“Yeay! Kakakku paling hebat!” kedua tangan Alona bertepuk semangat. Ia begitu berseri, bangga dan takjub dengan sosok pria tinggi bertubuh atletis dalam balutan jas formal baru saja menyampaikan pidato perdananya sebagai CEO baru, resmi menggantikan seorang Nicholas Isaac yang sudah pensiun. Lelaki itu berhasil membimbing putranya sedari masa remaja dan kuliah. Nic menempatkan putra semata wayangnya di posisi menengah, salah satu anak cabang perusahaan agar putra kandungnya bisa mulai mengemban pekerjaan. Dan hasilnya, sungguh luar biasa. River Isaac, mampu melakukan semuanya di usia matangnya, tiga puluh tahun. “Kakakmu semakin tampan saja. Bagaimana cara mendaftar menjadi kekasihnya? Atau jika perlu, beri aku tips ampuh agar bisa menjadi kakak iparmu, Lona.” Alona memutar bola mata dengan pandangan kesal. “Tidak! Sampai kapan pun kamu tetap menjadi sahabatku, bukan kakak ipar perempuanku!” ketusnya membuat Amarise yang mendengar percakapan tertawa kecil. Alona adalah perpaduan
“Papa! Lain kali liburan sama Mama dan adik bayi naik kapal besar lagi, ya?!”Kedua tangan Amarise gemetar dengan seulas senyum perih. Rasanya kedua lutut nyaris lunglai mendengar seruan manis dan mata berbinar dari manik hitam anak kecil yang duduk di antara pasangan muda berstatus suami istri.Tangan mungil itu mengulang lagi permintaannya seraya mengusap perut dari perempuan berbadan dua tersebut. Amarise tertawa hambar. “Ternyata aku sudah ditipu sahabat dan kekasihku. Bahkan, mereka sudah memiliki satu anak laki-laki dan calon anggota baru lagi.”Dada Amarise terasa sesak dikhianati seperti ini saat ia juga sedang dilanda musibah. “Ayo, Nak! Tutup matamu sebentar. Papa ingin memberikan sesuatu pada Mamamu!”“Hahaha ... siap, Papa!”Perasaan Amarise hancur berkeping-keping melihat dua orang saling memagut mesra. Dua orang yang selalu ada di sisi Amarise, terlihat tulus dan selalu bersikap wajar saat Amarise mempertemukan mereka. “Berengsek,” desisnya mengepalkan tangan.Ingatan it
“P-pamanku bekerja di perusahaan sebesar ini?”Amarise menelan saliva berulang kali dengan pandangan mengerjap. Baru tiba di area lobi perusahaan ternama di negara yang baru ia singgahi setelah usia tiga tahun memutuskan hidup di Indonesia, ia dibuat terkesima tempat bekerja pamannya. “Sejak kapan Mama memiliki adik angkat? Atau sebenarnya Mama memiliki adik tiri, Om?”Perempuan itu mendapati lelaki seusia orangtuanya tertawa kecil. “Adik angkat, bukan adik tiri atau kerap kita dengar sebagai saudara sambung. Mamamu anak tunggal dan itu tidak akan pernah berubah,” jelasnya.“Tapi Mama tidak pernah menceritakan tentang hal ini. Tiba-tiba, Om menjemputku di dermaga terakhir, lalu membawa terbang ke Amerika dengan menjelaskan pernyataan ringkas selama perjalanan.” Ia mengeluh seraya memijat pelipis.Dirinya sangat syok mengetahui hal yang diberitahu setelah belum genap satu minggu orangtua Amarise meninggal dalam kecelakaan menuju perkebunan. Tempat satu-satunya aset paling utama yang di
Amarise menyisir luas kamar yang sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan kamar kecilnya. Ia memang berada di stratas sosial menengah saja. Kebutuhan tercukupi selama bersama orangtua. Hanya saja, pendapatan terbesar dari perkebunan tidak menentukan selamanya akan stabil dengan hasil panen juga kebutuhan lain.“Bagaimana aku menjalani hari di mansion megah ini?” Ia menggigit bibir bawah.Amarise merasa sekujur tubuhnya menggigil, meskipun belum ada tanda pergantian musim. “Bahkan, aku sudah lancang tidak menghadiri makan malam untuk kali pertama,” lanjutnya merasa frustrasi.Ia belum terbiasa dengan satu anggota keluarga baru yang tidak memiliki hubungan darah, tapi memperlakukan Amarise seperti ini. “Demi Tuhan. Dia pria dewasa yang sangat memesona. Hanya disentuh dan dipeluk, pikiran dan tubuhku mulai bergejolak,” keluh Amarise memukul pelan kepala berulang kali.“Aku merasa sudah gila,” desis perempuan berkulit putih yang mengenakan setelan piama.Suara erangan Amarise mengisi k
“Kamu sangat cantik sekali, Nak. Perpaduan darah Ayahmu yang berasal dari Indonesia lebih mendominasi. Senyummu juga sangat manis.”Amarise tersipu. Ia tidak sanggup jika terlalu lama dipuji terus menerus oleh Nyonya Isaac. Kunjungan mereka hadir di hari ketiga Amarise menjalani kehidupan barunya di mansion Nic.“Bagaimana jika kamu menjadi calon menantuku?” Nyonya Isaac mengerling penuh binaran.Kepala wanita itu teralihkan pada putranya yang duduk di seberang meja makan sendiri. Sedangkan kursi utama diisi sang suami, sesekali memerhatikan interaksi sang istri yang nyaris tidak lepas membahas tentang Amarise.“Nic, Amarise lebih pantas menjadi calon istri dibandingkan keponakanmu, Sayang,” tambah wanita itu menyeringai bahagia, mengabaikan tatapan kaku Amarise.Ia dibuat tidak berkutik oleh pertanyaan berujung permintaan tersebut.Nic tertawa kecil seraya menggeleng lemah. “Aku sudah berjanji menjadi wali asuh baru untuk Rishi, Ma,” jelasnya menarik atensi Nyonya Isaac.“Rishi? Buka
“Nic?”Buncahan rindu Nic tidak terelakkan lagi bersitatap dengan manik coklat yang memandangnya terkesiap. Sebelum rentetan pertanyaan menginterupsi kerinduannya. Nic memagut lebih dulu bibir yang sudah menjadi candunya.Perlahan, bibir yang terasa kaku dalam pagutan Nic, berangsur membalas. Mereka meluapkan hasrat yang seolah tertunda sejak dua minggu lalu.“Aku sangat merindukanmu, Nolia,” bisik Nic meraih tubuh ramping itu semakin tidak berjarak.Ia tutup asal pintu apartemen, lalu membawa perempuan cantik itu semakin masuk ke ruang tengah tanpa melepaskan ciuman berhasrat di antara mereka.Kedua tangan Nic terlepas dari tengkuk dan menangkup sisi paras memesona itu. Ia ganti taruh salah satu tangan di pinggang, lalu tangan satu lagi menyusup di bawah tungkai. Nic membopong perempuan itu tanpa menjaga jarak ciuman sekadar satu senti.“Apa ini?” bisik manis terdengar menggelitik di telinga Nic.Ia baru saja menaruh tubuh Nolia di atas pangkuan bersama ciuman yang mulai kehabisan ok
Kedua tangan Amarise terlipat di dada dengan sorot tajam ke arah pria yang baru turun dari SUV hitam miliknya. “Kamu menipuku? Ini hampir larut malam dari perjanjian terakhir yang kita sepakati di pesan tadi. Apalagi aku merasa kesal karena ponselmu tidak aktif. Kamu benar-benar membuatku marah sekaligus khawatir,” ucap Amarise bersitatap dengan Nic di pintu utama yang menjulang tinggi.“Kamu sangat mencemaskanku, hm?” bibir Nic mengulas senyum jahil.Ia dengan mesra menarik pinggang Amarise, lalu membubuhkan satu kecupan singkat di kening. “Maafkan aku. Daya ponselku habis dan aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan.”Amarise berusaha mengendalikan dirinya mendapati suara lembut dari permintaan maaf Nic. Bahkan, pelukan dan ciuman mesra itu harus ia artikan sebagai bentuk rasa saya pada keponakan. “Janji tidak akan mengulanginya?”Jari kelingking Amarise terulur dengan menampilkan sorot penuh harap dibalik bibir yang mencebik menahan kesal. Sisi hatinya sangat luruh melihat paras ta
“Jika Papamu tidak memiliki urusan pekerjaan yang mendesak. Aku akan terus membuatmu beralih menikahi Rishi-mu, Nic,” cetus Nyonya Isaac mengerling jahil.Nic mengambil napas perlahan sebelum mengembuskannya dengan memberikan senyum kecil. “Mama hanya membuang waktu. Rishi keponakan manisku dan itu tidak akan pernah berubah,” balas Nic.Amarise tersenyum kikuk, membiarkan Nic merangkul pinggangnya setelah melontarkan kalimat sederhana. Sayangnya, gejolak patah hati sedang dirasakan secara perlahan.“Amarise cantik, berusia dua puluh satu tahun dan tampak bisa mengimbangimu. Kamu benar-benar menolak perempuan seperti Amarise, Nic.”Nyonya Isaac mengerucutkan bibirnya, selalu mendapati penolakan yang sama dari Nic. Apa pun yang sudah ia sugesti, tetap nihil. Hasilnya tidak akan pernah memuaskan wanita itu.“Ma, kita harus berangkat sekarang. Sebentar lagi pesawat tujuan kita akan lepas landas.”Wanita itu mengangguk pasrah mendengar sahutan sang suami, membuat Nic langsung tersenyum bah