendra tertegun sesaat, tak menyangka akan melihat Rini di tempat ini, pada saat yang begitu tak terduga.“Rini…” bisik Rendra, masih tak percaya. “Sudah lama sekali.”Rini tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, ketika mereka masih bersama. “Memang sudah lama. Aku mendengar kau sudah keluar dari keluarga Santoso, dan aku hanya ingin tahu kabarmu.”Rendra mengangguk pelan, mencoba memahami maksud di balik kedatangan Rini. “Aku baik-baik saja, meski hidup sekarang lebih sederhana. Aku merasa lebih damai seperti ini, Rini.”Rini tersenyum tipis, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. “Aku mengerti. Namun aku berharap kesederhanaan itu membuatmu bahagia, Rendra. Karena, dari apa yang kudengar, kau melepaskan begi
"Kita akan baik-baik saja, kan, Rendra?"Arum memandang Rendra di seberang meja makan sederhana mereka, suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar yakin. Malam itu terasa berat, ancaman dari keluarga Santoso masih menggantung di atas mereka, sebuah peringatan bahwa cinta mereka tak akan diterima dengan mudah.Namun, meski Arum merasa cemas, ada keteguhan yang terpancar dari tatapannya.Rendra mengulurkan tangan, menggenggam tangan Arum dengan lembut. “Kita pasti bisa melewati ini, Arum. Aku percaya pada cinta kita, dan aku percaya kita cukup kuat untuk melawan semua tantangan.”Arum tersenyum kecil, meski hatinya masih diliputi kekhawatiran. “Aku tahu, Rendra. Tapi… aku juga tak bisa menyangkal, keluargamu punya pengaruh besar. Mereka pasti punya cara-cara yang tak kita duga.”Rendra mengangguk pelan, menyadari kebenaran dalam kata-kata Arum. Ia tahu bahwa keluarga besar Santoso memiliki jaringan dan kekuasaan yang mampu menggerakkan banyak hal. Namun ia memilih untuk tetap teguh,
"Kenapa kamu jadi sering diam, Rendra?"Arum mengaduk kopi yang sudah mulai dingin di cangkirnya, sesekali memandang pria di hadapannya yang lebih banyak termenung daripada berbicara. Udara di ruangan itu seolah kental dengan ketegangan, menggantung seperti beban yang tak kasatmata. Arum mengerutkan kening, tak mampu menyembunyikan kecemasan yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.Rendra, yang duduk bersandar di sofa dengan tangan terlipat di dada, mendongak perlahan. Matanya terlihat sayu, menunjukkan kelelahan yang ia coba sembunyikan sejak awal pertemuan mereka malam ini. “Aku sedang berpikir, Arum… soal kita.” Suaranya pelan, hampir tenggelam di tengah keheningan ruangan, namun terdengar cukup jelas bagi Arum untuk merasakan kegundahan di balik kata-kata itu.Arum menarik napas dalam, seolah mencoba menyerap ketenangan yang tersisa di dirinya. Kata-kata Rendra terasa menusuk, seperti jarum halus yang perlahan menembus hati. Ia meletakkan sendok di samping cangkirnya dengan gemet
“Arum? Kamu di sini juga?”Arum menoleh, terkejut mendengar suara yang familier. Ia baru saja memasuki aula besar hotel mewah tempat acara amal itu diadakan, merasa canggung di antara tamu-tamu berpakaian glamor dan elegan. Senyum kecil muncul di wajahnya saat ia melihat Arga berdiri di sana, tampak berwibawa dengan jas hitam yang pas di tubuhnya, rambutnya disisir rapi, dan tatapannya hangat seperti biasa."Arga," sapa Arum sambil tersenyum lelah. "Iya, aku diundang salah satu rekan kerjaku. Awalnya sempat ragu datang."Arga tertawa pelan, suaranya rendah dan penuh kehangatan. “Kamu memang bukan tipe yang suka acara formal begini, ya?” godanya sambil menatap Arum yang mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua, yang meskipun sederhana tetap menonjolkan pesonanya yang anggun dan alami.“Aku merasa seperti ikan kecil yang tersesat di laut luas,” ujar Arum sambil terkekeh, mencoba mencairkan suasana. Namun, di balik senyumnya, ada bayangan lelah dan kesedihan yang tak mampu ia sembunyi
"Arum, kamu belum tidur juga?"Suara lembut Bima, kakak Arum yang tengah mengintip dari ambang pintu, membuat Arum terlonjak. Di meja kamarnya, ia tengah sibuk menata laporan bulanan sekolah tempatnya mengajar. Raut lelahnya tak bisa disembunyikan, namun senyumnya tetap ia paksakan."Sebentar lagi, Mas," jawabnya pelan. Tatapannya kembali tertuju pada tumpukan kertas di hadapannya, tapi pikirannya melayang.Malam itu, Arum tak sekadar bekerja. Ia mencoba melupakan rasa rindu akan kehadiran ibunya, sosok yang selama ini menjadi poros keluarganya.Setelah ibunya meninggal setahun lalu, beban tanggung jawab terasa semakin berat di pundaknya. Bukan hanya sebagai guru di sekolah, tapi juga sebagai penopang keluarganya, menjaga dan merawat semuanya agar tetap utuh.Bima mengangguk pelan, meski raut khawatir tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Kamu juga perlu istirahat, Rum. Jangan sampai sakit," nasihatnya, sebelum beranjak pergi.Setelah Bima menutup pintu kamar, Arum melepaskan napas p
"Apa kau ingat tempat ini, Arum?"Arum menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut taman kota yang dipenuhi bunga-bunga dan pohon rindang. Taman ini tak banyak berubah, masih sama seperti saat mereka kecil dulu. Langit sore memberikan kilauan oranye keemasan pada daun-daun, membuat tempat ini terlihat lebih magis.Di sampingnya, Rendra duduk diam, menatap lurus ke depan, seperti sedang berusaha menangkap setiap detail yang mungkin terlewatkan.Arum tersenyum kecil. "Masih ingat. Dulu kita sering main petak umpet di sini, kan?" Ia tertawa mengingat masa-masa mereka berlari, bermain dengan ceria tanpa beban.Rendra mengangguk. “Dan kamu selalu menang. Kamu selalu tahu tempat bersembunyi yang tak pernah kutemukan.” Suaranya pelan, seperti mengenang sesuatu yang lebih dari sekadar permainan."Ah, mungkin karena aku lebih pintar," Arum menimpali sambil tertawa kecil, tapi senyum itu cepat hilang dari wajahnya ketika ia menyadari Rendra menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yan