Televisi menyala, seorang wanita dari channel ramalan cuaca menginformasikan bahwa malam ini akan terjadi badai yang cukup buruk. Hujan lebat sudah turun membasahi kota, menutup gemerlapnya dengan tetesan-tetesan air lebat dan kabut yang cukup pekat. Awan-awan kelabu bergelung di langit, kilatan-kilatan terang saling bersahutan dengan gemuruh lantang.Albert berdiri menghadap jendela dengan kedua tangan yang tenggelam di saku. Tatapannya tampak kosong walau dapat dipastikan bahwa saat ini pikirannya tidak begitu. Albert kemudian menoleh ke belakang, pada ponselnya yang tergeletak di meja.“Bodoh!” rutuknya pada diri sendiri, kemudian berbalik, mengambil kasar ponselnya dan kunci mobil, kemudian melangkah dengan cepat pergi dari sana.***Dalam tidurnya, Sophia merasakan sepasang mata menatapnya tajam. Hal itu sangat mengusik. Dia pun terbangun, membuka pelan kelopak matanya untuk kemudian tertegun melihat siapa yang duduk bersandar pada tembok di hadapannya.Sophia meloncat duduk, meng
Sophia bangun lebih siang dari biasanya. Dia hanya memiliki dua pilihan, bangun terlalu pagi, atau bangun terlalu siang. Itu dilakukannya untuk menghindari Albert. Selain itu, Sophia juga merasa sedikit kesusahan melakukan rutinitas paginya dengan tangan dominannya yang bermasalah. Dia bahkan butuh beberapa saat lebih lama untuk memasang pakaian. Sophia, seperti biasa, memastikan bahwa pakaiannya menutupi tubuhnya dengan baik. Dia mengenakan turtle neck berwarna krem yang dibalutnya dengan blazer rajut coklat.Sophia turun ke bawah dan tidak menemukan Dana di dapur. Tapi setidaknya Dana pergi meninggalkan catatan bahwa dia mengunjungi kebun dan telah membuatkan Sophia sarapannya.Sophia membuka tutup saji dan menemukan berbagai macam menu sarapan terhidang. Sophia memilih omelet dan jus tomat favoritnya. Dana bahkan juga menyiapkan sepiring tomat-tomat kecil yang dipotong menyerupai kelinci, hal itu telah berhasil menghibur pagi Sophia yang semula terasa sedikit sendu.Sophia duduk di
Sophia tahu beberapa kata yang mungkin dapat menggambarkan apa yang saat ini dirasakannya. Kupu-kupu di perut? Aliran listrik yang menggelitik saraf? Jantung berdebar? Nyatanya, tidak satupun dari itu. Karena dia merasa, apa yang dirasakannya kini tidak akan bisa digambarkan dengan kata-kata apapun. Detik ketika bibirnya bersentuhan dengan bibir Albert, pikiran Sophia langsung kosong dari semua hal kecuali lelaki itu. Albert menciumnya dengan intens. Ciuman pria itu bergerak seolah dia hendak mengenal bibirnya dengan lebih baik, membelai setiap lekukannya dengan kelembutan yang membuat Sophia bergetar.Telapak tangan Albert ada di rambut Sophia, sebelahnya di pinggang lembut perempuan itu. Ketika Albert menekan tubuhnya semakin dekat, Sophia terkesiap, dan saat itulah Albert menyatukan lidah mereka. Sophia mengerang, kepalan tangannya di dada Albert menguat, sementara Albert memperdalam ciuman mereka.Sophia merasa oksigen di paru-parunya semakin menipis. Dia mendorong dada Albert pela
Louis menyesap habis minumannya kemudian berdehem. “Bagaimana kabarmu, Sophie? Kulihat tanganmu sudah tampak baik-baik saja.”Sophia menatap tangannya. Tangannya memang tidak sakit lagi, namun masih susah untuk difungsikan dengan normal. Dia mustahil bisa memakan makanannya dengan benar malam ini. “Seperti yang kau lihat, Papa, aku baik-baik saja.”Ayahnya mengangguk, menyesap minumannya lagi yang baru saja ditumpahkan ke gelasnya oleh sang istri.“Sophia, di mana Albert? Bukankah seharusnya kau datang bersamanya?” Mariane bertanya dengan nada seolah dia peduli.“Albert memiliki pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan di kantor,” jawab Sophia.“Seharusnya dia datang, ini kan makan malam keluarga. Lihatlah, bahkan kekasih kakakmu saja yang juga sangat sibuk mensempatkaan diri untuk datang kemari.”Sophia hanya bisa tersenyum menjadi balasannya, tidak tahu harus menjawab apa.“Tidakkah dia punya orang-orang untuk melakukan pekerjaannya itu?” tanya Billie.“Dia lebih suka melakukannya se
Sophia menatap ke luar jendela, melihat langit malam yang ditutupi awan kelabu. Tembok pagar mansion tempatnya tinggal tampak di pandangan. Sophia menyukai bangunan itu, desainnya begitu megah dan modern, ditambah dengan sentuhan alam yang hijau di luar, tempat yang nyaman untuk disebut rumah.Namun, Sophia tidak ingin terlalu menganggap tempat itu adalah rumahnya, sebab dia tahu suatu hari nanti dia harus pergi dari sana. Sophia tidak ingin menanam perasaannya terlalu dalam hanya untuk kemudian dicampakan. Albert bisa saja memutuskan hubungan mereka bulan depan, atau bahkan besok, alias kapan saja. Sophia merasa bahwa dia harus selalu siap.Albert masih dukuk di sebelahnya, mereka sama-sama terdiam. Mobil kemudian memasuki gerbang yang terbuka dengan otomatis. Satpam menunduk memberi salam saat mobil melaju melewatinya.Ketika mobil akhirnya berhenti di depan teras mansion, Sophia melirik Albert."Kau tadi tidak makan, mau kusiapkan sesuatu untuk makan malam?" Sophia bertanya dengan r
"Di mana Dana?" tanya Sophia sesaat setelah dia masuk ke ruang makan.Albert yang tengah menuangkan air ke dalam gelas menoleh padanya. "Dana?" tanyanya bingung.Gerakan tangan Sophia yang menarik kursi terhenti, dia terdiam lama sambil menatap menu makan malam yang tersedia di meja."Jadi... kau menyiapkan semua ini sendiri?" tanya Sophia pelan."Hm," jawab Albert diikuti anggukan singkat.Sophia tidak menyangka sekaligus kagum akan seberapa cepatnya lelaki itu melakukan semua ini. Memasak steak dan menata meja.Aku pasti butuh berjam-jam untuk melakukannya, batin Sophia. Dia melirik dapur sejenak dan melihat bahwa tempat itu tampak seolah tidak ada yang pernah menggunakannya memasak steak beberapa saat lalu. Selain cekatan, Albert juga sangat rapi dan bersih."Lalu di mana kekasihmu?" tanya Sophia lagi, tersadar bahwa si pirang tidak ada di sana."Dia bukan kekasihku. Dan aku sudah mengusirnya pergi," jawab Albert tanpa menoleh padanya, Albert sibuk memotong daging di piringnya, lalu
Sophia merasakan tenggorokannya kering dan sakit karena tanpa sadar di tidurnya tadi dia terus merintih dan menangis. Sophia pun turun dari ranjang, pergi ke dapur untuk mengambil air.Setelah itu, saat Sophia hendak kembali ke kamar, dia berpapasan dengan Albert yang menuruni tangga. Sophia sudah siap untuk menghiraukannya karena dia masih teringat dengan perseteruan mereka tadi, namun sepertinya Albert berpikir sebaliknya.“Sophie?” kata lelaki itu, mencekal lengan Sophia dan menahannya.Sophia tidak menoleh atau pun mencoba menghindar, dia hanya bergeming di sana.Albert di hadapannya mengerutkan kening, menunduk dan menyipitkan mata menatap wajah Sophia.“Kau menangis?” suara Albert.Barulah Sophia menoleh dan balas menatapnya. Dia sendiri tidak tahu, apakah aku menangis? Ah ya, dia memang selalu dibuat sekacau ini saat mimpi itu datang. Tapi bedanya, yang sebelum-sebelumnya Albert tidak akan tahu, karena dia jarang berada di rumah.“Mimpi buruk?” tebak Albert saat Sophia hanya ter
“Ke-kenapa?” tanya Sophia gugup.Albert terlihat berpikir. “Tidak ada. Hanya tampak sedikit familiar.”Sophia nyaris menghela napas kecewa. Oh kenapa dia harus kecewa hanya karena Albert tidak mengingat kejadian di kapal? Itu sudah lama. Dan kalau pun Albert ingat, dia pasti akan menganggapnya tidak penting.“Kalau begitu, lepaskan aku,” kata Sophia.“Aku tidak sedang memegangmu,” sahut Albert, setengah menyeringai.Wajah Sophia memerah. “Kalau begitu menjauhlah!” serunya, mendorong dada Albert yang bidang agar lelaki itu menjauh. Tapi Albert justru mengurungnya semakin dekat. “Albert apa kita akan terus kekanak-kanakkan seperti ini sampai pagi?” ucap Sophia dengan nada lelah.“Nah! Aku ke sini untuk memperbaiki itu, Wife. Kita akan bicara. Tapi aku tidak akan beranjak dari sini sebelum kau mengatakan ya.”Sophia menatap mata Albert dan bertanya-tanya apakah lelaki ini serius? Apa yang akan mereka bicarakan? Ada kah hal yang harus dibicarakan di antara mereka? Albert pasti memiliki pik