“Ya, aku mencintai pria itu.” Sophia akhirnya menjawab, menatap mata terkejut Daniel dia pun menunduk. Sangat disayangkan, batinnya. “Aku jatuh cinta pada pria seperti Albert Raymond.” Dia melanjutkan pada dirinya sendiri, tersenyum kecut.Itu adalah pengakuan pertama Sophia kepada orang lain selain dirinya sendiri. Sophia tidak percaya dia mengatakannya kepada seseorang seperti Daniel, pria yang baru saja ditemuinya tidak lama.“Tapi dia tidak membalas perasaanmu.”Kali ini pernyataan Daniel benar-benar membuatnya tertohok. “Benar,” jawabnya, lalu tersenyum tanpa beban.Namun Daniel dapat melihat kesenduan di mata Sophia. Daniel sudah akan mengganti topik ke lain hal, tapi Sophia justru bertanya.“Apa kau pernah jatuh cinta sebelumnya, Tuan Mateo?”“Pertama-tama, panggil aku Daniel. Dan ya, aku pernah jatuh cinta sebelumnya.”“Benarkah?”“Aku mengerti. Aku mengerti. Penampilanku yang seperti ini memang menunjukkan ketidakseriusanku pada banyak hal, tapi jangan menilai seseorang dari p
“Dari mana saja kau?!” seruan itu adalah suara pertama yang Sophia dengar sesaat setelah dia masuk ke ruang kerja Albert.“Luar,” jawab Sophia singkat dan acuh sambil melangkah menuju sofa dan merebahkan dirinya di sana. Albert tampak sedang menelepon seseorang dengan ekspresi keras saat Sophia datang membuka pintu dan mengalihkan perhatian lelaki itu. Luke Abraham sudah pergi, dia pasti datang untuk membicarakan perihal bisnis.“Luar, katamu?” ekspresi Albert tampak naik pitam. “Kau pikir aku sebodoh itu?”“Albert, maksudku ‘luar’ itu bukanlah kursi tunggu di ruangan sekretarismu.”“Lalu kau pergi ke mana?”“Kenapa aku harus memberitahumu?”Albert menghela napas, memijat pangkal hidungnya dengan jari. “Kakakmu datang secara mendadak untuk membicarakan perihal bisnis, tepatnya proyek hotel kerja sama antara Raymond dan Abraham. Aku tidak tahu kalau kau akan datang secepat itu.”“Kau bilang ‘sekarang’ di pesan singkat yang kau kirim.”“Tapi tetap saja! Kau wanita, seharusnya kau dandan
Dan tepat seperti dugaan Sophia, pertemuan itu memang bukan pertemuan resmi. Mereka bahkan melakukannya di sebuah ruang karaoke. Ruangan itu cukup luas, mungkin memang diperuntukkan untuk pertemuan-pertemuan tidak resmi seperti ini. Layar kaca besar ada di tengah tembok yang menghadap tiga sofa panjang dan lebar di tengah ruangan, meja kayu tebal juga ditelakkan di sana.Lampu di ruangan itu menyala terang, seorang pria sudah lebih dulu berada di sana. Dia menoleh menatap kehadiran Albert dan Sophia.“Akhirnya kau datang juga, Tuan Raymond!” kata pria berambut pirang itu yang Sophia tidak kenal. Pria itu langsung menyambut Albert, menyalaminya dengan gestur sopan.“Rickie,” sapa Albert. “Kau datang terlalu awal,” lanjutnya yang membuat lelaki berambut pirang itu terbahak.Kemudian dia beralih pada Sophia, matanya berkilat-kilat menggoda. “Dan… ini pasti Nyonya Raymond.”“Benar, istriku,” sahut Albert di samping Sophia.Sophia hanya membalas dengan senyuman ramah. Belum apa-apa dia suda
“Kupikir ini adalah pertemuan bisnis,” bisik Sophia pada Albert. Dia terpaksa duduk berdempetan dengan suaminya itu karena di sampingnya sudah duduk seorang wanita yang Sophia sama sekali tidak kenal selain pernah melihatnya beberapa kali tayang di televisi mengiklankan sebuah produk.“Ya, ini memang pertemuan bisnis, sekaligus early party untuk peluncuran produk kita satu minggu lagi.”“Oh, bagus! Now I’m stuck here,” gumam Sophia pelan.Albert terkekeh mendengarnya.Orang-orang mulai meminum champagne mereka dan berpesta, musik yang keras membuat suara obrolan menyaru. Rickie menyalakan mesin karaoke sambil memeluk seorang model yang tertawa senang akan kecupan goda-godaannya.Sophia tahu bahwa kaum elit menyukai pesta, tapi tidak pesta seperti ini. Ini… ini pesta yang sedikit terlalu liar untuk pertemuan bisnis.Saat Sophia sepenuhnya fokus memperhatikan mereka, sebuah sentuhan di bahunya membuat Sophia berjengit.Kemudian suara Albert terdengar, “Ya, aku juga mulai menyesal mengaja
“Siapa yang bajingan?”Sophia hampir tersedak dibuat oleh suara yang tiba-tiba itu. Dan kalau dia bisa mendengar suara itu dengan jelas di ruangan yang dipenuhi suara musik menggelegar ini, berarti orang itu berbicara di dekatnya.Terlalu dekat.Sophia bahkan tidak berani menoleh dan memusatkan tatapannya pada cairan bening di dalam gelas.“Hm? Kenapa kau tidak menjawab? Aku jadi berpikir bahwa yang kau umpat adalah aku,” ujar suara itu terdengar menjengkelkan.Sophia pun menoleh, dan tepat seperti dugaannya, wajah mereka bahkan lebih dekat dari saat tadi Sophia bersama Albert.“Tuan Alexander?” ucap Sophia.“Hm?” Pria itu tersenyum lebar, aroma manis champagne tercium dari napasnya yang menerpa wajah Sophia.“Anda terlalu dekat,” sambung Sophia, ekspresinya masih sama dingin dari semenjak dia kembali dari toilet tadi.Alexander terkekeh kemudian sedikit menjauh.“Dan maaf, aku tidak cukup mengenalmu untuk mengumpatimu, Tuan Alexander.”“Panggil saja aku Alex, Nyonya—”“Sophia, please
Sophia menatap nanar pada sekelilingnya. Di tengah hiru-pikuk pesta yang meriah, dia berdiri seorang diri di pojokan, berharap tidak seorang pun memperhatikannya berada di sana. Pakaian yang malam ini dikenakannya terasa menggelitik kulit, begitu pun dengan berlian yang menghiasi leher dan tangannya. Tidak ada hal lain yang ingin Sophia lakukan selain melepas semua itu dari tubuhnya dan keluar dari tempat ini.Aku ingin pulang, batin Sophia berulang kali. Dia sudah muak berada di pesta semacam ini. Tidak ada satupun orang yang memperhatikannya, sekalipun itu yang ia inginkan, Sophia tidak bisa menampik perasaan sedih di dadanya.Tatapan Sophia kemudian berlabuh pada sosok tinggi Albert Raymond, suaminya, yang saat ini berdiri dikelilingi oleh perempuan-perempuan cantik bak super model yang berlomba-lomba mencari perhatiannya. Sophia mendengus, lalu ketika tatapan Albert teralih padanya, Sophia mengalihkan pandang.Cukup sudah! batinnya dengan muak. Dia berjalan ke arah meja yang dipenu
“Mr. Raymond, Anda memiliki beberapa panggilan beruntun dari Miss Cecilia.”Albert menjatuhkan pena di tangannya dengan muak, lalu menatap bawahannya dingin. “Maurice, kau berani mengganggu pekerjaanku dengan alasan setidak penting itu.”Maurice, sekretarisnya, menunduk dalam. “Maafkan saya, Sir, tapi seperti yang saya katakan, panggilannya datang secara beruntun sedari tadi, jadi saya berpikir mungkin ada hal penting yang ingin Miss Cecilia bicarakan.”“Keluar!” titah Albert dengan dingin.“Ya, Sir.” Maurice langsung keluar dari ruang kerjanya.Setelah itu, Albert melepas kacamatanya, menghempaskannya ke meja, lalu memijat pangkal hidungnya sambil menahan rasa pening di kepala dan matanya yang terasa lelah.Dia baru saja memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang telah menjalin hubungan dengannya selama lima hari. Lima hari yang sama sekali tidak berarti. Albert memutuskan wanita berambut pirang itu sesaat setelah dia menyinggung masalah keseriusan hubungan mereka.Albert tidak butuh
Sophia mengernyitkan dahi. “Kau baik-baik saja?”“Ya. Dan kalau kau tidak ada kepentingan datang kemari, sebaiknya jangan menggangguku!” tukas Albert sebelum tangannya bergerak menutup pintu. Namun dengan cepat dicegah oleh Sophia dengan kakinya.“Aku membawakanmu sarapan,” kata Sophia.“Ah ya, bilang pada Dana bahwa hari ini aku sepertinya tidak akan turun untuk makan.”Sophia tidak mau kalah ketika Albert hendak menutup pintu kamarnya lagi. “Ini sarapanmu!” tegas Sophia.Albert menghela napas, menatap Sophia jengkel, lalu tangannya terangkat hendak mengambil alih nampan itu dari tangan Sophia, tapi Sophia malah menjauhkannya. Albert berdecak semakin kesal.“Berikan—”“Tanganmu,” Sophia memotong, menatap tangan Albert yang gemetaran, dia tidak akan mampu mengangkat nampan itu tanpa membuat isinya tumpah.Albert sekali lagi menghela napas pasrah dan membuka pintunya lebih lebar. “Bawa ke dalam.”Tanpa disuruh dua kali, Sophia masuk ke dalam kamar Albert dan sedikit terkesiap oleh aroma