"Di mana Dana?" tanya Sophia sesaat setelah dia masuk ke ruang makan.Albert yang tengah menuangkan air ke dalam gelas menoleh padanya. "Dana?" tanyanya bingung.Gerakan tangan Sophia yang menarik kursi terhenti, dia terdiam lama sambil menatap menu makan malam yang tersedia di meja."Jadi... kau menyiapkan semua ini sendiri?" tanya Sophia pelan."Hm," jawab Albert diikuti anggukan singkat.Sophia tidak menyangka sekaligus kagum akan seberapa cepatnya lelaki itu melakukan semua ini. Memasak steak dan menata meja.Aku pasti butuh berjam-jam untuk melakukannya, batin Sophia. Dia melirik dapur sejenak dan melihat bahwa tempat itu tampak seolah tidak ada yang pernah menggunakannya memasak steak beberapa saat lalu. Selain cekatan, Albert juga sangat rapi dan bersih."Lalu di mana kekasihmu?" tanya Sophia lagi, tersadar bahwa si pirang tidak ada di sana."Dia bukan kekasihku. Dan aku sudah mengusirnya pergi," jawab Albert tanpa menoleh padanya, Albert sibuk memotong daging di piringnya, lalu
Sophia merasakan tenggorokannya kering dan sakit karena tanpa sadar di tidurnya tadi dia terus merintih dan menangis. Sophia pun turun dari ranjang, pergi ke dapur untuk mengambil air.Setelah itu, saat Sophia hendak kembali ke kamar, dia berpapasan dengan Albert yang menuruni tangga. Sophia sudah siap untuk menghiraukannya karena dia masih teringat dengan perseteruan mereka tadi, namun sepertinya Albert berpikir sebaliknya.“Sophie?” kata lelaki itu, mencekal lengan Sophia dan menahannya.Sophia tidak menoleh atau pun mencoba menghindar, dia hanya bergeming di sana.Albert di hadapannya mengerutkan kening, menunduk dan menyipitkan mata menatap wajah Sophia.“Kau menangis?” suara Albert.Barulah Sophia menoleh dan balas menatapnya. Dia sendiri tidak tahu, apakah aku menangis? Ah ya, dia memang selalu dibuat sekacau ini saat mimpi itu datang. Tapi bedanya, yang sebelum-sebelumnya Albert tidak akan tahu, karena dia jarang berada di rumah.“Mimpi buruk?” tebak Albert saat Sophia hanya ter
“Ke-kenapa?” tanya Sophia gugup.Albert terlihat berpikir. “Tidak ada. Hanya tampak sedikit familiar.”Sophia nyaris menghela napas kecewa. Oh kenapa dia harus kecewa hanya karena Albert tidak mengingat kejadian di kapal? Itu sudah lama. Dan kalau pun Albert ingat, dia pasti akan menganggapnya tidak penting.“Kalau begitu, lepaskan aku,” kata Sophia.“Aku tidak sedang memegangmu,” sahut Albert, setengah menyeringai.Wajah Sophia memerah. “Kalau begitu menjauhlah!” serunya, mendorong dada Albert yang bidang agar lelaki itu menjauh. Tapi Albert justru mengurungnya semakin dekat. “Albert apa kita akan terus kekanak-kanakkan seperti ini sampai pagi?” ucap Sophia dengan nada lelah.“Nah! Aku ke sini untuk memperbaiki itu, Wife. Kita akan bicara. Tapi aku tidak akan beranjak dari sini sebelum kau mengatakan ya.”Sophia menatap mata Albert dan bertanya-tanya apakah lelaki ini serius? Apa yang akan mereka bicarakan? Ada kah hal yang harus dibicarakan di antara mereka? Albert pasti memiliki pik
Pada akhirnya, mereka tidak sampai pada kesepakatan apapun.Sophia terlalu tercengang dengan ucapan Albert. Sedangkan Albert justru menganggap diamnya Sophia itu adalah bentuk sebuah penolakan.Egonya pasti terluka, batin Sophia saat berbaring di ranjang kamarnya, memutar kembali adegan ketika Albert berbalik pergi dengan tatapan kecewa pada malam itu. Sophia tidak ingin berharap terlalu lebih, tapi dia tidak bisa berhenti memikirkan ini… apakah Albert memiliki perasaan padanya?Dan Sophia yakin jawabannya adalah ‘ya’. Namun apapun perasaan yang Albert rasakan padanya yang pasti bukan cinta. Mungkin lelaki itu hanya sekadar peduli? Atau justru kasihan padanya? Sophia lebih memilih dugaan pertama karena yang kedua terdengar terlalu menyedihkan.Tapi rasa peduli pun terasa terlalu berlebihan bagi Sophia. Tanggung jawab kah? Atau itu semua hanyalah egonya sebagai laki-laki dan seorang suami?Karena tidak mungkin bagi Sophia, Albert dapat merasakan perasaan seperti yang dirinya rasakan.Se
Beberapa saat kemudian Sophia sudah sampai di kantor Albert dan lagi-lagi harus berhadapan dengan sekretaris Albert yang menyebalkan, wanita itu sepertinya pernah tidur dengan suaminya, sehingga dia selalu sinis setiap kali berhadapan dengan Sophia. Tapi Sophia tidak pernah menaruh peduli, tepatnya tidak mau peduli pada sesuatu yang berpotensi memperburuk perasaannya.“Sir Raymond sedang kedatangan tamu, Anda bisa menunggu di sini,” kata wanita itu pada Sophia, menunjuk dengan dagu pada kursi tunggu di ruangan itu, dia bahkan tidak bangkit sedikitpun dari kursinya setelah melirik Sophia sekilas.Merasa kesal, Sophia tidak mengindahkan perkataan wanita itu dan langsung saja menerobos masuk. Sophia sudah siap meledak jika yang didapatinya di dalam adalah selingkuhan yang lain, tapi justru Luke Abraham yang berada di sana, duduk di hadapan Albert di sofa.Dua pasang mata langsung tertuju pada Sophia. Ruangan itu menjadi hening dan canggung. “Harus kah aku kembali nanti?” kata Sophia sambi
“Bagaimana kalau malam ini? Kau tidur di kamarku?”Sophia menatap Albert seolah lelaki itu telah kehilangan akal sehatnya. “Kau gila?!”Senyum Albert melebar, lalu dia menggeleng. “Kau sendiri yang menawarkan kompromi ini, kau tidak berhak untuk berkata tidak.” Albert kemudian bangkit berdiri.Mata Sophia bergetar. Membayangkan dirinya berada di satu ruangan yang sama dengan Albert, di atas ranjang, bergelung selimut, itu terlalu… melelahkan. Melelahkan untuk jantungnya.Tidak peduli dengan status mereka yang sudah sah, tetap saja ini adalah hal yang baru.Tapi seperti kata Albert, apakah Sophia berhak untuk mundur sekarang? Sepertinya jawabannya adalah tidak. Sophia pun ikut berdiri dan mendongak menatap suaminya itu.“Baik. Karena pembicaraan kita juga belum selesai, mungkin sebaiknya kita bicarakan di tempat tidur.” Ekspresi di wajah Sophia saat mengatakannya sangat datar.Albert menahan senyum. “Memang… pembicaraan di atas ranjang itu selalu berbobot, ayo kita lakukan.”***Butuh w
“Ya, aku mencintai pria itu.” Sophia akhirnya menjawab, menatap mata terkejut Daniel dia pun menunduk. Sangat disayangkan, batinnya. “Aku jatuh cinta pada pria seperti Albert Raymond.” Dia melanjutkan pada dirinya sendiri, tersenyum kecut.Itu adalah pengakuan pertama Sophia kepada orang lain selain dirinya sendiri. Sophia tidak percaya dia mengatakannya kepada seseorang seperti Daniel, pria yang baru saja ditemuinya tidak lama.“Tapi dia tidak membalas perasaanmu.”Kali ini pernyataan Daniel benar-benar membuatnya tertohok. “Benar,” jawabnya, lalu tersenyum tanpa beban.Namun Daniel dapat melihat kesenduan di mata Sophia. Daniel sudah akan mengganti topik ke lain hal, tapi Sophia justru bertanya.“Apa kau pernah jatuh cinta sebelumnya, Tuan Mateo?”“Pertama-tama, panggil aku Daniel. Dan ya, aku pernah jatuh cinta sebelumnya.”“Benarkah?”“Aku mengerti. Aku mengerti. Penampilanku yang seperti ini memang menunjukkan ketidakseriusanku pada banyak hal, tapi jangan menilai seseorang dari p
“Dari mana saja kau?!” seruan itu adalah suara pertama yang Sophia dengar sesaat setelah dia masuk ke ruang kerja Albert.“Luar,” jawab Sophia singkat dan acuh sambil melangkah menuju sofa dan merebahkan dirinya di sana. Albert tampak sedang menelepon seseorang dengan ekspresi keras saat Sophia datang membuka pintu dan mengalihkan perhatian lelaki itu. Luke Abraham sudah pergi, dia pasti datang untuk membicarakan perihal bisnis.“Luar, katamu?” ekspresi Albert tampak naik pitam. “Kau pikir aku sebodoh itu?”“Albert, maksudku ‘luar’ itu bukanlah kursi tunggu di ruangan sekretarismu.”“Lalu kau pergi ke mana?”“Kenapa aku harus memberitahumu?”Albert menghela napas, memijat pangkal hidungnya dengan jari. “Kakakmu datang secara mendadak untuk membicarakan perihal bisnis, tepatnya proyek hotel kerja sama antara Raymond dan Abraham. Aku tidak tahu kalau kau akan datang secepat itu.”“Kau bilang ‘sekarang’ di pesan singkat yang kau kirim.”“Tapi tetap saja! Kau wanita, seharusnya kau dandan