Kedua kelopak mata Nic terpejam sejenak. Tangis Amarise mengisi keheningan yang sudah terasa mencekam. Nic terpojokkan untuk tuduhan beberapa menit lalu. Ia disidang, tidak bisa memiliki kesempatan lain untuk membela diri selain mengambil satu keputusan, “Aku akan menikahi Amarise.”Ruang kerja Nic hening sempurna. Kedua tangan pria itu mengepal kuat di sisi tubuh, sudah membalut tubuh atletisnya dengan kemeja putih dan celana hitam bahan.Namun, penampilan acakannya memang sangat mendominasi, membaur tatapan letih Nic. “Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatanku tadi,” tambahnya.Sontak sorot tajam dan kalimat makian yang diterima Nic berubah menjadi sorot teduh. Kedua bibir wanita yang berdiri di hadapan Nic tertarik perlahan, “Itu baru anakku! Kamu memang harus bertanggungjawab sudah melecehkan anak perempuan keduaku,” tandas Nyonya Isaac.“Ayo, Nak. Tinggalkan sebentar Nic dan Amarise di sini. Mereka butuh bicara dan aku harus membasuh wajahku. Untung saja putra semata way
Amarise menatap nanar Range Rover hitam keluar pukul sepuluh malam. Nic pergi sendirian dan Amarise menduga jika pria itu mengunjungi klub malam.Sorot mata perempuan itu berubah lebih redup, melihat lagi map berisi berkas yang sudah ditandatangani sore tadi. Nic bergerak sangat cepat dan menepati ucapannya. Perjanjian pernikahan di atas kertas, legal dan disaksikan pihak ketiga yang kuat. “Di antara keuntungan lain yang bisa aku dapatkan, kenapa kamu menempatkan satu syarat yang sulit, Nic?”Sekalipun Nic menolak pernikahan ini. Tapi pria itu sudah membubuhkan banyak keuntungan materi bagi Amarise. Baik selama menjalani pernikahan ataupun jika pria itu sudah muak.Namun, satu hal yang sulit diterima Amarise, “Di sana tertera, jika aku mengusik sekali saja kesenanganmu bersama perempuan simpananmu, maka kamu akan membawaku tinggal jauh dari orangtuamu.”“Seluruh akses, ponsel, surel dan alat komunikasi dijauhkan, termasuk membawaku ke rumah di desa kecil,” tandasnya terkekeh sedih.“D
Jantung Amarise berdegup kuat. Kedua sudut bibirnya masih tertarik, membentuk lengkungan bahagia. Telapak tangan kanan dan kirinya bertumpu memegang bahu Nic, membiarkan pria itu menggowes sepeda di sekitar area mansion.Area luas ini tidak pernah Amarise sisir. Ia hanya lewat saat berada di dalam mobil, bukan dalam momen manis seperti ini. “Kita akan duduk di sana?!” tanya Amarise sedikit menaikkan volume suara.Tatapannya mengarah pada danau buatan, cukup luas dengan warna cantik yang memperlihatkan perbukitan jarak jauh. Matanya berbinar senang mendapati jalur Nic menuju ke sana. “Ya. Di sana tempat yang tepat untuk beristirahat,” balas pria itu.“Aku pikir kamu akan mengajakku bersepeda.”“Menurutmu ini bukan bersepeda?” tanya balik Nic datar, masih dengan menggowes.Bibir Amarise mengerucut. “Dua sepeda. Bukan satu untuk berdua,” jelasnya setengah kesal.Nic mengedik sekilas. “Aku hanya memiliki satu sepeda. Tidak berniat mengoleksi, kecuali untuk mobil dan motor.”Amarise mencib
“Kenapa kamu mengijinkan Nic untuk menyelesaikan pekerjaannya hari ini? Dia juga sudah memberitahumu untuk lembur. Calon suami macam apa, hingga membiarkan calon istrinya mengurus persiapan sendiri?!”“Pekerjaan Nic memang sedang banyak, Sayang. Aku sudah menawarinya untuk mengalihkan tugas itu pada asisten pribadiku yang juga sering saling membantu dengan putra kita,” jelas Tuan Isaac.“Lalu, kenapa kamu biarkan saja jika masih ada pilihan lain?”“Ma,” sela Amarise lirih.Ia tertunduk takut mendapati calon ibu mertua berdebat dengan suaminya. Amarise sejak awal ditemani Nyonya Isaac untuk mencoba gaun pernikahan yang telah jadi. Momen ini sangat dinantikan Nyonya Isaac agar kehadiran Nic bisa melengkapi atmosfer romantis seperti pasangan calon pengantin lain.“Sebentar, Amarise. Semalam Nic sudah menyanggupi permintaanku, lalu beberapa waktu lalu aku menunggunya sambil menemanimu memakai gaun. Aku pikir dia akan datang terlambat, tapi justru suamiku yang datang dan memberi kabar ini.
Amarise merasakan gugup di antara momen sakral sejak ia memasuki gereja. Para tamu undangan terbatas dan tanpa media, tidak mengurangi rasa sedih dan bahagia Amarise. Seharusnya di antara kenalan keluarga Isaac, ada perwakilan dari pihak Amarise. Tapi orangtua pun tidak ada dan membuat dirinya teramat sedih. Ia sudah berusaha meredam air mata sedari awal. Namun, air mata Amarise luluh saat di antara ia dan Nic mengucapkan janji suci. Ia menangis, tidak terbesit jika ini adalah pernikahan sandiwara dengan intonasi dan kalimat Nic yang teramat menyentuh. “Aku akan selalu menjagamu,” bisik Nic mengakhiri ciuman pasangan suami istri, lalu mengusap lembut kedua pipi Amarise yang basah oleh air mata. Sorot mata dan kalimat lembut itu seolah meminta Amarise menggali lebih jauh. Ia merasa jika ucapan itu bukanlah kalimat yang dilakukan atas dasar sandiwara. Perasaan haru melingkupi Amarise dan berharap ia tidak salah mengartikan ucapan Nic tadi. Keluarga besar Nic melanjutkan pesta di hal
“Kamar Anda telah siap, Tuan,” ucap pramugari cantik berdiri di sisi duduk Nic.Pria itu mengangguk dan mengucapkan terimakasih, lalu mempersilakan perempuan itu berlalu. Tatapan Nic terarah pada Amarise yang sudah tertidur.Nic berdiri mendekati Amarise dan bergegas menyusupkan kedua tangan di balik punggung dan di perpotongan tungkai. Ia membopong tubuh Amarise yang sedikit bergerak gelisah, mencoba mencari kenyamanan dengan menyandarkan wajah di dada bidang Nic.Dengan perlahan tubuh Amarise direbahkan di atas ranjang lebar, bagian dari pesawat pribadi yang dimiliki Nic. Di kepala ranjang berisi deretan buku bacaan Nic, lalu ada beberapa jendela kaca di kanan dan kiri untuk melihat keindahan malam dan momen esok hari dari dalam kamar.Senyum Nic terbit mengingat kekesalan Amarise puluhan menit lalu sebelum pesawat lepas landas. Ia memang tidak memberitahu jadwal pasti keberangkatan. Alhasil, Amarise hanya memakai setelan baju tidur ditambah sandal berkepala kelinci.Nic melepaskan
Bibir Amarise terbuka lebar dengan tatapan mengunci penuh binaran bangunan kastil tinggi, megah dan menunjukkan atmosfer dunia negeri dongeng. Ia tidak hentinya mengagumi pilihan bulan madu ke Disneyland dan Nic mengajaknya mengunjungi di Shanghai, China.Pluk!Permukaan bibir Amarise ditepuk sekilas oleh Nic. “Nicholas!” pekik Amarise menoleh tajam dan langsung dibalas tatapan datar tanpa bersalah.“Ada apa?”Amarise mendengkus seraya mencebikkan bibir. Suasana bahagia karena baru kali pertama menginjakkan kaki kemari, khususnya Disneyland, tampak terganggu dengan kejahilan Nic.Pria yang memakai ransel untuk menyimpan pakaian ganti dan beberapa perlengkapan termasuk kamera kecil, segera meraih tubuh Amarise. Ia merangkul bahu perempuan yang sedang terlihat marah. “Aku selalu menyukai jika kamu kesal padaku,” cetusnya.Tangan Amarise menepis kasar cubitan Nic di pipinya. “Menyebalkan!” gerutu Amarise.Belum sempat perempuan itu ingin memisahkan diri sekadar berjalan duluan. Nic denga
“Nic, aku sudah membeli seluruh bahan yang kita butuhkan untuk ma—“ bibir Amarise terkatup rapat dengan pandangan terkejut melihat dua bodyguard Nic yang sangat dikenali Amarise. Mereka yang sedari tadi berdiri di ruang tengah unit penginapan, berjalan mendekati Amarise. “Maaf, jika kami memilih menunggu Anda di sini, Nyonya,” sahut pria itu sudah berdiri di hadapan Amarise. Perempuan itu menatap keduanya bergantian. Ia bingung karena baru saja pulang dari supermarket tidak jauh dari penginapan. Amarise memutuskan pergi sendiri tanpa menyetujui ajakan Nic. Terlebih pria yang sudah bersamanya lima hari di Shanghai, sesekali mulai disibukkan dengan pekerjaan. “Ada apa kalian sudah menungguku di sini?” tanya Amarise. Ia mulai gusar karena mata yang ia sisir sekilas dan menajamkan pendengaran, tidak mendapati tanda-tanda keberadaan Nic. “Cepat, jangan membuatku khawatir,” lanjut perempuan itu masih berdiri di ambang pintu. Perempuan berbalut mantel sebatas lutut itu masih mengenggam
“Yeay! Kakakku paling hebat!” kedua tangan Alona bertepuk semangat. Ia begitu berseri, bangga dan takjub dengan sosok pria tinggi bertubuh atletis dalam balutan jas formal baru saja menyampaikan pidato perdananya sebagai CEO baru, resmi menggantikan seorang Nicholas Isaac yang sudah pensiun. Lelaki itu berhasil membimbing putranya sedari masa remaja dan kuliah. Nic menempatkan putra semata wayangnya di posisi menengah, salah satu anak cabang perusahaan agar putra kandungnya bisa mulai mengemban pekerjaan. Dan hasilnya, sungguh luar biasa. River Isaac, mampu melakukan semuanya di usia matangnya, tiga puluh tahun. “Kakakmu semakin tampan saja. Bagaimana cara mendaftar menjadi kekasihnya? Atau jika perlu, beri aku tips ampuh agar bisa menjadi kakak iparmu, Lona.” Alona memutar bola mata dengan pandangan kesal. “Tidak! Sampai kapan pun kamu tetap menjadi sahabatku, bukan kakak ipar perempuanku!” ketusnya membuat Amarise yang mendengar percakapan tertawa kecil. Alona adalah perpaduan
“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang terjadi selama ini di antara kamu bersama River?”“Bibi-mu ini tahu segalanya, Ivory,” desis wanita itu menyeringai layaknya iblis.“Sikap binalmu, hasrat yang menggebu-gebu kamu salurkan pada pria muda yang dulu lebih memilih mengisi pikirannya dengan banyak pelajaran. Dan sekarang? Kamu mengubah pria itu lebih berani bertindak.”Ruangan sempit itu bergema saat suara tawa mengejek sangat memekakan dan risih di telinga Ivory. Gadis cantik bertubuh semampai itu mengepalkan kedua tangan. Embusan napasnya terkesan memburu seraya mengetatkan rahang.Sekalipun ruangan cukup temaram. Ivory sudah lebih dari cukup untuk tidak menelisik wajah menjengkelkan Bibi kandungnya. Wanita jalang ini tidak lebih baik dari kelakuan nakal Ivory sejak kecil.“Dua bulan lalu adalah perayaan pesta ulang tahunmu ketujuh belas. Keluarga Isaac memberikan perayaan sederhana, kekeluargaan yang hangat. Tapi saat malam hari, mereka semua tidak tahu jika kamu sedang berbagi peluh
Alona Isaac. Siswi paling cantik menjadi incaran banyak siswa di sekolah menengah pertamanya. Hanya saja, gadis itu terlalu angkuh dan memiliki selera sendiri dalam memilih pria mana yang ingin ia balas perasaannya.Lebih tepatnya, sejauh mana mereka bisa membahagiakan masa muda Alona.“Lona. Apa kamu mendengar berita terbaru?”“Berita apa?” tanya Alona melepas headset dan melirik malas teman dekatnya.Gadis berambut sebahu itu mendekat dan berbisik dengan raut sedih, “Kita akan mulai kehilangan pria paling tampan dan populer di tahun terakhir sekolah ini.”Alona mendelik bingung. “Siapa?”“Astaga! Siapa lagi jika bukan pria yang selalu menjadi pusat perhatian di sekolah kita.”“Satu angkatan dan satu kelas,” desisnya hampir melotot karena respons Alona terkesan acuh tak acuh.Teman dekat Alona menggerakkan dagu, memberikan atensi pada satu pria yang duduk tenang dan berekspresi dingin di sudut depan kelas. Pria itu tidak sedang berniat mengisi jam istirahat ke kantin atau seperti bia
“Sudah tidak ada lagi sekretaris dan anak buahmu! Jadi tidak perlu bersikap manis padaku di depan mereka!” ketus Amarise menurunkan kasar lengan Nic di pinggang Amarise.Wanita itu sangat kesal mendapati sikap posesif Nic yang terlihat dibuat-buat. Hati Amarise merasa diremas, sakit dan sesak. Air mata Ibu dari tiga anak itu hampir saja tumpah, membuat Nic terpaku di depan lift.Baru saja lelaki itu ingin menuntun istrinya masuk terlebih dulu. “Rishi? Kenapa menangis?”“Dasar lelaki berengsek!” umpat Amarise sedikit menjauh.Tiba-tiba saja suasana hatinya memburuk. Nic sudah hampir satu minggu tidak bisa menjemput Amarise di lobi perusahaan. Awalnya ia merasa bingung dan takut. Karena Nic tidak pernah menolak permintaan manja Amarise.Bahkan, terkadang lelaki itu berinisiatif sendiri menjemputnya, memperlihatkan kemesraan lewat gandengan tangan atau pelukan di pinggang Amarise. Lelaki itu ingin sekali memperkenalkan Amarise berulang kali di depan para pegawai perusahaan.Tapi hari ini
“Menurutmu, bagaimana dengan Margareth? Dia cantik, cerdas dan terlihat dewasa dari segi pemikiran dan tata krama. Di masa depan dia sangat pantas bersanding dengan River.”Kalimat antusias dan tatapan penuh harap lewat binar-binar di mata Amarise, membuat tenggorokan Ivory serat. Ia menelan makanan susah payah, secara alamiah penasaran dan menoleh ke arah River.Pria yang duduk di sampingnya ikut menoleh. Alhasil, Ivory lebih dulu membuang pandangan.Ada perasaan tidak suka saat Amarise membanggakan gadis lain untuk River. Apalagi mempersiapkan pasangan hidup untuk pria tampan itu.“Margareth? Dia yang minggu lalu datang kan, Ma?” tanya Alona.“Iya, Sayang. Kamu bersama Margareth juga terlihat akrab,” lanjutnya merasa ada di situasi melihat sosok Elena di diri Margareth.Gadis satu angkatan dan satu kesal dengan River. Tidak sedikit teman di kelasnya berharap pasangan cerdas, sama-sama rupawan itu segera menjalin kasih.“Rishi. Jika kamu meminta sebuah perjodohan untuk anak-anak kita
“Papa ... Mama ....” “River tidak mau main bersama adik perempuannya!” “Oh, sial!” umpat Nic baru saja mengerang sebagai pembuka. Ia hampir saja menghentakkan tubuh setelah melesak masuk diimpit kenikmatan yang ditawarkan Amarise. “Hei, jangan mengumpati anak perempuanmu,” tegur Amarise tajam, meskipun berakhir dengan tawa bahagia. Ia bahagia melihat rasa frustrasi di wajah Nic dan milik pria itu yang membutuhkan tempat ternyamannya. Dengan gesit Amarise meraih kaus dan celana pendek Nic, berbanding terbalik dengan kemalasan Nic duduk menatap dirinya datar. “Kenapa? Kamu ingin melampiaskan kekesalanmu padaku?” “Tidak,” balasnya bergerak malas memakai kaus dan celana pendek. Amarise terkekeh melihat Nic jalah tertatih, merasa dunia panasnya hilang digantikan pusing yang mulai mendera. Pintu terbuka dan menampilkan wajah cantik nan mungil Amarise versi kecil. Darah Asia lebih kuat karena gen keluarga Amarise dari pihak Ayahnya memiliki duplikat indah. “Papa,” suara Alona dibuat s
Nic merasakan kehangatan di dadanya melihat Amarise membantu menyandarkan punggung Nic di kepala ranjang. Dengan perlahan kedua tungkai Nic di angkat, disejajarkan di atas ranjang, lalu menyelimuti sebatas pinggang. “Maaf atas kesalahanku.” “Kamu salah karena tidak percaya cintaku yang hadir untukmu,” sahut Amarise hampir ketus. Tapi melihat keadaan Nic tidak bisa diajak bercanda atau sekadar memukul gemas suaminya. Hanya embusan napas berat yang terdengar berat bagi Amarise. “Aku harus memberi pelajaran pada jalang itu,” tandas Amarise menggebu. Kilatan kebencian sangat terlihat jelas di manik coklat Amarise. “Nyawa dibalas nyawa, Nic.” “Aku dan River hampir kehilangan dirimu. Lalu, air mata Mama dan Papa sangat membuatku semakin terpuruk.” “Mungkin mereka bisa membuatku tegar dengan perkataan meyakinkan. Tapi di sisi lain, mereka hanya ingin membuatku tenang dan tidak berakhir semakin menyedihkan.” Jason memberitahu kecelakaan yang membuat mobil Nic hampir ringsek. Tubuh suamin
“Kita kencan naik motor?!” “Hmm ... ya, naik motor. Apa kamu tidak suka?” Nic mengusap tengkuknya salah tingkah. Pria itu merasa pandangan Amarise terlalu membuat Nic berpikiran buruk. Seharusnya pria itu bisa memberikan kesan kencan manis untuk kali pertama setelah jatuh cinta dengan menaiki mobil. “Jika memilih antara sepeda dan motor, aku lebih suka sepeda. Kesan manis dan penuh cumbuan hari itu di tepi danau lebih membekas. Masih mendebarkan hingga sekarang.” pipi putih dan mulus Amarise bersemu merah. Keraguan Nic perlahan memudar dengan menarik senyum, ikut tertawa geli saat Amarise mendekat. Perempuan itu memeluk manja Nic yang sudah berpenampilan tampan—lebih muda—saat memakai pakaian kasual. “Ini bukan kencan pertamamu bersama seorang perempuan,” cibir Amarise tanpa mengurai pelukan. Nic tertawa seraya mengecup ujung hidung mancung istrinya. “Tapi ini kali pertama aku merasakan cinta yang lebih besar pada perempuan. Dan ini kali pertama setelah lebih dari sepuluh tahun
“Amarise. Hari ini River belum diberikan ASI.” “Stok ASI masih ada, kan, Ma? Biar pengasuh River yang menyiapkannya. Aku masih harus mencari keberadaan Nic,” balas Amarise tanpa menoleh ke arah Nyonya Isaac datang ke kamar sambil menggendong River yang masih tidur.Sebentar lagi jadwal anak lelaki itu untuk bangun dan menerima ASI dari Amarise. Tapi hampir tiga hari Amarise mengabaikan perannya, beralih mengonfirmasi pesawat yang diterbangi Nic dengan awak pesawat juga penumpang lain.Mata wanita itu berkaca-kaca melihat menantunya baru saja menelepon seseorang, kesekian kali hanya untuk memastikan mimpi buruk Amarise tidak nyata.“Amarise … Anak laki-lakiku sudah ….”“Tolong jangan katakan kalimat mengerikan itu lagi, Ma!” pekik Amarise tanpa sadar.Ia sendiri tersentak kaget. Tubuh Amarise gemetar, mengatupkan rapat bibir menahan desakan untuk menangis. “Maaf,” lirihnya tidak berani menatap Nyonya Isaac.“Aku tidak peduli tentang berita apa pun, Ma. Aku masih percaya Nic hanya memb