“Di mana Nic?! Apa dia tidak punya rasa tanggung jawab mendapati keponakannya jatuh sakit?!”Amarise meringis pelan seraya memaksakan tubuh untuk duduk. Ia bersandar lemah melihat Nyonya Isaac memarahi dua pelayan yang sedari semalam membantu Amarise menurunkan suhu tubuhnya yang panas. “Bibi. Nic tidak tahu sama sekali jika aku sakit. Aku sendiri yang meminta mereka tutup mulut.”“Ya Tuhan, Amarise ....” Nyonya Isaac mendekat ke arah ranjang, menyadari ia sudah meluapkan amarah di depan Amarise.Raut bersalah terlihat di wajah Amarise. “Tolong jangan marahi mereka, Bi,” lirih perempuan cantik itu tertutupi sedikit wajah pucat.“Maafkan aku,” sahut Nyonya Isaac menoleh ke ujung ranjang. “Aku hanya mengkhawatirkan anak perempuanku ini,” lanjutnya tulus, sedangkan perasaan Amarise menghangat.Ia sudah lama tidak mendengar kepemilikan dari seorang Ibu untuk anak perempuannya. Pelupuk mata Amarise berair dan tidak bisa membendung bulir air mata saat Nyonya Isaac mempersilakan dua pelayan
Amarise bersenandung kecil sambil menggoyangkan beberapa paper bag dengan merek ternama di tangan kanan dan kiri. Ia lumayan puas menghabiskan ratusan juta rupiah, melakukan penghitungan mandiri. Dirinya membeli tas baru, dompet dan sepasang heels.“Halo. Kamu sendirian? Di mana orangtuamu?”Senyum Amarise terulas hangat melihat seorang anak lelaki berkisar empat tahunan berdiri sendirian di depan salah satu toko brand ternama. Mata Amarise menyisir dan melihat sebagian orangtua masih menggandeng anak mereka. “Apa kamu tersesat?”“Apa perlu aku menjawab pertanyaanmu?”Lengkungan bibir Amarise memudar, berganti tatapan kikuk mendapati sorot mata anak lelaki di hadapannya datar. “Um, jika kamu tersesat, aku bisa membantumu melakukan laporan pada sekuriti di sini,” usul Amaris menepis sedikit kesal dalam hatinya.“Orangtuaku jauh lebih pintar dari sekadar bantuan laki-laki berprofesi sekuriti,” cetusnya menunjukkan pergelangan tangan.Jam tangan anak-anak yang memuat fitur GPS yang memud
“Ternyata kamu masih menganggap aku sebagai orangtuamu, ya?” sindir Nyonya Isaac dari seberang sana.Nic mengembuskan napas lelah dan menjawab seraya memastikan fokusnya tidak pecah ke arah jalan raya. “Maafkan aku, Ma.”“Sudahlah. Setidaknya aku cukup tenang kamu baik-baik saja. Begitupula Amarise yang memilih menghibur dirinya tanpa kehadiranmu.”Raut wajah Nic mengetat ketika membahas tentang Amarise. Ia mengenggam stir mobil kuat dan menekan pedal gas, membelah malam Los Angeles.Ia menghabiskan banyak waktu bersama keluarga kecil sebelum akhirnya kembali ke apartemen. Bukan tanpa alasan Nic sejak kemarin bermalam di apartemen. Ia hanya takut wanita di seberang sana menghubungi Nic lewat panggilan video.Tapi kali ini Nic memutuskan untuk menelepon sambil melaju ke apartemen. “Dia akan mengerti pekerjaanku.”“Dengan melupakannya tanpa memberikan kabar? Bahkan, bukan hanya aku yang tidak mendapatkan kabar. Perempuan satu-satunya sebagai anggota keluarga terdekat di mansionmu saja t
“Nona Amarise masih bertahan di unit apartemennya hingga hari ketiga pasca Anda memberi tugas padaku. Dia juga selalu memantau apa pun yang sudah Anda perkirakan, Tuan.”Nic menoleh ke samping tanpa menatap wajah anak buahnya yang saat itu bekerjasama dengan Amarise. “Apa kemarin dia melihatku berciuman di depan unit apartemen dan kolam renang?”“Ya, sesuai permintaan Anda. Kami membuat semuanya terkesan kebetulan di mata Nona Amarise,” jawabnya.“Bagaimana dengan anak buah dari Mamaku yang diminta memantau kegiatan Amarise selama di sini?”Salah satu anak buah Nic menimpali, “Mereka sudah kembali pulang, Tuan, sesuai permintaan Anda.”Nic mengangguk paham dan menggerakkan tangan sebagai kode meminta sendirian saja di unit apartemennya. Empat anak buah yang sudah beralih tugas menjaga Amarise, kini keluar teratur dan melanjutkan tugas dari Nic; memantau Amarise.“Kamu masih saja bersikukuh tinggal di apartemen ini hanya untuk melihatku bermesraan bersama kekasihku, Amarise.” napas Nic
“Makananku sudah habis!” ketus Amarise mendorong kasar overbed table, lalu duduk membelakangi Nic.Pria itu menyeringai puas melihat Amarise menghabiskan makanan, meskipun dengan kekesalan yang terus tertahan. Hal pertama adalah karena dirinya tidak menggubris isi hati Amarise.Dan kedua, Nic mengancam akan membawa Amarise ke rumah sakit jika tidak menuruti permintaannya untuk makan dan minum obat. Amarise tentu menolak karena benci untuk di infus dan terlebih ia hanya sakit biasa.“Kamu ingin makan buah-buahan? Atau ingin langsung minum obat?”“Tidak perlu bersikap baik! Pergilah! Aku bisa minum obat sendiri!” tolak Amarise belum berbalik sama sekali.“Aku tidak bisa pergi begitu saja. Malam ini aku akan tidur di unitmu, memastikan besok pagi suhu tubuhmu sudah menurun,” balas Nic santai seraya mengeluarkan ponsel.Amarise berbalik cepat dengan tatapan sinis. “Ini unit yang sudah kusewa. Aku berhak mempersilakan seseorang masuk, terutama menolaknya jika aku tidak menyukainya.”Nic me
“Apa sekarang kamu berbalik menyerangku?”“Kenapa tidak? Aku memegang kepercayaan Mamamu. Semua bisa aku bongkar jika sewaktu-waktu kamu tidak menuruti permintaanku,” tandas Amarise menarik senyum puas.Sementara ia masih bisa mengirup banyak oksigen, sedangkan napas Nic sudah memburu dengan kedua tangan terkepal. Kilatan amarah sangat jelas dari manik coklat, tapi Amarise tidak peduli.Kedua tangan Nic mengepal kuat dengan rahang mengetat. “Sampai kapan kamu ingin menguji kesabaranku, Amarise Damaswara?”Amarise menepis ketakutan dan rasa nyeri setiap Nic melupakan panggilan khusus untuknya. Ia mendongak sengit dan menjawab, “Aku tidak mungkin bisa membuatmu membalas cintaku selagi perempuan itu masih mengirup udara yang sama dengan kita.”“Jadi, aku akan menggunakan banyak cara agar kamu selalu melihatku, bersamaku dan luluh padaku,” desisnya mengabaikan tatapan menusuk Nic.Pria itu berjalan mendekat penuh intimidasi. Amarise menahan gugup dan wajah yang ingin memucat. Sebaik mungk
Nic bertelanjang dada, membiarkan tubuh bagian bawah hanya ditutupi handuk putih, melilit dari area pinggang. Ia mendengkus kesal seraya mengusap rambut masih setengah basah. Inisiatif Mia berimbas pada dirinya dan membuat kekacauan ruang kerja; bau dan kotor.“Ada apa, Ma?” tanya Nic cukup malas.Ia menyampirkan handuk kecil di leher, berjalan ke area lemari, memilih kaus turtleneck dan celana panjang bahan. Nic ingin segera pulang karena sudah malas mengingat kejadian beberapa waktu lalu. “Hari ini para keponakanmu sudah ada di mansion!”“Biarkan mereka bermain,” cetus Nic santai, menaruh setelan di atas ranjang.“Di mana Amarise? Aku membawa bocah-bocah menggemaskan itu tidak menemui Amarise. Pelayan hanya mengatakan jika kalian berdua pergi bersama.”Nic mengembuskan napas lelah. Sepertinya ia letih menjawab rentetan pertanyaan dan balik bertanya, “Mama sedang menghabiskan waktu bersama Kakak?”Karena suara di seberang sana terkesan banyak beberapa suara dari transportasi, orang-o
Kedua kelopak mata Nic terpejam sejenak. Tangis Amarise mengisi keheningan yang sudah terasa mencekam. Nic terpojokkan untuk tuduhan beberapa menit lalu. Ia disidang, tidak bisa memiliki kesempatan lain untuk membela diri selain mengambil satu keputusan, “Aku akan menikahi Amarise.”Ruang kerja Nic hening sempurna. Kedua tangan pria itu mengepal kuat di sisi tubuh, sudah membalut tubuh atletisnya dengan kemeja putih dan celana hitam bahan.Namun, penampilan acakannya memang sangat mendominasi, membaur tatapan letih Nic. “Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatanku tadi,” tambahnya.Sontak sorot tajam dan kalimat makian yang diterima Nic berubah menjadi sorot teduh. Kedua bibir wanita yang berdiri di hadapan Nic tertarik perlahan, “Itu baru anakku! Kamu memang harus bertanggungjawab sudah melecehkan anak perempuan keduaku,” tandas Nyonya Isaac.“Ayo, Nak. Tinggalkan sebentar Nic dan Amarise di sini. Mereka butuh bicara dan aku harus membasuh wajahku. Untung saja putra semata way