“Nic, aku sudah membeli seluruh bahan yang kita butuhkan untuk ma—“ bibir Amarise terkatup rapat dengan pandangan terkejut melihat dua bodyguard Nic yang sangat dikenali Amarise. Mereka yang sedari tadi berdiri di ruang tengah unit penginapan, berjalan mendekati Amarise. “Maaf, jika kami memilih menunggu Anda di sini, Nyonya,” sahut pria itu sudah berdiri di hadapan Amarise. Perempuan itu menatap keduanya bergantian. Ia bingung karena baru saja pulang dari supermarket tidak jauh dari penginapan. Amarise memutuskan pergi sendiri tanpa menyetujui ajakan Nic. Terlebih pria yang sudah bersamanya lima hari di Shanghai, sesekali mulai disibukkan dengan pekerjaan. “Ada apa kalian sudah menungguku di sini?” tanya Amarise. Ia mulai gusar karena mata yang ia sisir sekilas dan menajamkan pendengaran, tidak mendapati tanda-tanda keberadaan Nic. “Cepat, jangan membuatku khawatir,” lanjut perempuan itu masih berdiri di ambang pintu. Perempuan berbalut mantel sebatas lutut itu masih mengenggam
Amarise tersentak merasakan ada jemari tangan yang menggerayangi punggung polosnya. Ia bersiap menjerit dan ingin melakukan perlawanan, tapi telapak tangan lebar itu sudah menekan punggungnya.Satu kecupan manis singgah di pipinya dari samping. “Ini aku, Nicholas,” bisik suara berat dan seksi mengendurkan respons tegang Amarise.“Sial! Aku pikir orang berengsek yang ingin melakukan tindak pelecehan padaku!” ketus Amarise melirik sinis dari sudut matanya melihat Nic menarik kursi dan duduk nyaman di sana.Nic mengerling genit. “Oh, aku bukan orang berengsek, ya?” tanya pria itu jahil.Bibir Amarise mengerucut sekilas. “Posisiku sedang telungkup tanpa memakai apa pun. Hanya dari pinggang hingga betis ditutupi, jelas saja membuatku kaget dan ketakutan,” jelas perempuan itu sembari mengubah posisi tubuh. “Tapi saat tahu yang datang adalah suamiku, kenapa aku harus takut, kan?” Ia mengedipkan sebelah mata terkesan nakal.Keduanya tertawa geli. Nic memerhatikan Amarise dengan sensual memosi
Ketukan heels Amarise beradu dengan pantofle Nic. Mereka baru saja menyelesaikan rapat dan sekarang Amarise akan memberikan beberapa berkas penting pada Nic. “Sepertinya tawaran para CEO muda tadi sangat menyenangkan.”“Kenapa harus kamu tolak? Dia juga mengundangku untuk ikut bersama kalian semua dalam undangan VIP,” jelas Amarise berusaha mengejar langkah dari kaki panjang Nic.“Tiga penari striptis favorit, meja makan yang disusun di atas tubuh telanjang perempuan seksi, masih tetap ingin kamu hadiri?”“A-apa?”Duk!“Aw ....” ringis Amarise menabrak dada bidang Nic. Pria itu berbalik tanpa memberitahu Amarise yang sedari tadi mengejar ketertinggalan seraya membawa topik ajakan beberapa menit lalu.“Jahat,” keluh Amarise mengusap kening. “Seharusnya kamu bisa memastikan jika jarak berhenti dan jalanku masih cukup jauh,” lanjutnya merasa sakit dan mengabaikan keterkejutan tadi.“Maaf,” balas Nic merasa bersalah. Ia menarik pinggang Amarise dan mulai mengusap kening Amarise. “Masih s
Perempuan yang malam ini membalut tubuhnya dengan gaun tidur sebatas lutut mendatangi dapur. Ia melihat dua pelayan baru saja menyelesaikan pekerjaannya. “Kalian akan pergi ke paviliun sekarang?”“Iya, Nyonya. Kami berdua baru saja menyelesaikan pekerjaan termasuk membuatkan Tuan minuman.”Tangan Amarise berhenti saat nyaman menyisir rambutnya yang hampir kering. Ia nyaris terbelalak. “Suamiku? Dia sudah pulang?”“Tuan sudah sampai sekitar setengah jam lalu, Nyonya. Aku mengantar minuman Tuan ke kamar tamu di sudut kamar tamu lantai atas,” timpal salah satu lagi, membuat Amarise tercengang.Sepertinya ia terlalu sibuk menikmati berendam dalam bathtub tanpa menyadari kepulangan Nic. Ia juga bertanya mengenai jam pada salah satu pelayan, lalu mengumpati jika Amarise lah yang melupakannya.Ini sudah lebih dari jam yang ditepati Nic untuk pulang. “Baiklah. Kalian bisa pergi sekarang. Terimakasih atas pekerjaan kalian hari ini,” cetus Amarise bergegas menemui Nic.Letupan bahagia mulai ter
“Beberapa bulan lalu, ada pria yang sangat menyebalkan dan dia berkata padaku lengannya menjadi kebas karena menahan kepalaku sebagai pengganti bantal.”“Siapa pria itu?” tanya Nic menarik Amarise lebih dekat dalam pelukannya.Ia membiarkan lengannya menjadi sandaran Amarise hingga mereka bangun tidur. Pagi ini Nic merasa lebih rileks dan berbeda dari hari-hari sebelumnya. Bercinta memang bisa membuat perasaan dan pikiran Nic nyaman.Amarise menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan jengah. “Dia pria menyebalkan, tapi aku sangat menyayanginya,” cibir Amarise melihat Nic sedang menahan senyum jahil.“Oh, iya? Apa aku mengenal pria itu? Katakan nama lengkapnya dan aku akan mengatakan jika dia sangat naif,” cetus Nic berubah serius.Perempuan cantik itu mendengkus kesal. Terlebih tangan bebas Nic di pinggangnya sudah naik membelai punggung polos Amarise. Mereka masih berada dalam satu selimut yang sama dan beberapa detik lalu memberikan kecupan selamat pagi.“Dirimu adalah pria berengsekn
Amarise menutup pintu mobil kasar. Air matanya sudah mengering, tapi raut tegang, takut dan gemetar masih ia rasakan. “Nyonya! Sebaiknya Anda memikirkan hal ini baik-baik! Tuan harus tahu—““Siapa kamu sampai memintaku menurutimu, ha?!” Ia berbalik dan menatap tajam anak buah Nic yang sedari awal lebih banyak interaksi dengan Amarise.Mereka semua baik dan tunduk dengan perintah Nic maupun Amarise. Tapi pria di hadapannya inilah yang kali pertama Amarise minta tolong. “Sudah kukatakan untuk menyiapkan pesawat sekarang juga! Katakan pada pilot pribadi Nic, jika aku akan melakukan penerbangan!” titah Amarise.Denyutan kepala dan gemuruh di dadanya semakin tidak terelakkan. Ia meremat kedua jemari tangan seraya mensugesti pikiran sendiri. “Apa yang kamu tunggu?! Aku akan segera mengemasi pakaianku!”“Maaf, Nyonya. Anda perlu memberitahu Tuan Isaac mengenai kepergian Anda. Ini perjalanan jauh dan aku merasa Tuan akan marah jika Anda tidak memberi kabar sedikitpun.”Pikiran Amarise memang
“Jadi, selama ini kamu menenangkan diri di mana? Aku sudah mencarimu sampai bertanya ke teman dekatmu termasuk Falisha.”Amarise mendengkus dalam hati saat nama itu diucap Dion. Pria yang duduk berseberangan dengannya bertanya sendu, penuh kekhawatiran dan menganggap Lisha—nama akrab—itu dilabeli sebagai teman, bukan istri.“Ke manapun yang penting pikiran dan hatiku bisa terobati dari kesedihan,” jawab Amarise datar.“Oh, iya. Falisha sangat mengkhawatirkanmu dan dia merasa tenang setelah aku mengabarinya.” Dion tersenyum kecil seraya meraih kedua tangan Amarise di atas meja. “Kami berdua senang karena kamu sudah pulang. Aku merindukan saat-saat kita bisa pergi menjelajah bertiga atau bersama yang lain,” lanjutnya.Amarise berdeham dengan anggukan sekilas. “Aku juga.”Aku lebih menginginkan momen itu terulang dengan jeli di mataku. Melihat kalian berdua berbicara akrab, saling menimpali dengan bahagia. Kupikir adalah situasi di mana kalian bahagia sebagai teman, bukan pasangan hidup.
Tangan Amarise gemetar mengutak atik ponsel. Berulang kali ia menelepon dan meninggalkan pesan pada Nic, tapi tidak satu pun mendapatkan balasan dari pria itu. “Ayolah, Nic. Tolong angkat agar aku bisa menjelaskannya padamu,” lirih Amarise.Suara perempuan itu sudah sama gemetar dengan tangannya. Dada Amarise bergemuruh, merasa sesak sekaligus khawatir diabaikan begitu saja oleh Nic.Ia masih ingat tatapan dingin dan tajam Nic setelah mengetahui Amarise berbohong padanya. Karena sejak awal Amarise tidak memberitahu kepulangannya. Setiap Nic meminta foto Amarise atau melakukan panggilan video, Amarise akan menolak dengan berbagai alasan.“Nicholas, tolong angkat teleponku.” tangis Amarise pecah.Sambungan terhubung, tapi tidak satupun diangkat atau dibaca Nic saat Amarise meninggalkan pesan.“Halo, Mia? Apa Nic sedang bersamamu? Tolong berikan telepon ini padanya! Aku ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kami berdua!”“Maaf, Nyonya. Tuan sudah pergi kurang dari lima