“Kuatkan dirimu. Ingatlah ada anak kita di dalam sini. Dia semakin tumbuh dan jangan sampai tubuh dan pikiran lemahmu memengaruhi anak kita, Rishi.” Amarise menumpukan telapak tangan kanan di atas punggung tangan Nic yang mengusap perut Amarise. Ia mengangguk. “Aku sudah menyiapkan diriku dari tiga minggu lalu.” Nic tidak ingin gegabah menuruti permintaan Amarise ini. Ia berkonsultasi dengan dokter, menyelesaikan semua urusan penting dan mencoba mengalihkan pikiran Amarise memenuhi permintaan ke Singapura dan Malaysia. Itu lebih penting dibandingkan Nic harus mengabulkan lebih cepat rasa penasaran Amarise. Sekarang ia cukup lega karena istrinya sudah berusaha menunjukkan kesiapannya. “Kemarilah. Ikut bersamaku.” Amarise mengerjap mengikuti Nic memasuki sisi lain dari mansion. Mereka tiba dari mengunjungi negara Asia Tenggara kemarin, menginap semalam di apartemen dan baru saja di mansion. “Aku bersumpah tidak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu padamu dan anak kit
“Dua penjahat itu tidak akan bebas sedikitpun jika terjadi sesuatu pada menantu perempuanku dan calon cucuku!”Tuan Isaac bersidekap, membiarkan sang istri melampiaskan amarah lewat kalimat menggebu. Ia diam memerhatikan Nic duduk berseberangan dengan tatapan kosong.Lelaki itu baru tiba setelah kemarin Nic memberitahu seluruh masalah dan fakta yang diungkap anak lelakinya sangat terlambat. Menurut mereka, apa yang dilakukan Nic terlalu berisiko disimpan sendirian tanpa membagi hal ini pada orangtuanya. “Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Nic?”“Nyawa harus dibalas dengan nyawa, Ivander!” sentak Nyonya Isaac menimpali cepat.“Mereka sudah membunuh orang tidak bersalah! Dua nyawa telah dilenyapkan, menghilangkan peran orangtua di hidup Amarise. Nic harus melakukan hal serupa sebagai hukuman yang tidak akan pernah setimpal!” sambung wanita itu menggebu.Nic menggeleng pelan. “Aku tidak akan melakukannya, sekalipun aku sangat menginginkannya, Ma.”“Apa yang kamu ucapkan?! Amarise is
Tubuh berisi Amarise masih dibalut gaun cantik yang beberapa waktu lalu dipakai untuk Maternity Shoot terakhir. Kehamilannya sudah memasuki usia ke sembilan bulan dan menjadi penutup terakhir Amarise mengabadikan perut besarnya. “Aku tidak sabar menanti kehadiranmu, Sayang,” cetus Amarise menaikkan ujung gaun, lalu telapak tangannya dengan lembut mengusap perut tanpa penghalang apa pun. Senyum manis itu terus mengiringi gerakan kecil Amarise berbalik tiap sisi untuk memerhatikan ukuran menggemaskan calon anak dalam perutnya. “Ibumu sudah sangat menantikanmu. Semoga kita bisa sama-sama berjuang, ya.” “Ah, iya. Tapi aku mulai sadar karena tidak memerhatikan hal ini.” Perempuan itu meringis kecil. “Apa Nic masih bernapsu dengan perutku yang sudah semakin besar ini?” memikirkan tubuh Amarise telanjang tanpa satu helai, membuat pikiran buruk perempuan itu berkelana terlalu jauh. Ia memerhatikan diri dari pantulan cermin rias, lalu merasa tidak puas hingga menanggalkan gaun cantiknya.
“Hari ini aku ikut ke perusahaan bersamamu, ya?” Nic meraih pinggang Amarise dari samping, lalu menyematkan kecupan singkat di sisi kepala istrinya. “Siang ini aku akan pulang. Jangan pergi ke manapun karena tidak lama lagi kamu akan segera melahirkan.” “Nicholas, ini masih cukup lama dari perkiraan dokter. Lagipula tidak ada masalahnya aku pergi ke luar mansion. Tubuh dan otot kakiku jangan dibuat kaku mendekati hari persalinan. Aku juga pergi bersamamu karena keinginan anak kita tidak ingin berjauhan.” Pria itu tidak membalas kekesalan Amarise. Ia hanya membubuhkan ciuman di bibir, sedikit menekan dan berucap lembut, “Aku akan kembali saat makan siang,” putusnya berlalu membawa tungkai panjangnya menaiki anak tangga. Amarise yang ingin memanggil, memelas untuk diajak berubah bungkam saat pelayan datang tergopoh-gopoh membawa buket mawar cukup besar. “Maaf, Nyonya. Ada kiriman untuk Anda.” Mata Amarise berbinar melihat kelopak mawar merah itu terlihat indah bagi Amarise. Ia mera
Mobil sedan hitam sudah menunggu di depan Nic ditemani sekretaris dan satu anak buah menuruni tangga dari belakang. Senyum manis pria itu terulas melihat nama sang istri tertera di layar. Panggilan Amarise bertepatan dengan pendaratan jet pribadi keluarga Nic di kota ini. Selama dua hari Nic berjauhan dengan sang istri dan sekarang rindu itu ingin ia salurkan lewat balasan panggilan. “Ya, Sayang?” tanya Nic dipersilakan masuk ke mobil. Namun, senyum itu perlahan memudar seiring isak tangis kecil istrinya. Nic merasakan gemuruh dan tatapannya berubah gusar. “Rishi? Apa yang terjadi padamu, Sayang?” “Kamu masih bisa bertanya dengan tenang dan seolah tidak melakukan kesalahan, Nic?” napas pria itu tercekat. Tenggorokan Nic terasa kering bersamaan pikirannya sedang mencerna untuk hal yang terjadi malam ini. Kali terakhir sekitar sepuluh jam lalu, Amarise masih memilah kalimat manis dan mendebarkan bagi hubungan mereka. “Kemudikan mobil lebih cepat,” titah Nic yang segera dilaksanakan
“Dia cantik sekali. Anak perempuan ini adalah dirimu dalam versi kecil. Ah, tapi matanya tidak sama sepertimu, Nolia.”Senyum manis Nolia terulas di paras cantiknya melihat calon ibu muda itu meneliti dan mengajak bicara pada anak perempuan Nolia dan Jason. Tangan Amarise memainkan jemari mungil dan lucu itu, sangat gemas dan terus memuji kecantikan anak kedua Nolia dan Jason.“Kami berbagi cukup adil.” Nolia dan Amarise tertawa geli memikirkan hal tersebut.Sorot mata Amarise agak sendu memandang boks bayi di depannya. “Sayang sekali aku agak sulit menggendong bayi cantikmu, Nolia. Semoga saja pasca aku melahirkan, aku bisa menggendongnya.”Di sisi lain Amarise masih belum paham bagaimana menggendong bayi. Kemudian, ia juga agak sulit dengan perut besarnya. Jiwa takut dan bingung menjadi satu dan ia hanya mampu duduk di samping tempat tidur anak perempuan Nolia.“Apa yang kamu pikirkan, dulu juga terjadi padaku,” cetus Nolia.“Dengan usiamu yang masih muda dan sedang hamil, aku jauh
“Bagaimana menurutmu, setelah melihat suamimu dan cinta pertamanya ada dalam jarak dekat?” Amarise tersentak mendapati suara berat itu membuyarkan lamunan. Ia terlalu senang melihat kebahagiaan Nyonya dan Tuan Isaac dikelilingi anak-anak kecil menggemaskan. Bahkan, kehadiran anak lelaki dan perempuan Nolia tidak terlihat dibedakan. Mereka berdua adalah orangtua yang sangat merangkul keluarga terdekat. Tidak ada kesenjangan dan pembeda kasih sayang, kecuali untuk hal tulus. Susah payah Amarise menelan saliva. Kali pertama ia berhadapan langsung secara berdua bersebelahan dengan pria yang sekilas memberi Amarise tatapan dingin. “Namaku Jason Harcourt,” cetus pria itu mengulurkan tangan. Atmosfer di sekitar Amarise terasa canggung dan menakutkan. Padahal, mereka semua berada dalam ruangan luas yang sama tanpa sekat. Tapi interaksi masing-masing mengabaikan Jason dan Amarise berdiri bersisian. “A-amarise,” cicitnya agak gugup. Bukankah mereka sudah tahu nama satu sama lain? Lantas,
“Aku mencintaimu, Rishi.”“Terimakasih sudah melahirkan anak kita, Sayang. Aku sangat mencintaimu dan anak laki-laki kita.”Lengkungan bibir Amarise terus terulas, merasakan debaran kuat di dalam dada hingga ribuan kupu-kupu terus terasa di perut Amarise. Kalimat itu seperti magis di antara hidup dan mati yang setelah Amarise upayakan untuk memberikan kehidupan baru pada anak laki-lakinya.Tangis bayi seiring napas lega Amarise berucap syukur, tidak terduga mendapatkan berkali lipat kebahagiaan lewat pernyataan cinta yang selama ini Amarise dambakan.Nic mengucapkan kalimat manis serta rasa harunya tepat di sisi Amarise. Pria itu menemani persalinan yang dilakukan Amarise hingga mengeluarkan atmosfer begitu manis—pernyataan cinta.Nicholas Isaac mencintai Amarise Damaswara.“Hai, River! Papamu sudah pulang!”Kelopak mata Amarise terbuka perlahan, lalu menjatuhkan pandangan ke arah Nic yang baru datang dengan jas di lengan. Pria itu mendekati putra kecilnya berusia enam bulan digendong