Amarise menyisir luas kamar yang sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan kamar kecilnya. Ia memang berada di stratas sosial menengah saja. Kebutuhan tercukupi selama bersama orangtua. Hanya saja, pendapatan terbesar dari perkebunan tidak menentukan selamanya akan stabil dengan hasil panen juga kebutuhan lain.
“Bagaimana aku menjalani hari di mansion megah ini?” Ia menggigit bibir bawah.
Amarise merasa sekujur tubuhnya menggigil, meskipun belum ada tanda pergantian musim. “Bahkan, aku sudah lancang tidak menghadiri makan malam untuk kali pertama,” lanjutnya merasa frustrasi.
Ia belum terbiasa dengan satu anggota keluarga baru yang tidak memiliki hubungan darah, tapi memperlakukan Amarise seperti ini. “Demi Tuhan. Dia pria dewasa yang sangat memesona. Hanya disentuh dan dipeluk, pikiran dan tubuhku mulai bergejolak,” keluh Amarise memukul pelan kepala berulang kali.
“Aku merasa sudah gila,” desis perempuan berkulit putih yang mengenakan setelan piama.
Suara erangan Amarise mengisi keheningan ruang kamar kedap suara tersebut. “Lebih baik aku meminta maaf atas ketidakpedulianku ini,” cetusnya beranjak cepat sebelum berubah pikiran.
Amarise harus mencari keberadaan Nic, lalu meminta maaf karena tidak bisa memenuhi panggilan makan malam bersama. Setidaknya, cukup sedari siang ia berasalan lelah dan tidak keluar kamar sama sekali.
Malam ini, Amarise harus meminta maaf.
“Tuan sedang berada di area kolam renang, Nona.”
Sebelah alis Amarise terangkat. Di balkon kamar saja, udara sudah cukup dingin menurutnya. “Sendirian?” tanya perempuan itu memastikan.
“Benar. Baru sekitar dua puluh menit lalu Tuan berada di sana,” jelas pelayan muda yang Amarise temui sembarang di ruang tengah.
Perempuan muda itu mengangguk perlahan, meskipun ia mulai melirik sekitar. Ada pikiran penuh tanya yang ingin ia dapatkan jawabannya dari pekerja di sini. “Apa Tuanmu sudah memiliki keluarga? Ah, maaf. Maksudku, keadaan mansion ini terasa sepi tanpa keluarga terdekat atau keluarga kecil Pamanku,” jelas Amarise yang mengabaikan raut bingung pelayan muda itu.
“Tuan pria lajang, Nona. Sedangkan untuk keluarga besar, mereka tinggal di kota lain di negara ini. Setidaknya, itu yang aku ketahui selama tiga tahun bekerja di mansion ini.”
Amarise segera mengangguk, berterima kasih dan melanjutkan jalan menemui sang tuan rumah.
Langkah dari kaki jenjang itu melambat saat gelombang dan percikan air menandakan baru ada seseorang yang balik menenggelamkan tubuh.
Bayangan tubuh dari pantulan air jernih ditambah area temaram, membuat Amarise mendekati pinggir kolam. “Paman!”
Seruan Amarise digubris dalam sepersekian detik. Paras tampan menyembul di tengah kolam renang. Amarise harus menahan gejolak desiran melihat kedua lengan itu terangkat sekadar mengusap wajah dan rambut coklat Nic.
Astaga! Belum genap dua puluh empat jam aku berada di dekat pria berbahaya dengan sorot manis ini. Apa yang bisa kulakukan saat harus disuguhkan pesona pria lajang ini?! Amarise menjerit dalam hati, meskipun kedua pipi putih itu menunjukkan respons kentara.
Kedua sudut bibir Nic terulas kecil. “Kamu ingin bergabung?”
Amarise merasa kedua bola matanya ingin keluar. “T-tidak. Maksudku, aku ingin berbicara padamu, Paman.” berulang kali Amarise kehilangan keseimbangan saat harus berbicara pada Nic di keadaan tidak terduga.
“Kamu tampak sangat serius,” cetus Nic di tengah kolam, sedangkan Amarise mengangguk cepat.
“Aku ingin berbicara padamu sebentar, Paman.”
“Berapa kali harus memintamu untuk memanggilku Nic saja?”
Napas Amarise tercekat. Ia gugup saat harus melupakan status baru tersebut. Amarise bisa melupakan banyak hal jika kesadarannya menganggap Nic hanyalah pria asing yang begitu panas dan menggoda.
“Tunggu sebentar. Aku akan mendekatimu saja,” lanjut pria itu berenang ke arah tangga kolam.
Bukan segera mengendalikan diri yang hampir mencapai titik tenang. Amarise merasakan tubuhnya memanas melihat kemunculan Nic menaiki tangga.
Tubuh atletis Nic selaras dengan bentuk dada bidang juga perut liat. Amarise meneguk saliva sebanyak mungkin, lalu mengatur deru napas yang balik tidak stabil. Semakin dekat, celana renang itu menganggu pemandangan Amarise.
Nic meraih handuk kecil di kursi jemur. “Apa yang membuat tidur malammu terganggu, Sayang?”
Amarise gemetar saat jemari dingin beradu dengan pipi panas dan hangat Amarise. Ia tanpa sadar sedikit mundur, ditangkap bingung Nic.
Perempuan itu segera menunduk dalam. “Maafkan aku yang menolak ajakan makan malam untuk kali pertama tinggal di mansionmu, Paman,” ucapnya memejamkan mata, sengaja mengalihkan kontak dari milik Nic.
Ia benar-benar berubah menjadi perempuan dewasa yang haus belaian juga hasrat membumbung tinggi. Sial! Entah karena dikhianati Dion atau karena Nicholas Isaac memanjakan Amarise dengan banyak hal.
“Pertama, berhenti memanggilku dengan sebutan Paman, meskipun sekarang statusmu sebagai keponakanku. Kedua, aku memaklumi karena dirimu harus beradaptasi secara perlahan di negara dan tempat bernaungmu yang baru.”
Amarise mengangguk cepat. “Tapi aku masih merasa bersalah karena pernah menawarimu tubuhku,” cicit Amarise bersemu. Sampai kapan pun permasalahan ini tidak akan pernah hilang dari benaknya.
“Kamu terlalu banyak berbohong di awal pertemuan kita,” lanjut Amarise tanpa sadar mengerucutkan bibir.
Nic tertawa kecil seraya meraih dagu Amarise, membawa mereka saling bersitatap. “Bahkan, aku tidak tahu jika kamu sedang berada di Paradise Cruise.”
Sifat asli Amarise keluar seiring tatapan yang mulai memicing. “Kamu sangat berbakat mempermainkan sebuah sandiwara.”
Pria dewasa di hadapan Amarise tidak dapat menutupi tawa puasnya. Ia menepuk hangat pipi Amarise dan menjawab, “Maafkan aku, Rishi. Apa kamu membutuhkan banyak permintaan sebagai bentuk memaafkan kesalahanku?”
“Tidak perlu. Aku sudah lebih baik dengan banyak pakaian dan juga perhiasan di kamar baruku,” cetusnya dengan berbinar.
Selain dibuat kagum oleh kemewahan mansion, koleksi mobil mahal Nic. Ia juga dibuat melongo dari isi walk in closet yang sudah menjadi miliknya. Pakaian dengan harga mahal dari brand terkenal belum pernah dicicipi Amarise.
“Wajahmu sedikit pucat. Apa kamu belum memasukkan sedikitpun makanan untuk mengisi perutmu?”
“Eh?”
Amarise terkesiap. Ia bergetar saat pelukan dari lengan itu meraih pinggang bagian kiri Amarise. Bulir air masih menetes dari ujung rambut Nic. Bahkan, sensasi panas kembali menjalar saat Amarise harus menempel sedikit lekat dengan pria dewasa bertelanjang dada itu. “N-nic, kamu ....”
“Ada apa?”
“Jangan terlalu dekat,” cicitnya tidak bisa lagi menyembunyikan rasa salah tingkah.
Sudut bibir Nic tertarik, lalu berbisik lirih di telinga Amarise membawa debaran dan tubuh yang beranjak kaku. “Jika kamu bukanlah keponakan angkatku. Mungkin, kita bisa menghabiskan satu malam panas sesuai tawaranmu, Rishi Sayang,” bisiknya menggoda dengan satu gigitan kecil di cuping Amarise.
**
“Kamu sangat cantik sekali, Nak. Perpaduan darah Ayahmu yang berasal dari Indonesia lebih mendominasi. Senyummu juga sangat manis.”Amarise tersipu. Ia tidak sanggup jika terlalu lama dipuji terus menerus oleh Nyonya Isaac. Kunjungan mereka hadir di hari ketiga Amarise menjalani kehidupan barunya di mansion Nic.“Bagaimana jika kamu menjadi calon menantuku?” Nyonya Isaac mengerling penuh binaran.Kepala wanita itu teralihkan pada putranya yang duduk di seberang meja makan sendiri. Sedangkan kursi utama diisi sang suami, sesekali memerhatikan interaksi sang istri yang nyaris tidak lepas membahas tentang Amarise.“Nic, Amarise lebih pantas menjadi calon istri dibandingkan keponakanmu, Sayang,” tambah wanita itu menyeringai bahagia, mengabaikan tatapan kaku Amarise.Ia dibuat tidak berkutik oleh pertanyaan berujung permintaan tersebut.Nic tertawa kecil seraya menggeleng lemah. “Aku sudah berjanji menjadi wali asuh baru untuk Rishi, Ma,” jelasnya menarik atensi Nyonya Isaac.“Rishi? Buka
“Nic?”Buncahan rindu Nic tidak terelakkan lagi bersitatap dengan manik coklat yang memandangnya terkesiap. Sebelum rentetan pertanyaan menginterupsi kerinduannya. Nic memagut lebih dulu bibir yang sudah menjadi candunya.Perlahan, bibir yang terasa kaku dalam pagutan Nic, berangsur membalas. Mereka meluapkan hasrat yang seolah tertunda sejak dua minggu lalu.“Aku sangat merindukanmu, Nolia,” bisik Nic meraih tubuh ramping itu semakin tidak berjarak.Ia tutup asal pintu apartemen, lalu membawa perempuan cantik itu semakin masuk ke ruang tengah tanpa melepaskan ciuman berhasrat di antara mereka.Kedua tangan Nic terlepas dari tengkuk dan menangkup sisi paras memesona itu. Ia ganti taruh salah satu tangan di pinggang, lalu tangan satu lagi menyusup di bawah tungkai. Nic membopong perempuan itu tanpa menjaga jarak ciuman sekadar satu senti.“Apa ini?” bisik manis terdengar menggelitik di telinga Nic.Ia baru saja menaruh tubuh Nolia di atas pangkuan bersama ciuman yang mulai kehabisan ok
Kedua tangan Amarise terlipat di dada dengan sorot tajam ke arah pria yang baru turun dari SUV hitam miliknya. “Kamu menipuku? Ini hampir larut malam dari perjanjian terakhir yang kita sepakati di pesan tadi. Apalagi aku merasa kesal karena ponselmu tidak aktif. Kamu benar-benar membuatku marah sekaligus khawatir,” ucap Amarise bersitatap dengan Nic di pintu utama yang menjulang tinggi.“Kamu sangat mencemaskanku, hm?” bibir Nic mengulas senyum jahil.Ia dengan mesra menarik pinggang Amarise, lalu membubuhkan satu kecupan singkat di kening. “Maafkan aku. Daya ponselku habis dan aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan.”Amarise berusaha mengendalikan dirinya mendapati suara lembut dari permintaan maaf Nic. Bahkan, pelukan dan ciuman mesra itu harus ia artikan sebagai bentuk rasa saya pada keponakan. “Janji tidak akan mengulanginya?”Jari kelingking Amarise terulur dengan menampilkan sorot penuh harap dibalik bibir yang mencebik menahan kesal. Sisi hatinya sangat luruh melihat paras ta
“Jika Papamu tidak memiliki urusan pekerjaan yang mendesak. Aku akan terus membuatmu beralih menikahi Rishi-mu, Nic,” cetus Nyonya Isaac mengerling jahil.Nic mengambil napas perlahan sebelum mengembuskannya dengan memberikan senyum kecil. “Mama hanya membuang waktu. Rishi keponakan manisku dan itu tidak akan pernah berubah,” balas Nic.Amarise tersenyum kikuk, membiarkan Nic merangkul pinggangnya setelah melontarkan kalimat sederhana. Sayangnya, gejolak patah hati sedang dirasakan secara perlahan.“Amarise cantik, berusia dua puluh satu tahun dan tampak bisa mengimbangimu. Kamu benar-benar menolak perempuan seperti Amarise, Nic.”Nyonya Isaac mengerucutkan bibirnya, selalu mendapati penolakan yang sama dari Nic. Apa pun yang sudah ia sugesti, tetap nihil. Hasilnya tidak akan pernah memuaskan wanita itu.“Ma, kita harus berangkat sekarang. Sebentar lagi pesawat tujuan kita akan lepas landas.”Wanita itu mengangguk pasrah mendengar sahutan sang suami, membuat Nic langsung tersenyum bah
“Maaf, Nona. Tapi Anda tidak bisa masuk karena Tuan Isaac sedang mengobrol dengan tamunya.”Senyum Amarise memudar setelah terfokus pada kotak makan siang. Ia melemparkan tatapan memicing, curiga. Sebenarnya tidak ada yang salah dari sekretaris Nic. Mengingat penampilan formal teramat sopan dan segera berstatus istri pria lain. “Kenapa? Apa sepenting itu hingga aku dilarang masuk?”“Dua anak buah Nic yang kutemui di lobi, mereka mengatakan Nic baru saja menyelesaikan rapat dan aku memiliki hak istimewa atas permintaan Tuan-mu,” lanjut Amarise tidak sadar sudah berucap sinis.Ia tidak menyukai ada orang lain, memiliki jabatan rendah daripada Nic yang mengatur dirinya sesuka hati. Karena sedari awal Nic membebaskan Amarise melakukan apa pun sejak hampir satu bulan ini.Raut tegas dan kaku itu sedikit mengendur dengan tawa kecil, lalu membungkuk sejenak. “Maafkan sikapku yang terkesan lancang, Nona. Hanya saja, aku takut Anda lebih salah paham.”Tubuh Amarise mendadak gusar mendengar pe
“Kamu ingin pergi ke mana lagi? Kenapa sering kali meninggalkan aku sendirian? Bisakah aku ikut denganmu juga, Nic?”Belum selesai perasaan cemburu Amarise mereda sejak tadi siang. Malam ini pria itu tampak membereskan beberapa pakaian ke dalam koper. Jika Amarise tidak datang tepat waktu melihat anak buah Nic membawa kabar jadwal penerbangan paling pagi besok, mungkin Amarise tidak akan tahu apa saja yang dilakukan pria itu sekarang.“Ini perjalanan bisnis, Rishi. Aku sudah berjanji akan membawa kamu berkeliling beberapa negara, tapi jika kamu meminta sekarang, maka ini bukanlah waktu yang tepat,” jelas Nic mengulum senyum.Ia mendekati Amarise, lalu meraih pinggang ramping dan menjatuhkan satu kecupan di pipi kanan. “Jangan menunjukkan kesedihanmu. Aku akan ikut sedih.”Tangan Amarise sedikit meremas pergelangan tangan Nic yang masih bertengger di pinggangnya. Tatapan perempuan itu lekat memandang Nic. “Kamu tidak sedang berbohong, kan? Aku takut kamu pergi untuk menemui Nyonya Cage
Nic menumpukan kedua lutut di lantai seraya menatap hangat anak lelaki berusia empat tahun, tidak sama sekali merespons baik paper bag dan ekspresi Nic. “Apa kamu tidak berpikir mengenai Mamaku yang mengurusku sendirian selama di rumah sakit Singapura?” “Di mana peranmu sebagai Papa kandungku? Aku sedang jatuh sakit dan tidak sekalipun kamu bertanya kabarku,” lanjut anak lelaki yang mewarisi manik coklat dari sang Ibu. Setidaknya Nic cukup bersyukur saat mata itu tidak berwarna biru dan bisa membuat anak lelaki cerdas ini mengetahui kekurangan dari keluarga kecilnya. Hanya saja, Nic tidak bisa mengubah ciptaan Tuhan saat wajah dan sifat anak di hadapannya menurun sangat banyak dari Ayah kandungnya. Ia mendengkus dalam hati, membenci pria yang merupakan kakak sepupunya sendiri. “Sayang ... Aku sudah menceritakan tentang Papamu. Seharusnya kamu mengerti keadaannya yang benar-benar sedang sibuk. Jaga sikapmu pada Papa Nicholas!” tegas perempuan cantik datang dari arah dapur, memerhati
Hasrat Amarise bergejolak bersama desahan frustrasi. Jemari tangannya meremat rambut coklat Nic, lalu menekan dan membiarkan isapan pria itu di dadanya yang membusung, kian menggila. “Nic ....” Logika Amarise hilang di antara gairah yang sudah meledak. Ia tidak pernah menyangka seluruh pakaiannya tertanggal di bawah ranjang dan ia begitu gesit membuka pakaian pria di atasnya. Selama ini Nic baik pada Amarise. Perempuan itu memilih membiarkan tubuhnya dijamah dan merespons tiap sentuhan Nic tidak kalah panas, sekalipun ia bisa menyesali malam panas ini di kemudian hari. “Kamu milikku malam ini, Sayang.” Amarise menjerit sakit. Tubuhnya bergejolak dengan sensasi sakit kali pertama yang dirasakannya. Ia menangis saat Nic terus melesakkan miliknya tanpa ampun, tidak memberikan pemanasan sama sekali di awal mereka bercinta. Nic mengerang nikmat dengan mata terpejam sambil terus meraih sensasi yang telah lama tidak dirinya teguk. “Aku sangat menyukai milikmu yang sangat sempit ini, Noli