“P-pamanku bekerja di perusahaan sebesar ini?”
Amarise menelan saliva berulang kali dengan pandangan mengerjap. Baru tiba di area lobi perusahaan ternama di negara yang baru ia singgahi setelah usia tiga tahun memutuskan hidup di Indonesia, ia dibuat terkesima tempat bekerja pamannya. “Sejak kapan Mama memiliki adik angkat? Atau sebenarnya Mama memiliki adik tiri, Om?”
Perempuan itu mendapati lelaki seusia orangtuanya tertawa kecil. “Adik angkat, bukan adik tiri atau kerap kita dengar sebagai saudara sambung. Mamamu anak tunggal dan itu tidak akan pernah berubah,” jelasnya.
“Tapi Mama tidak pernah menceritakan tentang hal ini. Tiba-tiba, Om menjemputku di dermaga terakhir, lalu membawa terbang ke Amerika dengan menjelaskan pernyataan ringkas selama perjalanan.” Ia mengeluh seraya memijat pelipis.
Dirinya sangat syok mengetahui hal yang diberitahu setelah belum genap satu minggu orangtua Amarise meninggal dalam kecelakaan menuju perkebunan. Tempat satu-satunya aset paling utama yang dimiliki keluarga Amarise, tapi harus ia lepas karena membayar seluruh utang menumpuk. Entahlah. Amarise sedih jika mengingat harta peninggalan orangtuanya yang tidak berbekas, kecuali rumah kecil di Jakarta.
“Sebentar lagi kamu akan bertemu dengan Pamanmu, Nak. Kamu bisa meminta penjelasan lebih runut. Saya hanya menjalankan tugas membawamu ke mari sesuai permintaan mendiang Mamamu,” balasnya menuntun Amarise mendekati meja resepsionis.
Ia terlalu kagum dengan perusahaan besar dan berniat mencari nama dari tempatnya menginjakkan kaki di sini. Belum sempat mencari di website, ia sudah harus disadarkan pengacara keluarga menuju lift.
“Nona Damaswara dan Tuan Adam?”
“Ya, kami berdua tamu Tuan Isaac.”
Amarise mengerjap melihat interaksi dua orang tersebut. Ia melihat saksama perempuan yang keluar dari lift, tepat saat Amarise berpikir mereka akan segera menaiki ruang kecil itu untuk sampai bertemu langsung dengan orang baru di hidup Amarise. “Saya sekretaris Tuan Isaac. Silakan masuk untuk saya antar ke ruangan beliau,” ungkapnya membuat degup jantung Amarise tidak keruan.
Telapak tangan Amarise mulai berkeringat. Ia seolah menggigil, meskipun suhu lift begitu normal. Atau bisa jadi, ia mendadak tidak menerima musim di negara Ibunya?
Ting!
“Om ... aku, aku takut,” cicit Amarise menautkan jemari tangan.
Ia semakin gelisah melihat koridor berbeda, lebih berkelas dan terlihat jika orang yang akan mereka datangi adalah orang paling penting di perusahaan ini. Amarise juga masih mengingat jelas, jika perempuan yang menuntun jalan adalah seorang tangan kanan; sekretaris. “A-apa Tuan Isaac, Paman angkatku?”
Lelaki di sampingnya hanya tersenyum simpul dan menepuk bahu Amarise sekilas. Raut gugup Amarise tidak diindahkannya.
“Silakan Nona. Anda bisa langsung masuk dengan keluarga Anda. Tinggal mengetuk dan segera membuka pintu saja. Karena Tuan sudah menunggu kedatangan kalian berdua.” Amarise menyeka peluh di kening.
Ia nyaris membeliak mendapati pernyataan tersebut. “Sebentar, Nona. Saya—“
“Selamat siang, Tuan Isaac.”
Amarise tidak dapat mengelak saat ia belum sempat menimpali, lelaki di hadapannya sudah meraih tangan Amarise seraya membuka pintu. Sapaan pengacara keluarga yang sudah membawa Amarise masuk, membuat perempuan itu kikuk dan memilih menunduk. Ia gemetar dan hanya melihat sekilas, jika ruangan ini jauh lebih besar dari perusahaan percetakan yang Amarise tahu untuk sebuah jabatan Direktur.
“Dia Amarise Damaswara?”
“Benar, Tuan.”
Jantung Amarise bergemuruh cepat mendengar namanya dipanggil oleh seorang pria dengan suara berat. Ia tanpa sadar mencengkeram lengan sang pengacara. “O-om, aku ....”
Napas Amarise tercekat saat ketukan pantofle beradu dengan lantai mahal ini. Indera penciumannya bergerak cepat meraup aroma maskulin. Ruangan yang terasa luas, kini mendadak sempit karena ia bisa melihat sepatu hitam mengkilat berada di depan matanya.
Uluran tangan itu membuat Amarise hampir kehilangan oksigen.
“Namaku Nicholas Isaac. Ibumu pernah menyelamatkanku dari penculikan saat usiaku sepuluh tahun. Sekarang, aku yang akan bertanggungjawab atas dirimu, Rishi.”
Desiran halus menyebar ke seluruh aliran darah Amarise. Ia tertegun, merasa panggilan akhir itu begitu manis bersamaan dengan perasaan berdebar. Ia tidak berani mendongak atau sekadar berjabat tangan. Bahkan, Amarise mengabaikan ringisan sang pengacara saking gemetar jika tidak memiliki pegangan.
“Rishi? Kamu menolak berkenalan dengan Pamanmu?” tanya pria itu terdengar sedih dan sedikit jahil.
Kening Amarise mengernyit. Nada yang terucap itu seolah tidak asing. Namun, ia masih enggan mendongak dan terus saja memejamkan mata, berharap ini hanyalah mimpi.
Bagaimana bisa hidupnya menjadi tanggungjawab orang lain yang baru dikenal Amarise hari ini? Apa ini sekadar konspirasi atau lainnya? Ia juga seolah tidak sadar, menghabiskan berapa waktu untuk sampai di negara ini.
“Rishi? Apa uangku dua hari lalu masih kurang untuk memenuhi sakumu dalam beberapa pekan kedepan?”
“Apa?!” spontan manik coklat Amarise beradu dengan manik serupa yang menampilkan senyum menggoda.
Bibir Amarise terbuka sempurna dengan mata nyaris melotot, melihat pria yang sedari tadi akan menjadi keluarga barunya. “Kamu?!”
“Hai, Nona Muda,” sapanya seolah tidak terjadi apa pun selain perkenalan manis.
Sedangkan Amarise sudah merasakan kedua pipi yang memanas. Kepala Amarise mendadak pening. Kedua lututnya seolah sulit menahan beban tubuh mengetahui orang di hadapannya adalah orang yang ia tawari tubuhnya sendiri.
Tenggorokan Amarise tercekat.
“Tinggalkan kami berdua, Tuan.”
“Baik, Tuan Isaac.”
Amarise menegang. Lidahnya kelu dan tangannya sulit meraih sekadar menahan kepergian orang yang sangat dikenalinya. Pintu tertutup sebelum Amarise meneriaki, meminta tolong orang tersebut. “Bagaimana perjalanan menuju benua Amerika, Rishi?”
“A-aku,” sahut Amarise langsung menunduk dalam. Ia merutuki semua hal yang terjadi di hidupnya seperti kejutan.
Ia meremat kedua tangan di sisi tubuh. Sejauh mungkin mengenyahkan perihal malam di atas kapal pesiar. Tolong! Siapa pun tolong aku!
“Kenapa kamu lebih banyak diam? Di mana perempuan yang sedang menawariku keperawanannya?” Amarise langsung mendongak memelas.
“P-paman ... tolong maafkan kesalahanku. Aku, aku tidak tahu jika saat itu aku sedang berhadapan dengan wali baruku,” cicitnya menangkup kedua tangan di depan dada.
Berulang kali Amarise mengumpati dirinya sendiri dan ingin menenggelamkan wajah di dalam air bathub.
Pria itu tertawa ringan dan memberikan kesan yang sama; menaruh telapak tangan di kepala Amarise. Namun, kali ini berupa usapan lembut yang membuat tubuh Amarise kaku. “Nic. Panggil aku tanpa label Paman. Usiaku baru tiga puluh empat tahun. Tidak setua pengacara keluarga kalian.”
Amarise menelan saliva sebisa yang ia mampu. Perempuan itu mencoba mendongak perlahan, melirik pria tampan dalam balutan setelan jas mahal. Ia tidak melihat pria berpakaian santai malam itu. Dan ia pikir, pria di atas Paradise Cruise, hanya selisih tiga sampai lima tahun di atasnya.
“Sekarang kamu adalah tanggungjawabku,” tegas Nic mengikis jarak yang membuat Amarise gugup.
Pria ini masih sangat memesona. Bahkan, jauh lebih memesona dan terlihat berkali lipat kaya raya saat Amarise sudah mengetahui secuil latar belakangnya. “Bisakah kita menjadi keluarga mulai hari ini?”
Amarise kaku saat kedua telapak tangan itu menyentuh kulit pipinya. Ia menoleh ke arah lain, tidak sanggup lebih dari lima detik menatap Nic yang memperlihatkan perlakuan lembut. “Aku tidak ingin merepotkanmu,” lirihnya sekaligus menjadi alasan terbaik agar Amarise bisa menjejakkan kaki ke Indonesia.
Lupakan tentang pelarian Amarise. Kali ini jauh lebih sial dan menjadi malapetaka karena kecerobohan Amarise tidak akan bisa dihapusnya dalam sekejap. Bahkan, ia sudah berani berulang kali mengagumi paman angkatnya sendiri.
“Tidak sama sekali, Rishi,” balasnya mengulas senyum yang berhasil mendebarkan perasaan Amarise.
“Ikutlah denganku untuk hidup tanpa bayang mantan kekasihmu,” bisiknya merengkuh tubuh ramping Amarise.
Sekejap, tubuh Amarise terbakar gairah oleh dekapan hangat dan maskulin Nic. Ia bingung, apakah bisa bertahan hanya dengan menatap pria ini sebagai paman dan keponakan?
**
Amarise menyisir luas kamar yang sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan kamar kecilnya. Ia memang berada di stratas sosial menengah saja. Kebutuhan tercukupi selama bersama orangtua. Hanya saja, pendapatan terbesar dari perkebunan tidak menentukan selamanya akan stabil dengan hasil panen juga kebutuhan lain.“Bagaimana aku menjalani hari di mansion megah ini?” Ia menggigit bibir bawah.Amarise merasa sekujur tubuhnya menggigil, meskipun belum ada tanda pergantian musim. “Bahkan, aku sudah lancang tidak menghadiri makan malam untuk kali pertama,” lanjutnya merasa frustrasi.Ia belum terbiasa dengan satu anggota keluarga baru yang tidak memiliki hubungan darah, tapi memperlakukan Amarise seperti ini. “Demi Tuhan. Dia pria dewasa yang sangat memesona. Hanya disentuh dan dipeluk, pikiran dan tubuhku mulai bergejolak,” keluh Amarise memukul pelan kepala berulang kali.“Aku merasa sudah gila,” desis perempuan berkulit putih yang mengenakan setelan piama.Suara erangan Amarise mengisi k
“Kamu sangat cantik sekali, Nak. Perpaduan darah Ayahmu yang berasal dari Indonesia lebih mendominasi. Senyummu juga sangat manis.”Amarise tersipu. Ia tidak sanggup jika terlalu lama dipuji terus menerus oleh Nyonya Isaac. Kunjungan mereka hadir di hari ketiga Amarise menjalani kehidupan barunya di mansion Nic.“Bagaimana jika kamu menjadi calon menantuku?” Nyonya Isaac mengerling penuh binaran.Kepala wanita itu teralihkan pada putranya yang duduk di seberang meja makan sendiri. Sedangkan kursi utama diisi sang suami, sesekali memerhatikan interaksi sang istri yang nyaris tidak lepas membahas tentang Amarise.“Nic, Amarise lebih pantas menjadi calon istri dibandingkan keponakanmu, Sayang,” tambah wanita itu menyeringai bahagia, mengabaikan tatapan kaku Amarise.Ia dibuat tidak berkutik oleh pertanyaan berujung permintaan tersebut.Nic tertawa kecil seraya menggeleng lemah. “Aku sudah berjanji menjadi wali asuh baru untuk Rishi, Ma,” jelasnya menarik atensi Nyonya Isaac.“Rishi? Buka
“Nic?”Buncahan rindu Nic tidak terelakkan lagi bersitatap dengan manik coklat yang memandangnya terkesiap. Sebelum rentetan pertanyaan menginterupsi kerinduannya. Nic memagut lebih dulu bibir yang sudah menjadi candunya.Perlahan, bibir yang terasa kaku dalam pagutan Nic, berangsur membalas. Mereka meluapkan hasrat yang seolah tertunda sejak dua minggu lalu.“Aku sangat merindukanmu, Nolia,” bisik Nic meraih tubuh ramping itu semakin tidak berjarak.Ia tutup asal pintu apartemen, lalu membawa perempuan cantik itu semakin masuk ke ruang tengah tanpa melepaskan ciuman berhasrat di antara mereka.Kedua tangan Nic terlepas dari tengkuk dan menangkup sisi paras memesona itu. Ia ganti taruh salah satu tangan di pinggang, lalu tangan satu lagi menyusup di bawah tungkai. Nic membopong perempuan itu tanpa menjaga jarak ciuman sekadar satu senti.“Apa ini?” bisik manis terdengar menggelitik di telinga Nic.Ia baru saja menaruh tubuh Nolia di atas pangkuan bersama ciuman yang mulai kehabisan ok
Kedua tangan Amarise terlipat di dada dengan sorot tajam ke arah pria yang baru turun dari SUV hitam miliknya. “Kamu menipuku? Ini hampir larut malam dari perjanjian terakhir yang kita sepakati di pesan tadi. Apalagi aku merasa kesal karena ponselmu tidak aktif. Kamu benar-benar membuatku marah sekaligus khawatir,” ucap Amarise bersitatap dengan Nic di pintu utama yang menjulang tinggi.“Kamu sangat mencemaskanku, hm?” bibir Nic mengulas senyum jahil.Ia dengan mesra menarik pinggang Amarise, lalu membubuhkan satu kecupan singkat di kening. “Maafkan aku. Daya ponselku habis dan aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan.”Amarise berusaha mengendalikan dirinya mendapati suara lembut dari permintaan maaf Nic. Bahkan, pelukan dan ciuman mesra itu harus ia artikan sebagai bentuk rasa saya pada keponakan. “Janji tidak akan mengulanginya?”Jari kelingking Amarise terulur dengan menampilkan sorot penuh harap dibalik bibir yang mencebik menahan kesal. Sisi hatinya sangat luruh melihat paras ta
“Jika Papamu tidak memiliki urusan pekerjaan yang mendesak. Aku akan terus membuatmu beralih menikahi Rishi-mu, Nic,” cetus Nyonya Isaac mengerling jahil.Nic mengambil napas perlahan sebelum mengembuskannya dengan memberikan senyum kecil. “Mama hanya membuang waktu. Rishi keponakan manisku dan itu tidak akan pernah berubah,” balas Nic.Amarise tersenyum kikuk, membiarkan Nic merangkul pinggangnya setelah melontarkan kalimat sederhana. Sayangnya, gejolak patah hati sedang dirasakan secara perlahan.“Amarise cantik, berusia dua puluh satu tahun dan tampak bisa mengimbangimu. Kamu benar-benar menolak perempuan seperti Amarise, Nic.”Nyonya Isaac mengerucutkan bibirnya, selalu mendapati penolakan yang sama dari Nic. Apa pun yang sudah ia sugesti, tetap nihil. Hasilnya tidak akan pernah memuaskan wanita itu.“Ma, kita harus berangkat sekarang. Sebentar lagi pesawat tujuan kita akan lepas landas.”Wanita itu mengangguk pasrah mendengar sahutan sang suami, membuat Nic langsung tersenyum bah
“Maaf, Nona. Tapi Anda tidak bisa masuk karena Tuan Isaac sedang mengobrol dengan tamunya.”Senyum Amarise memudar setelah terfokus pada kotak makan siang. Ia melemparkan tatapan memicing, curiga. Sebenarnya tidak ada yang salah dari sekretaris Nic. Mengingat penampilan formal teramat sopan dan segera berstatus istri pria lain. “Kenapa? Apa sepenting itu hingga aku dilarang masuk?”“Dua anak buah Nic yang kutemui di lobi, mereka mengatakan Nic baru saja menyelesaikan rapat dan aku memiliki hak istimewa atas permintaan Tuan-mu,” lanjut Amarise tidak sadar sudah berucap sinis.Ia tidak menyukai ada orang lain, memiliki jabatan rendah daripada Nic yang mengatur dirinya sesuka hati. Karena sedari awal Nic membebaskan Amarise melakukan apa pun sejak hampir satu bulan ini.Raut tegas dan kaku itu sedikit mengendur dengan tawa kecil, lalu membungkuk sejenak. “Maafkan sikapku yang terkesan lancang, Nona. Hanya saja, aku takut Anda lebih salah paham.”Tubuh Amarise mendadak gusar mendengar pe
“Kamu ingin pergi ke mana lagi? Kenapa sering kali meninggalkan aku sendirian? Bisakah aku ikut denganmu juga, Nic?”Belum selesai perasaan cemburu Amarise mereda sejak tadi siang. Malam ini pria itu tampak membereskan beberapa pakaian ke dalam koper. Jika Amarise tidak datang tepat waktu melihat anak buah Nic membawa kabar jadwal penerbangan paling pagi besok, mungkin Amarise tidak akan tahu apa saja yang dilakukan pria itu sekarang.“Ini perjalanan bisnis, Rishi. Aku sudah berjanji akan membawa kamu berkeliling beberapa negara, tapi jika kamu meminta sekarang, maka ini bukanlah waktu yang tepat,” jelas Nic mengulum senyum.Ia mendekati Amarise, lalu meraih pinggang ramping dan menjatuhkan satu kecupan di pipi kanan. “Jangan menunjukkan kesedihanmu. Aku akan ikut sedih.”Tangan Amarise sedikit meremas pergelangan tangan Nic yang masih bertengger di pinggangnya. Tatapan perempuan itu lekat memandang Nic. “Kamu tidak sedang berbohong, kan? Aku takut kamu pergi untuk menemui Nyonya Cage
Nic menumpukan kedua lutut di lantai seraya menatap hangat anak lelaki berusia empat tahun, tidak sama sekali merespons baik paper bag dan ekspresi Nic. “Apa kamu tidak berpikir mengenai Mamaku yang mengurusku sendirian selama di rumah sakit Singapura?” “Di mana peranmu sebagai Papa kandungku? Aku sedang jatuh sakit dan tidak sekalipun kamu bertanya kabarku,” lanjut anak lelaki yang mewarisi manik coklat dari sang Ibu. Setidaknya Nic cukup bersyukur saat mata itu tidak berwarna biru dan bisa membuat anak lelaki cerdas ini mengetahui kekurangan dari keluarga kecilnya. Hanya saja, Nic tidak bisa mengubah ciptaan Tuhan saat wajah dan sifat anak di hadapannya menurun sangat banyak dari Ayah kandungnya. Ia mendengkus dalam hati, membenci pria yang merupakan kakak sepupunya sendiri. “Sayang ... Aku sudah menceritakan tentang Papamu. Seharusnya kamu mengerti keadaannya yang benar-benar sedang sibuk. Jaga sikapmu pada Papa Nicholas!” tegas perempuan cantik datang dari arah dapur, memerhati