“Dari mana saja kau?!” seruan itu adalah suara pertama yang Sophia dengar sesaat setelah dia masuk ke ruang kerja Albert.“Luar,” jawab Sophia singkat dan acuh sambil melangkah menuju sofa dan merebahkan dirinya di sana. Albert tampak sedang menelepon seseorang dengan ekspresi keras saat Sophia datang membuka pintu dan mengalihkan perhatian lelaki itu. Luke Abraham sudah pergi, dia pasti datang untuk membicarakan perihal bisnis.“Luar, katamu?” ekspresi Albert tampak naik pitam. “Kau pikir aku sebodoh itu?”“Albert, maksudku ‘luar’ itu bukanlah kursi tunggu di ruangan sekretarismu.”“Lalu kau pergi ke mana?”“Kenapa aku harus memberitahumu?”Albert menghela napas, memijat pangkal hidungnya dengan jari. “Kakakmu datang secara mendadak untuk membicarakan perihal bisnis, tepatnya proyek hotel kerja sama antara Raymond dan Abraham. Aku tidak tahu kalau kau akan datang secepat itu.”“Kau bilang ‘sekarang’ di pesan singkat yang kau kirim.”“Tapi tetap saja! Kau wanita, seharusnya kau dandan
Dan tepat seperti dugaan Sophia, pertemuan itu memang bukan pertemuan resmi. Mereka bahkan melakukannya di sebuah ruang karaoke. Ruangan itu cukup luas, mungkin memang diperuntukkan untuk pertemuan-pertemuan tidak resmi seperti ini. Layar kaca besar ada di tengah tembok yang menghadap tiga sofa panjang dan lebar di tengah ruangan, meja kayu tebal juga ditelakkan di sana.Lampu di ruangan itu menyala terang, seorang pria sudah lebih dulu berada di sana. Dia menoleh menatap kehadiran Albert dan Sophia.“Akhirnya kau datang juga, Tuan Raymond!” kata pria berambut pirang itu yang Sophia tidak kenal. Pria itu langsung menyambut Albert, menyalaminya dengan gestur sopan.“Rickie,” sapa Albert. “Kau datang terlalu awal,” lanjutnya yang membuat lelaki berambut pirang itu terbahak.Kemudian dia beralih pada Sophia, matanya berkilat-kilat menggoda. “Dan… ini pasti Nyonya Raymond.”“Benar, istriku,” sahut Albert di samping Sophia.Sophia hanya membalas dengan senyuman ramah. Belum apa-apa dia suda
“Kupikir ini adalah pertemuan bisnis,” bisik Sophia pada Albert. Dia terpaksa duduk berdempetan dengan suaminya itu karena di sampingnya sudah duduk seorang wanita yang Sophia sama sekali tidak kenal selain pernah melihatnya beberapa kali tayang di televisi mengiklankan sebuah produk.“Ya, ini memang pertemuan bisnis, sekaligus early party untuk peluncuran produk kita satu minggu lagi.”“Oh, bagus! Now I’m stuck here,” gumam Sophia pelan.Albert terkekeh mendengarnya.Orang-orang mulai meminum champagne mereka dan berpesta, musik yang keras membuat suara obrolan menyaru. Rickie menyalakan mesin karaoke sambil memeluk seorang model yang tertawa senang akan kecupan goda-godaannya.Sophia tahu bahwa kaum elit menyukai pesta, tapi tidak pesta seperti ini. Ini… ini pesta yang sedikit terlalu liar untuk pertemuan bisnis.Saat Sophia sepenuhnya fokus memperhatikan mereka, sebuah sentuhan di bahunya membuat Sophia berjengit.Kemudian suara Albert terdengar, “Ya, aku juga mulai menyesal mengaja
“Siapa yang bajingan?”Sophia hampir tersedak dibuat oleh suara yang tiba-tiba itu. Dan kalau dia bisa mendengar suara itu dengan jelas di ruangan yang dipenuhi suara musik menggelegar ini, berarti orang itu berbicara di dekatnya.Terlalu dekat.Sophia bahkan tidak berani menoleh dan memusatkan tatapannya pada cairan bening di dalam gelas.“Hm? Kenapa kau tidak menjawab? Aku jadi berpikir bahwa yang kau umpat adalah aku,” ujar suara itu terdengar menjengkelkan.Sophia pun menoleh, dan tepat seperti dugaannya, wajah mereka bahkan lebih dekat dari saat tadi Sophia bersama Albert.“Tuan Alexander?” ucap Sophia.“Hm?” Pria itu tersenyum lebar, aroma manis champagne tercium dari napasnya yang menerpa wajah Sophia.“Anda terlalu dekat,” sambung Sophia, ekspresinya masih sama dingin dari semenjak dia kembali dari toilet tadi.Alexander terkekeh kemudian sedikit menjauh.“Dan maaf, aku tidak cukup mengenalmu untuk mengumpatimu, Tuan Alexander.”“Panggil saja aku Alex, Nyonya—”“Sophia, please,
“Albert! Apa yang kau pikir baru saja kau lakukan, hah?” Sophia membentak, sambil mencoba untuk menarik tangannya dari genggaman Albert yang sangat kencang.“Diam!” sahut pria itu tegas. Langkah kakinya lebar dan dia berjalan semakin cepat, menyeret Sophia bersamanya.Mereka turun ke parkiran di basement dan masuk ke dalam mobil.“Kau mengganggu kesenanganku!” Sophia menyeru sambil mengelusi tangannya yang memerah.“Kesenangan? Merendahkan dirimu sendiri hanya untuk menyinggungku seperti itu kau sebut sebuah kesenangan?!”Sophia menyorot marah padanya. “Jangan terlalu percaya diri. Aku melakukannya karena aku suka.”“Karena kau suka, ya?” Albert tersenyum mengejek.Sophia semakin jengkel dibuatnya. “Ya, Alexander adalan pencium yang… hmmphh!”Albert memotong ucapan Sophia itu dengan mencium bibirnya.Sophia meronta, mendorong dada Albert dengan kuat. Albert pun menjauh.Sophia berdecih. “Eewww… kau menjijikkan! Bibirmu baru saja kau gunakan mencium jalang itu!”Kilatan amarah dan gair
Saat pagi menyingsing, Sophia turun untuk sarapan dan bertemu dengan Albert yang telah duduk lebih dulu di meja makan. Tumben sekali lelaki itu belum berangkat ke kantor pada jam segini, batin Sophia.Saat Sophia menghampirinya, Albert mengalihkan pandang dari gadget di tangannya pada Sophia. Pandangan lelaki itu membuat Sophia menahan napas karena mengingat apa yang mereka lakukan kemarin malam dan apa yang Albert lakukan padanya setelah itu.Wajah Sophia memanas, dia mencoba menyembunyikannya dengan berbelok ke arah dapur menghampiri Dana.Namun terlambat, karena Albert sudah terlanjur melihat rona merah di pipi istrinya itu.“Sophia, apa kau baik-baik saja, Dear? Albert bilang semalam kau habis minum-minum?” tanya Dana sesaat setelah dia menyadari kehadiran Sophia di dapurnya.“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Sophia. Terima kasih untuk seseorang, dia merasa jauh lebih baik saat bangun tidur tadi, terlebih setelah meminum obat painkiller yang orang itu beri.“Syukurlah. Aku akan buat
Mereka tadi menolak, tapi kenyatannya kini keduanya tengah berada di kebun anggur yang Dana bicarakan. Luasnya tidak seberapa, terletak di belakang rumah, setelah taman. Pohon-pohon anggur tumbuh dengan subur, merambat mengikuti kerangka kubah setengah lingkaran.Ada suami Dana di sana, Joe Florence, Sophia biasa memanggilnya dengan panggilan formal. Sekalipun sudah beberapa kali Sir Florence menyarankannya untuk memanggil Joe saja, tapi Sophia belum terbiasa.Joe bekerja sebagai penjaga kebun, dia dan istrinya tinggal tidak jauh dari sini, dan mengelola beberapa petak tanah milik Albert adalah hal yang telah lama mereka lakukan, bahkan sebelum Albert membeli rumah itu.“Nyonya Raymond, kau di sini!” sapa Joe saat mereka mendekat.“Hai, Sir Florence,” sahut Sophia, tersenyum ramah.“Dan Tuan, maaf aku tidak melihatmu lebih dulu,” Joe beralih pada Albert dan menunduk sedikit meminta maaf.“Hm,” sahut Albert tampak acuh. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, melihat kebun anggur yang
Albert telah mengisi keranjang terakhir berisi anggur merah yang segar-segar. Keringat membasahi sekujur tubuhnya, wajahnya sedikit memerah karena panas, hari memang sudah semakin siang. Tapi Sophia dan Dana masih belum juga kembali. Joe bilang Dana pergi untuk memetik sayuran di dalam rumah tumbuhan. Karena itulah Albert berniat untuk menyusul mereka ke sana sekarang.Sementara itu, di dalam rumah tumbuhan, Sophia tengah duduk di bangku kayu dengan kaki kanan terangkat dan bertumpu di atas paha kiri, tangannya memijat perlahan pergelangan kakinya yang terlihat memerah.Itu terjadi karena tadi, ketika Sophia tengah berjongkok memetik cabai, dia tidak sadar ada siput yang berjalan perlahan naik ke punggung kakinya. Kemudian, saat dia sadar akan kehadiran hewan tanah itu, Sophia langsung menjerit dan refleks mengibaskan kakinya membabi buta, berlari menjauh dari sana. Karena sikap sembrono itu, dia tidak melihat ada gundukan tanah di depannya kemudian kakinya tersandung.Dana sangat ter
Albert membawa Sophia ke mobil dengan susah payah, menggendong istrinya yang terus saja memberontak. Pengunjung lain yang ada di luar mulai menatap mereka aneh, bahkan salah seorang penjaga mendekati Albert dengan tatapan penuh curiga.“Dia istriku,” sahut Albert tanpa menghentikan langkahnya, si penjaga pun kembali mundur.Pintu dibuka, Albert memasukkan Sophia ke dalam dan memasangkannya safety-belt juga.“Apa yang kau lakukan?! Biarkan aku pergi!” berontak Sophia dengan tenaga yang mulai melemah.Albert tidak menghiraukannya dan segera berlari ke sisi lain mobil kemudian masuk ke dalam. Tepat ketika Albert menyalakan mesin, Sophia membuka sabuk pengamannya lalu bergerak cepat membuka pintu. Tapi gerakan Albert lebih cepat lagi, menangkap tubuh istrinya itu dan mendorongnya ke kursi, lalu tanpa peringatan menyatukan bibir mereka dalam pagutan yang dalam.Rontaan Sophia melemah, tangannya yang mencengkeram lengan Albert per
Sophia benar-benar pergi menemui Alexander, tapi dia tidak menunggu besok melainkan melakukannya malam itu juga. Saat Sophia bertemu dengannya di lobi perusahaan, Alexander tengah dalam perjalanan untuk pulang. Dia terkejut ketika melihat Sophia berada di sana.“Sophia,” katanya.Sophia tersenyum ramah. “Halo, Alex.”Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di sebuah bar yang menyajikan anggur. Alexander sengaja mengatakan bahwa dia hendak mengunjungi tempat ini untuk melepas penatnya setelah seharian kerja. Sophia awalnya meminta waktu lelaki itu sejenak, tapi Alexander menolaknya mentah-mentah.“Aku pesan champagne,” kata Sophia pada si bartender yang duduk di balik meja. Dia mengangguk lalu mulai menyiapkan pesanan Sophia.“Aku juga,” kata Alexander ikut.Sophia menatapnya, dan Alex memberikannya senyum penuh arti. “Kau tahu? Sekarang setiap kali aku meminum champagne, aku selalu
Sore itu Sophia terbangun dalam keadaan linglung. Dia terdiam beberapa saat sebelum deringan di ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Luke Abraham.Sophia, yang belum benar-benar mengumpulkan kesadarannya pun langsung menatap layar ponselnya dengan mata memicing. Setelah beberapa hari tidak ada kabar, baru kali ini Luke kembali menghubunginya. Dan isi pesan tersebut membuat Sophia semakin keheranan.[Pulanglah sebentar ke Kediaman Abraham, aku punya berita penting yang harus aku beri tahukan padamu.]Sophia lalu bangun dari tidurnya dan pergi bersiap-siap sembari menduga-duga berita penting apa yang hendak Luke katakan.Apa Paula atau Billie akan menikah? Atau Luke sendiri yang sudah menemukan pasangan untuk membangun rumah tangga? Apa pun itu, Sophia tetap dibuat penasaran.Dua jam kemudian Sophia sampai di Kediaman Abraham, tepat saat makan malam. Namun, saat Sophia masuk, Luke sudah menyambutnya di depan pintu.Saat So
Sophia keluar dari kamarnya pada waktu makan siang. Saat itu, Albert sudah pergi dengan amarah yang tidak bisa terucapkan.Sophia menunduk, menatap makanan di piringnya tanpa minat.“Sophie? Kau baik-baik saja?” tanya Laura pada putrinya yang tampak sedu itu.“Hm,” sahut Sophia.“Apa kau dan Albert sudah berbicara?” tanya Laura lagi, menatapnya penasaran.Saat sedang berada di ruang santai tadi, Albert sempat mendatanginya untuk pamit. Laura tidak menyangka kalau menantu lelakinya itu akan bersikap penuh sopan padanya dan benar-benar menganggapnya sebagai ibu. Sudah terlalu lama Laura jauh dari kehidupan Sophia sehingga terkadang dia merasa dirinya tidak pantas untuk mencampuri urusan-urusan sang putri.Tapi kali ini, Laura begitu penasaran.“Ya, Mom,” jawab Sophia, diikuti helaan napas pendek.“Ada apa denganmu? Bukankah seharusnya kau senang dia pergi?” tukas Daniel
Sophia menjauh dari pintu saat Albert membukanya. Dia hendak menghindar supaya tidak ketahuan menguping, tapi selimut yang melilit tubuhnya itu terinjak sehingga Sophia terjatuh ke lantai dengan kedua tangan sebagai tumpuan.“Sophie!” seru Albert terkejut, lalu langsung berlari membantu Sophia untuk bangun. “Kau tidak apa-apa?” tanya Albert.Sophia bergeming. Dia memang tidak apa-apa, tidak ada yang sakit. Tapi menyadari bahwa dirinya baru saja hampir menyakiti sang janin di perut, membuatnya tertegun. Bagaimana kalau tadi dia tidak memiliki refleks cepat sehingga jatuh dengan perutnya yang mendarat lebih dulu? Sophia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Memang belum genap satu bulan dia mengetahui dirinya tengah hamil, tapi Sophia telah mengikat hubungan yang sangat erat dengan bayi di dalam perutnya dan kehilangannya adalah hal terakhir yang Sophia inginkan.Melihat tatapan kosong di mata wanita itu, Albert menjadi cemas. &ldq
“Albert?” lirih sebuah suara.Albert langsung tersadar dan sedikit menunduk, melihat sepasang kelopak mata yang bergerak, walau dia tidak bisa melihat mata Sophia sepenuhnya, tapi Albert tahu istrinya itu telah terjaga.“Apa aku membangunkanmu?” tanya Albert kemudian. Detak jantungnya kembali melaju cepat, oleh rasa takut kalau Sophia akan tersadar dan menyudahi semuanya.“Hm,” sahut wanita itu.Dan beberapa menit berlalu, hal yang Albert khawatirkan tidak kunjung terjadi. Dia pun menunduk lagi dan melihat Sophia masih tidak bergeming.“Albert,” kata wanita itu.Tubuh Albert langsung menegang. “Ya?”“Bagaimana kabar Cecil?”“….”“Hm?” ucap Sophia lagi.“Kenapa kau bertanya?” sahut Albert.“Aku hanya penasaran. Bukankah tadi kalian saling mengirim pesan?”Sejenak, Albert
Albert menekan tubuh Sophia dengan tubuhnya sendiri. Memagut bibir ranum itu, melumatnya lembut, dan merasakan perlakuan yang sama pada bibirnya.Rasanya seperti di surga; memeluk dan mencium wanita yang dicintainya ini.Tidak ada yang bisa Albert pikirkan selain luapan emosi di antara mereka, yang dia tuangkan dalam rengkuhan penuh hasrat itu.Suara cecap bibir saling bersahutan di kamar dengan suasana sunyi, menambah semangat kedua insan yang tengah saling memadu kasih. Bahkan sekali pun oksigen di paru-paru masing-masing mulai menipis, mereka masih enggan untuk menjauh.Sampai akhirnya dada Sophia semakin terasa sesak, dia pun menepuk bahu Albert dan mendorongnya, namun menyisakan jarak yang tidak cukup jauh.“Albert?” lirih Sophia dengan napas memburu.Albert menyahutinya dengan gumaman singkat, lalu beralih untuk mengecup leher istrinya itu, memeluknya kian erat, seolah takut bahwa Sophia akan berubah pikiran dan mendorongny
Suara dering notifikasi dari ponsel kembali membuat dua pasang mata itu terbuka. Karena nada dering yang sama, mereka sibuk mengecek ponsel masing-masing yang diletakkan di nakas.Sophia yang lebih dulu menyadari bahwa itu bukan bunyi dari ponselnya, pun kembali berbaring tidur.Saking sunyinya suasana di antara mereka, Sophia sampai bisa mendengar suara jari Albert mengetuk pada layar, mengetik sesuatu di sana. Sophia tidak tahan untuk tidak bertanya-tanya siapa yang kiranya menghubungi Albert selarut ini.Pasti wanita itu.Sophia tersenyum getir, lalu memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman.Nyaris saja Sophia lupa, bahwa ada sesuatu yang sangat serius di antara dirinya dan Albert. Lagi-lagi Sophia mengingatkan diri sendiri untuk tidak lagi terjatuh pada pesona pria itu, untuk melupakannya dan membuat kehidupan baru dengan anaknya kelak.Sedang Sophia sibuk dengan pikirannya sendiri, Albert juga sama. Dia membalas sebuah email yang b
Albert duduk di samping Sophia dalam diam. Menatap udara dengan tatapan nyaris kosong. Sementara itu, Sophia sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, yang Albert yakini pasti naskah novel yang tengah dia garap.Anehnya, keheningan di antara mereka kali ini terasa tidak menggangu. Seolah memang itulah yang mereka butuhkan. Duduk berdua, tanpa kata-kata yang akan berakhir menyakiti mereka sendiri.Albert teringat akan lima buku karya Sailendra A. di rumah yang baru-baru ini dia beli untuk memuaskan rasa rindunya pada sang istri. Albert memang baru membaca beberapa lembar saja, dia belum memiliki waktu luang untuk menghabiskan membaca semuanya.Namun, walau begitu, Albert sudah tahu bahwa Sophia adalah penulis yang hebat.Saat sedang memikirkan itu, perhatian Albert teralihkan oleh suara jari Sophia yang menari di atas keyboard-nya yang terdengar semakin keras. Ekspresi di wajah wanita itu juga tampak mengerut kesal.“Kenapa?” tanya Albert pad