“Jika Papamu tidak memiliki urusan pekerjaan yang mendesak. Aku akan terus membuatmu beralih menikahi Rishi-mu, Nic,” cetus Nyonya Isaac mengerling jahil.
Nic mengambil napas perlahan sebelum mengembuskannya dengan memberikan senyum kecil. “Mama hanya membuang waktu. Rishi keponakan manisku dan itu tidak akan pernah berubah,” balas Nic.
Amarise tersenyum kikuk, membiarkan Nic merangkul pinggangnya setelah melontarkan kalimat sederhana. Sayangnya, gejolak patah hati sedang dirasakan secara perlahan.
“Amarise cantik, berusia dua puluh satu tahun dan tampak bisa mengimbangimu. Kamu benar-benar menolak perempuan seperti Amarise, Nic.”
Nyonya Isaac mengerucutkan bibirnya, selalu mendapati penolakan yang sama dari Nic. Apa pun yang sudah ia sugesti, tetap nihil. Hasilnya tidak akan pernah memuaskan wanita itu.
“Ma, kita harus berangkat sekarang. Sebentar lagi pesawat tujuan kita akan lepas landas.”
Wanita itu mengangguk pasrah mendengar sahutan sang suami, membuat Nic langsung tersenyum bahagia.
“Mama akan terus mendesakmu, Nic. Kamu tidak akan mungkin bisa menolak pesona perempuan blasteran cantik di dekatmu ini,” sindir Nyonya Isaac tersenyum miring, menatap penuh arti pelukan dari samping di pinggang ramping Amarise.
Melihat wajah Amarise memerah salah tingkah, wanita itu tertawa kecil. Ia menarik Amarise dan mendekap hangat tubuh Amarise, lalu berbisik, “Aku selalu berharap Nic bisa menatapmu sebagai perempuan dewasa yang memesona, Nak.”
“Dan aku cukup bisa melihat jika dirimu mengagumi secara diam-diam pesona dari putraku,” bisiknya tersenyum puas mendapati tubuh Amarise menegang.
Ia mengurai tanpa melepas pelukan dan mengedipkan sebelah mata. “Jangan khawatir. Aku berada di pihakmu dan mendukungmu bisa memikat putraku yang malang ini. Karena aku melihat dia tidak tertarik dengan seorang perempuan.”
“Pa, lihatlah. Apa saja yang dibicarakan Mama? Ini sangat berbahaya,” sahut Nic menatap datar mendapati sang Mama berbisik dengan jarak sengaja dijauhkan.
Ia menjauhkan Amarise dari Nic dengan alasan ingin memeluk. Dua wanita berbeda generasi itu tertawa dan perasaan Amarise tidak begitu semu. Ia mendapat dukungan secara langsung oleh wanita kesayangan Nic.
“Bibi tidak marah?”
“Aku bahkan bahagia kamu hadir di hidup Nic, Sayang. Lakukanlah dan nikmati semuanya tanpa terburu-buru,” balas wanita itu sekaligus menjadi percakapan terakhir sebelum orangtua Nic memutuskan berpisah, melanjutkan perjalanan ke luar negeri.
“Apa yang kalian bicarakan?”
Amarise menoleh, menatap Nic yang begitu penasaran. “Tidak ada.” Ia tersenyum puas melihat Nic langsung menekukkan wajah.
Kedua tangan Amarise segera merangkul lengan kokoh Nic. “Ayo, mari kita berkencan! Kamu jangan membuatku sedih dan merasa diabaikan oleh pamanku sendiri.”
Sebuah kecupan nyaring tertahan tiga detik di pipi Amarise. “Ternyata kamu sangat pemaksa,” balas Nic mengulum senyum dan segera membawa Amarise mewujudkan permintaannya.
“Sebagai keponakan yang baik, aku harus tahu kehidupanmu, Nic,” cetus Amarise.
Nic terdiam saat ia akan memakan es krim menggunakan waffle kerucut. Mereka bergegas melanjutkan keliling Mal dan Nic patuh menemani Amarise menjelajahi beberapa kedai dan toko. “Aku bukan seorang bandar atau mafia. Tenang saja. Hidupmu akan tetap aman. Keluargaku adalah pengusaha dan politikus bersih.”
“Ya, setidaknya kami memiliki posisi cukup atas jika harus berada di antara banyaknya keserakahan kelompok ataupun individu dunia perpolitikan.”
Celetukan jahil itu dibalas dengkusan Amarise. Ia semakin mengeratkan rangkulan di tangan Nic mendapati berbagai pasang mata perempuan dan wanita dewasa mencuri pandang ke arah Nic.
Senyum Nic yang sesekali terulas saat berbicara dengan Amarise, memikat pasang mata di sekitar Amarise kian terpaku. “Lihatlah. Banyak dari mereka mencuri pandang ke arahmu.”
“Kamu cemburu? Sekarang kamu justru yang bisa memelukku dan menikmati perlakuan manisku, bukan mereka,” jelas Nic mendebarkan perasaan Amarise.
“Rishi ... jika kamu bersemu, terlihat sangat manis sekali.”
Cup!
Kedua lutut Amarise lemas mendapati Nic mengecup pipinya di hadapan banyak pasang mata yang sudah menaruh harapan lebih tadi. Senyum puas secara perlahan tertarik, membuat Amarise bahagia sekaligus dilema.
Ia dilema mendapati posisi diperlakukan baik oleh Nic. “Ck! Kamu sangat tahu untuk membungkam dan membuat mereka patah hati,” cibirnya dibalas tawa kecil Nic.
“Aku menghargai kecemburuan keponakanku yang tidak ingin mendapatkan saingan.”
Amarise bersemu mendengar pernyataan tersebut. “Mantanmu pasti sangat banyak hingga kamu sudah terlatih sejauh ini.”
Nic tertawa geli. “Dalam lima tahun terakhir, aku tidak pernah berkencan dengan perempuan manapun. Ajakanmu menjadi yang pertama dan aku berharap, aku bisa membuatmu nyaman.”
Sejenak Amarise terdiam. Tersirat jika Nic tidak pernah berkencan dengan perempuan dalam lima tahun terakhir. Ia menelan saliva susah payah dan berucap pelan, “Apa kamu pernah terluka oleh perempuan, Nic? Semacam patah hati?”
Tangan Nic terulur dan mengusap lembut pipi Amarise, lalu meraih tengkuk itu agar mendekat dan mengecup sekilas puncak kepala Amarise. “Patah hati bisa dirasakan oleh siapa pun, Rishi. Bukan hanya aku, tapi kamu juga sedang merasakannya. Dan sekarang aku sudah merasa bahagia karena kehadiranmu.”
Jawaban telak yang membuat Amarise berdebar luar biasa. Ia meraih tangan bebas Nic, lalu mengenggam teramat hangat. “Jika aku adalah penyembuh lukamu, biarkan aku menyayangimu seperti yang kumau.”
Pandangan Nic memicing dengan menaikkan sebelah alis, tapi tidak menutupi secuil senyum kecil menantang. “Bagaimana caranya? Selalu ada batasan antara keponakan dan pamannya,” sindir pria itu tersenyum mengejek.
Amarise mendengkus kesal. “Kamu wali baruku dan kita tidak memiliki ikatan darah. Jadi, aku berhak menyanyangimu sesuai kemauanku, Paman,” bisik Amarise dengan lancang menggigit dagu Nic sekilas.
Perempuan itu bersemu seraya berlalu meninggalkan Nic yang terpaku.
Amarise Damaswara. Perempuan tangguh, mandiri yang membungkus sifat agresif di balik gerak manjanya. Pertemuan pertama mereka sudah bisa dikenali oleh Nic.
“Nic!” pekik Amarise nyaris mengumpat mendapati Nic mengacak gemas puncak kepalanya.
Amarise baru saja keluar dari salon kecantikan ditemani Nic dan sekarang penampilannya kembali buruk. “Hei—Nicholas Isaac! Tunggu aku!” teriak Amarise melotot horor mendapati Nic hampir memasuki lift dengan kaki panjangnya.
Ia dengan gerak cepat berlari, mengejar ketertinggalan dengan kedua tangan terentang. Bersiap melompat di atas tubuh Nic.
Sayangnya, tubuh yang sudah berada di dalam lift dan hampir menjangkau punggung lebar Nic, membuat perempuan itu salah mendarat.
Nic berbalik gesit menghadapnya dan pelukan Amarise merambat di leher Nic. Dalam hitungan detik, Nic berhasil menahan lompatan Amarise dan membawa tungkai perempuan itu berada di pinggang Nic.
Semburat merah menghiasi pipi putih Amarise bersama degup jantung yang menggila. Napas perempuan itu tercekat dan merasakan tubuh yang kaku, mendapati posisi seintim ini.
Ia tidak pernah melakukan hal ini pada mantan kekasih Amarise.
“Kamu sengaja melakukannya?” bisik Nic menyeringai puas tanpa menurunkan tubuh Amarise.
Tidak ada yang akan menganggu posisi intim mereka. Terlebih lift yang sudah tertutup sempurna. “A-aku ... berniat melompat di punggunggmu. Tapi kamu dengan sangat cepat berbalik dan sudah dipastikan aku salah mendarat,” cicitnya tersipu malu.
“Aku tidak percaya,” balas Nic jahil.
“Baiklah! Jika kamu tidak percaya, maka aku akan memanfaatkannya seperti ini!” kesal Amarise langsung memeluk erat leher Nic.
Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher pria itu, meskipun bersusah payah menahan degup jantung. “Sepertinya aku mulai kecanduan aroma maskulinmu, Tuan Isaac,” bisik Amarise tidak lagi menutupi ketertarikannya.
Amarise sudah mendapatkan dukungan telak dari Nyonya Isaac. Lagipula, Amarise sudah lebih dari cukup memahami jika Nic tidak memiliki tambatan hati. Jadi, apa yang ia lakukan kali ini tidak akan menyakiti siapa pun.
“Jangan terlalu lama menghidunya,” cetus Nic tanpa mengubah posisi.
Ia mengulum senyum, membiarkan kedua tangan tetap menahan berat tubuh Amarise yang tidak seberapa. Perempuan dalam dekapannya bertubuh ramping dan proporsional untuk rerata perempuan Asia.
“Kenapa? Kamu takut terangsang?” Amarise menatap sensual Nic dengan senyum menantang.
Jemari lentik itu mengusap pipi mulus Nic, membelai rahang dan berakhir nakal di permukaan bibir kemerahan. Bayangan lembut yang sudah menyentuh permukaan wajah Amarise saja, sudah membuat perempuan itu terbawa perasaan.
Ia tidak bisa menduga, bagaimana jika bibir Nic memagut bibir ranumnya. “Bukan aku, tapi kamu dengan jiwa mudamu yang sangat mudah berfantasi liar,” ejek Nic dibalas dengkusan Amarise.
Ting!
“Kita akan terus seperti ini untuk sampai ke mobilku?” tanya Nic membawa Amarise layaknya menggendong anak koala.
Amarise tertawa dengan anggukan bahagia. “Sebelumnya kita hanyalah dua orang asing dan satu perlakuan ini, aku yakin bisa mendekatkan kita berdua.”
“Tuan. Seluruh belanjaan Nona Amarise sudah berada di mobil.”
Perempuan itu terlonjak kaget dan hampir turun dari gendongan Nic, tapi segera dieratkan pria itu. Amarise segera menenggelamkan wajahnya di dada bidang Nic, menyembunyikan rasa malu karena tidak mengetahui ada orang yang mengenali mereka.
“Kalian bisa pergi sekarang. Aku ingin menikmati momen bersama Nona muda ini,” jawab Nic pada salah satu anak buahnya, membuat Amarise salah tingkah.
“Baik, Tuan,” sahut mereka bergegas pergi meninggalkan basement Mal.
Aliran darah Amarise berdesir seiring letupan membuncah dalam dadanya. Ia biarkan Nic merebahkan tubuhnya di jok samping kemudi, lalu memasangkan sabuk pengaman. “Selain berani dan agresif. Kamu benar-benar akan sangat manja di waktu yang tidak terduga,” ucap Nic menjawil hidung mancung Amarise.
“Apa kamu tidak menyukainya?”
“Aku sangat menyukainya,” balas Nic membubuhkan satu kecupan di kening sebelum menutup pintu mobil.
Perempuan muda itu hampir menjerit, memegang bagian jantung yang berdegup menggila. Ya ampun! Aku tidak bisa memastikan, apakah ini perasaan jatuh cinta? Sedangkan belum genap satu minggu aku mendapati kekasihku berselingkuh.
Amarise mulai meragukan dirinya sendiri, apakah ia tipe perempuan yang akan mengalami trauma pasca disakiti pria yang pernah ia cintai. Nyatanya, kehadiran Nic yang begitu singkat, membawa Amarise dalam debaran yang lebih tidak terkendali.
Senyum manis Amarise mengembang sempurna dan sesekali melirik Nic yang mulai menjalankan Range Rover hitam miliknya.
“Nic?” panggil Amarise.
“Ya?”
“Bisakah aku mendapatkan pekerjaan darimu?”
Pertanyaan Amarise membuat fokus Nic teralihkan ke arahnya sekilas. “Kamu tidak nyaman berada di mansion?”
“Lebih tepatnya aku merasa tidak nyaman saat harus jauh darimu.” Ia tersipu melihat Nic menatapnya kaget, lalu tertawa kecil. Mungkin terkesan kurang ajar dan sangat tidak tahu diuntung.
Tapi Amarise akan memikat Nic dengan caranya sendiri. Kegilaan Amarise masih teramat wajar dan ia enggan membuat pria berstatus paman angkatnya menatap perempuan lain!
“Aku pikir kamu ingin melanjutkan studi. Karena aku sudah menyiapkan beberapa universitas terbaik di negara ini untuk tahun ajaran baru nanti.”
Rasa haru melingkupi relung hati Amarise. Ia tidak menyangka jika Nic sepeduli itu hingga memerhatikan pendidikan Amarise. “Terimakasih, aku sangat bahagia kamu mampu memenuhi tanggung jawabmu.”
“Tapi sejauh ini aku ingin mendapatkan banyak pengalaman dari dunia bekerja. Sebenarnya aku sudah melakukan pengunduran diri pasca kematian orangtuaku,” ucap Amarise.
Ia tampak menautkan jemari tangan dengan menunduk. Perasaan Amarise masih diliputi berbagai momen. “Aku sempat berpikir untuk meminta dinikahi Dion karena aku merasa sudah tidak memiliki siapa pun dan pekerjaan yang memadai. Dan kehadiranmu, membuat rencanaku berubah kesekian kali. Ini juga momen yang tepat.”
“Bisakah aku mendapatkan pekerjaan di perusahaanmu? Atau mungkin, kamu bisa melihat lamaranku dan membawaku sesuai persyaratan yang ada? Aku akan melaluinya pada bagian HRD dan—“
“Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu. Kamu keluargaku dan aku sudah lebih dulu melihat latar belakang termasuk pendidikanmu. Jadi, aku memutuskan kamu akan menjadi sekretaris sementaraku.”
Manik mata Amarise terbuka sempurna. Bibir Amarise tidak dapat terkatup cepat, melainkan ia dibuat syok oleh pernyataan pria di sampingnya. “Sekretaris? Aku berharap bisa menjadi pegawai salah satu divisi,” aku Amarise jujur.
Ia lebih berpikiran wajar karena sudah meminta kuota pegawai baru. Sekalipun Amarise berasal dari perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia, lulus dengan masa studi dan IPK memuaskan. Ia tidak pernah berharap sejauh itu.
Sebisa mungkin Amarise membasahi tenggorokannya. “Aku tidak salah dengar, kan?”
Nic tertawa kecil dan mengulurkan tangan seraya mengusap sekilas pipi putih nan mulus itu. “Sementara kamu akan menjadi sekretaris utamaku sampai masa cuti sekretaris lama selesai. Dia akan menikah dua bulan lagi. Jadi, selama masa tunggu, kamu bisa banyak belajar atau jangan sungkan mendatangi perusahaan, sekadar melihat aktivitas di sana.”
“Tidak perlu terburu-buru memutuskan tawaran ini. Karena aku masih memiliki tangan kanan lainnya.”
Amarise mengangguk paham, meskipun ia sedang menahan seringai puas. Setidaknya ia berhasil selalu dekat dengan Nicholas Isaac. “Lalu? Setelah itu aku akan menjadi pegawai tetap salah satu divisi, begitu?”
Mobil berhenti di lampu merah. Nic menoleh dan menatap lekat Amarise yang menunggu jawabannya. “Tidak. Kamu akan berada sebagai sekretaris kedua di perusahaanku.”
Perempuan itu nyaris tidak berkedip, sedangkan Nic sudah menyeringai tipis. Ia mengikis jarak dan mencondongkan tubuh, menatap paras cantik Amarise dengan polesan natural. “Aku tahu kamu tidak ingin jauh dariku, Rishi.”
“Sebagai Paman yang baik, aku harus paham kemauanmu dan tidak akan membuatmu terabaikan oleh pekerjaan yang menyitaku. Jadi, sekalipun aku akan sibuk kedepannya, kamu akan tetap memastikanku baik-baik saja dalam jangkauanmu,” tandasnya tersenyum manis yang membuat Amarise tidak bisa menyanggah satupun kalimat Nic.
Seluruh ucapan pria itu adalah keinginan tersembunyi Amarise. Karena Amarise tidak akan melepaskan Nic begitu saja.
“Maaf, Nona. Tapi Anda tidak bisa masuk karena Tuan Isaac sedang mengobrol dengan tamunya.”Senyum Amarise memudar setelah terfokus pada kotak makan siang. Ia melemparkan tatapan memicing, curiga. Sebenarnya tidak ada yang salah dari sekretaris Nic. Mengingat penampilan formal teramat sopan dan segera berstatus istri pria lain. “Kenapa? Apa sepenting itu hingga aku dilarang masuk?”“Dua anak buah Nic yang kutemui di lobi, mereka mengatakan Nic baru saja menyelesaikan rapat dan aku memiliki hak istimewa atas permintaan Tuan-mu,” lanjut Amarise tidak sadar sudah berucap sinis.Ia tidak menyukai ada orang lain, memiliki jabatan rendah daripada Nic yang mengatur dirinya sesuka hati. Karena sedari awal Nic membebaskan Amarise melakukan apa pun sejak hampir satu bulan ini.Raut tegas dan kaku itu sedikit mengendur dengan tawa kecil, lalu membungkuk sejenak. “Maafkan sikapku yang terkesan lancang, Nona. Hanya saja, aku takut Anda lebih salah paham.”Tubuh Amarise mendadak gusar mendengar pe
“Kamu ingin pergi ke mana lagi? Kenapa sering kali meninggalkan aku sendirian? Bisakah aku ikut denganmu juga, Nic?”Belum selesai perasaan cemburu Amarise mereda sejak tadi siang. Malam ini pria itu tampak membereskan beberapa pakaian ke dalam koper. Jika Amarise tidak datang tepat waktu melihat anak buah Nic membawa kabar jadwal penerbangan paling pagi besok, mungkin Amarise tidak akan tahu apa saja yang dilakukan pria itu sekarang.“Ini perjalanan bisnis, Rishi. Aku sudah berjanji akan membawa kamu berkeliling beberapa negara, tapi jika kamu meminta sekarang, maka ini bukanlah waktu yang tepat,” jelas Nic mengulum senyum.Ia mendekati Amarise, lalu meraih pinggang ramping dan menjatuhkan satu kecupan di pipi kanan. “Jangan menunjukkan kesedihanmu. Aku akan ikut sedih.”Tangan Amarise sedikit meremas pergelangan tangan Nic yang masih bertengger di pinggangnya. Tatapan perempuan itu lekat memandang Nic. “Kamu tidak sedang berbohong, kan? Aku takut kamu pergi untuk menemui Nyonya Cage
Nic menumpukan kedua lutut di lantai seraya menatap hangat anak lelaki berusia empat tahun, tidak sama sekali merespons baik paper bag dan ekspresi Nic. “Apa kamu tidak berpikir mengenai Mamaku yang mengurusku sendirian selama di rumah sakit Singapura?” “Di mana peranmu sebagai Papa kandungku? Aku sedang jatuh sakit dan tidak sekalipun kamu bertanya kabarku,” lanjut anak lelaki yang mewarisi manik coklat dari sang Ibu. Setidaknya Nic cukup bersyukur saat mata itu tidak berwarna biru dan bisa membuat anak lelaki cerdas ini mengetahui kekurangan dari keluarga kecilnya. Hanya saja, Nic tidak bisa mengubah ciptaan Tuhan saat wajah dan sifat anak di hadapannya menurun sangat banyak dari Ayah kandungnya. Ia mendengkus dalam hati, membenci pria yang merupakan kakak sepupunya sendiri. “Sayang ... Aku sudah menceritakan tentang Papamu. Seharusnya kamu mengerti keadaannya yang benar-benar sedang sibuk. Jaga sikapmu pada Papa Nicholas!” tegas perempuan cantik datang dari arah dapur, memerhati
Hasrat Amarise bergejolak bersama desahan frustrasi. Jemari tangannya meremat rambut coklat Nic, lalu menekan dan membiarkan isapan pria itu di dadanya yang membusung, kian menggila. “Nic ....” Logika Amarise hilang di antara gairah yang sudah meledak. Ia tidak pernah menyangka seluruh pakaiannya tertanggal di bawah ranjang dan ia begitu gesit membuka pakaian pria di atasnya. Selama ini Nic baik pada Amarise. Perempuan itu memilih membiarkan tubuhnya dijamah dan merespons tiap sentuhan Nic tidak kalah panas, sekalipun ia bisa menyesali malam panas ini di kemudian hari. “Kamu milikku malam ini, Sayang.” Amarise menjerit sakit. Tubuhnya bergejolak dengan sensasi sakit kali pertama yang dirasakannya. Ia menangis saat Nic terus melesakkan miliknya tanpa ampun, tidak memberikan pemanasan sama sekali di awal mereka bercinta. Nic mengerang nikmat dengan mata terpejam sambil terus meraih sensasi yang telah lama tidak dirinya teguk. “Aku sangat menyukai milikmu yang sangat sempit ini, Noli
“Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk bisa memaafkanku?” Amarise membuang pandangan melihat Nic berjalan ke pinggir kolam renang. “Aku mengakui kesalahanku dan bisakah aku mendapatkan maaf darimu, Rishi?”Kedua tangan Amarise terkepal kuat di sisi tubuhnya. Ia menatap tajam pantulan tipis dirinya dalam remang area kolam. “Kamu sudah menghinaku.”“Ucapanku memang sangat salah, tapi aku tidak bermaksud menghina perempuan yang aku sayangi,” sahut Nic menekan dari tiap ucapannya.Ia tidak bermaksud berucap seperti itu. Nic hanya takut Amarise disakiti pria lain karena dengan mudah masuk dalam bujuk rayu. Sekalipun Nic memanfaatkan Amarise, tapi ia tidak memanfaatkan tubuh untuk melecehkannya atau yang bisa membuat Nic merendahkan seorang perempuan.Pria itu masih sangat logis memikirkan banyak hal termasuk menghargai orang terdekatnya. “Bisa memberiku waktu untuk bicara sebentar?” tanya Nic mengendalikan napas yang terasa sesak. “Kamu baru ingin keluar malam ini setelah melewatkan b
“Aku tidak akan memaafkanmu jika sampai kamu sengaja menjahiliku, Nic,” ancam Amarise, tapi tetap membiarkan kedua tangannya dituntun pria dewasa di sampingnya. Kedua kelopak mata Amarise tertutup saat keluar dari kamar. Ia menuruti permintaan Nic, menuntun entah ke mana. Sebenarnya jika ditelisik dari suasana area, maka seharusnya sekarang mereka berada di halaman belakang. Rerumputan itu terasa padat di injakan sandal Amarise. “Apa yang ingin kamu tunjukan padaku?” Ia sudah tidak sabaran. Nic mengulum senyum dengan meminta anak buahnya mendekat, menyerahkan satu hewan menggemaskan pindah di pelukannya. “Sekarang buka matamu,” titah Nic. Perlahan Amarise membuka kelopak mata, menyipit karena cahaya yang masuk terlalu terang. Benar, kan, posisi mereka berada di halaman luas mansion. Merasa Nic tetap berdiri di sampingnya, Amarise menoleh hingga manik coklat itu membulat lebar. Bibir Amarise terbuka, mendapati Poodle putih, kecil dan menggemaskan mulai aktif di pelukan Nic. “Nic!
Langkah beberapa pasang sepatu beradu lantai terkesan terburu, membuat Amarise meraih cepat Putih yang ikut merasakan ketakutan. Detik selanjutnya, bunyi pecahan disusul pekikan seorang perempuan menyentak Amarise. Dada Amarise bergemuruh, menatap pintu kamar yang sedari tadi memang setengah terbuka. Memungkinkan beberapa suara masuk. “Kenapa tidak ada satupun dari kalian yang menyadarinya?!” “Nic?” Amarise turun dari ranjang seraya menggendong Putih. Ia takut dan gemetar untuk kali pertama mendengar bentakan penuh amarah Nic yang luar biasa. Entah kenapa, seperti ada masalah serius yang sedang dialami pria itu. Tubuh Amarise mematung di pembatas lantai dua. Ia terbelalak melihat guci mahal itu hancur, sedangkan di depan Nic sudah terkapar dua anak buah kepercayaan pria itu. Salah satunya pria yang sempat Amarise minta tutup mulutnya. “Tolong maafkan kami, Tuan.” Mia menunduk takut karena tatapan tajam Nic sudah terarah padanya. “Dan kamu, Mia. Aku tidak akan pernah memertahank
“Di mana Nic?! Apa dia tidak punya rasa tanggung jawab mendapati keponakannya jatuh sakit?!”Amarise meringis pelan seraya memaksakan tubuh untuk duduk. Ia bersandar lemah melihat Nyonya Isaac memarahi dua pelayan yang sedari semalam membantu Amarise menurunkan suhu tubuhnya yang panas. “Bibi. Nic tidak tahu sama sekali jika aku sakit. Aku sendiri yang meminta mereka tutup mulut.”“Ya Tuhan, Amarise ....” Nyonya Isaac mendekat ke arah ranjang, menyadari ia sudah meluapkan amarah di depan Amarise.Raut bersalah terlihat di wajah Amarise. “Tolong jangan marahi mereka, Bi,” lirih perempuan cantik itu tertutupi sedikit wajah pucat.“Maafkan aku,” sahut Nyonya Isaac menoleh ke ujung ranjang. “Aku hanya mengkhawatirkan anak perempuanku ini,” lanjutnya tulus, sedangkan perasaan Amarise menghangat.Ia sudah lama tidak mendengar kepemilikan dari seorang Ibu untuk anak perempuannya. Pelupuk mata Amarise berair dan tidak bisa membendung bulir air mata saat Nyonya Isaac mempersilakan dua pelayan