“Papa! Lain kali liburan sama Mama dan adik bayi naik kapal besar lagi, ya?!”
Kedua tangan Amarise gemetar dengan seulas senyum perih. Rasanya kedua lutut nyaris lunglai mendengar seruan manis dan mata berbinar dari manik hitam anak kecil yang duduk di antara pasangan muda berstatus suami istri.
Tangan mungil itu mengulang lagi permintaannya seraya mengusap perut dari perempuan berbadan dua tersebut. Amarise tertawa hambar. “Ternyata aku sudah ditipu sahabat dan kekasihku. Bahkan, mereka sudah memiliki satu anak laki-laki dan calon anggota baru lagi.”
Dada Amarise terasa sesak dikhianati seperti ini saat ia juga sedang dilanda musibah. “Ayo, Nak! Tutup matamu sebentar. Papa ingin memberikan sesuatu pada Mamamu!”
“Hahaha ... siap, Papa!”
Perasaan Amarise hancur berkeping-keping melihat dua orang saling memagut mesra. Dua orang yang selalu ada di sisi Amarise, terlihat tulus dan selalu bersikap wajar saat Amarise mempertemukan mereka. “Berengsek,” desisnya mengepalkan tangan.
Ingatan itu melekat kuat dan membuat kepala Amarise seolah ingin pecah. Sudah belasan jam adegan dan pengkhianatan itu terpampang di hadapannya. Tapi air mata yang mengering tidak selaras dengan luka di sudut terkecil hati Amarise. Ia terluka dan ingin segera menyembuhkannya malam ini juga dengan cara yang lain!
Langkah kaki jenjang Amarise menuntun ke arah di mana seorang pria menikmati kesendiriannya. Bayangan ciuman laknat, pelukan mesra dan tatapan penuh kehangatan dengan berkali lipat membakar amarahnya.
“Siapa namamu?” tanya Amarise menitikberatkan pandangan pada pria yang sedang menyendiri. Bagus, bukan? Pria itu terlihat kesepian dan Amarise bisa membantunya dari rasa menyebalkan tersebut.
“Sorry?”
“Aku ingin menjual keperawananku padamu.”
Kelopak mata Amarise terbuka untuk memperlihatkan raut tegas saat ditatap lekat pria asing di hadapannya. Ia mengenyahkan sejauh mungkin pernyataan menjijikan selama dua puluh satu tahun hidup. “Beri aku bayaran berapa pun yang kamu miliki.”
Tubuh pria yang sedari tadi bersandar di kursi jemur, menikmati kesendirian di sudut area kolam renang dengan keindahan malam, mulai menegak. Ia mengunci atensi Amarise yang membuka interaksi dengan bertanya nama, lalu persekian detik memberikan tawaran di saat mereka belum mengetahui nama masing-masing.
“Apa kamu tidak tahu, jika aku bisa saja mendapatkan perempuan tanpa membayarnya di dek atas?” suara dingin dengan ulasan kecil di sudut bibir, mampu menggoyahkan sedikit pertahanan Amarise.
“Tapi kamu belum tentu mendapatkan seorang perawanan,” tegasnya membiarkan penampilan berbalut tank top hitam dipadukan hots pant putih mampu memertahankan kepercayaan diri Amarise.
Ia sedang berlibur, membawa pakaian seadanya tanpa berniat ingin melebur dalam lautan manusia di sebuah klub di Paradise Cruise ini. Amarise terlalu tabu, meskipun darah barat dan liberalis mengalir dalam tubuhnya yang didominasi paras perempuan Indonesia.
Amarise mulai gugup saat pria itu berdiri, menjulang atletis di hadapannya. Aroma maskulin bukan hanya menggelitik, tapi mampu meningkatkan hasrat Amarise yang mengambil langkah besar akibat sakit hati pagi tadi.
“Bagaimana aku bisa tahu, jika kamu seorang perawan, Nona Muda?” jemari panjang itu menarik lembut dagu Amarise, membawa manik berbeda saling bersitatap.
“Kamu begitu saja datang menghampiriku yang sedang menikmati malam di atas kapal pesiar ini. Bukankah ini menganggu? Tidak ada sebuah tawaran menggiurkan saat kamu menganggu seseorang yang hampir terlelap di kursi jemur,” jelas pria asing itu memperlihatkan senyum miring.
“Tutup percakapan tidak berguna ini,” tegas Amarise yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari pria tinggi tersebut.
Sepertinya ia berhasil menyinggung perasaannya dan Amarise tidak peduli. Ia ingin menyelesaikan semuanya dan pergi jauh dari dua pengkhianat.
Ia mengumpat kesekian kali saat melihat pria yang teramat dicintai, memadu kasih dengan istri bersama anak. Bahkan, Amarise harus mengejek dirinya sendiri karena mendapatkan permainan apik dari mereka yang sangat dikenal Amarise. “Bayar aku, lalu nikmati tubuhku. Semua mudah dan tidak akan merugikanmu.”
Bibir tipis kemerahan pria itu tertarik perlahan. “Satu dollar Singapura?”
“APA?! KAMU GILA?!” teriak Amarise tidak percaya.
“Bagaimana aku bisa menjual harga diriku yang hampir disetarakan dengan es krim potong Singapura atau soda?!” Amarise memekik lagi.
Ia menertawakan dirinya dan juga pria tampan dalam balutan kaus dipadukan celana pendek. Benar. Ini malam bagi pria itu menyendiri dan menikmati kapal pesiar yang membelah lautan Singapura. “Kamu sendiri yang menawari berapa pun yang aku bisa, kan?” tanyanya memperlihatkan raut mengejek.
Amarise mengumpat dalam hati. “Aku merasa kamu sedang mempermainkanku, Tuan,” sindir Amarise menarik senyum miring.
“... dan kamu kira, aku pria kaya raya seperti di film ataupun cerita yang kamu baca?”
Perempuan itu tertegun dengan raut menggelap, lalu berubah merona saking malu. Ia memang tidak andal mencium pria yang sudah dilabeli sebagai mantan kekasih berengsek.
Tapi bagaimanapun, tawaran ini juga tercetus karena Amarise kerap membaca dari alur panjang pembawa tidur. “Kamu bisa menginjakkan kaki di kapal pesiar mahal ini, artinya kamu pria yang memiliki pendapatan sendiri tanpa bantuan orangtua.”
“Lalu? Untuk apa kamu memintaku membayar keperawananmu?”
“Bukankah itu sama saja kamu berada dari kalangan menengah ke bawah yang memerlukan uang sampai batas tersulit, berakhir menjual harga diri?” tanyanya balik dan sukses membuat Amarise mengerang frustrasi.
Ia meremat rambutnya sendiri, lalu menatap sengit pria tampan yang berubah menyebalkan. “Baiklah!”
“Sebenarnya aku bisa menginjakkan kakiku ke mari karena memenangkan undian yang diadakan perusahaan kapal ini!” tegasnya menatap nyalang, gemas dan malas untuk membeberkan lebih banyak, bukan pada inti permasalahan.
“Lagipula, aku menjual harga diriku karena aku tidak memiliki apa pun lagi!” kesal Amarise melotot tajam.
Kedua bahu perempuan itu sudah naik turun dengan embusan napas kasar. “Sejauh mungkin aku ingin pergi dari negara ini ataupun Indonesia, tempatku di besarkan.”
“Apa alasanmu ingin pergi jauh? Kenapa tidak mati saja? Itu terdengar lebih mudah,” jelas pria itu mengulum senyum kecil yang mampu membuat bibir Amarise terbuka lebar.
Ia sukses menganga mendengar tawaran aneh pria itu. Bahkan, pria di hadapan Amarise melirik pembatas kapal—tepat area kolam renang yang malam ini sudah sepi. Banyak sebagian dari mereka menghabiskan di tempat hiburan, restoran ataupun di kamar masing-masing. “Lompat dari sini dan hidupmu sudah lebih baik untuk pergi dari dunia ini.”
“Berengsek!” umpat Amarise.
“Aku masih ingin hidup, meskipun orangtuaku baru saja tiada! Pengkhianatan kekasihkulah yang membuatku memutuskan harus menata hidup yang baru di negara berbeda!” tekan Amarise menggebu-gebu, mengingat ciuman dua orang pengkhianat.
“Mereka ... mereka ada di depan mataku pagi tadi. Aku melihat di kawasan Mal dengan seorang anak kandung. Bahkan, perut dari perempuan yang berstatus sahabatku sejak SMA, hamil. Mereka berdua sudah menusukkan belati di hatiku. Jadi, apalagi yang harus kulakukan jika tidak hidup di tempat yang baru, ha?!” napas Amarise memburu.
Ia mengepalkan lebih kuat buku jemari tangan hingga memutih. Pria tanpa nama itu justru menatap tenang Amarise, lalu menarik senyum tipis diiringi anggukan kecil. “Tragis sekali.”
Kesabaran Amarise dan rayuannya sudah tidak berguna. Ia juga lelah berubah menjadi jalang muda—belum berpengalaman menarik pria dewasa dan lebih tua. Karena buruan pertamanya jauh lebih menyebalkan dibandingkan ia bertahan merusak harga diri yang tidak dibeli sama sekali.
“Kamu memiliki bank internasional?”
“A-apa?”
“Berapa nominal yang kamu butuhkan untuk pergi dari negara di Asia ini? Mungkin, benua Eropa atau Amerika bisa memberikan kamu pilihan menata hidup,” jelas pria itu semakin membuat Amarise tertegun, mengeluarkan ponsel mahalnya.
“Kamu keturunan orang Indonesia?” tanyanya menatap lekat manik coklat Amarise.
Perempuan itu mengerjap, tampak salah tingkah dipandang intens. Ia segera mengangguk saat pria itu masih menunggu jawabannya. “Ibuku berdarah Amerika yang hampir menghabiskan sebagian hidup dengan menikahi Ayahku dan tinggal di Indonesia. Lebih tepatnya saat usiaku tiga tahun, kami menetap di Bali dan masa remajaku diisi dengan lingkungan Kota Jakarta,” jelas Amarise.
“Setara satu milyar rupiah, cukup untuk memenuhi kebutuhanmu di luar negeri?”
Bibir Amarise terbuka seraya manik coklat yang terbuka lebih lebar. “Kamu ....”
Pria itu tertawa kecil, lalu mengulurkan tangan mengacak puncak kepala Amarise. Sentuhan sekejap mampu membuat detak jantung Amarise berdegup tidak keruan. Jantungnya memompa lebih cepat setelah sore tadi dadanya diisi sesak dan perih.
“Berikan aku alamat surel dan bank internasional yang kamu miliki. Aku akan mengirimkannya kurang dari lima belas menit,” jelasnya mengulurkan ponsel, meminta Amarise mengetikkan beberapa informasi di catatan sana.
Amarise menelan salivanya susah payah. Ia mengambil ragu, balik menatap pria itu dengan raut tidak percaya. “Apa yang kamu lakukan?”
“Aku sedang mengasihani anak yatim piatu,” balasnya memudarkan raut kaget Amarise, berubah tajam dengan delikan kaget.
“Kamu?!” tudingnya merasa sudah dewasa dan bukan lagi anak kecil yang harus disantuni.
Kesekian kali Amarise mengumpati pria dewasa yang tidak berperasaan ini. Ia menepis cepat saat telunjuk Amarise berusaha diraih. “Aku ingin mempermudah pelarianmu.”
“Dan bisa sebutkan sekarang, negara mana yang ingin kamu singgahi?”
Tubuh perempuan itu membeku seiring pertanyaan yang belum menemukan jawaban pasti di pikiran Amarise. Ia tanpa sadar menggigit bibir bawah dan menjawab ragu, “Aku tidak tahu.”
“Semua berjalan secara mendadak dan aku tidak memiliki persiapan,” lirihnya.
“Bagaimana jika kamu menjelajahi negara asal Ibumu?” seringai tipis pria asing itu memudar seiring Amarise mendongak cepat untuk memberikan atensi pada lawan bicara.
“Amerika?”
“Ya, tidak ada yang salah, kan? Kamu besar di Indonesia dan Singapura terlalu dekat jika pilihanmu masih di sekitar Asia,” jelasnya membuat Amarise tidak berkutik.
Namun, frustrasi Amarise yang tidak mengedepankan risiko, kini membawa perempuan itu diam memegang ponsel sendiri. Ia menatap bahu tegap yang mulai menjauh setelah Amarise memberikan informasi yang diperlukan untuk dirinya sendiri.
“Astaga!” Amarise berdiri setelah menghabiskan banyak waktu merenung di kursi jemur yang ditempati pria asing itu.
Belum ada sepuluh menit. Ia sudah mendapati nominal yang disebutkan tadi sudah masuk dalam mata uang asing. Ia tertegun. Bahkan, manik coklatnya harus mengerjap berulang kali saat ada pemberitahuan bank nasional—memberikan pemasukan saldo. “Lima ratus juta?”
“S-siapa pengirimnya?” Ia tidak mengenal identitas pengirim berbaik hati tersebut.
Namun, belum sempat ia berkutat dengan pikirannya. Satu panggilan telepon dari pengacara keluarga yang juga merupakan teman baik mendiang orangtua Amarise, menghubungi. “H-halo, Om Pram?”
“Selamat malam, Amarise. Maaf saya menganggumu tanpa memberikan pesan terlebih dahulu. Tapi, besok pagi saya akan menjelaskan banyak hal padamu saat menjemput di dermaga terakhir pelayaran Paradise Cruise.”
“Karena mulai besok, kita akan membahas tentang wali asuhmu yang akan menjadi penanggungjawab kehidupanmu kedepannya.” pertanyaan yang membuat Amarise terbelalak.
“W-wali asuh? S-siapa?”
“Paman angkatmu.”
“Di dalam wasiat orangtuamu sudah ada pembahasan ini dan kita akan membahasnya lebih detail, lalu mengambil penerbangan pertama menuju Amerika, tempat di mana wali asuhmu menetap.”
Suara di seberang sana terus saja memanggil Amarise karena merasa diabaikan terlalu lama, tidak mendapatkan respons. Amarise sendiri semakin terpaku, diberikan banyak kejutan dan ini adalah puncaknya. Paman angkat?
Apa takdir sedang berpihak denganku? Hingga berita ini hadir agar mempermudahku pergi jauh dari Indonesia dan tidak bertemu dua pengkhianat itu lagi?
“Amarise? Kamu mendengarkan suara saya? Kamu baik-baik saja?”
Ponsel Amarise digenggam erat, mendekatkan lagi pada telinganya dan ia menjawab tegas, tanpa keraguan, “Aku mendengarkan dengan baik informasi mengejutkan ini, Om. Aku mengerti. Aku akan mengikuti seluruh isi wasiat orangtuaku. Semoga dengan kehadiran Paman angkatku, bisa membuat diriku hidup lebih layak dan penuh kebahagiaan bersamanya.”
**
“P-pamanku bekerja di perusahaan sebesar ini?”Amarise menelan saliva berulang kali dengan pandangan mengerjap. Baru tiba di area lobi perusahaan ternama di negara yang baru ia singgahi setelah usia tiga tahun memutuskan hidup di Indonesia, ia dibuat terkesima tempat bekerja pamannya. “Sejak kapan Mama memiliki adik angkat? Atau sebenarnya Mama memiliki adik tiri, Om?”Perempuan itu mendapati lelaki seusia orangtuanya tertawa kecil. “Adik angkat, bukan adik tiri atau kerap kita dengar sebagai saudara sambung. Mamamu anak tunggal dan itu tidak akan pernah berubah,” jelasnya.“Tapi Mama tidak pernah menceritakan tentang hal ini. Tiba-tiba, Om menjemputku di dermaga terakhir, lalu membawa terbang ke Amerika dengan menjelaskan pernyataan ringkas selama perjalanan.” Ia mengeluh seraya memijat pelipis.Dirinya sangat syok mengetahui hal yang diberitahu setelah belum genap satu minggu orangtua Amarise meninggal dalam kecelakaan menuju perkebunan. Tempat satu-satunya aset paling utama yang di
Amarise menyisir luas kamar yang sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan kamar kecilnya. Ia memang berada di stratas sosial menengah saja. Kebutuhan tercukupi selama bersama orangtua. Hanya saja, pendapatan terbesar dari perkebunan tidak menentukan selamanya akan stabil dengan hasil panen juga kebutuhan lain.“Bagaimana aku menjalani hari di mansion megah ini?” Ia menggigit bibir bawah.Amarise merasa sekujur tubuhnya menggigil, meskipun belum ada tanda pergantian musim. “Bahkan, aku sudah lancang tidak menghadiri makan malam untuk kali pertama,” lanjutnya merasa frustrasi.Ia belum terbiasa dengan satu anggota keluarga baru yang tidak memiliki hubungan darah, tapi memperlakukan Amarise seperti ini. “Demi Tuhan. Dia pria dewasa yang sangat memesona. Hanya disentuh dan dipeluk, pikiran dan tubuhku mulai bergejolak,” keluh Amarise memukul pelan kepala berulang kali.“Aku merasa sudah gila,” desis perempuan berkulit putih yang mengenakan setelan piama.Suara erangan Amarise mengisi k
“Kamu sangat cantik sekali, Nak. Perpaduan darah Ayahmu yang berasal dari Indonesia lebih mendominasi. Senyummu juga sangat manis.”Amarise tersipu. Ia tidak sanggup jika terlalu lama dipuji terus menerus oleh Nyonya Isaac. Kunjungan mereka hadir di hari ketiga Amarise menjalani kehidupan barunya di mansion Nic.“Bagaimana jika kamu menjadi calon menantuku?” Nyonya Isaac mengerling penuh binaran.Kepala wanita itu teralihkan pada putranya yang duduk di seberang meja makan sendiri. Sedangkan kursi utama diisi sang suami, sesekali memerhatikan interaksi sang istri yang nyaris tidak lepas membahas tentang Amarise.“Nic, Amarise lebih pantas menjadi calon istri dibandingkan keponakanmu, Sayang,” tambah wanita itu menyeringai bahagia, mengabaikan tatapan kaku Amarise.Ia dibuat tidak berkutik oleh pertanyaan berujung permintaan tersebut.Nic tertawa kecil seraya menggeleng lemah. “Aku sudah berjanji menjadi wali asuh baru untuk Rishi, Ma,” jelasnya menarik atensi Nyonya Isaac.“Rishi? Buka
“Nic?”Buncahan rindu Nic tidak terelakkan lagi bersitatap dengan manik coklat yang memandangnya terkesiap. Sebelum rentetan pertanyaan menginterupsi kerinduannya. Nic memagut lebih dulu bibir yang sudah menjadi candunya.Perlahan, bibir yang terasa kaku dalam pagutan Nic, berangsur membalas. Mereka meluapkan hasrat yang seolah tertunda sejak dua minggu lalu.“Aku sangat merindukanmu, Nolia,” bisik Nic meraih tubuh ramping itu semakin tidak berjarak.Ia tutup asal pintu apartemen, lalu membawa perempuan cantik itu semakin masuk ke ruang tengah tanpa melepaskan ciuman berhasrat di antara mereka.Kedua tangan Nic terlepas dari tengkuk dan menangkup sisi paras memesona itu. Ia ganti taruh salah satu tangan di pinggang, lalu tangan satu lagi menyusup di bawah tungkai. Nic membopong perempuan itu tanpa menjaga jarak ciuman sekadar satu senti.“Apa ini?” bisik manis terdengar menggelitik di telinga Nic.Ia baru saja menaruh tubuh Nolia di atas pangkuan bersama ciuman yang mulai kehabisan ok
Kedua tangan Amarise terlipat di dada dengan sorot tajam ke arah pria yang baru turun dari SUV hitam miliknya. “Kamu menipuku? Ini hampir larut malam dari perjanjian terakhir yang kita sepakati di pesan tadi. Apalagi aku merasa kesal karena ponselmu tidak aktif. Kamu benar-benar membuatku marah sekaligus khawatir,” ucap Amarise bersitatap dengan Nic di pintu utama yang menjulang tinggi.“Kamu sangat mencemaskanku, hm?” bibir Nic mengulas senyum jahil.Ia dengan mesra menarik pinggang Amarise, lalu membubuhkan satu kecupan singkat di kening. “Maafkan aku. Daya ponselku habis dan aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan.”Amarise berusaha mengendalikan dirinya mendapati suara lembut dari permintaan maaf Nic. Bahkan, pelukan dan ciuman mesra itu harus ia artikan sebagai bentuk rasa saya pada keponakan. “Janji tidak akan mengulanginya?”Jari kelingking Amarise terulur dengan menampilkan sorot penuh harap dibalik bibir yang mencebik menahan kesal. Sisi hatinya sangat luruh melihat paras ta
“Jika Papamu tidak memiliki urusan pekerjaan yang mendesak. Aku akan terus membuatmu beralih menikahi Rishi-mu, Nic,” cetus Nyonya Isaac mengerling jahil.Nic mengambil napas perlahan sebelum mengembuskannya dengan memberikan senyum kecil. “Mama hanya membuang waktu. Rishi keponakan manisku dan itu tidak akan pernah berubah,” balas Nic.Amarise tersenyum kikuk, membiarkan Nic merangkul pinggangnya setelah melontarkan kalimat sederhana. Sayangnya, gejolak patah hati sedang dirasakan secara perlahan.“Amarise cantik, berusia dua puluh satu tahun dan tampak bisa mengimbangimu. Kamu benar-benar menolak perempuan seperti Amarise, Nic.”Nyonya Isaac mengerucutkan bibirnya, selalu mendapati penolakan yang sama dari Nic. Apa pun yang sudah ia sugesti, tetap nihil. Hasilnya tidak akan pernah memuaskan wanita itu.“Ma, kita harus berangkat sekarang. Sebentar lagi pesawat tujuan kita akan lepas landas.”Wanita itu mengangguk pasrah mendengar sahutan sang suami, membuat Nic langsung tersenyum bah
“Maaf, Nona. Tapi Anda tidak bisa masuk karena Tuan Isaac sedang mengobrol dengan tamunya.”Senyum Amarise memudar setelah terfokus pada kotak makan siang. Ia melemparkan tatapan memicing, curiga. Sebenarnya tidak ada yang salah dari sekretaris Nic. Mengingat penampilan formal teramat sopan dan segera berstatus istri pria lain. “Kenapa? Apa sepenting itu hingga aku dilarang masuk?”“Dua anak buah Nic yang kutemui di lobi, mereka mengatakan Nic baru saja menyelesaikan rapat dan aku memiliki hak istimewa atas permintaan Tuan-mu,” lanjut Amarise tidak sadar sudah berucap sinis.Ia tidak menyukai ada orang lain, memiliki jabatan rendah daripada Nic yang mengatur dirinya sesuka hati. Karena sedari awal Nic membebaskan Amarise melakukan apa pun sejak hampir satu bulan ini.Raut tegas dan kaku itu sedikit mengendur dengan tawa kecil, lalu membungkuk sejenak. “Maafkan sikapku yang terkesan lancang, Nona. Hanya saja, aku takut Anda lebih salah paham.”Tubuh Amarise mendadak gusar mendengar pe
“Kamu ingin pergi ke mana lagi? Kenapa sering kali meninggalkan aku sendirian? Bisakah aku ikut denganmu juga, Nic?”Belum selesai perasaan cemburu Amarise mereda sejak tadi siang. Malam ini pria itu tampak membereskan beberapa pakaian ke dalam koper. Jika Amarise tidak datang tepat waktu melihat anak buah Nic membawa kabar jadwal penerbangan paling pagi besok, mungkin Amarise tidak akan tahu apa saja yang dilakukan pria itu sekarang.“Ini perjalanan bisnis, Rishi. Aku sudah berjanji akan membawa kamu berkeliling beberapa negara, tapi jika kamu meminta sekarang, maka ini bukanlah waktu yang tepat,” jelas Nic mengulum senyum.Ia mendekati Amarise, lalu meraih pinggang ramping dan menjatuhkan satu kecupan di pipi kanan. “Jangan menunjukkan kesedihanmu. Aku akan ikut sedih.”Tangan Amarise sedikit meremas pergelangan tangan Nic yang masih bertengger di pinggangnya. Tatapan perempuan itu lekat memandang Nic. “Kamu tidak sedang berbohong, kan? Aku takut kamu pergi untuk menemui Nyonya Cage