“Aku mencintaimu, Rishi.”“Terimakasih sudah melahirkan anak kita, Sayang. Aku sangat mencintaimu dan anak laki-laki kita.”Lengkungan bibir Amarise terus terulas, merasakan debaran kuat di dalam dada hingga ribuan kupu-kupu terus terasa di perut Amarise. Kalimat itu seperti magis di antara hidup dan mati yang setelah Amarise upayakan untuk memberikan kehidupan baru pada anak laki-lakinya.Tangis bayi seiring napas lega Amarise berucap syukur, tidak terduga mendapatkan berkali lipat kebahagiaan lewat pernyataan cinta yang selama ini Amarise dambakan.Nic mengucapkan kalimat manis serta rasa harunya tepat di sisi Amarise. Pria itu menemani persalinan yang dilakukan Amarise hingga mengeluarkan atmosfer begitu manis—pernyataan cinta.Nicholas Isaac mencintai Amarise Damaswara.“Hai, River! Papamu sudah pulang!”Kelopak mata Amarise terbuka perlahan, lalu menjatuhkan pandangan ke arah Nic yang baru datang dengan jas di lengan. Pria itu mendekati putra kecilnya berusia enam bulan digendong
Nic terkekeh geli melihat Amarise sibuk menutupi dada terbukanya dengan selimut diapit di ketiak. Ia sebisa mungkin tidak membuat istrinya tersinggung dan marah. Karena berbahaya bagi suasana panas yang berangsur manis ini. Lagipula, ia terlalu menyukai sikap manja Amarise bersandar di dadanya dengan posisi pria itu memeluknya dari samping.“Bagaimana dengan pelayananku hari ini?” jemari lentik Amarise mengusap dada bidang Nic.Ia berusaha tidak mengambil duduk di atas pangkuan Nic. Amarise takut membangkitkan hasrat Nic lagi dengan tubuh mereka yang masih polos di balik selimut.Perempuan itu hanya tidak ingin ada sesuatu yang menginterupsi terlalu cepat dan membuat Amarise harus bersusah payah mengendalikan diri. Ia tidak ingin membuat orang di mansion ini meliriknya berbeda karena terlalu lelah melayani gairah Nic.Mungkin, jika waktu sudah cukup malam—Amarise bisa melayani suaminya tanpa gusar.Nic menangkap dan menarik lembut tangan kiri Amarise. Ia mengecup bergantian jemari tan
“Ma, Kak. Apa saja yang biasa dilakukan orang berkencan? Aku ingin menerapkannya pada Rishi.”“UHUK!”Tuan Isaac nyaris tersedak minuman hangatnya, sedangkan kakak ipar laki-laki Nic berekspresi sama seperti Ibu mertua dan istrinya. Mereka sukses menganga dengan keterdiaman masing-masing.Nic masih menampilkan sorot serius duduk di hadapan mereka. “Kenapa?” tanyanya polos memerhatikan Tuan Isaac dibantu istrinya menenggak air putih.“Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?” tanya Nic sekali lagi.Kakak perempuan Nic menelan saliva susah payah. “Kamu ... datang ke mari hanya untuk bertanya hal ini?”“Ya, kenapa memangnya?”“Oh Tuhan,” sahut Nyonya Isaac mengerjap berulang kali.Wanita itu terperangah yang membuatnya di detik selanjutnya tertawa bahagia. “Lihat putramu, Papa. Dia seperti pria yang baru saja jatuh cinta. Padahal, dia sudah memiliki anak dan istri.”“Apalagi yang disebut kencan seperti layaknya pasangan kekasih, Nak?” wanita itu terkekeh geli.“Di usiamu sekarang fase itu
River sangat antusias dimandikan Nic yang tidak henti-hentinya menjalin komunikasi hangat bersama putra semata wayangnya. Kepala bayi itu kadang mengangguk, menyeringai lebar dan mengedipkan mata lucu dengan memainkan kedua tangan mungilnya. “Ayo, Nak. Sekarang keringkan tubuhmu dan Papamu akan memakainkan pakaian untukmu!” seru Nic mengambil bathrobe River, lalu menggendong anaknya dan membawa keluar kamar mandi ruang tamu. Nic sesekali memakai ruangan yang dulu dipakainya bercinta dengan Amarise karena tidak ingin menganggu tidur pulas istrinya. Karena pria itu selalu tidak ingin kehilangan satu momen untuk berinteraksi dengan sang anak. “Wangi sekali anak Papa,” cetus pria itu terkekeh kecil mengusap perut anak laki-lakinya. River menggeliat lucu dengan senyum menggemaskannya. “Kamu sangat mirip denganku saat masih bayi.” kedua pipi River menjadi sasaran kecupan dari bibir Nic. “Mamamu sering mengatakan, jika tidak ada satupun dari diri Mamamu yang menurun padamu, Sayang,” lanj
“Amarise. Hari ini River belum diberikan ASI.” “Stok ASI masih ada, kan, Ma? Biar pengasuh River yang menyiapkannya. Aku masih harus mencari keberadaan Nic,” balas Amarise tanpa menoleh ke arah Nyonya Isaac datang ke kamar sambil menggendong River yang masih tidur.Sebentar lagi jadwal anak lelaki itu untuk bangun dan menerima ASI dari Amarise. Tapi hampir tiga hari Amarise mengabaikan perannya, beralih mengonfirmasi pesawat yang diterbangi Nic dengan awak pesawat juga penumpang lain.Mata wanita itu berkaca-kaca melihat menantunya baru saja menelepon seseorang, kesekian kali hanya untuk memastikan mimpi buruk Amarise tidak nyata.“Amarise … Anak laki-lakiku sudah ….”“Tolong jangan katakan kalimat mengerikan itu lagi, Ma!” pekik Amarise tanpa sadar.Ia sendiri tersentak kaget. Tubuh Amarise gemetar, mengatupkan rapat bibir menahan desakan untuk menangis. “Maaf,” lirihnya tidak berani menatap Nyonya Isaac.“Aku tidak peduli tentang berita apa pun, Ma. Aku masih percaya Nic hanya memb
“Kita kencan naik motor?!” “Hmm ... ya, naik motor. Apa kamu tidak suka?” Nic mengusap tengkuknya salah tingkah. Pria itu merasa pandangan Amarise terlalu membuat Nic berpikiran buruk. Seharusnya pria itu bisa memberikan kesan kencan manis untuk kali pertama setelah jatuh cinta dengan menaiki mobil. “Jika memilih antara sepeda dan motor, aku lebih suka sepeda. Kesan manis dan penuh cumbuan hari itu di tepi danau lebih membekas. Masih mendebarkan hingga sekarang.” pipi putih dan mulus Amarise bersemu merah. Keraguan Nic perlahan memudar dengan menarik senyum, ikut tertawa geli saat Amarise mendekat. Perempuan itu memeluk manja Nic yang sudah berpenampilan tampan—lebih muda—saat memakai pakaian kasual. “Ini bukan kencan pertamamu bersama seorang perempuan,” cibir Amarise tanpa mengurai pelukan. Nic tertawa seraya mengecup ujung hidung mancung istrinya. “Tapi ini kali pertama aku merasakan cinta yang lebih besar pada perempuan. Dan ini kali pertama setelah lebih dari sepuluh tahun
Nic merasakan kehangatan di dadanya melihat Amarise membantu menyandarkan punggung Nic di kepala ranjang. Dengan perlahan kedua tungkai Nic di angkat, disejajarkan di atas ranjang, lalu menyelimuti sebatas pinggang. “Maaf atas kesalahanku.” “Kamu salah karena tidak percaya cintaku yang hadir untukmu,” sahut Amarise hampir ketus. Tapi melihat keadaan Nic tidak bisa diajak bercanda atau sekadar memukul gemas suaminya. Hanya embusan napas berat yang terdengar berat bagi Amarise. “Aku harus memberi pelajaran pada jalang itu,” tandas Amarise menggebu. Kilatan kebencian sangat terlihat jelas di manik coklat Amarise. “Nyawa dibalas nyawa, Nic.” “Aku dan River hampir kehilangan dirimu. Lalu, air mata Mama dan Papa sangat membuatku semakin terpuruk.” “Mungkin mereka bisa membuatku tegar dengan perkataan meyakinkan. Tapi di sisi lain, mereka hanya ingin membuatku tenang dan tidak berakhir semakin menyedihkan.” Jason memberitahu kecelakaan yang membuat mobil Nic hampir ringsek. Tubuh suamin
“Papa ... Mama ....” “River tidak mau main bersama adik perempuannya!” “Oh, sial!” umpat Nic baru saja mengerang sebagai pembuka. Ia hampir saja menghentakkan tubuh setelah melesak masuk diimpit kenikmatan yang ditawarkan Amarise. “Hei, jangan mengumpati anak perempuanmu,” tegur Amarise tajam, meskipun berakhir dengan tawa bahagia. Ia bahagia melihat rasa frustrasi di wajah Nic dan milik pria itu yang membutuhkan tempat ternyamannya. Dengan gesit Amarise meraih kaus dan celana pendek Nic, berbanding terbalik dengan kemalasan Nic duduk menatap dirinya datar. “Kenapa? Kamu ingin melampiaskan kekesalanmu padaku?” “Tidak,” balasnya bergerak malas memakai kaus dan celana pendek. Amarise terkekeh melihat Nic jalah tertatih, merasa dunia panasnya hilang digantikan pusing yang mulai mendera. Pintu terbuka dan menampilkan wajah cantik nan mungil Amarise versi kecil. Darah Asia lebih kuat karena gen keluarga Amarise dari pihak Ayahnya memiliki duplikat indah. “Papa,” suara Alona dibuat s