Ketika pagi tiba, Sophia bangun tanpa Albert di ruangan itu. Matahari telah menyingsing tinggi di langit, cahayanya masuk melalui jendela yang terbuka. Sophia bangkit dengan rasa pusing di kepala, tapi lebih baik dari kemarin. Ini mungkin dipengaruhi oleh lingkungannya, Sophia tidak pernah menyukai rumah sakit, dan dia tidak terbiasa berada terlalu lama di luar rumah.Seorang dokter datang untuk memeriksa keadaannya, lelaki itu bilang besok mungkin Sophia sudah boleh pulang. Seperginya dokter itu, seorang perempuan berseragam putih datang mengantarkannya sarapan dan obat, setelah itu pergi dan meninggalkan Sophia seorang diri lagi.Sophia menatap bubur putih di atas mangkuk itu. Nafsu makannya langsung hilang hanya dengan menghirup aroma makanan itu, tapi Sophia ingin segera sembuh, dia tidak ingin Albert berpikir dirinya kekanak-kanakan atau manja. Maka dengan tangan kirinya yang terasa kebas dan bergetar, Sophia menyendok cairan kental itu dengan susah payah, lalu menyuapinya ke mulu
Albert tidak benar-benar melakukan niatnya. Walaupun mereka sempat berdebat, tapi pada akhirnya Albert mengalah setelah Sophia mengancam akan melaporkannya atas tindakan pelecehan seksual. Albert telah bersikap aneh, seperti yang dikatakan Sophia. Dan sekarang, Albert duduk di sofa menunggu Sophia selesai mandi sambil memikirkan sikapnya akhir-akhir ini.Memangnya kenapa? Aku suaminya. Albert membatin dan memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi.Setelah Sophia selesai, termasuk juga mengganti pakaian, dia keluar dengan rambut basah dan handuk putih yang ia gosok-gosokkan ke kepala. Sophia duduk di ranjang, menatap lurus ke arah Albert di sofa. Tangan kiri Sophia sebenarnya terasa sangat lemas dan pegal, sedangkan tangan kanannya masih diperban dan digips, entah kapan dia akan sembuh dan bisa menggunakan kedua tangannya seperti semula lagi. Sophia melepas handuk putih yang tadi ia gosok-gosokkan ke rambutnya yang basah. Walau begitu, rambutnya masih tetap basah dan air menetes-netes d
Keesokan harinya datang begitu saja. Sophia sudah diperbolehkan untuk pulang, sedang Albert tidak datang untuk menjemputnya. Sophia tidak berharap banyak setelah cekcok yang mereka lakukan malam sebelumnya, dia juga tidak siap untuk bertemu dengan lelaki itu, yang saat ini mungkin tengah ditumpuk oleh pekerjaan kantornya. Dia adalah seorang workaholic sekali dan Sophia memaksa diri untuk memaklumi hal itu, walaupun dia sebenarnya tidak tahu apakah Albert tengah sibuk bekerja, atau melakukan hal lain.Sophia menyusuri koridor dengan langkah penuh percaya diri, kacamata bertengger di hidungnya, dan sebuah masker rumah sakit menutupi sebagian wajahnya. Sophia sampai di luar rumah sakit dan menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu tersenyum senang. Akhirnya, setelah berhari-hari, dia pun diperbolehkan untuk kembali menghirup udara tanpa aroma antiseptik.Sophia sudah memesan taksi yang akan membawanya pulang, tapi alih-alih taksi, kendaraan yang berhenti di hadapannya saat ini adalah mobil
Televisi menyala, seorang wanita dari channel ramalan cuaca menginformasikan bahwa malam ini akan terjadi badai yang cukup buruk. Hujan lebat sudah turun membasahi kota, menutup gemerlapnya dengan tetesan-tetesan air lebat dan kabut yang cukup pekat. Awan-awan kelabu bergelung di langit, kilatan-kilatan terang saling bersahutan dengan gemuruh lantang.Albert berdiri menghadap jendela dengan kedua tangan yang tenggelam di saku. Tatapannya tampak kosong walau dapat dipastikan bahwa saat ini pikirannya tidak begitu. Albert kemudian menoleh ke belakang, pada ponselnya yang tergeletak di meja.“Bodoh!” rutuknya pada diri sendiri, kemudian berbalik, mengambil kasar ponselnya dan kunci mobil, kemudian melangkah dengan cepat pergi dari sana.***Dalam tidurnya, Sophia merasakan sepasang mata menatapnya tajam. Hal itu sangat mengusik. Dia pun terbangun, membuka pelan kelopak matanya untuk kemudian tertegun melihat siapa yang duduk bersandar pada tembok di hadapannya.Sophia meloncat duduk, meng
Sophia bangun lebih siang dari biasanya. Dia hanya memiliki dua pilihan, bangun terlalu pagi, atau bangun terlalu siang. Itu dilakukannya untuk menghindari Albert. Selain itu, Sophia juga merasa sedikit kesusahan melakukan rutinitas paginya dengan tangan dominannya yang bermasalah. Dia bahkan butuh beberapa saat lebih lama untuk memasang pakaian. Sophia, seperti biasa, memastikan bahwa pakaiannya menutupi tubuhnya dengan baik. Dia mengenakan turtle neck berwarna krem yang dibalutnya dengan blazer rajut coklat.Sophia turun ke bawah dan tidak menemukan Dana di dapur. Tapi setidaknya Dana pergi meninggalkan catatan bahwa dia mengunjungi kebun dan telah membuatkan Sophia sarapannya.Sophia membuka tutup saji dan menemukan berbagai macam menu sarapan terhidang. Sophia memilih omelet dan jus tomat favoritnya. Dana bahkan juga menyiapkan sepiring tomat-tomat kecil yang dipotong menyerupai kelinci, hal itu telah berhasil menghibur pagi Sophia yang semula terasa sedikit sendu.Sophia duduk di
Sophia tahu beberapa kata yang mungkin dapat menggambarkan apa yang saat ini dirasakannya. Kupu-kupu di perut? Aliran listrik yang menggelitik saraf? Jantung berdebar? Nyatanya, tidak satupun dari itu. Karena dia merasa, apa yang dirasakannya kini tidak akan bisa digambarkan dengan kata-kata apapun. Detik ketika bibirnya bersentuhan dengan bibir Albert, pikiran Sophia langsung kosong dari semua hal kecuali lelaki itu. Albert menciumnya dengan intens. Ciuman pria itu bergerak seolah dia hendak mengenal bibirnya dengan lebih baik, membelai setiap lekukannya dengan kelembutan yang membuat Sophia bergetar.Telapak tangan Albert ada di rambut Sophia, sebelahnya di pinggang lembut perempuan itu. Ketika Albert menekan tubuhnya semakin dekat, Sophia terkesiap, dan saat itulah Albert menyatukan lidah mereka. Sophia mengerang, kepalan tangannya di dada Albert menguat, sementara Albert memperdalam ciuman mereka.Sophia merasa oksigen di paru-parunya semakin menipis. Dia mendorong dada Albert pela
Louis menyesap habis minumannya kemudian berdehem. “Bagaimana kabarmu, Sophie? Kulihat tanganmu sudah tampak baik-baik saja.”Sophia menatap tangannya. Tangannya memang tidak sakit lagi, namun masih susah untuk difungsikan dengan normal. Dia mustahil bisa memakan makanannya dengan benar malam ini. “Seperti yang kau lihat, Papa, aku baik-baik saja.”Ayahnya mengangguk, menyesap minumannya lagi yang baru saja ditumpahkan ke gelasnya oleh sang istri.“Sophia, di mana Albert? Bukankah seharusnya kau datang bersamanya?” Mariane bertanya dengan nada seolah dia peduli.“Albert memiliki pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan di kantor,” jawab Sophia.“Seharusnya dia datang, ini kan makan malam keluarga. Lihatlah, bahkan kekasih kakakmu saja yang juga sangat sibuk mensempatkaan diri untuk datang kemari.”Sophia hanya bisa tersenyum menjadi balasannya, tidak tahu harus menjawab apa.“Tidakkah dia punya orang-orang untuk melakukan pekerjaannya itu?” tanya Billie.“Dia lebih suka melakukannya se
Sophia menatap ke luar jendela, melihat langit malam yang ditutupi awan kelabu. Tembok pagar mansion tempatnya tinggal tampak di pandangan. Sophia menyukai bangunan itu, desainnya begitu megah dan modern, ditambah dengan sentuhan alam yang hijau di luar, tempat yang nyaman untuk disebut rumah.Namun, Sophia tidak ingin terlalu menganggap tempat itu adalah rumahnya, sebab dia tahu suatu hari nanti dia harus pergi dari sana. Sophia tidak ingin menanam perasaannya terlalu dalam hanya untuk kemudian dicampakan. Albert bisa saja memutuskan hubungan mereka bulan depan, atau bahkan besok, alias kapan saja. Sophia merasa bahwa dia harus selalu siap.Albert masih dukuk di sebelahnya, mereka sama-sama terdiam. Mobil kemudian memasuki gerbang yang terbuka dengan otomatis. Satpam menunduk memberi salam saat mobil melaju melewatinya.Ketika mobil akhirnya berhenti di depan teras mansion, Sophia melirik Albert."Kau tadi tidak makan, mau kusiapkan sesuatu untuk makan malam?" Sophia bertanya dengan r
Sophia benar-benar pergi menemui Alexander, tapi dia tidak menunggu besok melainkan melakukannya malam itu juga. Saat Sophia bertemu dengannya di lobi perusahaan, Alexander tengah dalam perjalanan untuk pulang. Dia terkejut ketika melihat Sophia berada di sana.“Sophia,” katanya.Sophia tersenyum ramah. “Halo, Alex.”Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di sebuah bar yang menyajikan anggur. Alexander sengaja mengatakan bahwa dia hendak mengunjungi tempat ini untuk melepas penatnya setelah seharian kerja. Sophia awalnya meminta waktu lelaki itu sejenak, tapi Alexander menolaknya mentah-mentah.“Aku pesan champagne,” kata Sophia pada si bartender yang duduk di balik meja. Dia mengangguk lalu mulai menyiapkan pesanan Sophia.“Aku juga,” kata Alexander ikut.Sophia menatapnya, dan Alex memberikannya senyum penuh arti. “Kau tahu? Sekarang setiap kali aku meminum champagne, aku selalu
Sore itu Sophia terbangun dalam keadaan linglung. Dia terdiam beberapa saat sebelum deringan di ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Luke Abraham.Sophia, yang belum benar-benar mengumpulkan kesadarannya pun langsung menatap layar ponselnya dengan mata memicing. Setelah beberapa hari tidak ada kabar, baru kali ini Luke kembali menghubunginya. Dan isi pesan tersebut membuat Sophia semakin keheranan.[Pulanglah sebentar ke Kediaman Abraham, aku punya berita penting yang harus aku beri tahukan padamu.]Sophia lalu bangun dari tidurnya dan pergi bersiap-siap sembari menduga-duga berita penting apa yang hendak Luke katakan.Apa Paula atau Billie akan menikah? Atau Luke sendiri yang sudah menemukan pasangan untuk membangun rumah tangga? Apa pun itu, Sophia tetap dibuat penasaran.Dua jam kemudian Sophia sampai di Kediaman Abraham, tepat saat makan malam. Namun, saat Sophia masuk, Luke sudah menyambutnya di depan pintu.Saat So
Sophia keluar dari kamarnya pada waktu makan siang. Saat itu, Albert sudah pergi dengan amarah yang tidak bisa terucapkan.Sophia menunduk, menatap makanan di piringnya tanpa minat.“Sophie? Kau baik-baik saja?” tanya Laura pada putrinya yang tampak sedu itu.“Hm,” sahut Sophia.“Apa kau dan Albert sudah berbicara?” tanya Laura lagi, menatapnya penasaran.Saat sedang berada di ruang santai tadi, Albert sempat mendatanginya untuk pamit. Laura tidak menyangka kalau menantu lelakinya itu akan bersikap penuh sopan padanya dan benar-benar menganggapnya sebagai ibu. Sudah terlalu lama Laura jauh dari kehidupan Sophia sehingga terkadang dia merasa dirinya tidak pantas untuk mencampuri urusan-urusan sang putri.Tapi kali ini, Laura begitu penasaran.“Ya, Mom,” jawab Sophia, diikuti helaan napas pendek.“Ada apa denganmu? Bukankah seharusnya kau senang dia pergi?” tukas Daniel
Sophia menjauh dari pintu saat Albert membukanya. Dia hendak menghindar supaya tidak ketahuan menguping, tapi selimut yang melilit tubuhnya itu terinjak sehingga Sophia terjatuh ke lantai dengan kedua tangan sebagai tumpuan.“Sophie!” seru Albert terkejut, lalu langsung berlari membantu Sophia untuk bangun. “Kau tidak apa-apa?” tanya Albert.Sophia bergeming. Dia memang tidak apa-apa, tidak ada yang sakit. Tapi menyadari bahwa dirinya baru saja hampir menyakiti sang janin di perut, membuatnya tertegun. Bagaimana kalau tadi dia tidak memiliki refleks cepat sehingga jatuh dengan perutnya yang mendarat lebih dulu? Sophia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Memang belum genap satu bulan dia mengetahui dirinya tengah hamil, tapi Sophia telah mengikat hubungan yang sangat erat dengan bayi di dalam perutnya dan kehilangannya adalah hal terakhir yang Sophia inginkan.Melihat tatapan kosong di mata wanita itu, Albert menjadi cemas. &ldq
“Albert?” lirih sebuah suara.Albert langsung tersadar dan sedikit menunduk, melihat sepasang kelopak mata yang bergerak, walau dia tidak bisa melihat mata Sophia sepenuhnya, tapi Albert tahu istrinya itu telah terjaga.“Apa aku membangunkanmu?” tanya Albert kemudian. Detak jantungnya kembali melaju cepat, oleh rasa takut kalau Sophia akan tersadar dan menyudahi semuanya.“Hm,” sahut wanita itu.Dan beberapa menit berlalu, hal yang Albert khawatirkan tidak kunjung terjadi. Dia pun menunduk lagi dan melihat Sophia masih tidak bergeming.“Albert,” kata wanita itu.Tubuh Albert langsung menegang. “Ya?”“Bagaimana kabar Cecil?”“….”“Hm?” ucap Sophia lagi.“Kenapa kau bertanya?” sahut Albert.“Aku hanya penasaran. Bukankah tadi kalian saling mengirim pesan?”Sejenak, Albert
Albert menekan tubuh Sophia dengan tubuhnya sendiri. Memagut bibir ranum itu, melumatnya lembut, dan merasakan perlakuan yang sama pada bibirnya.Rasanya seperti di surga; memeluk dan mencium wanita yang dicintainya ini.Tidak ada yang bisa Albert pikirkan selain luapan emosi di antara mereka, yang dia tuangkan dalam rengkuhan penuh hasrat itu.Suara cecap bibir saling bersahutan di kamar dengan suasana sunyi, menambah semangat kedua insan yang tengah saling memadu kasih. Bahkan sekali pun oksigen di paru-paru masing-masing mulai menipis, mereka masih enggan untuk menjauh.Sampai akhirnya dada Sophia semakin terasa sesak, dia pun menepuk bahu Albert dan mendorongnya, namun menyisakan jarak yang tidak cukup jauh.“Albert?” lirih Sophia dengan napas memburu.Albert menyahutinya dengan gumaman singkat, lalu beralih untuk mengecup leher istrinya itu, memeluknya kian erat, seolah takut bahwa Sophia akan berubah pikiran dan mendorongny
Suara dering notifikasi dari ponsel kembali membuat dua pasang mata itu terbuka. Karena nada dering yang sama, mereka sibuk mengecek ponsel masing-masing yang diletakkan di nakas.Sophia yang lebih dulu menyadari bahwa itu bukan bunyi dari ponselnya, pun kembali berbaring tidur.Saking sunyinya suasana di antara mereka, Sophia sampai bisa mendengar suara jari Albert mengetuk pada layar, mengetik sesuatu di sana. Sophia tidak tahan untuk tidak bertanya-tanya siapa yang kiranya menghubungi Albert selarut ini.Pasti wanita itu.Sophia tersenyum getir, lalu memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman.Nyaris saja Sophia lupa, bahwa ada sesuatu yang sangat serius di antara dirinya dan Albert. Lagi-lagi Sophia mengingatkan diri sendiri untuk tidak lagi terjatuh pada pesona pria itu, untuk melupakannya dan membuat kehidupan baru dengan anaknya kelak.Sedang Sophia sibuk dengan pikirannya sendiri, Albert juga sama. Dia membalas sebuah email yang b
Albert duduk di samping Sophia dalam diam. Menatap udara dengan tatapan nyaris kosong. Sementara itu, Sophia sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, yang Albert yakini pasti naskah novel yang tengah dia garap.Anehnya, keheningan di antara mereka kali ini terasa tidak menggangu. Seolah memang itulah yang mereka butuhkan. Duduk berdua, tanpa kata-kata yang akan berakhir menyakiti mereka sendiri.Albert teringat akan lima buku karya Sailendra A. di rumah yang baru-baru ini dia beli untuk memuaskan rasa rindunya pada sang istri. Albert memang baru membaca beberapa lembar saja, dia belum memiliki waktu luang untuk menghabiskan membaca semuanya.Namun, walau begitu, Albert sudah tahu bahwa Sophia adalah penulis yang hebat.Saat sedang memikirkan itu, perhatian Albert teralihkan oleh suara jari Sophia yang menari di atas keyboard-nya yang terdengar semakin keras. Ekspresi di wajah wanita itu juga tampak mengerut kesal.“Kenapa?” tanya Albert pad
Sophia hanya diam saja saat Albert mengucapkan selamat malam pada ibunya, yang kemudian dibawa suster masuk ke kamar, meninggalkan Sophia dan Albert berdua di tengah ruangan yang sepi itu.Mereka sama-sama terdiam dalam kebisuan yang tidak pasti kapan akan disela. Albert lalu berbalik, menatap lurus ke arah wanita yang tengah menunduk di hadapannya, seolah lantai menjadi hal yang paling menarik di dunia baginya. Perlahan, Albert pun melangkah mendekati wanita itu, sembari berdoa dalam hati semoga keputusannya ini tidak membuat Sophia marah dan semakin menghindarinya.Tapi hal yang lebih buruk justru terjadi. Sophia hanya diam saja, tidak mengatakan apapun semenjak Albert mengumumkan bahwa dia akan menginap malam ini.Albert semakin mendekatinya karena melihat Sophia terus bergeming. Saat jarak di antara mereka tidak terlalu jauh lagi, barulah Sophia mengangkat kepalanya dan menatap Albert, melihat bagaimana manik keperakan itu mengobservasi sosoknya.Soph