“Aku tidak akan memaafkanmu jika sampai kamu sengaja menjahiliku, Nic,” ancam Amarise, tapi tetap membiarkan kedua tangannya dituntun pria dewasa di sampingnya. Kedua kelopak mata Amarise tertutup saat keluar dari kamar. Ia menuruti permintaan Nic, menuntun entah ke mana. Sebenarnya jika ditelisik dari suasana area, maka seharusnya sekarang mereka berada di halaman belakang. Rerumputan itu terasa padat di injakan sandal Amarise. “Apa yang ingin kamu tunjukan padaku?” Ia sudah tidak sabaran. Nic mengulum senyum dengan meminta anak buahnya mendekat, menyerahkan satu hewan menggemaskan pindah di pelukannya. “Sekarang buka matamu,” titah Nic. Perlahan Amarise membuka kelopak mata, menyipit karena cahaya yang masuk terlalu terang. Benar, kan, posisi mereka berada di halaman luas mansion. Merasa Nic tetap berdiri di sampingnya, Amarise menoleh hingga manik coklat itu membulat lebar. Bibir Amarise terbuka, mendapati Poodle putih, kecil dan menggemaskan mulai aktif di pelukan Nic. “Nic!
Langkah beberapa pasang sepatu beradu lantai terkesan terburu, membuat Amarise meraih cepat Putih yang ikut merasakan ketakutan. Detik selanjutnya, bunyi pecahan disusul pekikan seorang perempuan menyentak Amarise. Dada Amarise bergemuruh, menatap pintu kamar yang sedari tadi memang setengah terbuka. Memungkinkan beberapa suara masuk. “Kenapa tidak ada satupun dari kalian yang menyadarinya?!” “Nic?” Amarise turun dari ranjang seraya menggendong Putih. Ia takut dan gemetar untuk kali pertama mendengar bentakan penuh amarah Nic yang luar biasa. Entah kenapa, seperti ada masalah serius yang sedang dialami pria itu. Tubuh Amarise mematung di pembatas lantai dua. Ia terbelalak melihat guci mahal itu hancur, sedangkan di depan Nic sudah terkapar dua anak buah kepercayaan pria itu. Salah satunya pria yang sempat Amarise minta tutup mulutnya. “Tolong maafkan kami, Tuan.” Mia menunduk takut karena tatapan tajam Nic sudah terarah padanya. “Dan kamu, Mia. Aku tidak akan pernah memertahank
“Di mana Nic?! Apa dia tidak punya rasa tanggung jawab mendapati keponakannya jatuh sakit?!”Amarise meringis pelan seraya memaksakan tubuh untuk duduk. Ia bersandar lemah melihat Nyonya Isaac memarahi dua pelayan yang sedari semalam membantu Amarise menurunkan suhu tubuhnya yang panas. “Bibi. Nic tidak tahu sama sekali jika aku sakit. Aku sendiri yang meminta mereka tutup mulut.”“Ya Tuhan, Amarise ....” Nyonya Isaac mendekat ke arah ranjang, menyadari ia sudah meluapkan amarah di depan Amarise.Raut bersalah terlihat di wajah Amarise. “Tolong jangan marahi mereka, Bi,” lirih perempuan cantik itu tertutupi sedikit wajah pucat.“Maafkan aku,” sahut Nyonya Isaac menoleh ke ujung ranjang. “Aku hanya mengkhawatirkan anak perempuanku ini,” lanjutnya tulus, sedangkan perasaan Amarise menghangat.Ia sudah lama tidak mendengar kepemilikan dari seorang Ibu untuk anak perempuannya. Pelupuk mata Amarise berair dan tidak bisa membendung bulir air mata saat Nyonya Isaac mempersilakan dua pelayan
Amarise bersenandung kecil sambil menggoyangkan beberapa paper bag dengan merek ternama di tangan kanan dan kiri. Ia lumayan puas menghabiskan ratusan juta rupiah, melakukan penghitungan mandiri. Dirinya membeli tas baru, dompet dan sepasang heels.“Halo. Kamu sendirian? Di mana orangtuamu?”Senyum Amarise terulas hangat melihat seorang anak lelaki berkisar empat tahunan berdiri sendirian di depan salah satu toko brand ternama. Mata Amarise menyisir dan melihat sebagian orangtua masih menggandeng anak mereka. “Apa kamu tersesat?”“Apa perlu aku menjawab pertanyaanmu?”Lengkungan bibir Amarise memudar, berganti tatapan kikuk mendapati sorot mata anak lelaki di hadapannya datar. “Um, jika kamu tersesat, aku bisa membantumu melakukan laporan pada sekuriti di sini,” usul Amaris menepis sedikit kesal dalam hatinya.“Orangtuaku jauh lebih pintar dari sekadar bantuan laki-laki berprofesi sekuriti,” cetusnya menunjukkan pergelangan tangan.Jam tangan anak-anak yang memuat fitur GPS yang memud
“Ternyata kamu masih menganggap aku sebagai orangtuamu, ya?” sindir Nyonya Isaac dari seberang sana.Nic mengembuskan napas lelah dan menjawab seraya memastikan fokusnya tidak pecah ke arah jalan raya. “Maafkan aku, Ma.”“Sudahlah. Setidaknya aku cukup tenang kamu baik-baik saja. Begitupula Amarise yang memilih menghibur dirinya tanpa kehadiranmu.”Raut wajah Nic mengetat ketika membahas tentang Amarise. Ia mengenggam stir mobil kuat dan menekan pedal gas, membelah malam Los Angeles.Ia menghabiskan banyak waktu bersama keluarga kecil sebelum akhirnya kembali ke apartemen. Bukan tanpa alasan Nic sejak kemarin bermalam di apartemen. Ia hanya takut wanita di seberang sana menghubungi Nic lewat panggilan video.Tapi kali ini Nic memutuskan untuk menelepon sambil melaju ke apartemen. “Dia akan mengerti pekerjaanku.”“Dengan melupakannya tanpa memberikan kabar? Bahkan, bukan hanya aku yang tidak mendapatkan kabar. Perempuan satu-satunya sebagai anggota keluarga terdekat di mansionmu saja t
“Nona Amarise masih bertahan di unit apartemennya hingga hari ketiga pasca Anda memberi tugas padaku. Dia juga selalu memantau apa pun yang sudah Anda perkirakan, Tuan.”Nic menoleh ke samping tanpa menatap wajah anak buahnya yang saat itu bekerjasama dengan Amarise. “Apa kemarin dia melihatku berciuman di depan unit apartemen dan kolam renang?”“Ya, sesuai permintaan Anda. Kami membuat semuanya terkesan kebetulan di mata Nona Amarise,” jawabnya.“Bagaimana dengan anak buah dari Mamaku yang diminta memantau kegiatan Amarise selama di sini?”Salah satu anak buah Nic menimpali, “Mereka sudah kembali pulang, Tuan, sesuai permintaan Anda.”Nic mengangguk paham dan menggerakkan tangan sebagai kode meminta sendirian saja di unit apartemennya. Empat anak buah yang sudah beralih tugas menjaga Amarise, kini keluar teratur dan melanjutkan tugas dari Nic; memantau Amarise.“Kamu masih saja bersikukuh tinggal di apartemen ini hanya untuk melihatku bermesraan bersama kekasihku, Amarise.” napas Nic
“Makananku sudah habis!” ketus Amarise mendorong kasar overbed table, lalu duduk membelakangi Nic.Pria itu menyeringai puas melihat Amarise menghabiskan makanan, meskipun dengan kekesalan yang terus tertahan. Hal pertama adalah karena dirinya tidak menggubris isi hati Amarise.Dan kedua, Nic mengancam akan membawa Amarise ke rumah sakit jika tidak menuruti permintaannya untuk makan dan minum obat. Amarise tentu menolak karena benci untuk di infus dan terlebih ia hanya sakit biasa.“Kamu ingin makan buah-buahan? Atau ingin langsung minum obat?”“Tidak perlu bersikap baik! Pergilah! Aku bisa minum obat sendiri!” tolak Amarise belum berbalik sama sekali.“Aku tidak bisa pergi begitu saja. Malam ini aku akan tidur di unitmu, memastikan besok pagi suhu tubuhmu sudah menurun,” balas Nic santai seraya mengeluarkan ponsel.Amarise berbalik cepat dengan tatapan sinis. “Ini unit yang sudah kusewa. Aku berhak mempersilakan seseorang masuk, terutama menolaknya jika aku tidak menyukainya.”Nic me
“Apa sekarang kamu berbalik menyerangku?”“Kenapa tidak? Aku memegang kepercayaan Mamamu. Semua bisa aku bongkar jika sewaktu-waktu kamu tidak menuruti permintaanku,” tandas Amarise menarik senyum puas.Sementara ia masih bisa mengirup banyak oksigen, sedangkan napas Nic sudah memburu dengan kedua tangan terkepal. Kilatan amarah sangat jelas dari manik coklat, tapi Amarise tidak peduli.Kedua tangan Nic mengepal kuat dengan rahang mengetat. “Sampai kapan kamu ingin menguji kesabaranku, Amarise Damaswara?”Amarise menepis ketakutan dan rasa nyeri setiap Nic melupakan panggilan khusus untuknya. Ia mendongak sengit dan menjawab, “Aku tidak mungkin bisa membuatmu membalas cintaku selagi perempuan itu masih mengirup udara yang sama dengan kita.”“Jadi, aku akan menggunakan banyak cara agar kamu selalu melihatku, bersamaku dan luluh padaku,” desisnya mengabaikan tatapan menusuk Nic.Pria itu berjalan mendekat penuh intimidasi. Amarise menahan gugup dan wajah yang ingin memucat. Sebaik mungk